Tugas Yang Berat

1307 Kata
Siang menunjukkan pukul 2, aku tiba sangat cepat di rumah Narendra, aku tersenyum simpul ketika melihat taman yang begitu indah, taman yang sepertinya sangat dijaga dengan sangat baik. Aku menyentuhnya dan mencium aromanya, sangat wangi. Pasti sangat rajin di semprot. Setelah puas melihat pemandangan indah yang menyambutku di rumah gedongan ini, aku melangkah menuju pintu, ku ketuk perlahan dan tak berapa lama seseorang keluar dari dalam rumah. “Neng ini guru les si kembar ya?” tanya seorang perempuan parubaya yang kini tersenyum padaku. “Iya, Bu,” jawabku. Aku mengira perempuan parubaya ini adalah sang Nyonya di rumah ini, Ibu dari Narendra, namun ternyata ketika ia memperkenalkan diri. “Silahkan masuk. Perkenalkan nama saya Mbok Tih, saya asisten rumah tangga di rumah ini,” kata Mbok Tih dengan senyum tulus. “Salam kenal ya, Mbok. Nama saya … Syafana.” “Baiklah, Neng Syafa. Tuan udah bilang kalau akan ada guru les anak-anak yang datang, tapi sekarang Neng Syafa duduk dulu ya, soalnya si kembar masih tidur siang,” kata Mbok Tih. “Baik, Mbok. Saya akan tunggu,” jawabku lalu duduk di ruang tengah. Aku dipersilahkan masuk langsung ke ruang tengah, rumah ini sangat besar, penghuninya hanya ada beberapa orang saja, tapi yang aneh aku belum melihat sang Nyonya rumah ini, istri Narendra. Aku melihat seluruh penjuru ruangan dengan takjub, aku belum pernah kemari sebelumnya tapi aku akui aku tidak bisa berhenti menatap semua fasilitas di rumah ini. Aku bisa membeli semua ini, andaikan aku bertahan dengan karirku tanpa berpikir akan menjadi ibu rumah tangga seutuhnya. Beberapa saat kemudian, si kembar menuruni tangga dengan wajah cemberut. Aku bangkit dan menghampiri mereka. “Kok cemberut? Apa ada yang ganggu?” tanyaku berusaha mengakrabkan diri. “Emang kamu siapa tanya-tanya? Yang ganggu itu kamu,” kata Ksatria dengan mata melotot melihatku. “Kenapa sih mau ngajarin kami? Kami ini gak bodoh.” “Kakak gak boleh gitu dong,” geleng Kirana. “Apa sih dek, kamu jangan ikut campur,” sambung Ksatria. Aku tersenyum saja, tidak ada yang mau menerima begitu saja jika diajari, kebanyakan anak-anak berpikir bahwa pendidikan di sekolah itu sudah cukup, jadi ketika pulang ke rumah tidak perlu belajar lagi, tapi setiap orangtua memiliki cara yang berbeda untuk mengajari anak mereka, salah satunya adalah menyewa guru les untuk anak mereka dan berharap bisa membuat anak mereka memiliki nilai yang bagus. Aku paham dengan perasaan Ksatria. “Kamu tahu kalau kamu itu adalah guru les yang ke 15, jadi mending pergi aja dari sini dan gak usah ajarin kami, kami gak butuh diajarin, pendidikan di sekolah itu sudah cukup,” sambung Ksatria berhasil membuatku kebingungan. Bagaimana caraku menghadapi anak-anak ini? Hari pertama yang berat, ‘kan? “Ksatria, pendidikan di sekolah memang sudah sangat bagus, tapi ada baiknya makin menambah ilmu jika les di rumah, Ibu gak akan maksa Ksatria mau belajar atau enggak, tapi setidaknya kita bisa ngobrol kan?” tanyaku. Ksatria menggeleng dan kembali melotot. “Aku tidak mau. Aku tidak mau. Dan, aku tidak akan pernah mau diajari.” “Den Ksatria, tapi Daddy-nya Den Ksatria bilang kalau Mbok harus pastiin Den Ksatria belajar. Kalau enggak, Tuan akan pulang,” sambung Mbok Tih yang berusaha membantuku. “Mbok jangan lapor sembarangan, ya.” Ksatria begitu tak sopan. “Mbok itu bukan siapa-siapa di rumah ini jadi jangan ikut campur.” “Ksatria, gak boleh kayak gitu ya. Mbok Tih kan hanya mengatakan apa yang menjadi amanah yang diberitahukan Daddy.” “Kamu gak usah ikut campur juga,” sambung Ksatria. Ternyata ini alasan Narendra menyewa guru les untuk anak-anaknya, karena Ksatria begitu tidak sopan, harus di didik akhlaknya dulu sebelum diajari hal yang menyangkut mata pelajaran. Aku melangkah meninggalkan Ksatria, sementara Kirana mengikutiku dari belakang. Ksatria masih berdiri di dekat tangga. “Kakak, ayo kita belajar,” ajak Kirana. “Kakak gak mau,” geleng Ksatria. “Kalau gak mau terpaksa Ibu lapor ke Daddy,” ancamku, hanya dengan cara itu agar Ksatria mendekat. Ksatria menghentak kakinya dan menghampiri kami, sepertinya ia takut pada ayahnya. Aku tertawa kecil dan kembali membuka lembar yang akan aku ajari mereka. Aku tersenyum melihat keduanya, aku adalah tipe perempuan yang menyukai seorang anak kecil, hanya saja Allah tak memberikan kesempatan itu. Ksatria duduk disebelah adiknya dan mendengarkanku menjelaskan pelajaran yang akan aku bahas hari ini, Ksatria terlihat tak ikhlas mendengarnya dan ia hanya bermain ponselnya. Aku lalu merebut ponsel yang ia genggam dan menatap ke arahnya. “Apa sih kamu,” geleng Ksatria. “Kembalikan ponselku.” “Daddy kamu bilang kalau kamu harus belajar apapun yang terjadi, dan jika kamu bawel dan gak mau dengerin, Ibu bisa melakukan apa saja termaksud merebut ponselmu ini, karena ini mengganggu jam pelajaran sekolah.” “Kamu siapa? Kamu bukan siapa-siapa di sini, jadi jangan ikut campur urusan kami. Kamu hanya guru kan? Ya sudah. Kamu datang, pulang dan gajian. Tidak perlu bersusah payah untuk membuat kami belajar.” Ksatria memang anak yang rewel, tapi ini tak akan membuatku menyerah. Aku pernah menghadapi anak yang lebih bandel darinya. Dulu ketika aku masih mengajar menjadi dosen di Universitas, aku menghadapi banyak hal. Jadi, dengan keluhan Ksatria saja tidak akan membuatku menyerah. “Kakak,” lirih Kirana yang awalnya dia mendengarkan dengan sangat baik. “Iya, Dek?” “Kiran gak mau dimarahin Daddy karena gak belajar.” “Kita ini anak yang pintar, Dek. Ngapain belajar?” Usia Ksatria dan Kirana hanya berbeda beberapa menit saja, jadi mereka adalah kembar. Namun, dimana-mana laki-laki adalah seorang kakak dan adik seorang perempuan, karena Kirana ingin dilindungi Ksatria jadi ia memanggilnya dengan sebutan Kakak. “Kalau kalian belajar dengan giat, Ibu akan cepat pulang,” kataku hanya bisa menjanjikan itu. “Tapi kalau kalian gak mau belajar, ya udah Ibu juga gak akan pulang.” Ksatria menatap kesal ke arahku, aku paham sekali bagaimana perasaannya, tapi aku tak paham mengapa mereka membutuhkan guru les? Apa yang sebenarnya terjadi pada mereka? Aku menggeleng, aku tidak mau tahu lebih jauh tentang keluarga ini, tugasku hanya lah sebagai guru les, jadi terserah apa pun yang terjadi dalam keluarga ini. Aku lalu kembali mengajar, aku berusaha tak perduli dengan sikap Ksatria yang berusaha menghentikan aku mengajarinya dan mengajari Kirana, namun semakin Ksatria berusaha aku semakin intens mengajari mereka. Beberapa saat kemudian, Mbok Tih datang dan membawa dua gelas s**u untuk Ksatria dan Kirana, ketika Mbok Tih memberikannya kepada Ksatria, pria kecil itu malah langsung menghempaskan tangannya dan membuat gelas itu terjatuh ke lantai dan menjadi pecahan. Aku membulatkan mata, aku mengira Ksatria hanya seorang pembangkang, namun nyatanya ia juga anak yang tak sopan, bahkan kepada Mbok Tih yang usianya lebih tua dari aku, yang pantas mereka sebut nenek, malah seperti ini? “Ksatria, apa yang kamu lakukan?” tanyaku. “Gak apa-apa, Neng. Gak apa-apa.” Mbok Tih menggeleng dan memungut pecahan itu dan menaruhnya diatas nampan. Sementara Kirana meminumnya hampir tandas, hanya Ksatria saja yang sepertinya memiliki masalah hidup. Ku hela napasku panjang, sepertinya Ksatria bukan tipe anak yang akan bisa aku bujuk dengan suara yang pelan, sepertinya Ksatria akan aku didik menjadi anak yang sopan, aku akan berusaha mendidik akhlaknya. “Maaf ya, Bu,” ucap Kirana yang sepertinya sudah terbiasa dengan sikap kakaknya. “Iya, Kiran. Kiran belajar lagi ya,” kataku seraya mengelus kepalanya. Kirana mengangguk. Kirana tipe anak yang penurut, dia juga tidak kaget melihat sikap kakaknya yang seperti pemberontak itu, sepertinya aku digaji mahal karena alasan ini, untuk membuat Ksatria berubah. Tugasku ternyata seberat ini. Aku menatap wajah Ksatria yang saat ini dipenuhi dengan amarah. Aku tidak bisa berbuat apa-apa selain menyuruhnya dan mengajarinya hal yang benar, sudah seharusnya seperti ini. Masalah apa yang sebenarnya tengah dihadapi Ksatria? Mengapa sikapnya seperti bukan anak kecil pada umumnya? Usia Ksatria sudah 8 tahun, tapi kenapa sikapnya sudah sangat menjengkelkan seperti itu, ditambah lagi Kirana dan Mbok Tih terlihat sudah terbiasa menerima sikap Ksatria.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN