Menyindir

1276 Kata
“Yang sabar ya, Syaf. Kamu adalah wanita yang kuat, kamu pasti kuat hadepin ini,” sambung Nur mengelus punggungku. Entah mengapa aku menjadi cengeng setiap kali seseorang mengelus punggungku, apalagi dia adalah orang dekat. Aku tersenyum dan mengangguk, aku menunduk sesaat dan kembali melihat indahnya hamparan perkebunan yang luas. Andai sawah ini masih menjadi milik keluargaku, sore hari seperti ini Abih pasti baru pulang dari sawah. “Selanjutnya gimana, Syaf? Kamu mau kerja lagi?” tanya Hilda menatapku. “Aku udah dapat kerjaan,” jawabku. “Jadi dosen lagi?” “Bukan. Kali ini jadi guru les.” “Yaaa kirain kamu jadi dosen lagi.” Aku menggeleng, tak akan semudah itu menjadi dosen lagi setelah lima tahun punya pengalaman kerja menjadi ibu rumah tangga. “Memangnya kenapa jika Syafa gak kerja jadi dosen? Guru les kan sama aja yaa.” Nur melanjutkan. “Semua orang menceritakan tentangmu, Syafa,” sambung Hilda. Pulang ke kampung halaman tanpa suami membuatku terkesan seorang diri dan punya masalah, aku juga tak dapat terhindar dari olokan dan omongan orang di kampung. Aku juga sering sekali mendengar bisikan dan ucapan tidak enak dari tetangga, sejujurnya aku tidak perduli hanya saja yang ku jaga adalah nama baik Ummi dan Abih. “Tapi lebih kejam cerita tentang Nada sih, yang semua orang lihat membawa perut besar dan membawa mantan suamimu, dia dengan percaya diri ke pasar dengan perut besar entah anak siapa. Lima tahun ke Jakarta malah bawa perut besar dan memamerkan suami yang bukan suaminya,” geleng Hilda. Aku tersenyum saja, Nada memang terkesan tidak perduli dengan omongan orang, disaat aku menutupi aib dan perbuatannya dia malah memperlihatkan kebahagiaannya dengan Mas Fikram yang semua orang tahu Mas Fikram adalah suamiku, pria kota yang datang menikahiku. Aku tak mau menanggapi omongan Hilda, karena nantinya malah menggibah. Aku diam saja dan tersenyum setiap kali Hilda menceritakan tentang omongan orang-orang diluar sana. “Jadi, kamu kerjanya kapan? Terus darimana ini?” tanya Nur mengalihkan pembicaraan agar Hilda tak melanjutkan gibah. “Aku kerja mulai besok,” jawabku. “Wahh bagus dong.” “Terus kalian apa kegiatannya?” tanyaku. “Kami mah gak ada kegiatan, kami real ibu rumah tangga. Padahal kami juga pengen berkarir, tapi kami gak kayak kamu yang kuliahnya tinggi,” jawab Hilda. “Duh kalian itu ya. Kegiatan itu bukan hanya untuk orang yang sekolah tinggi, emang aku apa? Aku hanya S1 loh. Tapi sayangnya aku buang karirku ke jurang dan aku seperti ini sekarang. Mana ada yang mau menerima dosen S1 kayak aku?” “Tapi kamu tetap mencobanya kan, Syaf?” tanya Nur. “Iya. Aku tetap mencobanya. Aku udah sebar lamaran pakai link di semua universitas yang ada di Surabaya.” “Eh iya. Kalian udah tahu? Kalau suaminya Nada itu udah pindah ke Surabaya?” Aku terkejut mendengarnya. Maksudnya pindah ke Surabaya? Bukannya hanya datang karena Nada mau melahirkan? “Maksudnya pindah bagaimana, Da? Kamu ini kayak tahu segalanya.” “Hehe. Itu yang aku dengar dari orang-orang,” kata Hilda. “Katanya sih Nada itu pengen lahiran awalnya di sini, dan untuk sementara juga si Fikram itu mau kerja di Surabaya, dipindahin.” Aku baru paham, artinya Mas Fikram meminta kepada perusahaan untuk memindahkannya ke Surabaya? Agar bisa menemani kelahiran Nada? Syukurlah jika Mas Fikram memperlakukan Nada dengan baik, tidak seperti kita memperlakukanku. Dengan seulas senyum diwajahku ku lihat kedua temanku. Mereka membawa kabar yang sebelumnya tidak aku ketahui. “Eh iya. Udah sore. Kita pulang yuk,” ajakku melihat jam tangan yang melilit ditanganku. “Iya. Aku juga udah mau balik, mau jemput anak ke rumah Ibu,” sambung Nur. Kami lalu meninggalkan rumah-rumah sawah, Hilda yang arah rumahnya berbeda langsung melangkah meninggalkan kami, sementara aku dan Nur tetanggaan, jadi kami searah. “Syaf, yang sabar ya, aku beneran gak tahu apa yang terjadi, aku baru tahu ini juga dari Hilda,” kata Nur melanjutkan apa yang ingin ia katakan. “Iya. Aku udah berusaha ikhlas kok, Nur. Mau gimana lagi kan, kalau suamiku gak bisa ku jaga dan malah tergoda perempuan lain.” “Tapi jujur banget, aku gak nyangka Nada kayak gitu orangnya, padahal kan dulu kamu deket banget sama dia, apa pun yang kamu lakukan pasti dia ikut juga, kamu mau kemana dia ikut, tapi kok tega ya seperti itu, aku itu beneran gak nyangka.” Nur menggeleng seraya berjalan berdampingan dengan kami. “Nada mungkin khilaf.” “Khilaf sih khilaf, tapi ada khilaf sampai nikah sirih?” Dengan seulas senyum ku palingkan wajahku sesaat dengan melihat hamparan perkebunan yang luas, untung saja desa kami ini dekat dengan kota, jadi kami bisa pulang balik kota. Jadi, semua orang di sini tidak kuno-kuno amat. “Udah gak usah dibahas ya, mungkin ini udah takdirku juga, Nur.” “Tega banget sih,” geleng Nur. “Padahal aku tahu banget gimana kamu sayang sama Nada.” Sesaat kemudian aku melihat ke depan sana, beberapa langkah lagi aku akan melalui rumah Bibi dan Paman, dimana Nada dan Mas Fikram ada di sana, aku tidak tahu apa harus menyapa atau tidak, terlalu sakit hati ini dibuatnya, sehingga aku selalu berpikir apakah aku harus baik atau sebaliknya kepada mereka. Akhirnya tiba lah aku didepan rumah Paman, aku menoleh dan mencoba mengajak Nur mengobrol agar pandanganku tidak terpaku pada rumah Paman. Namun sayangnya ketika aku berusaha cuek dan mengabaikan, Nada malah berdeham. “Mbak Syafa,” panggil Nada. “Nur.” Aku dan Nur terpaksa menoleh. “Eh Nada, bentar lagi lahiran ya?” Aku melihat Bibi dan Nada yang saat ini duduk di teras rumah mereka, perut Nada juga sudah sangat besar, dilihat dari bentukannya sebentar lagi akan melahirkan. Jadi, ketika aku dan Mas Fikram berpisah, usia kandungan Nada sudah 4 bulan. Sungguh keterlaluan kan? “Kalian darimana?” tanya Nada. “Kami dari sawah,” jawab Nur, sementara aku diam saja. “Syafa juga ke sawah? Kalian kerja di sawah kah?” tanya Bibi dengan mulut lantamnya itu. “Duh kalian ini ya, kalian kan punya sekolah. Kenapa kerja di sawah.” “Kami—” Nur yang hendak menjelaskan ku tahan. “Udah, Nur. Gak usah dijawab.” Aku menggeleng membuat Nur mengangguk dan tidak jadi menjelaskan. “Ibu apaan sih, emangnya kenapa kalau Mbak Syafa dan Nur kerja di sawah? Itu juga kan kerjaan halal,” sambung Nada dengan belas kasih yang palsu. “Iya kan, Mbak?” Aku terdiam, malas menggubris hanya karena tahu sopan santun jadinya aku turunkan egoku dan ku tatap mereka. “Sayang, ini susunya.” Suara terdengar dari dalam rumah, ku lihat Mas Fikram membawa segelas s**u dan diberikan kepada Nada. Karena sudah lama tak bertemu, kami saling menatap cukup lama, namun di sadarkan oleh Nur yang memegang lenganku. “Udah deh pulang aja sana, jangan ganggu di sini,” usir Bibi dengan hati yang keras. “Ibu kok gitu sih,” geleng Nada dan aku tahu itu pasti palsu. “Syaf, ngapain kamu di sini?” tanya Mas Fikram, pertanyaan pertama yang ia tanyakan setelah kami berpisah. “Ayo, Nur.” Ku tarik Nur dan kami pergi dari rumah itu. “Pergi saja sana, pura-pura aja gak kenal,” teriak Bibi dengan menyindirku. Ku dengar suara tawa Nada dan ibunya, benar-benar orang yang tidak ada rasa terima kasih sama sekali. Mereka sudah melukai, tapi mereka yang seolah terluka. Kejam sekali. “Duh ngapain kita lewat sini sih?” geleng Nur. “Udah, Nur. Gak apa-apa.” Aku menggeleng. “Tapi mereka sangat gak menghargai kamu.” “Aku udah biasa kok.” “Padahal aku ingat dulu kalau Bibi Sul itu bergantung hidup pada keluargamu.” “Gak usah dibahas masalah itu.” Aku menggelengkan kepala.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN