Penyimpanan apa ? Hampir tidak ada yang disimpan disana. Sakina hanya perlu membersihkan lantai dan langit-langit ruangan, kamar Aliciapun sudah siap ditempati. Ada satu hal yang disukai Alicia dari kamar barunya, jendela kecil yang menghubungkan kamarnya dengan dengan ladang jagung Paman Roya. Dari jendela kecil kamar Alicia terlihat ladang jagung membentang tak berujung, langit membias di atas ladang jagung bersama bintang-bintang. Wangi daun dan tanah yang basah tercium semerbak dari ladang itu.
Bili melihat Alicia yang tersenyum "Kau menyukai kamarmu Alicia ?"
"Iya Billi aku menyukainya"
"Sebagai hadiah untukmu aku akan membuatkan ranjang, lemari dan meja rias"
Sakina menelik Billi dengan tatapan menghakimi "Kau tidak pernah memberiku hadiah apapun !" mimik Sakina sangat iri.
"Karena dulu aku tidak bisa melakukan apapun Sakina, umur kita sebaya. Lagian uangmu terlalu banyak untuk disimpan, belilah beberapa perabotan untuk dirimu sendiri"
Sergahan kesal Sakina membuat Billi terkikik. Masalah perabot tidak penting buatnya. Billi keluar dari kamar Alicia, namun ketika Sakina akan menyusul Billi, Alicia mencegahnya, dia menahan lengan Sakina.
"Ada apa kau takut tidur sendirian ?" tanya Sakina
Alicia menggeleng "Kau pernah bertemu dengan tuan muda ? Seperti apa dia ?" Alicia tidak bisa menyembunyikan kecemasan di wajahnya.
Sakina tergelak "Aku hanya mendengar rumor tentangnya " kendati begitu dia menolak menerima pekerjaan sebagai teman bermain Tuan Muda "Mungkin dia seperti rata-rata anak tujuh tahun lainnya, menyebalkan.." Sakina terkekeh, menolak serius dengan pertanyaan Alicia. Dia menepuk bahu Alicia untuk menyemangatinya "Kamu kan sudah bertemu banyak sekali anak kecil di panti ini. Bisalah, hanya satu anak manja saja..."
Rupanya Sakina tetap saja gagal menyemangati Alicia. Dia menghela nafas mengacak-acak rambut Alicia sebelum meninggalkannya untuk menyusul Billi ke kandang.
Alicia bukan anak periang, tumbuh di panti asuhan dengan pelik bahwa tidak ada orang tua asuh yang menginginkannya membuatnya jadi pendiam. Dia sedikit berkata-kata. Alicia ragu bisa menjadi teman bermain yang menyenangkan untuk Tuan Muda
***
Bili mengayuh rakit, Kakek Didi menahan kudahnya di atas rakit agar tidak bergerak. Kuda-kuda di lembah rawa sudah sangat familiar dengan rakit. Tidak pernah ada binatang yang di bawa menggunakan rakit dan mengamuk di atas rakit. Itulah yang aneh, terlalu banyak keanehan di lembah ini...
Alicia melihat derik air yang berayun berombak. Alicia melihat penampilan dirinya dari pantulan air danau. Dia merasa tidak pantas bertamu ke kastil termegah di lembah itu. Gaya busana Alicia sangat kumuh, rambut yang lurus tak beraturan, dia seperti ratusan anak yatim lainnya di Lembah Rawa yang terlalu miskin untuk beli pakaian layak.
"Aku hawatir Nyonya Lyan tidak akan menyukaiku kek ?" keluhnya masih melihat dirinya dari pantulan air danau.
Mereka berakit dengan sejumlah anak-anak sekolah yang berjubah biru mengenakan tas karung coklat. Alicia tidak pernah menginjakkan kaki ke sekolah, begitupula dengan anak-anak panti lainnya. Bagi mereka semua cukuplah bisa membaca dan menulis saja.
"Nyonya Lyan tidak pernah tidak menyukai orang lain, dia selalu baik pada siapa saja. Bahkan pada orang yang menjahatinya"
"Dia..." lalu tertahan semua yang ingin dikatakan Alicia. Dia ingin bilang nyonya Lyan telah mengganti namanya, dia ingin bilang bahwa Jefri mati karena menyelematkannya. Tapi Alicia terdiam. Dia menggeleng, siapapun tidak akan mengingat hal itu. Kini dia adalah gadis panti biasa. Tidak penting lagi apa yang sudah berlalu.
"Dia akan membayarmu tenang saja" celetuk Billi, dia selalu berlagak sombong. Dia mengangkat dagunya, tidak ada yang ingin menyapanya. Kata paman Didi seharusnya dia lebih sopan pada orang-orang. Tapi Billi tidak pernah peduli pada orang-orang. Dia ingin menunjukkan bahwa walaupun namanya sepenggal bukan berarti dia tidak punya harga diri. "Berapa kakek ?" Tanya Billi pada kakek
"Dua belas keping perminggu" Rupanya kakek Didi sudah bersurat mengenai hal itu dengan Nyonya Lyan.
"Lihat Alicia, bayangkan berapa yang bisa kau kumpulkan selama lima tahun. Kau pasti bisa membeli kuda, rumah..., kau akan bisa menabung untuk bersekolah di perbatasan" Billi trlihat begitu senang, padahal Alicia tidak menginginkan hal-hal itu "Apakah kau tidak ingin berseragam seperti mereka ?"
Alicia menggeleng dengan wajah merengut, dia dipenuhi kehwatiran lain. Tentang anak yang akan di ajaknya bermain ini. Seperti apa Malik ?
Billi seakan bisa membaca kehawatiran Alicia " Sudahlah Alicia, hanya satu anak bengal saja. Kau pasti bisa menghadapinya" Billi terlihat terganggu dengan seorang paman yang mengayuh rakitnya ke samping, menghalanginya " AYOLAH, PAMAN JANGAN SEPERTI ITU ! TIDAKKAH KAMU INGAT RAWA MENYUKAI DARAH ORANG JAHAT ?"
Kakek Didi memukul kepala Bili dengan tongkatnya "Mulutmu itu !" kecamnya
"Kakek lihat sendiri, dia seenaknya !"
Alicia mengulur nafas larut dalam pikirannya sendiri sampai mereka tiba di dermaga. Billi meremas bahu kecil Alicia "Kamu pasti bisa. Hidup memang menyebalkan Alicia, kita hanya harus melewatinya "
"Aku ingin selamanya jadi bocah, aku lebih menyukai duduk menunggu orang tua yang tidak datang-datang ketimbang di geret ke kastil itu"
"Kamu terlalu banyak mengeluh Alicia. Kamu pasti menyukai mereka " Kakek Didi mengisyaratkan agar Alicia bergerak turun dari rakit.
"Sampai bertemu Alicia, sering-seringlah minta waktu istirahat ! aku ada dekat sungai kalau kau butuhkan. Aku mencari makanan kuda" Billi melambai, sampai tubuhnya juga ikut melambai mengikuti tangannya. Lambaian tangan yang amat berlebihan
Dari semua orang yang pernah ada di hidupnya, Alicia sangat bersyukur ada Billi. Kalau ada Billi, Alicia merasa aman.
***
Petani teh mulai berdatangan, memikul keranjang di pundak mereka yang sudah membungkuk. Menaiki hektaran perkebunan teh milik Hasan Kuswardi. Dari kejauahn mesin pabrik dibunyikan dengan deru yang bergemuruh. asapnya mengepul menyisakan warna hitam di udara pagi.
Sekitaran kastil begitu sibuk, tidak ada yang memperhatikan satu sama lain. Para petania sudah disibukkan dengan memetik teh, di sisi lain ada yang bekerja menimbang, tidak jauh ada yang mandor-mandir memerintah sambil membawa kayu di tangan mereka. Lalu ada orang-orang yang menysiri perkebunana dengan berkuda menuju pabrik.
Empat mobil terparkir di depan undakan Kastil Tuan Tanah. Di lembah ini hanya keluarga Tuan Tanah yang memiliki mobil. Lembah Rawa adalah dataran tinggi jalannya berbukit dan curam, sulit menggunakan mobil di tempat seperti ini, penduduk desa lebih suka berjalan kaki atau menggunakan kuda, mengayuh sepedapun bukan pilihan.
Alicia memeluk dirinya, ketegangannya membuat sekujur tubuhnya menjadi lebih dingin.
Kakek didi merangkulnya "Tidak apa-apa Alicia, mereka tidak akan menyakitimu"
Tapi firasat Alicia berkata lain. Ketika dia menginjakkan kaki ke kastil itu, dia seakan bisa mendengar kastil itu mengusirnya pergi.
Kediaman Tuan Tanah, penduduk desa sering menyebutnya Kastil Tuan Tanah atau Kastil Kuswardi, besar, indah, mewah, penuh dengan krisral dan kursi-kursi indah, lantai yang mengkilat. Alicia mengernyit melihat sepatu para pekerja menginjak lantai itu. Alicia membuka sepatunya.
"Paman" seorang perempuan paruh baya, cantik berlipstik merah berpakaian bak putri, bertata rambut sangat rapi. Kuku-kukunya di cat semerah lipstiknya memberikan hormat dengan mengembangkan roknya pada kakek Didi.
Alicia membungkuk memberikan hormat. Perempuan itu melihat Alicai dengan pandangan jijik tapi langsung berubah raut wajahnya ketika melihat kakek Didi "Saya panggilkan Nyonya dan Tuan dulu, Paman"
"Jangan terburu-buru Lucia, aku bisa menghabikan waktuku menghitungi kristal yang ada di lampu gantung kalian" Kakek didi terkekeh sendiri oleh ucapannya.
Lucia tertawa dingin, dia mempersilahkan mereka duduk. Alicia tidak merasa nyaman duduk di kursi orang sekaya tuan tanah. Dia takut gaun kotornya akan mengotori kursi berlapis kulit. Alicia meraba bahan kursi itu. Halus lembut, sangat nyaman.
Alicia menyapu ruangan tempatnya duduk dengan pandangan takjub. Tangga meliuk seakan bisa menembus langit. Saking tingginya langit-langit kastil kuswardi. Ada berapa lampu kristal di gantung di sana. Dan untuk apa ? untuk apa lampu kristal sebanyak itu ?
Pandangan Alicia terhenti pada potret hitam putih yang begitu menawan. Keluarga kecil Tuan Tanah.
Mereka bilang Tuang Hasan se-usia kakek Didi. Tuan Hasan dikarunia ketampanan dan wajah yang awet muda.
Foto itu menggambarkan wajah Nyonya Lyan dengan benar, karena Nyonya Tanah itu sangatlah cantik, bahkan dalam warna hitam dan putih. Di tengah-tengah Nyonya Lyan dan Tuan Hasan, ada Tuan Muda. "Jadi seperti ini wajah Tuan Muda, Malik" Bisik Alicia dalam hati.
Dari foto itu Alicia bisa menggambarkan, Malik terlihat sangat menyebalkan.