Aku menangis didalam kamar, ku peluk lututku dan ku tumpuh wajahku diatasnya. Aku menangis sesenggukan, Mas Fikram tengah menenangkan Nada, sementara aku di sini sendirian, Mas Fikram tidak pernah sekalipun mau memikirkan perasaanku, sikap Ibu dan Mbak Mila mungkin menyakitkan tapi lebih menyakitkan lagi ketika suamiku sendiri tidak membelaku ketika Ibu dan kakaknya menghinaku.
Seolah perasaanku sudah tidak penting bagi Mas Fikram. Semuanya hanya demi Nada, semua perhatiannya diberikan kepada Nada.
Apakah Ibu dan Mbak Mila akan memperlakukanku sama andaikan aku masih seorang wanita karir? Tidak ada yang tahu jika aku dulunya adalah dosen muda di salah satu universitas di Jakarta, tidak ada yang tahu karirku berada dipuncak dan tidak ada tahu bahwa aku pernah diundang dibeberapa acara tv, mungkin semua itu terjadi di lima tahun yang lalu sebelum aku menikah dengan Mas Fikram, aku tidak pernah memberitahunya bahwa aku adalah dosen dan aku terkenal di dunia itu. Karena usiaku yang masih sangat muda dan aku telah menjadi dosen termuda.
Ku tinggalkan semuanya demi memilih Mas Fikram, demi menjalin hubungan yang baik dengannya, karena Mas Fikram berjanji akan menikahiku dan membahagiakanku, namun sayangnya semua itu hanya omong kosong belaka.
Dulu, Ummi dan Abi menyuruhku berpikir dengan matang, apakah aku harus meninggalkan karirku dan memilih Mas Fikram? Ummi dan Abi tidak pernah melarangku menikah dengan Mas Fikram, namun Ummi dan Abi tak setuju ketika aku memilih meninggalkan karirku dan memilih Mas Fikram.
Segala usaha ku lakukan untuk membujuk Ummi dan Abi, dan akhirnya mereka setuju. Mereka mengatakan bahwa jika itu yang terbaik untukku, Ummi dan Abi merestui.
Andai ku dengar kata-kata Ummi dan Abi kala itu, aku mungkin tidak akan merasakan hal ini, mungkin aku menyerahkan keinginanku pindah ke Jakarta pada kampus, namun sayangnya nasi telah menjadi bubur. Semua piagam penghargaan, semua piala yang ku terima, sudah menjadi hal yang tidak bisa ku ulang lagi.
Dulu, aku menjadi salah satu host di televisi berbicara tentang kesehatan, bahkan aku menjadi bintang tamu dibeberapa acara tv karena semua orang penasaran kenapa aku bisa menjadi dosen diusia 25 tahun. Hanya saja Mas Fikram dan keluarganya tidak tahu tentang itu.
Sebelum menikah dengan Mas Fikram, Mas Fikram mengatakan bahwa ia tidak menginginkan istri yang bekerja, ia yang akan menanggulangi semua kebutuhan, ia tidak mau menikahi perempuan yang sibuk diluar, dan ia menginginkan perempuan yang bisa memiliki waktu dua puluh empat jam untuk keluarga, karena alasan itu aku tidak memberitahu Mas Fikram siapa aku karena aku tidak mau dia berubah pikiran.
Nasi telah menjadi bubur, semuanya sudah menjadi kenangan, kenangan yang indah namun terlalu sakit karena ia tinggalkan begitu saja.
Beberapa saat kemudian, ponselku berbunyi, aku menoleh dan melihat nama Ummi di layar ponselku. Aku mengusap airmataku, dan berdeham agar ketika aku angkat, Ummi tidak menebaknya.
‘Halo. Assalamu’alaikum, Ummi,’ ucapku.
‘Wa’alaikumussalam, Nak. Kamu dimana?’
‘Syafa di rumah, Ummi. Ada apa?’
‘Tidak ada apa-apa, Ummi pikir kamu sibuk, makanya Ummi tanya,’ jawab Ummi dengan suara yang lembut, suara Ummi benar-benar memancingku untuk menangis. Tapi, ku tahan dengan segala cara agar aku tidak membuat Ummi bertanya-tanya.
‘Syafa gak sibuk, Ummi. Ummi gimana kabarnya? Abi gimana?’ tanyaku.
‘Ummi dan Abi baik-baik saja. Tapi tadi bibi dan pamanmu datang kemari dan mau menelponmu, tapi Ummi bilang jam segini kamu sibuk. Ya walaupun hanya mengurus rumah tangga tapi itu juga pekerjaan yang menyibukkan. Mereka mengirim pesan ke kamu kalau Nada tak pernah menelpon kedua orangtuanya lagi. Sudah hampir dua bulan Nada tidak ada kabarnya katanya.’
Andai Ummi tahu dan andai kedua orangtua Nada tahu, apa yang Nada lakukan di Jakarta, andai mereka tahu bahwa Nada merebut suamiku, apakah yang harus ku lakukan? Apakah aku akan membela Nada?
‘Nak, kamu dengar kan kata Ummi?’
‘Iya, Ummi. Syafa dengar kok.’
‘Jadi, Nada baik-baik saja? Paman dan bibimu itu khawatir padanya.’
‘Nada baik-baik saja, Ummi. Beritahukan ke Paman dan Bibi nanti Syafa coba menyuruh Nada untuk menelpon Paman dan Bibi.’
‘Dia masih tinggal di rumahmu, Nak?’
‘Masih, Ummi.’
‘Baiklah. Nanti Ummi sampaikan ke Paman dan bibimu ya. Kamu bagaimana nak? Baik-baik saja kan? Bagaimana dengan pernikahanmu?’
‘Semuanya baik-baik saja, Ummi. Ummi gak usah khawatir, Ummi dan Abi jaga kesehatan ya,’ kataku berusaha menenangkan hatiku saat ini. Aku berusaha tidak memberitahu Ummi tentang apa yang ku lalui selama lima tahun menikah dengan Mas Fikram. Aku bukan tipe anak yang akan mengadukan semuanya pada orangtua, jika aku masih sanggup menghadapinya, akan ku tahan semuanya.
‘Kapan kamu dan Fikram ada rencana jalan-jalan ke Surabaya? Ummi dan Abi udah kangen sama kamu.’
‘Iya, Ummi. Nanti Syafa sampaikan ke Mas Fikram kalau Ummi dan Abi kangen.’
‘Iya, Nak. Kamu baik-baik ya di sana. Maaf Ummi mengganggu.’
‘Orangtua menelpon anaknya mana mengganggu, Ummi.’
‘Alhamdulillah jika tidak mengganggu.’
‘Terus Abi mana?’
‘Abi kamu itu lagi pergi di masjid. Udah mau shalat Azar juga.’
‘Oh iya.’
‘Kamu jangan lupa shalat ya, Nak. Keluhkan semuanya ke Allah jika memang kamu ada masalah.’
Ummi seolah tahu apa yang ku rasakan saat ini, Ummi mengatakan itu disaat aku memang lagi menahan tangis.
‘Ummi, maaf. Kayaknya Mas Fikram udah balik. Nanti Syafa telepon lagi ya, Ummi.’
‘Iya, Nak. Kalau begitu nanti kalau tidak sibuk hubungi Ummi supaya kita cerita-cerita ya.’
‘Iya, Ummi. Kalau begitu udah dulu ya. Assalamu’alaikum.’
‘Wa’alaikumssalam.’
Aku bernapas lega dan menutupi wajahku dengan bantal, agar aku bisa berteriak dan menangis sepuasnya. Karena dengan aku melakukan ini suaraku tidak akan didengar diluar sana. Aku sudah berbohong pada Ummi, Ummi dan Abi yang menganggap aku baik-baik saja di sini dan aku bahagia menikah dengan Mas Fikram, membuatku merasa bersalah. Aku hanya tidak mau membuat Ummi dan Abi kepikiran tentangku.
Aku akan melalui semua ini dengan hati yang lapang, aku tidak boleh mengeluh dan Ummi juga Abi tidak boleh mendengarku terluka di sini.
Aku menangis sepuasnya dengan menutupi wajahku diatas bantal, luka hatiku teramat dalam, suamiku bukan hanya menyakiti batinku tapi juga menyakiti fisikku dengan mental yang ia berikan.
Aku mengusap airmataku dan kini aku berbaring, mataku sudah sembab karena terus menangis, airmataku sejak dulu memang sudah tumpah sejak ibu dan Mbak Mila selalu menghujatkum begitupun dengan sikap suamiku.
Aku menghela napas panjang, lalu ku lihat langit-langit kamarku dan Mas Fikram, sudah beberapa hari semenjak kehadiran Nada di rumah ini, Mas Fikram tidak pernah lagi tidur di kamar kami, Mas Fikram pasti akan memberikan semua waktunya untuk Nada. Semuanya untuk Nada. Tidak ada sedikitpun untukku.
Aku mengingat semua hal yang terjadi, kenangan yang singkat namun aku sangat bahagia. Semoga ada jalan untukku. Semoga Allah mudahkan langkahku.