Besok Bekerja

1399 Kata
14. Aku masuk ke kafe tempat aku dan seseorang janjian, ku lihat seseorang melambaikan tangan, dia seorang perempuan dan disampingnya ada seorang laki-laki yang duduk. Laki-laki itu cukup muda, sementara perempuan yang melambaikan tangan kepadaku sudah cukup tua, apakah pria tampan itu yang akan aku ajari les dan perempuan itu adalah kakaknya? Aku menghampiri keduanya dan tersenyum. “Mbak Syafana Giska, ‘kan?” tanya perempuan itu. “Iya, Mbak,” jawabku. “Silahkan duduk,” katanya. Laki-laki itu bersandar dikursi dan bersedekap, ia begitu cool. Laki-laki ini yang akan aku ajari? “Perkenalkan nama saya Yusa—saya asisten Tuan Narendra.” Aku mengangguk, ternyata perempuan ini adalah asisten Tuan Narendra.” “Salam kenal. Saya Syafa.” “Baik, Mbak Syafa. Saya lihat beberapa resume yang datang pada kami dan saya lihat Anda pernah menjadi seorang dosen muda di universitas di Surabaya?” “Benar. Setahun saya menjadi asisten dosen, dan dua tahun menjadi dosen utama jurusan Informatika. Saya juga dosen praktisi di beberapa universitas. Dosen tamu.” Perempuan yang bernama MbaK Yusa itu mengangguk dan tersenyum, siapa pun yang mendengarnya pasti akan takjub, tapi haruskah ini dipertanyakan? Hanya menjadi guru les saja harus memberitahukan detail? Aku sedikit tidak mengerti. Siapa yang akan aku ajari les dan siapa laki-laki tampan yang bernama Narendra itu. Apa maksud pertemuan ini? “Saya daftar mau jadi guru les. Kalau boleh saya tahu siapa kah yang akan saya ajar?” tanyaku santun. Beberapa saat kemudian, dua anak sepasang datang menghampiri Tuan Narendra. Mereka imut sekali, dilihat dari wajah mereka yang mirip, mereka adalah kembar, kembar twins. Pengasuhnya juga datang dan membungkukkan badan pada Tuan Narendra. Ah sebut Narendra saja kayaknya ya, supaya akrab. Hehe. “Mereka kembar, Ksatria dan Kirana, mereka yang akan Mbak Syafa ajari.” Mbak Yusa menunjuk keduanya. Syukurlah. Aku hampir senam jantung jika ternyata yang akan aku ajari adalah Narendra. “Hai salam kenal,” ucapku melambaikan tangan. Kirana langsung melambaikan tangannya kembali, namun tatapan Ksatria malah sangat emosional. Ia tidak menyambutku dengan baik. Namun, Kirana anak yang sopan. “Ksatria, Kiran, ini adalah guru les kalian yang baru. Kalian tahu kan alasan Daddy menyuruh kalian untuk les? Jadi, jangan terjadi hal seperti dulu lagi.” Aku membulatkan mata ketika mendengar Narendra menyebut namanya dengan sebutan ‘Daddy’ apa kedua anak ini adalah anak Narendra? “Nama guru les kalian adalah Bu Syafa. Jadi, kalian harus menghormatinya,” sambung Mbak Yusa. Ksatria dan Kirana mengangguk pelan. “Mereka pulang pukul 11 siang, jadi jam kerja Mbak Syafa dari jam 2 sampai jam 5 sore. Bisa kan?” tanya Mbak Yusa. Mbak Yusa hanya lah seorang asisten, tapi ia yang menjadi juru bicara Narendra yang sejak tadi memilih diam dan yang berbicara denganku adalah Mbak Yusa. “Jadi, kapan saya mulai bekerja?” tanyaku. “Mulai besok. Gaji Anda semuanya ada di sini,” kata Mbak Yusa mengeluarkan dokumen berwarna biru. “Silahkan lihat dulu dan tanda tangani.” “Ini apa?” “Ini adalah perjanjian.” “Perjanjian apa?” “Silahkan dibaca.” Aku lalu membaca semua poin-poin yang dituliskan, masa kerja satahun dengan gaji dua digit sebulan. Aku membulatkan mata, aku terkejut dengan gaji yang cukup besar itu. Hanya menjadi seorang guru les, namun bisa menghasilkan uang selumayan ini? Wah keren sekali. Tanpa pikir panjang, aku langsung menandatanganinya dan kembali menutup lembar itu. “Tidak ada masalah, ‘kan?” tanya Mbak Yusa. “Tidak ada, Mbak,” jawabku. “Baiklah. Kami anggap ini deal ya,” kata Mbak Yusa. Setelah perbincangan panjang, aku pun pamit kembali. Wajahku semringah, tidak masalah menjadi guru les Kirana dan Ksatria, mereka anak-anak yang lucu dan menggemaskan. Aku tersenyum simpul, aku berdiri didepan kafe menunggu taksi. Ummi memberikan ongkos padaku untuk aku ke kota, jadi aku masih bisa naik taksi pulang ke rumah. “Mau saya antar?” tanya Narendra dengan kedua tangan ia masukkan ke saku celananya. “Tidak usah, Pak. Saya bisa pulang sendiri,” jawabku. Aneh sekali bosku mau mengantarku pulang. Aku tersenyum, lalu beberapa saat kemudian Ksatria dan Kirana lalu menghampiri ayah mereka dan memeluk betis ayah mereka. “Daddy, ayo pulang,” ajak Kirana. Narendra mengangguk lalu melangkah masuk ke mobil, mobil mewah yang kini berada di depanku. Mereka pun berlalu pergi, ku hela napasku panjang, banyak hal yang terjadi dalam hidupku, andaikan aku masih menjadi dosen sampai saat ini, mungkin aku bisa membeli mobil mewah seperti ini meskipun dengan cara kredit. Aku pun pulang ke rumah dengan perasaan yang cukup baik, tidak seperti biasanya ketika aku memikirkan Mas Fikram dan Nada yang saat ini bahagia. Aku dihancurkan berkali-kali, di hujat berkali-kali dan kini aku memilih hidup sendiri. Tidak butuh waktu lama, aku tiba didepan kompleks rumahku, aku berjalan kaki menuju rumah dengan langkah yang pelan, menikmati pemandangan sore yang begitu hangat, banyak anak-anak yang sedang berlarian di sawah dan tertawa kegirangan, aku mampir sesaat dan melihat pemandangan indah itu. Dulu ku ingat jelas masa kecilku yang ku habiskan sama persis dengan anak-anak di sini, mereka tertawa, berlarian dan saling membantu, ank-anak itu pasti baru pulang dari ngaji, jadi mereka semua mampir sebelum kembali ke rumah mereka masing-masing. Aku terbawa suasana dengan melihat mereka, aku iri pada mereka yang masih kecil dan belum mengetahui apa pun, aku iri kepada mereka yang bisa bermain kapan pun yang mereka mau, sementara kami orang dewasa banyak hal yang terjadi. “Eh Syafa?” Seseorang menyapaku. Aku menoleh dan melihat seorang gadis bernama Nur yang saat ini tersenyum menatapku. Ia adalah teman sekolahku dulu, Nur tengah jalan-jalan bersama Hilda teman kami juga. “Nur? Hilda?” “Hei kamu, apa kabar?” tanya Nur. “Alhamdulillah baik. Kalian bagaimana?” tanyaku balik. “Kami juga baik.” Hilda menjawab. “Kita duduk di sana dulu yuk,” ajak Nur menunjuk pondok kecil ditengah sawah. Kami pun ke sana dan duduk berdampingan di rumahan sawah. Dulu, sawah ini adalah milik keluarga kami, aku yang membelinya dengan harga yang cukup mahal karena dulu uangku banyak dan aku bisa beli apa pun, dan hanya ini aset yang awalnya menjadi harapan keluargaku, jika panen berhasil setidaknya uang hidup pun akan terpenuhi. Tapi jika gagal panen, artinya kerugian akan dirasakan. Tapi, semuanya telah sirna. Abih menjual sawah ini ke Juragan Danu, Juragan tuan tanah di kampung ini. Andai aku punya kantong ajaib yang bisa membawaku ke masa lalu. Aku mungkin tidak akan seperti ini. “Syaf, kamu kok gak temuin kita pas balik?” tanya Nur menatapku. “Maaf ya, Teman-teman. Aku memang lagi gak enak untuk keluar rumah.” “Kami sudah mendengarnya kok, kami sudah dengar kalau kamu sudah bercerai, kami juga baru tahu kalau kamu sudah pulang ke kampung sejak empat bulan yang lalu,” kata Nur menyentuh lenganku. “Yang sabar ya, Syaf. Kami yakin kamu pasti akan mendapatkan yang terbaik.” “Tapi kok Nada bisa bareng suamimu, Syaf?” Pertanyaan Hilda membuatku terdiam. Aku tersenyum simpul. Aku melihat tangan Nur menyentuh lengan Hilda, untuk menghentikan Hilda memberikan pertanyaan yang sekiranya dapat membuat luka hatiku makin sakit. Tapi pertanyaan itu lebih baik aku jawab daripada ku simpan. “Kalian bisa lihat sendiri kan kenapa, jadi aku gak perlu menjelaskan,” jawabku. “Wah. Artinya Nada pelakor?” tanya Hilda lagi. “Seperti yang kalian lihat,” kataku. “Ya Allah, Nada kok bisa setega itu ya, padahal kan kamu sangat baik kepadanya dulu. Bahkan kalau dia butuh uang kamu yang kasih.” Aku hanya tersenyum, terserah mereka mau berbicara apa. “Mungkin karena capek miskin kali,” kata Hilda. “Udah, Hilda. Gak boleh ngomong kayak gitu,” geleng Nur. “Tapi kan bener. Mungkin ambil jalan pintas buat kaya?” Aku tersenyum lagi. Empat bulan sudah aku menjadi janda dan aku baru bertemu dengan teman-temanku ini, teman-teman sekolahku yang kini masih tinggal di kampung. “Eh iya. Kalian udah nikah?” tanyaku mencoba mengalihkan pembicaraan lain, aku malas membahas Nada dan Mas Fikram. “Udah,” jawabku. “Masya Allah. Kalian gak ngundang aku toh.” “Gimana mau undang kamu kalau kamu pulang kampung aja gak pernah.” “Hehe. Maaf ya. Terus kalian sudah punya anak?” “Kalau Hilda satu, usianya baru 5 tahun. Aku dua usia dua tahun sama enam tahun.” Nur menjawab. Bahagianya mereka bisa menikah dan punya anak, sementara aku semua itu hanya sebuah mimpi yang tidak akan pernah aku dapatkan. Aku harus lebih sabar untuk menghadapi takdir Allah.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN