KELAHIRAN TUAN MUDA
Lembah Rawa adalah lembah tercantik di Tanah Bahari, lembah cantik dengan segala misteri yang berada di baliknya. Penduduk Lembah Rawa sangatlah primitif, mereka tidak mengenal kemajuan, mereka berkehidupan dengan mengandalkan pemberian lembah pada mereka. Karena itulah mereka sangat paham caranya bersyukur.
Beberapa bulan lalu, pertempuran telah menghanguskan lembah rawa. Banyak sekali penduduk kehilangan rumah, keluarga dan orang tua mereka. Atas bantuan Tuan Tanah luka dari pertempuran lembah rawa berlahan teratasi. Penduduk yang kehilang rumah kembali membangun, orang tua yang kehilangan anaknya menyibukkan diri bekerja di ladang dan kebun Tuan Tanah. Sedangkan anak-anak yang kehilangan orang tuanya di tampung di panti asuhan kakek Didi.
Di panti asuhan Kakek Didi, Billi, Lana dan Sakina tinggal membantu Sang Kakek mengelola dan mengasuh anak-anak yatim yang mereka panggil "adik-adik" . Billi, Lana dan Sakina adalah tiga anak yatim yang berumur lebih tua dari pada yang lainnya, karena itulah Kakek Didi mengandalkan mereka mengurus anak-anak yang lain.
Malam itu Billi, Sakina dan Lana harus berjaga karena badai akhir tahun menerjang Lembah Rawa. menerbangkan potongan kayu rapuh, ladang-ladang jagung mengayun terlihat tak berdaya, kabut terbang dengan gelisah ikut terombang ambing karena riak angin dan hujan yang begitu kencang. Billi menyelimuti Lana, sebelum berlari menerjang bandai menyeberang dari gedung utama menuju Istal Kuda.
Sakina terus melihat ke arah lentera satu satunya yang menyala dan terayun-ayun di ruang utama.
Kakek Didi meminta Sakina mengganti baterai lampu senternya. Sementara menunggu Sakina, kakek memanggil Lana untuk bergabung bersamanya di meja makan. Sakina mengepit dirinya dalam selimut. Bayang-bayang mereka menari di ruangan makan yang cukup untuk seratus anak itu.
"Kakek apa Badai ini akan sampai pagi ?" tanya Lana melihat ke jendela kecil yang terbuka
"Mungkin saja"
Lana melihat seseorang berdiri di pintu masuk panti, seorang perempuan berteduh di bawah pohon ek yang berada dekat pintu masuk "Siapa itu ?" tanya Lana menyipitkan pandangannya
"Itu Pula" kata Kakek "Sakina cepatlah, aku sudah harus pergi"
"Tapi di luar Badai kakek"
Kakek Didi mengambil tongkatnya, berjalan menggeret kaki kirinya yang terluka ketika pertempuran beberapa bulan lalu ke dekat jendela "Iya itu benar Pula, sepertinya waktunya sudah tiba"
Sakina memberikan kakek senter besar terbuat dari timah yang beratnya
"Waktu apa kakek ?" Lana ikutan berdiri di sebelah kakeknya.
Kakek menyentuh bahu Lana "Jagalah adik-adik selama badai, aku pulang besok pagi. Nyonya Tanah sepertinya akan melahirkan seorang penerus"
Raut wajah Lana berganti masam, dia tidak suka dengan Tuan Tanah dan keluarganya. Menurut Lana pertempuran di Lembah Rawa terjadi karena mereka. Tuan Tanah menyelamatkan banyak hal untuk menyembunyikan kesalahannya. Lana sudah melihat ratusan anak yang kehilang orang tuanya karena tragedi na'as keluarga kuswardi, menurut Lana itu adalah pertengkaran keluarga yang memakan banyak korban.
Kakek membuka pintu gedung utama, sontak membuat benda jadi bergoyang karena tertiup angin yang kencang. Terseok-seok dengan kaki pincangnya dibantu tongkat kakek berjalan ke istal untuk menitip pesan pada Billi. Sebelum dia menghampiri Pula. Pula membimbing kakek berjalan.
"Semoga Pualam melindungi kakek" Sakina menautkan tangannya menaruh harap pada Sang Dewi Hutan.
Setelah menutup pintu Lana berdiri di dekat Sakina. Kakek meninggalkan halaman Panti "Aku tidak suka Tuan Tanah, bagiku mereka penyebab kita semua berakhir di sini" Lana tidak akan pernah lupa rumahnya yang terbakar, dia yang lari ke tengah ladang jagung untuk bersembunyi dari tembakan yang bebabibuta di pasar. Menewaskan seluruh keluarganya, seluruh orang yang dikenalnya.
"Apakah dia Tuan atau Nona ?" bisik Sakina tidak melepaskan pandangan ke luar jendela
"Kalo dia seorang Tuan muda, para nyonya-nyonya akan sibuk mendidik anak perempuan mereka agar sepadan" Lana berdecak "Padahal keluarga mereka sangat mengerikan, di pikiran orang-orang tetap saja kepingan logam"
"Mereka ingin anak mereka hidup layak. Itu wajar" Sakina menghela nafas
Lana berbalik badan, melihat kerucil kecil mengangkat gaun tidurnya tinggi-tinggi, hidungnya merah karena menangis "Lana aku pipis" katanya merengek "ehe...he..."
"Oh sayangku Alicia" bisik Sakina, menghampiri adik kecilnya. Sakina membungkuk "Tidak apa-apa.. sayang"
"Kasurku basah Sakina" rengeknya
Sakina mengangguk "Besok bantu aku membersihkan ya. Ayo kita ke kamar mandi dulu" Sakina menoleh pada Lana, Lana mengangguk. Kembali duduk di kursi baca yang temeram, memperhatikan sekitar sambil membaca bukunya.
"Maafkan aku Sakina" Alicia si pemalu tertunduk, dia menggandeng tangan Sakina erat "Sakina berjanjilah padaku jangan katakan pada anak-anak yang lain kalau aku kencing di kasur"
Sakina terkekeh, tapi dia tetap berjanji pada Alicia. Gadis kecil itu sangat manis. Berwajah Chang, yang berbeda dari anak lainnya
Kamar ganti sekaligus kamar mandi untuk perempuan berada jauh dari bangunan utama, mesti menelusuri lorong gelap yang berbau pengap. Di dekat dapur lalu berkelok lagi turun lima anak tangga.
Sementara Sakina membersihkan Alicia, bocah kecil itu bertanya "Apakah Nyonya Lyan melahirkan ?" mata sipitnya berkedip-kedip berusaha keliatan pintar
Sakina memberikan senyuman pada si kecil Alicia.
***
Pagi sudah menyingsing tapi kabut dan angin belum mereda meski hujan sudah tak lagi turun. Kakek Didi dijemput Billi ke dermaga.
Billi membantu kakek berjalan "LANA" teriak Billi.
Lana dan Sakina sigap keluar dari gedung utama, berlari kecil menghampiri Billi dan kakek, diterpa angin yang seakan menguliti mereka berdua.
"Kakek perlu istirahat" kata Billi
"Aku nyalakan perapiannya kek" Sakina segera berlari ke kamar kakek yang merupakan bangunan terpisah dari gedung utama. Kamar kakek berbau seperti orang tua, dia selalu menumbuk daun kayu putih untuk dibalur ke tubuhnya agar lebih hangat.
Setelah menyalakan perepian Sakina menyiapkan selimut dan membersihkan ranjang kakek. Kakek dibantu Lana dan Billi ke kamarnya "Sungguh anak-anak, kakek kalian tidak kenapa-napa ! Aku hanya kelelehan. Persalinan Nyonya Lyan sangat berat" Kakek duduk di ujung ranjang, menghela nafas panjang.
Kakek telah mengenakan pakaian kering, pakaian itu dipenjamnya dari kastil tuan tanah. Meski begitu kaki kakek sangat dingin. Lana duduk bersimpuh di lantai untuk menghangatkan kaki kakek dengan tumbukan daun kayu putih "Dia seorang Nona atau Tuan, kek ?"
"Lembah ini telah dianugrahi seorang Tuan Muda" Kakek Didi tersenyum membayangkan wajah cucu-nya yang mungil. Anak Lyan. Lyan adalah anak dari adiknya Kemuning jadi Malik adalah cucu sedarah untuknya "Kata Nyonya Juru Kunci, denyut kehidupan bayi itu bertalu-talu. Dia akan berumur panjang seperti lembah ini"
"Dia datang ? Kakek melihat Nyonya Juru Kunci yang baru ?" Sakina duduk di sebelah kakeknya merasa penasaran dengan Juru Kunci yang mengganti tugas Lyan, karena kini Lyan adalah Nyonya Tanah "Apa dia berambut kuning seperti yang diceritakan ? katanya dia sangat cantik"
Kakek hanya tersenyum. Dia mengetaui banyak hal tentang Juru Kunci, karena dulunya dirinya adalah seorang Abdi. Selain itu, Kakek Didi tahu dari mana asal Sang Juru Kunci dan bagaimana dia akhirnya dipilih Pualam. Putranyalah yang membawa Sang Juru Kunci ke Lembah Rawa.
"Juru Kunci adalah orang yang dipilih Sang Pualam. Juru Kunci selalu mempesona, kecantikan mereka mewakili kecantikan lembah ini" Sakina menggeser tubuhnya lebih dekat pada kakeknya "Tuan Muda kita bernama Malik, Juru kunci datang untuk memberkati namanya" Kakek Didi memenepuk-nepuk tangan Sakina "Semoga kehidupan semua orang akan membaik atas kehadirannya. DIa sangaaaaat tampan Sakina, seandainya usiamu masih lebih muda kamu akan jatuh cnta padanya sepuluh tahun lagi"
"Sakina kan terlalu tua kekek" Billi terkekeh menjengkelkan, Sakina mendengus kesal.
"Lagian siapa yang kepingin tinggal di kastil itu. Kami anak-anak yatim adalah yang paling menderita atas perbuatan Tuan Tanah dan Istrinya" suara kelam Lana, mengiris hati kakek Didi. Anak-anak ini, sangat sulit menyembuhkan luka mereka dari pertempuran beberapa bulan lalu.
"Percayalah yang mereka yang terbaik untuk kita semua" Kakek mengelus rambut Lana, luka yang ditanggung Lana yang baru tujuh belas tahun itu sangat pelik "Seandainya aku mengenalmu lebih cepat pasti aku akan menikahkanmu dengan putraku Jefri"
"Kurasa Jefri takkan mau dengannya kek" Billi terkekeh, sambil menggendong aritnya di bahu dia keluar dari kamar kakek.
"Semoga Pualam menjadikan Malik laki-laki yang baik..."
Sakina menyambung doa kakeknya "Dan semoga dia memberikan banyak hartanya untuk panti ini, supaya kita bisa makan daging sapi di hari panen"
Lana tidak mengatakan apapun, dia membersihkan kaki kakehnya. Mengambil ceret kecil dimana dia selalu mengisi ceret itu untuk kakek minum "Kek lusa suami istri Martini akan datang, kita akan menjamu mereka dengan apa ?" tanya Lana sebelum meninggalkan ruangan kakeknya
"Mari berdoa badai ini segera pergi, supaya banyak keluarga kembali mengunjungi panti ini" jelas kakeknya "Kita akan menjamu mereka dengan sayur buncis, kue apel buatan Sakina dan kuah ikan gabus"
Lana mengangguk dan meninggalkan ruangan kakeknya
"Aku akan butkan nasi lemak untuk mereka"
"Terserah Kamu saja Sakina, kita harus mulai berhemat. Sebentar lagi pesta panen" Dia menepuk bahu kecil Skaina. Mengisyaratkan agar gadis kecil itu keluar dari kamarnya. Dia ingin beristirahat karena sepanjang Malam kakinya membeku berdiri gelisah menunggu kelahiran cucunya, Malik.
Kini dia bisa tertidur lelap, karena Malik terlahir tidak seperti yang ditakutkan Lyan dan Hasan. Dia terlahir begitu sempurna, tak tercela. Putih, tampan beraut wajah seperti Hasan berambut seperti Hasan dan berbola mata sehangat mata Lyan.
***