Bertekad

1056 Kata
Semua orang sedang bahagia, meskipun semuanya sempat bersedih karena Nada yang harus melahirkan prematur, namun akhirnya kebahagiaan mereka rasakan juga setelah lahirnya anak Nada dan Mas Fikram yang diberi nama Zena Putri Fikram. Nama yang cantik. Aku berdoa semoga Allah mudahkan semuanya untuk mereka, semoga Allah menjadikan Zena anak sholeha dan anak yang pintar. Dengan gontai ku langkahkan kakiku masuk ke ruang perawatan Nada pasca melahirkan. Semua orang menoleh dan melihatku, aku terpenjara dengan tatapan mereka. Aku hendak melangkahkan kakiku menghampiri Nada, meskipun bukan sebagai istri Mas Fikram, melainkan sebagai seorang Kakak yang bahagia karena adiknya melahirkan. Nada melihatku dengan tatapan kuat, aku tahu dia sudah bahagia dengan posisinya menjadi istri Mas Fikram dan menjadi Ibu dari anak Mas Fikram. Ibu dan Mbak Mila langsung menarik lenganku dan membawaku keluar. “Bu.” Ucapan yang sempat aku dengar ketika Ibu dan Mbak Mila menarikku. Suara itu milik Mas Fikram. Mbak Mila menghempaskanku sampai jatuh ke lantai. Aku beranjak dan ku tatap keduanya secara bergantian. “Sebenarnya aku salah apa sama Mbak Mila dan Ibu?” tanyaku dengan tatapan senduh. “Kamu tanya salahmu apa? Salahmu itu karena gak sempurna dan penuh kekurangan. Kamu hanya beban bagi keluarga kami. Sementara Nada bisa memberikan kehidupan yang lebih baik untuk Fikram, bisa membantunya mencari nafkah. Sementara kamu? Kamu bukan siapa-siapa. Kamu juga kami ambil dari sampah.” Tatapan Mbak Mila mengintimidasiku, memang tak ada yang tahu jika aku adalah dosen muda dan inspirasi banyak orang. “Dulu, ketika Fikram mengatakan akan menikahimu kami itu gak setuju, tapi kami masih menghargai keinginan Fikram, jadi kami setujui saja keinginannya menikahimu, tapi makin ke sini kamu makin gak berguna, jadi mending dibuang aja ya kan?” Ibu menimpali. “Ditambah lagi kamu mandul dan gak bisa ngasih keturunan. Jadi, makin gak berguna.” Mbak Mila melanjutkan. “Sudahlah. Mengalah saja. Kan kamu lihat sendiri bagaimana Fikram bahagia ketika anaknya lahir, dan kamu juga sudah di talak Fikram, jadi kamu bukan siapa-siapa lagi di sini.” Ibu kembali menatapku kesal seolah aku sampah yang selama ini di daur ulang. “Selama ini, aku mengabdi di keluarga Ibu, apa tidak ada sedikitpun rasa kasihan yang bisa Ibu dan Mbak Mila tunjukkan kepadaku?” tanyaku dengan airmata yang berlinang. “Astaga, Syafana. Buat apa kami kasihan sama kamu kalau kamu gak bisa beri apa-apa buat keluarga kami?” “Terus selama ini yang aku lakukan, mengurus Ibu dan semuanya. Semuanya gak berguna buat Ibu dan Mbak Mila.” “Dengan menikahkan Fikram dengan Nada itu sudah bisa membuat kami menyewa pembantu. Jadi, kami gak butuh pembantu lagi.” Aku kembali berlinang airmata. Aku tidak tahu apa yang harus ku lakukan setelah semua ini akhirnya berada di titik terakhir perjuanganku. Apa yang akan terjadi kepada hidupku? Beberapa saat kemudian, Mas Fikram keluar dari ruang perawatan Nada, ia menatapku. Semoga saja Mas Fikram mau menarik talak yang ia jatuhkan kepadaku beberapa jam yang lalu. “Mas.” Aku merengek didepannya. “Kenapa kamu masih di sini?” tanya Fikram. “Nak, usir saja dia. Ibu takut Nada malah trauma melihatnya.” Ibu menimpali. “Aku salah apa, Mas? Apa selama menjadi istrimu aku gagal?” tanyaku menatap pilu Mas Fikram. “Pergi lah dari sini. Jangan kemari lagi. Kemas semua barang-barangmu dan kembali lah ke kampung orangtuamu.” Aku menertawakan kebodohanku dan harapanku yang sia-sia, aku mengira Mas Fikram mau menarik kata-katanya itu ternyata ia tidak mau melihatku ada di sini. Jika menjadi wanita seutuhnya adalah memiliki anak. Bagaimana dengan Aisyah istri Rasulullah? Apakah Aisyah tidak pantas disebut wanita? Aku terus mengingat semua itu, ingin ku katakan ke Mas Fikram, namun aku terlanjur kalah oleh kekuranganku. Memiliki anak juga adalah rahasia Allah yang sudah ditetapkan jauh sebelum aku lahir, jadi semua sudah digariskan, hanya Allah yang tahu kuasa-Nya. Apakah sudah tertuliskan aku punya anak atau tidak, dan kapan aku menikah, dan hidupku bersama siapa? Aku menundukkan kepala. Ku tatap Mas Fikram lagi dengan pilu, aku berharap ada rasa ibah yang terukir dalam hati Mas Fikram untuk menarik kata-katanya, aku tidak mungkin pulang dalam keadaan terluka, bagaimana jika kedua orangtua Nada datang menghampiriku dan bertanya tentang putri mereka? Bagaimana jika Abi dan Ummi bertanya tentang Mas Fikram? Apa yang sekiranya bisa ku katakan pada mereka. Tidak mungkin ku katakan pada mereka bahwa aku dan Mas Fikram bercerai karena Nada merebut suamiku. “Pergi lah, Syafa. Aku sudah talak kamu. Jadi, kamu bukan istriku lagi. Jalani hidupmu sendiri. Jangan pernah menemuiku.” “Benar ya yang dikatakan orang, terkadang baju lama sudah tidak akan terpakai karena ada baju baru, sementara baju lama memberikan kenangan yang berharga, sementara baju baru bisa kamu beli disaat kamu ada uang, begitu pula dengan hati yang ternyata semudah itu berpaling. Aku gak pernah menyangka, Mas. Ternyata hatimu semudah itu berpaling. Jika nanti kamu temukan wanita lain selain Nada, jangan pernah kamu perlakukan Nada seperti kamu memperlakukanku. Setidaknya kamu ambil aku dengan baik dari keluargaku, seharusnya kamu pulangkan dengan baik pula.” Aku kembali menangis didepan Mas Fikram dan ibu juga kakaknya. “Kamu ngomong apa hei wanita? Jangan pernah kamu mengira bahwa apa yang kamu katakan barusan akan membuat kami luluh terhadapmu. Apa pun yang kamu katakan itu tidak mempan bagi kami lagi.” Hati mereka bagai batu, bagaimana mereka bisa luluh terhadap satu kalimat yang aku ucapkan. Mas Fikram tengah berbahagia karena akhirnya punya anak, tapi ia lupa ada hati yang terluka. “Kamu tak usah banyak bicara. Pergi lah dari sini,” kata Mas Fikram. “Mas,” lirihku. “AKU SUDAH TALAK KAMU SYAFANA GISKA!” Aku tahu. Ucapan itu kembali Mas Fikram ucapkan kepadaku. *** Aku beranjak. Dengan tangisku, ku raih koper tuaku dengan d**a yang sesak, dengan hati yang hancur, dan dengan jiwa yang rapuh. Hari ini, aku hanya seorang janda yang sudah kehilangan banyak hal dalam hidupku. Karirku, hidupku, kebahagiaanku dan semuanya telah ku korbankan demi Mas Fikram yang tidak pernah bersyukur menerima aku. Hari ini ku tekadkan diri untuk kembali ke pangkuan Ummi dan Abi yang sudah lelah menanti kehadiranku, yang aku siksa dengan kerinduannya kepada kami, aku sudah tidak bisa menghitung seberapa besar dosaku saat ini. Aku bukan tak ingin berkunjung ke rumah Ummi dan Abi di Surabaya, namun Mas Fikram yang tidak pernah ada waktu untuk mengantarku, selama 5 tahun menikah dengan Mas Fikram baru sekali kami pulang ke Surabaya, setelah itu tidak pernah lagi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN