Beberapa bulan berlalu, aku semakin intens menjaga Nada yang tengah hamil anak Mas Fikram, aku harus melakukan itu agar Mas Fikram bahagia, setiap kali aku mengurus segala sesuatunya untuk Nada, hatiku sesak dan aku seperti tak bisa bangkit dari tumpukan sampah.
Kapan Allah karuniahkan hal yang sama untukku?
Aku menangis setiap kali melihat kemesraan Mas Fikram, aku menangis setiap kali Mas Fikram membentakku hanya karena aku melakukan kesalahan kecil. Kesalahan kecil yang tanpa sengaja aku lakukan dianggap Mas Fikram untuk mencelakakan Nada.
Ku tahan segala pahit, ku simpan dalam hati bagai bom waktu yang sebentar lagi akan meledak, sungguh ini berat hanya saja aku pura-pura kuat.
Aku membawa segelas s**u untuk Nada, dan Nada meneguknya. Andai aku mau dan andai aku murka aku akan meracuni Nada, karena setiap kali ku bawa s**u untuknya, dia meminumnya tanpa curiga.
Hanya saja aku tidak semurtad itu. Aku masih punya nurani dan agama.
“Buatkan aku jus jeruk,” titah Mbak Mila yang duduk berdampingan dengan Ibu. “Ibu mau?”
“Kayaknya panas-panas gini enaknya itu s**u dingin.” Ibu menimpali.
Aku mengangguk lalu hendak ku langkahkan kakiku menuju dapur, aku tidak pernah melawan ataupun marah setiap kali Ibu dan Mbak Mila memberi titah untukku.
Aku pernah mendengar Ibu dan Mbak Mila menceritakan tentangku, mereka ingin menjadikan Nada sebagai istri sah di rumah ini, dan akan mengusirku dengan cara mereka. Namun, Ibu dan Mbak Mila masih membutuhkanku, mereka menganggapku pembantu gratis di rumah ini.
Ku telan pahit kata-kata itu, aku mempertahankan semuanya sampai saat ini karena aku mencintai Mas Fikram, aku berharap Mas Fikram tetap mencintaiku, meskipun cintanya kepadaku hanya sampai 20%. Ku tahan semua rasa sakit ini demi mempertahankan pernikahanku.
“Bu, Nada bu,” kata Mbak Mila terdengar histeris.
Aku berbalik dan melihat Nada memegang perutnya kuat, ku lihat peluh dipuncak kepalanya.
Ibu menoleh dan menatapku geram. “Ini pasti s**u dari kamu, ‘kan? Kamu sengaja mau meracuni Nada, ‘kan?” tanya Ibu.
Aku menggeleng kuat, kalau aku mau meracuni Nada sejak dulu mungkin sudah ku lakukan. Kenapa s**u buatanku disangkut pautkan dengan apa yang Nada rasakan saat ini.
“Bu, sakit,” lirih Nada memegang perutnya kuat.
“Sabar, Nak. Kita ke rumah sakit. Mila, telepon adikmu dan suruh dia langsung ke rumah sakit,” titah Ibu.
Aku masih berdiri didepan mereka tanpa rasa bersalah, karena ini bukan salahku, mungkin saja Nada akan melahirkan.
Aku menyusul Ibu dan Mbak Mila ke rumah sakit, aku tidak akan lepas tanggung jawabku kepada Nada, karena bagaimanapun juga Nada adalah sepupuku, aku menyimpan rahasia pernikahannya dari kedua orangtuanya.
Tak lama kami tiba di rumah sakit, aku langsung mendaftarkan Nada ke bagian pendaftaran dan Nada langsung ditangani oleh dokter, beberapa saat kemudian Mas Fikram datang dan langsung menghampiri Nada seraya mengecup puncak kepalanya.
“Ada apa, Nada? Kenapa bisa jadi seperti ini?” tanya Mas Fikram.
“Sebentar ya kami periksakan pasien,” kata dokter yang menangani.
Mas Fikram mengangguk dan menunggu penjelasan dokter, beberapa saat kemudian dokter langsung memanggil beberapa perawat jaga.
“Ada apa, Dok?” tanya Mas Fikram.
“Begini, Pak. Pasien harus segera melahirkan.”
“Tapi dok, usia kandungan menantu saya baru jalan 8 bulan.”
“Terpaksa kita harus selamatkan bayi yang ada didalam kandungan pasien, karena jika tidak dikeluarkan akan bahaya untuk bayinya juga,” kata dokter menjelaskan.
Aku membulatkan mata, ku lihat Mas Fikram yang saat ini memukuli leher belakangnya, seolah berat sekali menerima bayi Nada akan lahir prematur.
“Bagaimana, Pak? Jika bapak sudah memutuskan, silahkan tanda tangani surat persetujuan di bagian administrasi.”
“Lakukan yang terbaik saja, Dok,” kata Mas Fikram dengan nada suara yang rendah, ada sesak didalam sana, bagaimanapun juga Mas Fikram adalah ayah dari anak yang Nada kandung, jadi ia bertanggung jawab atas semua yang dialami Nada dan anaknya.
Nada bergegas di bawa ke ruang operasi, akan ada operasi mendadak yang dilakukan karena demi menyelamatkan bayi yang Nada kandung, semuanya terlihat khawatir, dan kami menyusul beberapa perawat yang membawa Nada pergi ke ruang operasi.
Tiba di ruang operasi, Mbak Mila langsung berbalik melihatku, dan mendorongku hingga aku terduduk di kursi tunggu.
“Ini semua karena kamu, karena kamu yang mau membunuh keponakanku.”
“Maksud Mbak apa? Aku tidak pernah berpikir mau membunuh anak Mas Fikram.”
“Terus s**u itu tadi apa? Kenapa setelah meminum s**u itu, Nada langsung sakit perut dan tiba-tiba mau melahirkan? Kamu ini sadar gak sih, sudah lama Fikram itu tidak suka sama kamu dan bosan sama kamu, tapi yang ada malah kamu bertahan di rumah kami, dan menghancurkan semua kebahagiaan kami. Jika terjadi sesuatu pada ponakanku, kamu akan aku cebloskan ke penjara.” Mbak Mila mengancamku.
“Apa maksudnya?” Suara Mas Fikram terdengar, ia baru dari ruang administrasi menandatangani surat persetujuan jika Nada akan dioperasi. Mas Fikram mendekati kami dan aku menundukkan kepala.
“Semua ini karena istrimu,” sambung Ibu dengan suara yang mentong.
“Maksudnya karena Syafa gimana?” Mas Fikram menoleh sesaat melihatku.
“Ini bukan karena aku, Mas. Aku gak tahu kenapa semua ini terjadi.”
“Tadi, Syafa membuat s**u untuk Nada dan diberikannya ke Nada, Nada langsung meminumnya karena menghargai usaha Syafa, lalu setelah meminum s**u itu hingga tandas, Nada langsung sakit perut dan kesakitan. Logikanya kenapa Nada tiba-tiba saja sakit perut? Apa yang menjadi pemicunya? Kalau bukan s**u itu?” Mbak Mila terus menghasut Mas Fikram.
“Mbak ngomong apa sih, kalau aku berniat mau membuat Nada seperti itu, sudah lama aku lakukan mbak, selama ini siapa yang menyiapkan s**u untuk Nada? Aku kan? Aku gak pernah melakukan hal keji seperti itu, kenapa aku harus menyakiti bayi yang tak berdosa hanya karena Nada merebut suamiku?” Aku harus membela diri, dengan cara itu harga diriku juga ikut disalahkan.
“Kamu percaya sama dia? Dia ini gak ikhlas kamu nikah sama Nada. Makanya dia melakukan ini, siapatahu saja s**u yang tadi diminum Nada adalah s**u yang memang sudah ada racunnya,” sambung Ibu dengan segala cara untuk membuatku tertuduh.
“Gak mungkin kan Nada tiba-tiba sakit perut dan langsung mau melahirkan, kalau bukan dari s**u itu, gak ada tanda-tanda juga kok Nada akan melahirkan, semuanya selow aja. Pas udah minum s**u aja tadi langsung deh drop,” sambung Mbak Mila dengan segala tipu muslihatnya.
“Ceraikan saja dia, Nak. Jangan tunda lagi. Kamu gak usah mengasihaninya, lagian sejak lama kan kamu udah gak ada perasaan terhadap Syafa. Sekarang udah ada Nada, jadi kamu gak butuh Syafa lagi,” sambung Ibu yang begitu tega menghancurkan perasaanku seperti itu.
Mas Fikram membuang napas, dari raut wajahnya ia sudah termakan oleh omongan ibu dan mbaknya. Aku tak akan pernah bisa meyakinkan Mas Fikram tentang kebenarannya jika Ibu dan Mbak Mila selalu saja ikut campur dan terus menghasut Mas Fikram.
“Mas, kamu gak percaya kan sama Ibu dan Mbak Mila? Kamu percaya aku melakukan itu? Aku gak mungkin mas melakukan itu,” aku memegang lengan Mas Fikram, namun dihempas begitu saja.
“Syafana Giska Binti Yayat Sudeja, saya talak kamu dan mulai sekarang kamu bukan istriku lagi,” ucap Mas Fikram dengan satu kali tarikan napas, di ucapnya dengan tega.
Aku membulatkan mata, dengan mulut menganga, ku tutup mulutku karena tak menyangka dengan apa yang ku dengar barusan, hal yang ku takutkan itu terjadi juga?
Aku ditalak Mas Fikram hanya karena fitnah Ibu dan Mbak Mila.
Ya Allah. Tidak ada kah kebenaran yang bisa Engkau tunjukkan?