"Apa kamu marah padaku?"
Aku baru saja selesai mandi bersamanya. Iya. Kami mandi bersama dan dia sudah ... ah, gila sekali. Dia melakukan apapun yang dua mau di sana. Dan aku ini harus selalu menerimanya. Setelah selesai mandi plus plus bersamanya, rambutku sedang ia keringkan dengan hairdryer. aku masih memakai kimono putih ku, dan dia juga.
"Saya enggak berani, tuan." ujarku. Dia menatapku di dalam cermin. setelah mandi tadi, dia menyuruhku duduk di sini dengan alasan ia ingin mengeringkan rambutku yang basah. Dan aku tentu saja akan menurut dan memang harus menurut padanya.
"Kamu cantik sekali. Apa ibumu juga cantik? aku belum pernah bertemu dengannya." Bagaimana ada waktu dia bertemu dengan ibuku. Kalau setiap waktu yang ia habiskan hanya bersama Angelika saja.
"Terima kasih, Tuan. Tapi tidak perlu bertemu, karena hanya akan merepotkan tuan saja. Sudah cukup dengan dana yang tuan berikan untuk mendanai ibuku di rumah sakit. saya sudah merasa beruntung dan tidak akan meminta lebih." Kurasakan lengan kokohnya itu melingkar di leherku. Menyatukan pipi kami, dan ia menatapku lebih dalam di cermin sana.
"Kamu pernah mikir buat memiliki anak?"
Deg!
Apa aku enggak salah dengar?
"kenapa? apa nona Angelika menginginkan seorang anak?" tanya ku. Tiba tiba wajahnya berubah menegang dan ia berdiri tegak menarik tangannya membuatku kehilangan. "kenapa kamu bahas Angelika?" suaranya dingin dan aku sungguh enggak ngerti dengannya.
"karena ... "
"Aku tidak suka membahas sipapun saat aku berada dengan seseorang. Kalau aku bertanya maka kamu jawab saja, apa adanya. Dan Angelika sedang enggak mau aku bahas."
Ku menemukan kedua mata itu bersinar penuh emosi. Aku sungguh enggak ngerti apa yang telah terjadi padanya. Aku segera berdiri dan meraih kedua tangannya dan mengecup tangan itu. "saya minta maaf, tuan. Tuan boleh hukum saya, kalau Tuan enggak suka dengan kalimat yang saya ucapkan ini ..."
Dia terdiam dan wajahnya berubah melunak. Kedua matanya yang bersinar marah itu, kini berubah menjadi lembut dan hangat. Kedua tangan lebarnya memegang kedua sisi wajahku dan mengusapnya lembut. Jarak kami yang begitu dekat, begitu membuat jiwa ini melayang dan entah lah ... ini luar biasa. Aku pun masih saja memikirkan bagaimana hebatnya permainan kami di toillet tadi, dan membuat kedua kaki ini lemas, walau hanya dengan mengingatnya saja. Asegap yang perkasa dan hebat telah meluluh lantahkan harga diriku dengan sentuhannya, membuatku jatuh bagaikan puing puing reruntuhan yang hancur oleh pesonanya.
"Saya ingin kamu penurut dan penurut ..." dia menyatuhkan kepala kami, dan menggendongku ke atas ranjang king size itu.
Aku terbangun pada pukul sepuluh malam, karena perutku yang keroncongan. Kulihat spre kasur ini telah berantakan bersama diriku yang terkapar di atasnya. Lalu lelaki itu telah pergi meninggalkan diriku yang elah habis ia terkam beberapa jam yang lalu. Iya, Asegap pasti pergi ketika ia sudah merasa puas dengan diriku. Berjalan menuruni tangga, mansion ini begitu hening dan aku kespian. Ku temukan pelayan mansion ini tersenyum padaku di bawah tangga.
"Nona butuh sesuatu?"
Ia bertanya dengan memnungkukan tubuhnya. Aku tersenyum tipis. "Tuan sudah pergi?" aku berharap dia masih di sini dan menemani aku makan atau kami ngobrol di rumah besar ini.
"Iya, nona. Tuan Asegap baru saja pergi beberapa jam yang lalu."
Aku kembali tersenyum. Namun dadaku terasa nyeri. "Baiklah. Kalau gitu, ke dapur dulu. Aku mau mem--"
"Tidak nona! anda tidak boleh ke dapur. Tuan akan memarahiku kalau sampai anda masuk ke dapur. Duduk lah di ruang tamu, dan katakan apa yang anda mau."
"Baiklah. Aku mau makan, apa boleh?"
Perempuan itu mengangguk. "saya akan menyiapkan nasi kentang rebus, dan pepes ayah beserta saladnya."
"Baiklah, apapun itu." Aku sungguh berharap kalau porsinya tidak terlalu sedikit. Aku sungguh lapar, dan ingin makan yang banyak. Namun
Dia menghidangkan nasi merah yang aku yakini hanya dua sendok saja. Ayamnya lumayan besar sih. Dan juga salad sayurnya yang lumayan. Tapi kenapa nasinya dua sendok? aku menganga meliat nasinya.
"itu nasinya serius segitu?"
"sebenarnya tidak boleh makan nasi di malam hari. Tapi karena sepulang kerja, Nona enggak makan apa apa. Maka saya kasih dua sendok nasi."
Duh, ini namanya melarat di tengah kekayaan. Aku jadi mikir, ini uang yang berratus ratus juga habisnya buat apa ya? bayar listri mungkin sama bayar WIFI. Terus apalagi? skin care. Tapi aku lapaaarrr!
Oh, ingin rasanya makan mie rebus dengan cabai yang buanyaaak. Huh! Asegap benar benar menyiksaku! Aku benci pada laki laki itu.
"bagaimana nona?apa nona jadi makan?"
"Ok. Terima kasih." Aku mendekat dan meraih piring itu, namun ...
"Nona! sebaiknya jus alpukat ini dimakan dulu."
"Lah, nanti saya keburu kenyang kalau langsung minum alpukat."
"Justru itu nona. Kan kalau kenyang, nona enggak perlu makan nasi kan?"
Cih, mereka ini jenis manusia apa sih? pelit bin medit.
***
"Nona ngapain?"
Aku ketahuan makan mie instan. Dan Tristan menemukan ku. Dia meraih cup mie instan ku. "Nona dilarang keras makan ini!"
Aku baru makan satu sendok. Dan rasanya surga banget. "Ayolah Tristan ... aku sudah lama enggak makan itu." Pagi ini aku sembunyi sembunyi dan masak mie instan di dapur. Karena aku pikir, masih pagi dan Tristan belum bangun. Tapi ternyata laki laki itu menemukan ku. Lalu dia sudah merebut mie kesukaan ku ini.
"Tuan akan memarahi satu rumah ini. Kalau tahu nona makan ini."
"kalau gitu kalian enggak usah ngasih tahu!"
"Dan nona pikir tuan enggak tahu? di rumah ini sudah dipasang semua CCTV. Dan Tuan sebenarnya sedang mengamati kita saat ini." ku lirik CCTV dan memang menyala. Ah ... ko se gila ini sih peraturannya. "Aku mau satu sendok lagi ya ..."
"No!"
"Ayolah tristan ..."
Laki laki itu membawa mie instan ke arah tempat sampah lalu membuangnya. Ia juga menggeledah seisi kitchen set. Dan menemukan banyak mie di sana. Tristan memarahi pelayan bagian dapur dan membuatku sangat kasihan. Aku pun mengalah dan memilih pergi saja kerja. Rasanya kesal dan aku merana sekali tinggal di mansion ini.
"Wajahnya jelek banget!" ujar Ervan. Aku sudah sampai di tempat kerja dan bertemu Ervan.
"Van, mau mie instan dong?"
Ervan mengerjap. "mie instan?" tanya nya heran. Karena selama di kosan ku, Ervan tentu saja melihat banyak mie isntan di lemari dapurku. "Kamu enggak punya mie instan?"
Aku menggeleng. "Beliin aku ya ... aku mau makan di sini. Yang cup." rengek ku. Ervan mengangguk meski terlihat bingung. Lalu ia pun pergi meninggalkan aku. Karena di ruangan kerja ku ada dispenser. Aku bisa makan mis instan cup di sini dengan nikmat. Asegap enggak akan bisa membatasi aku di sini.