PART. 4 PENGGANGGU

1282 Kata
Saat Brad mengantarku ke sekolah, aku banyak bertanya soal Tuan Zack kepadanya, tapi Brad tidak bersedia menjawab satupun pertanyaan yang aku ajukan. “Maaf, Nyonya, saya tidak bisa menjawab pertanyaan soal Tuan Zack, anda bisa menanyakan hal lainnya, ataupun mengajak saya bicara soal apa saja, asal tidak yang satu itu,” ucap Brad sopan. Brad tubuhnya memang tinggi besar, tampangnya memang sedikit menyeramkan, karena tertutup jambang, kumis, dan kacamata hitamnya, tapi sikap dan tutur katanya sangat sopan. Suaranya juga selalu bernada rendah, sehingga aku tidak merasa takut sedikitpun meski tampilannya begitu. *** Tidak terasa, sudah dua bulan lebih aku menikah, dan tinggal di rumah Tuan Zack. Tidak ada malam yang terlewatkan tanpa kehadirannya, meski tidak setiap malam kami bercinta, tapi dia selalu datang, meskipun hanya sekedar untuk mencium, dan memelukku saja. Entah kenapa, aku merasa nyaman berada di dekatnya, dia tidak pernah sekalipun berucap ataupun bersikap kasar padaku, meskipun terkadang nada bicaranya yang dingin, dan berkesan memerintah seringkali muncul juga. Pikirku, mungkin itu sudah kebiasaan, bukan dia bermaksud kasar padaku. Aku senang karena Tuan Zack menepati janji, untuk memberikan pengobatan terbaik bagi ibuku. Brad pernah membawaku ke tempat di mana ibuku dirawat atas perintah Tuan Zack. Aku bisa melihat perkembangan kesehatan ibuku yang terlihat mulai membaik. Meskipun ia belum bisa bergerak, ataupun bicara. Setidaknya ada sinar kehidupan dari raut wajahnya, dan harapan dari sinar matanya yang kembali bisa aku rasakan, setelah sekian lama. *** Malam ini Tuan Zack datang ke ke kamarku seperti biasa. Seperti biasanya, kami hanya bisa bertemu dalam gelap, hanya cahaya dari lampu balkonyang menembus kisi di atas pintu yang membuat suasana kamar tidak terasa gelap gulita. Namun cahaya itu tidak membuatku bisa melihat wajah suamiku. Tuan Zack menciumku dari ujung jari kakiku, aku hanya bisa menggigit bibirku, menahan rasa malu, dan jengah yang aku rasakan. Kakiku yang lebih pendek, dikecupnya berulang-ulang. Ciumannya terus merayap melewati lututku. Aku berusaha merapatkan kedua kakiku, tapi Tuan Zack tak menyurutkan serangannya. Setelah gelombang dahsyat gairah kami surut. “Kenapa aku tidak boleh melihat wajah anda, Tuan Zack?” Aku tidak bisa lagi menahan rasa penasaranku, sudah lebih dua bulan kami menikah, tapi dia belum juga mengijinkan aku melihat wajahnya secara jelas. “Tidak sekarang, Al, nanti suatu saat kamu pasti akan bisa melihatku,” jawab Tuan Zack. “Tapi kenapa? Aku sangat ingin melihatmu,” mohonku lirih. “Jangan sekarang, Al, mengertilah!” Aku melepaskan pelukannya di tubuhku, dia tidak mencegahku turun dari atas tubuhnya. Aku berbaring dengan membelakanginya. Aku merasa kesal karena tidak pernah diijinkan melihat wajahnya. Tuan Zack memelukku dari belakang. “Kamu marah, Al, aku berjanji tidak akan lama lagi, kamu bisa melihatku, aku berjanji, Al,” bisik Tuan Zack di telingaku. Aku memutar tubuhku, dalam gelap kuraba wajahnya, kupejamkan mataku, untuk meresapi setiap lekuk yang kusentuh lembut dengan jemariku. Dahinya terasa lebar, alisnya aku yakin sangat tebal, rahangnya kokoh, bibirnya yang memabukkan itu tebal, dan aku yakin sangat seksi. Pipinya, aku mengernyitkan kening, saat aku menyadari ada sesuatu yang berbeda dari kedua pipinya, yang aku sentuh secara bersamaan dengan kedua telapak tanganku. Aku ingin meraba pipinya lebih teliti, tapi Tuan Zack menangkap tanganku. “Tidak sekarang, Al, bersabarlah.” Suaranya memohon dengan lembut. Wajah kami begitu dekat, tapi malam terlalu pekat, tidak ada yang bisa aku lihat dengan nampak. Napas beraroma mint dari Tuan Zack membuatku mencari-cari bibirnya dengan jemariku, saat kutemukan, kudekatkan bibirku, kulumat lembut bibirnya. Tuan Zack membalas lumatan bibirku. Malam ini adalah malam terpanjang yang kami lalui bersama, karena di malam sebelumnya, setelah kami selesai melepas hasrat, Tuan Zack akan langsung ke luar dari dalam kamarku. Tapi malam ini berbeda, meski aku belum bisa melihat wajahnya, setidaknya dia mau meluangkan waktu lebih banyak bersamaku. Dan itu membuatku merasa bahagia, meski dia bagiku adalah misteri terbesar yang aku hadapi dalam hidupku. *** Hari minggu, aku tidak ke sekolah, aku sengaja bangun siang, dan melewatkan waktu sarapanku. Apa lagi, Tuan Zack menjelang subuh baru ke luar dari kamarku, sungguh malam yang luar biasa buatku. Meski aku tidak pernah bisa melihat dengan jelas wajahnya, tapi aku bisa merasakan kasih sayangnya. Setelah mandi, dan berpakaian. Aku ke luar kamar, dan menuruni anak tangga untuk menuju ruang makan. Kakiku melangkah perlahan menuruni anak tangga. Aku ingin menuju ruang makan untuk makan siang. Perutku terasa sangat lapar karena melewatkan sarapan pagiku. Jemima, dan Felicia sudah menunggu untuk melayaniku makan siang. Tapi aku melihat ada dua orang ‘asing’ yang duduk di kursi makan. "Ooowww ... Nyonya besar kita sudah bangun rupanya, selamat siang, Nyonya Zack, perkenalkan namaku Harrison Zeet, anda bisa memanggilku Harry saja, aku adalah saudara sepupu Zack, dan ini adalah Caroline Williams, dia adalah mantan calon istri Zack.” Lelaki bernama Harry itu meraih jemariku, lalu mengecup jemariku lembut, tubuhnya membungkuk dalam. Akupun membungkuk untuk membalas salamnya. “Senang berkenalan dengan anda, Tuan Harry,”sahutku. Wanita bernama Caroline itu seperti tidak peduli dengan kehadiranku, ia asik saja mengunyah makan siangnya. Aku enggan untuk menyapanya. Jemima menarik kursi untukku, sementara Felicia melayani makananku. “Jemima, Felicia, kenapa kamu tidak melayaniku seperti kamu melayaninya!?” seruan bernada kesal terdengar dari mulut Caroline. “Maaf, Nyonya Caroline, kami adalah pelayan pribadi Nyonya Alena, kami tidak bisa melayani anda,” jawab Jemima. Aku bisa merasakan Caroline melirik ke arahku, aku merasa tatapannya penuh kebencian. 'Untuk apa dia membenciku, ini pertemuan pertama kami, lagi pula diakan hanya mantan calon istri Tuan Zack, aku tidak merebut Tuan Zack darinya,’ batinku untuk membesarkan perasaanku sendiri. Jujur saja aku tidak suka dengan Caroline yang tampak jelas memusuhiku. “Kamu masih sekolah, Alena?” Tanya Harry mengagetkanku. “Iya,” jawabku singkat. “Berapa usiamu, Alena?” “Sembilan belas tahun.” “Woow amazing, seorang Zack yang usianya sudah kepala empat, memiliki istri yang lebih pantas menjadi anaknya. Hmmm … aku akui, Alena, meski kamu memiliki kekurangan, tapi kecantikanmu sempurna, pantas saja kalau Zack begitu tergila-gila padamu." Harry terus saja berbicara hal-hal yang kadang membuat wajahku merona dengan pujiannya, tapi terkadang juga membuatku terpana dengan hal yang baru aku dengar tentang Tuan Zack. Tapi aku tidak ingin memasukkan ke dalam hati semua ucapannya, jujur saja aku tidak merasakan ketulusan dari sikapnya. Setelah makan siang aku memutuskan untuk naik kembali ke kamarku. Aku enggan berbincang dengan Harry, dan Caroline, karena aku pikir latar belakang kami yang berbeda, tidak akan membuatku nyaman bersama mereka, apalagi tatapan Caroline yang terasa penuh hinaan terhadapku. Meskipun Tuan Zack juga mempunyai latar belakang yang berbeda dariku, tapi dia mau membuka hatinya untuk menerimaku. Malam ini aku memilih untuk makan malam di kamarku, karena aku tidak ingin bertemu dengan Harry, dan Caroline. Jemima, dan Felicia melayaniku dengan sabar, mereka bukan sekedar pelayan bagiku, tapi mereka adalah teman yang bisa diajak bercanda, dan tertawa, meskipun saat di depan Nyonya Emma, mereka tidak berani bercanda denganku. Setelah menggosok gigi, aku naik ke atas pembaringan. Jemima, dan Felicia ke luar dari kamarku, dan mengunci pintu kamar dari luar. Entah mengapa, aku merasa kepanasan malam ini, sehingga aku putuskan untuk melepaskan seluruh kain yang melekat di tubuhku. Aku kembali memejamkan mata tanpa sehelai benang menutupi tubuhku. Saat aku mendengar pintu kamar terbuka, aku berpura-pura sudah tidur dengan maksud menggoda Tuan Zack. Mata aku pejamkan dengan rapat, aku seperti mendengar Tuan Zack menekan saklar lampu, agar lampu menyala, tapi aku pikir itu hanya ilusiku saja, karena itu aku tidak membuka mata, ataupun mengintip sedikitpun juga. Meski dalam gelap, tapi aku yakin Tuan Zack pasti tahu aku tidur dengan tubuh polos. Aku mengangkat tanganku, menggeliat sambil membusungkan d**a, dan memutar pinggul, perlahan kutekuk kedua lutut, dan membuka lebar kedua paha. Aku ingin mengundangnya agar segera menyentuhku, uuuhh sentuhannya sudah menjadi candu bagiku. “Ckckck ... pantas saja Zack tergila-gila padamu, Alena. Kamu sungguh sempurna!” Aku terlompat bangun, dan segera menarik selimut untuk menutupi tubuh polosku. “Aaakkkhhhh … toloooong!” Aku berteriak sangat nyaring, aku yakin terdengar sampai ke seantero rumah besar ini. “Jangan takut, Alena, aku tidak akan menyakitimu, aku hanya ingin …. ” BERSAMBUNG
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN