Sudah seminggu dia enggak pulang ke mansion. Ah, sebenarnya bukan salahnya enggak pulang. Dan aku tidak boleh protes atau pun merasa enggak senang. Sejak awal dia sudah bilang kalau pernikahan ini memang tanpa cinta. Ia bahkan mengatakan kalau aku enggak boleh memiliki anak. Namun herannya otak bodohku tetap berharap kalau dia akan pulang. Kalau dia akan kembali padaku.
Tidak!
Berlian, kamu harus sadar. Yang menjadi kedua itu bukan Angelika. Tapi kamu. Asegap sudah bertemu dengan Angelika lebih dulu. Sedangkan dengan kamu, kalian baru bertemu dua minggu saja. Kenapa kamu enggak bersyukur saja. Karena sekarang banyak sekali hal yang kamu miliki dan orang lain enggak memilikinya.
"Bagaimana Dok, dengan ibu saya?"
Aku memang berada di rumah sakit. Dari kantor, aku enggak ke mansion. Beberapa kali ponselku berdering dan aku enggak membukanya karena aku memang sedang ingin bersama ibuku. Aku enggak tahu apa yang terjadi, karena setelah operasi itu, ibuku malah koma. Dokter mengatakan katanya beliau komplikasi. Ibuku memang sudah tua. Beliau menikah di usia 30 tahun. Dan memiliki aku diusia 38 tahun. Aku dan kakak ku beda umur 7 tahunan. Dan sekarang ibuku sudah berumur 50 tahun, di usiaku 20 tahun. Seharusnya aku mungkin sudah suskes dan bisa menjamin semua kebutuhan ibuku. Tapi aku kembali bersyukur karena akhirnya bertemu dengan Asegap.
Iya. Dia telah membuat semuanya lebih mudah meski aku harus mengorbankan hatiku karena kedekatannya dengan perempuan lain.
"Mbak nya, hanya bisa berdoa dan memohon semoga mamahnya bisa siuman dan sembuh."
"Kalau enggak siuman, berarti ..."
"Kami meminta maaf. Komplikasi ini terjadi setelah operasi. Maafkan kami." apakah ini sebuah mal praktek? tapi kenapa ini harus terjadi. Aku enggak tahu masalahnya di mana karena hanya orang rumah sakitlah yang mengetahui ini.
"Saya ingin melihat ibu saya."
"Mari silakan masuk!"
Berada di pintu dan mendapati ibuku sedang berbaring dengan alat alat yang memenuhi tubuhnya. Aku hanya bisa mematung dengan perasaan ku yang kacau. Perahan berjalan mendekat, lalu meraih tangannya. Kedua matanya terpejam dengan napas lembut dan letih. Selama dua puluh tahu, tujuh belas tahun yang selalu menyemangatiku adalah beliau. Beliau sangat lembut dan begitu menyayangiku. Lalu ketika aku selesai sekolah, aku pergi ke kota untuk kerja. Beruntungnya aku masuk ke kantor sebuah pabrik, meski gajihnya enggak se besar kantor yang berada di tempat tempat lainnya. Aku tau kualifikasi ku, aku tahu kalau aku ini hanya seorang yang lulus SMA. Aku sadar, dan aku enggak memaksa harus mendapatkan gajih berapa dengan kelulusan ku itu.
"Bu ..."
Aku selalu berusaha untuk kuat. Namun di depan ibuku, aku selalu saja menangis. Aku selalu ingat masa masa kecilku. Bagaimana lembutnya ibu padaku. Bagaimana perjuangan ibu yang bisa mengurusku sambil kerja di ladang dan jualan. Aku masih sangat ingat, waktu itu aku berusia empat tahun yang lagi nakal nakalnya. Dan ibu membawaku ke ladang untuk memetika kacang, kemudian kami menjualnya keliling kampung.
Hidup sederhana enggak pernah membuat ibuku sedih atau pun menyesal. Ibuku selalu tetap bersyukur dan menerima semua ketetapannya. Ibuku selalu menerima beratnya kehidupan dengan lapang d**a. Hingga ketika aku berusia tujuh belas tahun, ibuku mulai sakit sakitan. Setelah SMA, aku memilih untuk pergi ke kota ikut bersama Ervan. Ervan lah yang memasukan ku ke pabrik itu dan kerja dibagian administrasi. Ervan yang kenal orang dalam tentu saja melakukan itu karena ia sangat merasa kasihan padaku yang serba kekurangan.
"Ibu tahu kan, aku udah nikah sama pak Asegap. Aku sekarang memiliki uang banyak untuk merawat ibu. Dan aku juga bisa hidup enak bu." Kuusap kedua mata yang tiba tiba basah, padahal aku berusaha keras untuk enggak nangis di depan beliau. "Ibu lihat wajahku, mulus banget. Ibu lihat kuku kuku ku semuanya pake warna warna yang indah. Ini gratis bu. Pak Asegap yang udah ngeluarin uang banyak untuku. Pokoknya ibu jangan banyak pikiran. Aku udah punya segalanya untuk jagain ibu."
Ponselku terus berdering. Dan aku masih enggak mau ambil di dalam tasku. karena entahlah. Setelah melihat Asegap begitu manis memperlakukan Angelika. Aku begitu sakit dan rapuh. Aku tahu kalau ini wajar, mengingat Asegap dan Angelika itu saling mencintai. Mereka sudah saling mengenal sebelum aku bertemu Asegap. Tapi ... ah, sudahlah Berlian. Kamu jangan serakah. Enggak semua yang kamu inginkan bisa kamu dapatkan. Semuanya harus seimbang dan adil. Jika kamu memiliki uang saat ini, maka wajar jika kamu enggak memiliki kasih sayang dan cinta dari seseorang yang kamu inginkan. Aduh, Berlian. Salahmu kenapa harus menginginkan seorang lelaki yang belum tentu menginginkan kamu. Ingat berlian, dia itu menganggapmu sebagai partner ... bukan hati yang ia inginkan. Jadi terima saja, kalau dia hanya ingin memakaimu, kemudian meninggalkan mu dengan sejumlah uang.
"Sial! kenapa aku malah nangis terus sih!" meraih tisu yang ada di atas nakasnya ibu. Ah, itu pasti tisu yang disediakan rumah sakit untuk ibuku. Maaf kan aku bu, aku malah menghabiskannya karena aku cengeng.
***
"Nona dari mana saja?"
Baru saja aku keluar taksi. Aku sudah di ributkan dengan Tritan. Laki laki itu tergopoh gopoh dari dalam gerasi dan menatapku cemas. Aku hanya tersenyum tipis dan menatapnya penuh tanya.
"Ada apa?" tanyaku.
"Tuan ada di rumah?"
"Terus?"
"Aduh, nona ... tuan udah nunggu nona selama satu jam. Nona tahu, tuan enggak pernah menunggu siapapun selama itu."
Aku sungguh ingin memukul kepalanya Tristan. memangnya kenapa kalau asegap menunggu istrinya sampai selama itu. Aku enggak peduli, karena aku juga memiliki waktu yang harus aku habiskan untuk hal pribadiku. Kenapa waktuku harus aku habiskan hanya dengan Asegap. AKu benci itu.
"Santai saja tristan. Dia enggak akan membunuhmu!" sengaja kulewati, laki laki itu. Aku enggak peduli dan enggak mau mikir yang keras keras. Aku berjalan masuk dan memang di ruang tamu ada Asegap. Laki laki itu terlihat menatapku dengan tegas dan dalam. Aku menunduk dan sejujurnya lutut ini terasa lemas.
"Tristan!"
Panggilan Asegap pada Tristan, membuat laki laki itu segera datang dan mendekat. "Nona, ayo! Nona harus segera mandi! nona sudah terlambat!." Tristan mengajaku naik ke lantai atas. Aku pun mengikuti tristan ke lantai atas.
"Nona, dari tadi aku menelpon Nona. Tapi kenapa nona enggak mengangkatnya? tuan sudah mewanti wanti kalau beliau akan mengajak nona ke rumah kedua orang tuanya. Nona tahu, kalau tuan Asegap itu enggak memiliki waktu yang banyak. Tuan Asegap itu sangat sangat sibuk. Nona seharusnya--"
Blugh!
Ku tutup pintu dengan kuat, sehingga aku enggak lagi mendengar kicauannya laki laki itu. Tidak tahu kah kalau hatiku sedang tidak baik baik saja? tidak tahukan kalau aku ini seorang perempuan yang memiliki perasaan yang lemah. Tidak bisa kah satu saja ... satu saja orang mengerti padaku saat ini.
"Nona! waktu nona hanya lima belas menit untuk bersiap siap!"
Jangankan lima belas menit. Lima menit pun aku siap. Aku mandi dengan cepat tidak lebih dari dua menit. Lalu lari ke arah lemari menyiapkan baju, lalu aku letakan di atas kasur. Sementara itu aku langsung ke meja riaa. rencana, aku mau memakai make up naturan dengan rambut akan aku sanggul rendah. Memakai jepit cantik sehingga aku enggak perlu susah susah menggulungnya. Terlihat rapi di dalam, meski efeknya akan membuat rambutku enggak beraturan setelah selesai di gulung nanti. Selesai dengan make up dan rambutku. Aku segera memakai baju dress berwarna putih tulang. Dress yang tentu saja sudah dipesankan oleh Asegap, pakaian yang harus aku pakai ketika aku bertemu dengan kedua orang tuanya.
"Nona waktu nona lima menit la--"
Aku membuka pintu, membuat Tristan terdiam dengan mulutnya yang menganga. Dia pikir aku enggak bisa memakai make up secara cepat?
Cih, dia sama tuannya sama saja. Selalu menganggap enteng kemampuan seseorang. Sebenarnya aku ingin sekali memukul kepala laki laki ini. Namun karena pertemuanku dengan mertua ku lebih penting lagi. Aku pun melewatinya begitu saja dan berjalan ke arah gerasi. Di mana ada mobilnya Asegap yang terparkir. Aku tahu Asegap sedang menatap gila padaku, ketika aku melewatinya begitu saja di ruang tamu. Aku sama sekali enggak menatapnya. Bukan karena aku enggak menghargainya. Tapi karena aku harus menjaga hati dan harga diriku. Melihat wajah tampan Asegap, membuat hatiku meronta dan hancurnya harga diri ini. Sekarang aku sedang berada di mode merah atau marah. Api sedang membakar hatiku seolah ingin menghancurkan diri ini. Melihat Asegap akan semakin menghancurkan jiwa ini.
Dia masuk dan duduk di sampingku. Di depan sopir sudah siap, dan kami pun meluncur. Asegap menekan tombol pembatas antara bangku sopir dan bangku kami di belakang. Kaca hitam itu menutup kami berdua, sehingga sopir tidak akan melihat kami berdua. Ku dengar dia berdeham kecil. Mungkin dia melelan biji kedongdong lagi. aku sungguh enggak peduli.
"Ada yang ingin kamu jelaskan? kamu pergi ke mana seharian ini? dan kenapa kamu enggak mengangkat telpon mu? apakah semua perempuan cantik memang selalu melupakan tanggung jawabnya?"
Apakah dia sedang merayuku? atau memang sedang menyindirku? wanita cantik? aku sungguh ingin tergelak jadinya. "terima kasih untuk pujiannya. Saya bertemu ibu."
"Oh, bagaimana keadaan beliau?"
Dia meraih tangan ku dan menggenggamnya. Ku tarik karena masih saja terbayang bagaimana Asegap memperlakukan Angelika. Aku tahu saat ini Asegap marah, karena aku menarik tangan ini dari genggamannya. "Apa kamu sedang marah?'
"Saya tidak berani."
Aku masih belum mau menatapnya. Aku sungguh sedang patah hati. Aku tidak menegrti kenapa aku harus terjebak dengan orang jenis ini. Kenapa Asegap harus tampan dan menawan. Seandainya dia jelek. Aku mungkin enggak akan sampai se susah ini.
"Baiklah. Apakah uang yang saya kirimkan masih kurang?"
"Tidak. semuanya sudah cukup. Terima kasih sekali."
Dia terdiam, dan meraihku. Meletakan ku di atas dadanya. Mengecup keningku dan pucuk kepalaku. "Apakah saya telah membuat kesalahan?" Iya! dan banyak sekali.
"Mmm ... tuan, apakah saya boleh meminta sesuatu?"
"Apa? aku akan memberikan segalanya?" dia menunduk dan hampir menyentuh bibit ini. Namun aku menahannya dengan kedua telapak tangan. Sehingga dia terlihat marah dan menatapku tegas. Aku membalasnya dengan senyuman dan kedua mata ini yang mulai basah.
"Jangan perlakukan aku dengan baik. Karena aku enggak mau jatuh cinta!"