Perempuan Tanpa Rasa Malu

1120 Kata
Aku tengah membuat s**u hangat untuk Nada, aku terus menguatkan hati dengan kecemburuan yang besar, tidak ada perempuan yang mau menerima semua ini dengan lapang, meskipun pikiranku mengatakan aku ikhlas, tapi hatiku tidak sama sekali. Aku membawa s**u hangat itu untuk Nada di ruang tengah, dimana keluarga ini tengah berkumpul, semenjak Nada hamil ... Mas Fikram selalu saja pulang cepat, seolah ingin cepat bertemu dengan Nada dan anak yang Nada kandung. “Mbak, aku minta maaf, aku gak tahu kalau akan terjadi hal seperti ini, aku gak tahu kalau ternyata aku hamil anak Mas Fikram,” lirih Nada datang kepadaku dengan tangis diujung matanya. “Kamu sudah berhasil membuatku kehilangan semuanya, berhasil membuatku tersudutkan. Aku berterima kasih sama kamu, Nada, karena kamu sudah membuatku seperti itu.” “Mbak, aku mohon. Aku bingung harus jelasin semuanya dari mana. Tapi—” “Mau kamu jelasin atau gak semuanya sama saja, Nada. Kamu sudah merebut suamiku. Itu yang terpenting. Mau kamu gak tahu lagi hamil, mau kamu tak ada niat tergoda pada Mas Fikram, tapi semuanya udah jelas kan? Kamu tergoda dan kini kamu hamil,” kataku. Sesak sekali didalam sana, andai aku bisa menumpahkan semuanya, aku ingin berteriak sekencang-kencangnya. “Kamu gak usah minta maaf, keberhasilanmu itu udah buat aku terpuruk dan udah buat aku kehilangan segalanya. Gak usah minta maaf, jalani saja saat ini. Ini semua pilihan kamu.” Nada menunduk sesaat, dan mendongak menatapku penuh dengan amarah. Lalu berkata, “Mbak pikir selama ini aku ikhlas Mbak punya hidup enak? Sejak dulu di kampung, Mbak itu selalu mendapatkan apa yang Mbak mau, di lamar orang kota, dapat pekerjaan bagus, memiliki kehidupan yang sempurna, lalu mbak pikir aku gak iri? Aku iri mbak, aku berharap suatu saat aku bisa ada di posisi mbak. Aku hanya ingin sesekali bisa ada diposisi Mbak. Bisa merasakan hidup enak, dinikahi pria mapan, memiliki pekerjaan yang bagus, jadi sebisa mungkin ku bujuk Mas Fikram untuk menjalin hubungan terlarang denganku.” Aku membulatkan mata, ternyata itu alasan Nada melakukan ini? Selama ini dia iri kepadaku? Lantam sekali mulut anak ini, selama ini ku berikan dia kehidupan yang layak, jauh dari kata susah, tidak seperti di kampung dulu hidupnya susah karena dia berasal dari keluarga yang jauh dari kata sederhana, setiap aku gajian orang yang selalu aku ajak jalan-jalan dia, aku juga selalu memberikannya uang saku, selalu ku berikan apa yang dia mau yang aku bisa. Tapi kenapa dia mengatakan hal yang tidak masuk akal seperti itu? “Mbak gak usah sok kehilangan segalanya, mbak itu hanya kehilangan setengah perhatian Mas Fikram, jadi gak masalah dong ya.” “NADA!” Aku benar-benar tersulut emosi, sampai aku meneriaki Nada untuk pertama kali. “Kenapa, Mbak? Mau menamparku? Tamparlah, Mbak. Tapi itu gak akan pernah membuat suami mbak kembali ke sisi mbak.” Nada mengejekku, ini kah perempuan yang ku anggap seperti adikku sendiri. “Nada, apa kamu udah lupa semuanya? Kenapa kamu jadi kayak gini? Hanya karena iri dengan kehidupanku, kamu rela menjadi wanita tidak punya malu? Apa kamu tahu apa yang kamu katakan itu sangat menjijikkan. Selama ini, aku gak pernah ya menyepelekanmu, tapi kamu malah melakukannya, punya hati gak kamu? Selama ini apa yang kamu anggap kurang dari sikapku? Apa? Aku bawa kamu ke Jakarta, untuk membuatmu menjadi orang sukses, bisa membuat derajat keluargamu terangkat, tapi kamu melakukan ini kepadaku? Apa kamu tidak punya malu lagi?” Aku mengeluarkan semua unek-unek didalam hatiku. “Siapa yang tidak punya malu? Kamu atau Nada?” Sebuah suara terdengar dan suara itu milik Mas Fikram. “Mas, dia mengatakan bahwa sengaja merebutmu dariku. Aku gak tahu apa yang ada di otaknya, tapi dia mengatakan itu tadi, dia mengatakan dia iri kepadaku, dia iri semua hal yang ku miliki, karena itu dia segaja menggodamu agar jatuh ke pelukannya.” Aku menatap pilu suamiku, siapa lagi yang akan membelaku jika bukan suamiku? Meskipun rumah ini sangat menyesakkan bagiku. Setidaknya dengan cara ini, Mas Fikram bisa adil padaku. Aku yang di khianati, aku yang terluka dan aku yang seharusnya mempertahankan hakku. Bukan Nada. Mas Fikram mendekati kami, aku berharap dia mendekatiku dan membelai rambutku, namun sayangnya harapanku berlebihan, itu tidak akan pernah terjadi, Mas Fikram merangkul pinggang Nada di depanku, membuatku terlihat seperti penjahat, aku kehilangan semuanya. Bukan setengah dari perhatian Mas Fikram, tapi semuanya. Ku lihat genggaman tangan Mas Fikram di pinggang Nada, aku benar-benar kehilangan semuanya. “Mas, dia sengaja menggodamu hanya untuk mengalahkanku.” Ku tatap suamiku dengan pilu hatiku yang teramat sakit. “Sudah, Syafa. Kamu ini kenapa sih, aku kan sudah bilang untuk menerima kehadiran Nada, dia ini sepupu dan sekaligus istriku, jadi kamu harus hargai dia,” sambung Mas Fikram dengan helaan napas kesal. “Benar. Kamu harus menghargai kehadiran Nada, jangan buat dia lelah apalagi marah, karena dia itu lagi hamil keturunan keluarga ini, gak seperti kamu yang tidak akan pernah memberikannya.” Mbak Mila datang dan langsung menyerga ucapan Mas Fikram, sungguh sadis mereka, mereka mendzalimiku satu persatu. Mbak Mila duduk dihadapanku bersama Ibu, mereka menatapku dengan gelak tawa mengejek. “Kamu harus tahu diri, Syafa. Kamu itu gak bisa ngasih anak untuk putraku, jadi kamu jangan sampai semena-mena di rumah ini hanya karena kamu adalah istri sah. Tahu kekurangan dan tahu sopan santun lebih baik,” sambung Ibu dengan ucapan menyayat hati. “Selalu saja kekuranganku yang dibahas di rumah ini. Aku tahu Ibu suka kepadaku hanya disaat pertama kali aku dan Mas Fikram menikah, setelah itu Ibu membenciku. Selama ini aku mengabdi di rumah ini dengan baik, memberikan cinta dan kasihku untuk kalian semua. Jadi, ini balasan kalian? Kalian selalu mengatakan tentang kekuranganku, apa sungguh hanya aku yang memiliki kekurangan di rumah ini?” “DIAM, SYAFA! Jangan bentak Ibu,” bentak Mas Fikram, si anak sholeh yang lebih baik mendengar istrinya dihina dan dibentak daripada ibunya. Untuk pertama kali aku mengeluarkan semua unek-unek di hatiku. Karena aku sudah merasa tak sanggup. “Kenapa, Mas? Kamu menikahi Nada dan bermain api dibelakangku, apa kamu pikir tak akan pernah terbakar oleh api yang kamu buat sendiri? Dulu apa katamu, Mas? Kamu mengatakan bahwa kamu gak pernah tuntut aku untuk punya anak, kamu bilang anak itu adalah bonus, anak itu adalah titipan, jika Allah belum berikan titipan itu artinya kita memang belum pantas. Apa kamu lupa semua omonganmu untuk menguatkanku? Setelah mendapatkan anak dari perempuan penggoda ini, kamu rela membuangku? Melupakan semua janji kita?” “DASAR PEREMPUAN GILA!” teriak Mbak Mila didepanku. “Apa kamu pernah membelaku ketika ibu dan mbakmu ini menghinaku? Apa kamu pernah membelaku didepan mereka? Kamu itu gak adil, kamu bukan suami yang adil untuk aku.” Ku keluarkan segala keluh kesah yang berkecamuk didalam d**a, aku sudah tidak tahan lagi. Terlalu sakit Mas Fikram menghancurkanku.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN