Tidak Berdaya.

1171 Kata
"Emang di kosan kamu enggak ada mie instan?" Ervan meletakan mie instan cup di atas meja kerjaku, yang aku sambut dengan senyuman dan memeluknya berapa saat. "makasih banget." Aku akan menyimpannya di lemari kamarku dan aku akan menguncinya. Tidak akan kubiarkan lelaki j*****m itu masuk ke dalam kamar pribadiku. "Ok, berapa itu semuanya?" aku akan menggantinya, namun Ervan menggeleng. "buat kamu aja. Kan biasanya juga aku ngasih jatah jajan buat kamu. Tapi bulan ini kamu tumben enggak minta. Elana juga ngasih jajan buat kamu, tapi kata Elana kamu nolak pemberian dia. Kenapa?" Elana dan Ervan memang selalu memberikan ku jatah jajan setiap kali mereka gajihan. Aku sungguh diperhatikan sepenuhnya oleh sepasang kekasih itu. "Terima kasih, ya ... aku seriusan enggak perlu lagi itu. Karena aku kan udah bilang kalau sekarang tuh, aku kerja online juga. Jadi penghasilan ku lumayan. Terima kasih banget, ya ... kalian berdua udah perhatiin aku kaya sodara." Ervan terdiam dan mengangguk pelan. "Ok, kalau gitu. Tapi kalau kamu serius butuh bantuan kami berdua. Kamu jangan sungkan sungkan ya ...." Aku benar benar terharu dengan kebaikan mereka. Semoga mereka langgeng sampai pernikahan dan sampai kakek nenek. "Siap." "Ya udah. Kalau gitu, aku keruangan ku dulu." Ervan mengusap pucuk kepalaku kemudian pergi. Segera ku ambil satu cup dan mengisinya dengan air panas di dispenser. Ah, meski pun aku hanya menjadi administrasi di pabrik sepatu dengan gajih kurang daru UMR. Tapi di sini aku sangat betah. Karena di ruangan ku ada dispenser. Aku bebas membawa kopi sendiri atau pun mie instan seperti ini. Pokoknya aku bahagia sekali. Menurutku, mie instan itu adalah surga yang aku inginkan setiap hari. "Wah wah! enak bener!" Teman ku mengeleng kan kepala. Rega adalah senior leader cutting. Namun dia sering ke sini untuk meminta air dingin atau pun panas. Karena dispenser memang hanya ada di ruangan ku saja. "Mau?" tawarku. "Mau lah. Ko kamu bisa dapet mie instan sebanyak itu? mau dong?" "Nih,'' kuberikan satu cup. "Terima kasih." dia segera membuka tutupnya dan mengisi dengan air panas. "Kamu tau kan, kemarin itu Angelina masuk ke pabrik kita." ujarnya. "Hmm." "Kamu juga tahu enggak, tentang siapa pacarnya cewek itu?" "Asegap kan?" dia suamiku. Tidak! dia hanya suami kontrak ku. Lelaki baik, sekaligus egois yang di kirimkan Tuhan padaku. "Iyap. Dia ganteng banget. Anak pabrik sampe ketusuk jarum cuma gara gara lihatin wajah dia." dia terkekeh, namun terdengar getir. "Coba saja, aku punya wajah se ganteng dia. Mungkin aku bakal di gituin juga ya, sama para cewek. Saking gantengnya, sampe enggak nyadar, tangan ketusuk jarum!" pungkasnya. "Mau banget, ya jadi cowok ganteng? emang kenapa pengen jadi cowok ganteng? biar bebas bisa macarin cewek ya?" iya. Asegap buktinya. Laki laki tampan itu sangat mudah menyakiti perempuan. Apalagi jika laki laki tampan itu, juga kaya raya. Maka sudah dipastikan, selain suka macarin anak orang. Dia juga sangat mudah mempermainkan perasaan perempuan. Ya lagi, lagi, contohnya aku bisa melihat Asegap. "Yee, enggak kaya gitu juga kali. Maksudku, kalau lelaki tampan itu memang lebih mudah nemuin cinta sejatinya." "Oya?" "Iya. Kaya Angelika dan Asegap. Mereka serasi banget." dia meraih mie cupnya dan mulai membuka isinya. "Belum matang, tuh." tegurku. "Enggak apa apa lah. Aku udah laper banget." dia mulai menyuapkan mie itu pada mulutnya. Aku hanya bisa berdecak dan menggeleng pelan saja. "Pak Ervan sering ke sini. Kamu pacaran ya, sama doi?" tanya Rega lagi. "Oh, enggak lah. Masa aku sama ervan pacaran? dia itu sahabat aku." "Oh, kalian sahabatan toh? pantesan saja dia sering ke sini? emang kamu enggak mau naik pangkat gitu, dari temanan jadi pacar?" Aku terkekeh pelan. "Naik pangkat, kaya pejabat aja!" "Yee ... sekarang yang naik pangkat enggak cuma pejabat aja dong. Semua juga bisa naik pangkat. Misal, kamu temenan sama Pak Ervan kan udah lama, ya jadi pacar. Atau kalau enggak mau, naik pangkat sama aku juga boleh. misal, kita yang temenan biasa jadi temenan dekat, git--" Kulempar dia dengan map di atas mejaku, sehingga ocehannya terhenti. Dia terkekeh. "Aku bercanda lah, Li. Kamu mah gitu aja marah? emang aku jelek banget, ya. Sampe enggak mau naik pangkat sama aku?" "bawa mie kamu, ke ruangan kamu. Dan jangan nyampah!" Dia tergelak pelan, kemudian meraih mie cupnya dan meninggalkan ruangan ku. Enaknya jadi senior lider kerjaannya hanya mengecek target setiap line. Namun kalau banyak rijek, maka senior lider lah yang akan menjadi sasaran pertama pak Yuta. Iya, Pak Yuta adalah pemimpin Global saat ini. Pemimpin baru, karena yang lama meninggal dalam sebuah insiden tabrakan mobil. *** Pulang kerja, perutku kenyang. Selain makan di kantin, aku juga ngemil mie cup. Aku enggak peduli jika tristan atau pun laki laki biadab itu melihat tubuhku yang mungkin meral. "Kamu baru pulang?" Aku yang hampir naik tangga di kejutkan oleh manusia pelit itu. Aku terhenti dan mengangguk. "Sore, Tuan. Maaf, aku pikir tuan enggak ada di rumah. Kenapa tuan di sini?" Dia bangun dari duduknya dan menghampiriku. "Kenapa? kan ini rumah ku?" Dia mengusap pipiku dan menatapku dalam. Mendekat dan menciumku dalam selama beberapa saat, membuat lututku terasa lemas. "Wait! kamu makan mie instan?" Tunggu! Dia tahu dari mana? "A--aku--" "Siapa yang membiarkan kamu makan mie instan?" Duh, kedua tatapan mata itu terlihat dalam dan menakutkan sekali. Apa yang harus aku lakukan? "A--anu ... aku ... aku ..." "TRISTAN!" Kan kan ... Tristan jadi sasaran lagi. Laki laki itu berlari dan mendekat pada Tuannya itu. "Iya, tuan!" "Kenapa kamu berikan istriku mie instan?" "Saya tidak memberikan dia mie instan?" jelas saja, karena bukan Tristan. "Lalu siapa?" ku lihat Tristan dan Asegap menatap padaku, membuatku sungguh seperti sedang di interogasi oleh dua orang sekaligus. "Kamu boleh pergi?" Asegap bicara pada Tristan. Dan membuat laki laki itu pun pergi meninggalkan kami berdua. "Aku sudah katakan padamu, bukan? aku melarang kamu makan mie instan." dia membingkai kedua sisi wajahku, dan menatapku lekat sekali. "Apa kamu pikir, aku enggak tahu. Dengan mencium mu saja, aku bisa menghirup aroma mie instan di mulut mu ini!" "Kenapa aku enggak boleh makan mie instan? aku lapar sekali." "karena mie instan bisa membuat tubuhmu naik." "Aku tahu berapa batas yang bisa aku konsumsi untuk jenis makanan itu. Aku tahu seperti apa kondisi tubuhku. Aku juga ingin menikmati apa yang aku sukai. Kenapa aku enggak bisa bebas seperti dulu lagi? kamu memberikan aku banyak uang, tapi aku enggak bisa makan bebas. Aku kelaparan tengah malam tapi hanya bisa makan dua sendok nasi! aku butuh yang lebih. Aku ingin makan kenyang dan bisa tidur lelap. Aku merasa kamu terlalu mengekangku." Aku tahu, aku sudah keterlaluan karena aku sudah melewati batasku sebagai seorang perempuan yang dibeli olehnya. Maka dari itu aku sungguh menyesal karena sudah mengatakan ini padanya. Yang aku lihat dia terdiam dengan menatapku lekat. Lama kita hening dalam ruangan ini. Aku sungguh kacau sekali. "A--aku minta maaf, mungkin aku telah lancang. A-aku --" Dia pergi begitu saja, membuatku mematung dan menyesal. Mungkin dia marah padaku. Tapi aku pikir, aku enggak salah. Aku hanya ingin kebebasanku kembali lagi padaku. Hanya itu ... sial! aku tahu aku enggak bersalah. Tapi air mata ini membuktikan bahwa aku memang tidak berdaya di sini.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN