Aku duduk di depan kerumunan tamu undangan, aku dan Ummi, juga Paman dan Bibi sebagai pendamping kami. Aku menunduk sesaat karena semua tamu undangan yang datang tidak menampakkan Mas Naren dan anak-anak. Aku selalu mengatakan pada hatiku bahwa tidak apa-apa, ini pernikahan sandiwara, tidak boleh ada yang baper, apalagi aku yang mengharapkan Mas Naren datang. “Suamimu beneran tidak datang, Nak?” tanya Ummi sekali lagi, pertanyaan yang entah sudah ke berapa. “Pasti tidak, Ummi. Ummi tidak perlu bertanya ya, kan kemari Syafa udah memberitahu Ummi alasan Mas Naren tidak datang,” kataku. “Suamimu itu gimana sih, Syaf? Selalu saja tak bisa diharap,” kata Bibi. “Kan dia datang dan tidak sama saja. Acara akan tetap jalan.” Paman menimpali. “Tapi, Pak, ini udah keterlaluan. Masa tahlilan Aya