Tubuhku jadi gemetar karena rasa takut juga marah pada Harry.
“Tuan Harry, tidak sepantasnya anda berada di sini!” Suara Nyonya Emma sangat tegas, dan menunjukan kalau dia tidak suka pada apa yang sudah Harry lakukan.
“Emma, kamu itu cuma kepala pelayan, sedang aku sepupu Zack, aku lebih berkuasa dari dirimu di rumah ini!" Harry tak mau kalah nyaring dari Nyonya Emma. Aku semakin tak suka padanya. Dia benar-benar pria yang tidak tahu malu. Masuk ke kamar istri orang seenaknya. Tanpa ada rasa bersalah dalam dirinya. Sikapnya justru semakin memuakkan saja.
“Saya memang hanya kepala pelayan disini, Tuan Harry. Tapi Tuan Zack memberikan tanggung jawab kepada saya untuk menjaga keamanan, kenyamanan, dan ketenangan di rumah ini, Tuan Zack juga memberikan kuasa kepada saya untuk mengatur semuanya. Anda memang sepupu Tuan Zack, tapi bagi saya anda hanya tamu di rumah ini, jadi dengan sangat hormat, saya minta anda untuk keluar dari kamar Nyonya kami. Hanya Tuan Zack, satu-satunya pria yang mempunyai hak masuk ke dalam kamar ini!” Panjang lebar Nyonya Emma menumpahkan kemarahannya pada Harry, sementara aku menangis dalam pelukan Jemima.
Terdengar Harry mendengus kesal sebelum ke luar dari kamarku.
“Dari mana dia mendapatkan kunci kamar Nyonya, apa kalian ada yang tahu!?” Tanya Nyonya Emma kepada semua pelayan wanita yang berdiri di dalam kamarku.
“Aku rasa, dia mengambilnya dari kamar Tuan Zack, Emma,” sahut Nyonya Laura.
“Mungkin kamu benar, Laura, pasti dia mengambilnya dari sana, Nyonya apa anda baik-baik saja?” Nyonya Emma meraih bahuku, dan menghapus air mataku. Aku hanya menjawab dengan anggukan kepala.
Akhirnya semua orang ke luar dari dalam kamarku, pintu kamar kembali
dikunci dari luar. Rasa kesalku belum sirna, justru benci mulai datang di dalam d**a.
Malam ini aku habiskan dengan tanpa bisa memicingkan mata barang sekejap, aku merindukan Tuan Zack, yang entah kenapa tidak datang ke kamarku malam ini. Rasa curiga jadi muncul di dalam benakku, jangan-jangan ....
Berusaha aku tepis kecurigaan itu.
***
Pagi harinya aku sarapan di kamarku, aku tidak ingin bertemu Harry, dan Caroline. Aku tidak ingin mendengar penghinaan mereka terhadapku.
Saat aku ingin berangkat ke sekolah, Nyonya Emma memperkenalkan supir baru kepadaku, namanya Rick, sudah tua, sekitar 50 tahun, tapi masih terlihat tampan, dan gagah. Senyum, dan sorot matanya ramah.
Menurut keterangan Nyonya Emma, Brad sedang cuti beberapa waktu, jadi digantikan oleh Mr.Rick.
Sudah satu bulan Tuan Zack tidak masuk ke kamarku, dan tidak seorang pun yang mau menjawab pertanyaanku, ke mana dia sesungguhnya. Jujur aku jadi semakin curiga, jika Tuan Zack sudah menghabiskan malamnya bersama Caroline, karena ia tidak datang ke kamarku sejak Caroline ada di rumah ini, entah apa yang dilakukan wanita yang berprofesi sebagai model majalah ‘panas’ itu di rumah ini.
Aku tahu kalau dia model majalah ‘panas’ dari Jemima.
Malam ini, malam ke 31 Tuan Zack tidak menemuiku. Rasa kesal, dan marah bercampur rasa rindu tengah menguasai hatiku. Ada juga rasa curiga yang diikuti rasa cemburu, dugaan kalau Tuan Zack menghabiskan waktunya bersama Caroline, membuat hatiku jadi terbakar api cemburu, dan kemarahan. Aku bertekad, kalau dia datang, maka aku akan bersikap dingin padanya.
Malam ini aku tidak ingin lagi tidur dalam gelap, untuk apa? Toh Tuan Zack tidak akan datang juga!
Baru saja aku ingin terlelap, saat suara kunci pintu kamar terdengar di buka, dan bleep! Lampu kamarku dipadamkan.
‘Tuan Zack’ batinku, aroma khasnya menguar membuatku yakin itu dirinya. Aku bisa merasakan kalau dia naik ke atas ranjang, lalu berbaring dengan dadanya yang telanjang menempel di punggungku.
“Maafkan aku, Alena, sudah pergi begitu lama, aku merindukanmu, sangat merindukanmu. Andai bukan karena dirimu, aku tidak akan melakukan operasi, tapi aku tidak ingin kamu takut, dan lari menjauh saat melihatku.” Aku mendengar Tuan Zack berbisik lirih di telingaku.
Aku memutar tubuh.
“Operasi apa?” tanyaku yang tidak bisa menahan rasa penasaranku. "Kamu belum tidur?" Nyata terdengar keterkejutan dalam suara Tuan
Zack.
"Kenapa aku ditinggalkan begitu lama, apa anda tidur dengan Nyonya Caroline?" Aku tidak mampu lagi menyembunyikan rasa cemburu, yang sudah cukup lama aku rasakan, sejak kehadiran Caroline di rumah ini.
"Kenapa kamu berpikiran seperti itu, Al. Aku pergi, dan baru kembali malam ini." Tuan Zack mengusap lembut pipiku.
"Pergi ke mana?" Tanyaku ketus.
Terdengar Tuan Zack menarik napasnya.
"Aku harus melakukan sedikit operasi terhadap wajahku, agar kamu tidak merasa takut saat melihatku," jawab Tuan Zack.
"Kenapa wajah anda harus dioperasi, Tuan Zack." Rasa penasaran hadir di dalam diriku.
"Wajahku cacat, karena kecelakaan yang aku alami." Tuan Zack mengambil telapak tanganku, lalu ia letakkan di atas pipinya.
"Kau pernah meraba pipiku, bukan. Raba kedua pipiku, apa kau masih merasakan kalau keduanya berbeda?"
Aku meraba kedua pipi Tuan Zack dengan kedua telapak tanganku. Kedua pipi itu kini terasa sama, tidak berbeda seperti sebelumnya.
"Apakah sekarang aku boleh melihat wajah anda, TuanZack?" pintaku memohon.
"Apa kamu tidak merindukanaku, hmmm." Tuan Zack menyentuh puncak hidungku dengan ujung jarinya.
"Aku merindukan anda, tapi aku marah, karena aku pikir anda tidur
dengan Nyonya Caroline," jawabku jujur, bernada sedikit merajuk.
"Aku juga sangat merindukanmu. Terpisah jauh darimu, itu sangat menyiksaku." Tuan Zack mengusap bibirku, meski cahaya remang, dia masih bisa melihat bibirku. Aku menangkap jari Tuan Zack dengan kedua bibirku.
Aku masukan jari Tuan Zack ke dalam mulut, aku isap dengan kuat, lalu kupermainkan dengan lidahku.
"Oooh ... Alena.... " Tuan Zack mengerang dengan suara parau. Dia tampaknya tak tahan lagi. Ditindih tubuhku, dipagut bibirku dengan penuh hasrat. Dilucuti pakaianku dengan sedikit kasar. Disentuh dadaku, ia rayu dadaku kuat dengan mulutnya, membuat aku menjerit.
Tuan Zack terus merayu dadaku dengan mulutnya, kali ini dengan lembut, seakan dia ingin melenyapkan rasa sakit akibat rayuannya yang terlalu kuat. Puas merayu dadaku, bibir Tuan Zack menyapu kulit tubuhku, menebarkan hawa panas dari sela bibirnya.
Aku kembali menjerit, karena serangan agresif bibir Tuan Zack. Tubuhku bergerak merespon cumbuan lidah, dan bibir Tuan Zack. Kedua tangan Tuan Zack menjangkau dadaku, merayu kembali dengan sentuhan yang membuat tubuhku panas.
Kedua telapak tanganku meremas sprei dengan kuat. Erangan, dan lenguhanku seakan tanpa jeda. Aku tak mampu lagi bertahan, aku sampai pada klimaks yang membuat tubuhku menegang, dan bergetar hebat. Tubuh ku terhempas, dalam rasa puas. Sementara kepala Tuan Zack belum beranjak, ia masih asik dengan kesenangannya.
BERSAMBUNG