Biandra menyimpan ponselnya setelah sampai di tempat tujuan. Adit pasti sudah tiba di dalam sedari tadi. Jangan salahkan dirinya karena ia sudah bergegas semenit semenjak menerima telpon tadi. Hanya saja angkutan umum yang ditunggu tak kunjung jalan. Mengetem sambil menunggu muatan penuh meskipun Biandra hendak berganti angkot, sang sopir tidak akan membiarkan itu terjadi. Ia pasti diajak ngobrol sebagai ganti pengisi waktu yang terbuang. Tidak tahu saja, jantung Biandra berdegup kencang. Membayangkan Adit yang sudah menungguinya sedari tadi membuat perasaannya tidak enak. Lebih baik ia yang menunggu dari pada membuat orang lain menunggu. Prinsipnya sedari dulu. Atau mungkin, itu adalah sebuah kebiasaan.
Ia celingukan di pintu masuk super market, mencari Adit yang tadi memberikan pesan bahwa ia sudah menunggu di dalam. Masalahnya di dalam itu sangat luas, ramai oleh pengunjung. Bagaimana bisa ia menemukan Adit di lautan manusia ini.
Tak lama kemudian, ponselnya bergetar menandakan ada telepon masuk di sana. Tanpa melihat siapa yang menelpon, Biandra segera mengangkatnya. Menutup telinga sebelah dengan tangan kirinya, Biandra berusaha mendengarkan dengan baik sang pembicara dari suara bising di sekitar.
"Kamu di mana?" Suara itu ditangkap indera pendengarannya.
"Di pintu masuk, Kak." Biandra berbicara sedikit keras. Suara musik dan ketukan sepatu orang-orang membius suaranya untuk keluar.
"Tunggu di situ. Saya ke sana." Tanpa menjawab lagi, Biandra hanya menatap layar ponsel yang sudah mati itu. Baiklah, ia hanya perlu menunggu di sini sampai Adit menghampiri ... nya. Matanya sedikit membelalak saat melihat siapa yang ada di depan sana, berjalan ke arahnya.
Bukan. Bukan Adit yang ada di sana, melainkan Kafka. Dengan denim navy sebagai atasan, Kafka juga mengenakan sepatu putih yang kontras dengan celana hitamnya. Tak lupa kaca mata yang bertengger di hidung mancungnya. Berjalan pelan setelah mata mereka bertemu. Laki-laki itu memasukkan ponselnya ke saku celana dan sampai di hadapannya.
"Yuk, keburu abis nanti." Kafka menggandeng tangan Biandra dan menariknya mengikuti kaki-kaki panjang itu. Yang mana sekali langkah Kafka adalah dua kali lipat untuk kaki pendeknya.
"Eh maap," ucapnya saat sadar, Biandra tergopoh mengikuti tarikan lengannya.
"Kenapa Bapak yang dateng, bukannya Kak Adit?"
Siapa yang tidak kaget, saat menemukan sang atasan yang mengajaknya membeli perlengkapan untuk Opecca? Sedikit pun dalam benak Biandra, tidak ada pikiran akan Kafka sendiri yang melakukan itu semua.
Laki-laki yang ditanya itu menjawab santai, "Didit pemales sekarang. Katanya saya aja yang beliin." Baiklah, Biandra tidak akan bertanya lebih lanjut jika memang benar Adit yang meminta itu. Meskipun dirinya tidak percaya Adit akan meminta hal itu pada sang atasan.
Lalu Kafka bertanya kepada Biandra, "Kamu sudah makan? Kalo saya sih belum."
Biandra sudah menjawab sebanyak dua kali kalau sebelum berangkat, ia sudah memasukkan setidaknya tiga suap nasi. Namun Kafka masih tidak mendengarnya.
"Apa?"
Biandra membisikan jawabannya lagi ke telinga Kafka lumayan keras. Kafka sampai menunduk untuk mendengarkan Biandra berbicara.
Gadis ini pendek sekali. Sebahunya saja tidak sampai.
"Kita beli daging dulu." Kafka berjalan di depannya sebelum sadar, bahwa ada seorang gadis yang mengikuti langkahnya dan ia memperlambat jalannya sehingga mereka berdampingan menyusuri banyaknya daging merah yang berjajar di sana. Kafka kembali setelah mengambil keranjang di sudut sebelah kanan. Mendorongnya dan mengambil apa-apa saja yang dibutuhkan. Beberapa helai daun bawang dan bumbu lainnya tak lupa Kafka ceklis di gawainya. Adit sudah memberikan daftar apa saja yang harus dibeli kali ini. Tidak banyak, namun cukup menyulitkan Kafka.
Sebenarnya bukan salah Adit. Kafka adalah penyebab utamanya.
"Bos, bulan ini lumayan banyak yang harus di beli. Gue pake kartu yang ini, ya?" Adit mengeluarkan kartu p********n dari laci meja Kafka. Kafka melirik sekilas dan mengangguk sekali.
"Kenapa nggak pulang, sih. Malah nginep di sini. Kemalesan banget kalo gua. Lebih nyaman di rumah." Adit ikut merebahkan dirinya di samping Kafka yang sedang memejamkan mata dengan tangan kanan yang diletakkan di atas keningnya.
"Rumah bukan tempat nyaman bagi gue."
Baiklah, sepertinya Bos Besar sedang ada masalah sampai-sampai harus tidur di Opecca. Adit melirik Kafka yang juga membuka matanya. Menyebabkan mereka berdua saling berhadapan tanpa suara.
"Jauhan sana. Ntar di kira homo, berabe." Kafka menendang badan Adit yang langsung berguling ke samping. Untungnya tidak sampai jatuh. Ruangan ini lumayan besar jika dibandingkan dengan ruangan khusus karyawan di bawah. Kasur berukuran besar dan sofa di bagian depan memberikan kesan luas dan nyaman. Sayang, ruangan ini jarang di pakai. Sampai-sampai meja kerjanya berdebu. Dan siapa lagi yang harus membereskannya. Jawabannya tentu saja Adit. Tidak ada kandidat lain. Anak-anak mana berani masuk ke sini. Masalahnya bukan segan atau apa, Kafka yang menyebar rumor ruangan ini berhantu, makanya Kafka jarang berkunjung. Padahal jauh dari kesan seram sama sekali. Semua itu hanya tipu muslihatnya saja karena tidak suka orang lain memasuki wilayah teritorialnya.
"Kasar banget jadi cowok." Adit mendelik seraya memakai sepatunya kembali. "Dah ah, gue mau syoping dulu sama Bian." Adit melihat gawainya yang menyala, ada pesan dari Biandra yang menanyakan tempat yang akan dikunjunginya untuk berbelanja. Ia sampai lupa setelah menelpon Biandra beberapa menit lalu.
Kafka membuka mata dengan tiba-tiba. Dan bangkit setelahnya. Berusaha tidak terlihat gelisah saat memberikan pertanyaan, "Sama siapa? Anak baru itu?" Ia akan membereskan seprei agar terlihat natural di mata Adit. Agar tidak terlihat seperti seorang kucing yang mencium bau ikan. Indera pendengarannya langsung menyala. Membangkitkan sesuatu yang ada di dalam dadanya.
"Jangan lah kalo yang ini. Dia anak baik." Ucapan Adit membuatnya berbalik seketika.
"Apaan dah."
"Pasti mau dijadiin korban selanjutnya, 'kan?" Adit hendak mengambil kunci mobil yang langsung ditahan Kafka.
"Kirimin daftarnya, gue aja. Sekalian mau beli buat perlengkapan di apart." Adit memutar matanya malas. Dan tetap melanjutkan langkahnya hendak menutup pintu. Namun terhenti karena perkataan Kafka.
"Gue kasih libur 2 hari."
"Setuju." Kafka menerima kunci yang di lemparkan Adit. Hampir saja mengenai kepalanya. Jika sampai itu terjadi, makan kepala Adit yang akan ia cincang lebih dulu.
"Jangan ada yang kelewat, gue nggak mau belanja dua kali, ya." Kafka menulikan telinga dan melewati Adit, mendahuluinya untuk keluar ruangan.
"Beresin bekas makan, Dit." Kafka berujar setelah menapaki dua anak tangga teratas. Adit mengeram kesal. Dirinya tidak makan sesuap nasi pun. Kafka selalu saja membuatnya murka. Tapi tetap ia akan mengerjakan apa yang diperintahkan. Aneh.
"Bangcad."
***
"Mau pesan apa?" Kafka bertanya pada gadis di seberangnya.
Sesudah membeli bahan dapur yang dibutuhkan, Kafka memberikannya kepada Bayu yang entah bagaimana sudah menunggu di depan pintu utama. Pemuda 20 tahun itu membawa motor dan langsung menerima kantong belanjaan dari Kafka.
"Ada yang belum kita beli, bawa ini dulu. Saya mau nyari lagi sama Bian." Biandra yang menoleh ke arah Kafka hanya mampu memandang sang atasan dengan diam. Perasaannya tadi sudah lengkap apa saja yang harus dibeli. Jelas-jelas Kafka sudah menceklis semua bahan yang diperlukan.
Bayu memandang dua orang di depannya dengan memicingkan mata. "Ini udah lengkap, kok. Bapak mau beli apa lagi memangnya?"
"Ada, lah. Kamu tidak perlu tahu. Bawa saja semua itu sampe selamat. Minta ongkos jalan ke Amel. Bilang, kata saya." Kafka dengan tenang.
"Oke lah, duluan Pak Bos, Teh Bian." Bayu tidak bertanya lebih lanjut karena ia harus cepat kembali ke Opecca. Bisa gawat kalau ia terlambat. Bu Le pasti mengomel sampai sore. Pernah sekali ia terlambat karena membeli makanan di luar dan ia diceramahi hingga pulang. Tapi bagaimana pun, Bu Leah adalah yang tertua di sana. Pencetus resep baru bersama Adit.
Biandra mengangguk, begitu pun Kafka. Membiarkan motor Bayu melesat di jalanan terlebih dulu.
Lalu mereka memasuki mobil kembali. Matahari siang ini lumayan terik. Keberadaan pohon di sepanjang jalan yang dilalui tak membantu banyak. Sinarnya tetap menusuk ke kulit.
"Saya nggak ikut Bayu?" Sebenarnya itu pertanyaan percuma, karena Bayu sudah melesat ke depan sana. Tanpa menjawab, Kafka membuka pintu sebelah kiri dan mendorong Biandra masuk.
"Sepertinya saya sudah bilang di awal. Saya belum makan." Kafka menarik gigi dan mulai memutar kemudi. Mengabaikan Biandra di samping yang merasa aneh, karena selain ini pertemuan dengan atasan untuk pertama kalinya dengan hanya berdua di dalam mobil, berada sedekat ini dengan pria lain membuat perasaan Biandra tidak nyaman. Kafka melirik sekilas tangan Biandra yang ditautkan, menggesekan kukunya di sana.
"Are you okay?" Sekarang Kafka benar-benar menengokkan kepalanya ke samping. Tanpa menoleh balik, gadis itu mengangguk patah. Masih memerhatikan tautannya di atas paha. Kepalanya menunduk.
Menginjak rem lebih keras adalah hal yang selanjutnya Kafka lakukan. Meski kepalanya berputar, mengapa gadis ini tidak seperti biasanya. Mengapa gadis ini terlihat ketakutan. Apa yang membuatnya demikian? Kafka ingin mengetahuinya. Itu yang akan Kafka pecahkan.
Gadis itu terlalu menutupi banyak hal dari dunia. Menyimpan hal yang tak seorang pun boleh menyentuhnya.
***