6. Ada Aku Di Sini

1665 Kata
Keadaan kelas yang hari ini tampak sudah bersih memberikan kesan sejuk bagi para murid yang kebetulan saja datang di pagi buta. Mereka tidak akan datang sepagi ini jika bukan karena sesuatu yang sangat darurat. Dengan menenteng tas hitamnya di punggung, Isyara bersenandung kecil melewati dua kelas lagi untuk mencapai kelasnya. Hari ini mereka sudah janjian untuk datang pagi-pagi sekali. "Ish, lama bener dah. Gue sampe keringet dingin nungguin lo. Untung nggak sampe b***k di celana, gegara nunggu batang hidung lo muncul." Andi menepuk bangku di sebelahnya yang terlebih dahulu di lap dengan tisu pemberian Dean. "'Kan si Ayish nggak punya batang, Di." Agung menyeletuk keras, sampai kakinya diinjak Andi dengan keras. Isyara hanya terkekeh kecil sebagai respon. "Udah ah, diem lo pade. Agung gila, masih pagi udah nggak waras. Buruan duduk." Dean menimpali. Isyara dengan tenang menutup pintu kelas dan melenggang santai mencapai meja belakang. Yang mana itu membuat empat pasang mata di sana mendelik sebal. Jalannya sengaja dipelankan sepelan mungkin. Memperagakan seorang putri yang berjalan di aula besar sedang diperhatikan oleh ribuan pasang mata di sana. Tentu saja kawan-kawannya menggeram kesal memandangnya. "Anjirlah, seneng banget bikin orang deg-degan." Agung menyeret Isyara yang tertawa lepas seketika. Si gadis jahil itu segera membuka tas dan mengeluarkan buku catatannya. Buku itulah yang dibutuhkan untuk membuat empat pasang mata itu menatap lapar dirinya. "Eits, inget ya." Ia dengan sengaja membawa bukunya ke atas sebelum Agung melihat apa yang ada di dalam sana. Tentu saja jawaban. Apalagi yang membuat siswa datang pagi-pagi buta jika bukan untuk mengerjakan PR yang tidak dikerjakan? Sepertinya mereka menganut faham, sekolah sudah dianggapnya rumah. Oleh karena itu, mereka memilih mengerjakan pekerjaan rumah di sekolah. Karena sekolah sudah mereka anggap rumah sendiri. "Elaaah, iye iye. Inget gua mah. Is, beneran lu mah, ih." Isyara kembali tertawa saat bukunya di rebut Dean. Lalu dengan tergesa, Agung, Denis, Andi dan Dean menyalin catatan dari buku Isyara. "Bawa makanan nggak, nih?" Isyara merebahkan kakinya di atas kursi yang di duduki Denis. Dengan segera, Dean membuka tas yang khusus ia siapkan untuk Isyara. Dean membuka kotak makan itu dan menyerahkannya pada Isyara yang sedang anteng meminjam gawai milik Denis. Isyara melahap roti isi itu dengan tenang. Sesekali matanya melihat ke meja sebelah, di mana empat orang itu sedang terburu mencatat dengan pulpen di tangannya. Mata itu kembali pokus pada gawai di genggamannya. Ia menggeser menu di sana dan masuk ke aplikasi belanja online. Melihat sudah sampai mana tahap pemesanan bukunya. "Kok lama ya, masih dikemas terus." Ia mendecak sebal. "Entar ongkirnya bayarin, ya, Nis?" Isyara menyenggol punggung Denis dengan kakinya yang berselonjor di belakang badan Denis. Laki-laki itu menggumam sebagai jawaban. Ia tidak mau di ganggu saat sedang pokus mengerjakan sesuatu. Mencontek contohnya. "Buruan, sebentar lagi rame." Tangannya sudah pegal dipakai mengebut dalam lautan aksara itu. Andi semakin mengebut mendengar perkataan Isyara itu. "Jangan samain titik komanya, woi. Entar dikira nyontek, lagi." Agung baru mengeluarkan suara langsung dislepet kepalanya oleh Isyara menggunakan gulungan kertas. "Emang nyontek, bege." Isyara kesal dibuatnya. Mereka kemudian tertawa bersama. Jika dipikir, Isyara lebih banyak berteman dengan anak laki-laki dibanding perempuan. Dalam lingkaran pertemanan saja hanya Dean yang lumayan dekat dengannya. Gadis sawo matang itu tak ragu berbagi dengannya masalah makanan. Tidak pernah perhitungan. Menurutnya, laki-laki cenderung jujur urusan perasaan ketimbang perempuan. Mereka lebih blak-blakan akan apa yang disuka atau tidak. Perempuan biasanya saling menyembunyikan. Entah itu kesukaan atau kebencian. Isyara kemudian masuk ke dalam situs web dan menyalin pesan yang dikirimnya semalam lewat gawai Biandra yang langsung diterima Denis. Ia akan mengirimkan ceritanya untuk lomba cerpen. Hadiahnya lumayan walau hanya berupa pulsa. "Nanti kasih tahu kalo ada lomba lagi, ya Nis," ujar Isyara yang ditanggapi Denis dengan senyuman. "Eh, eh, jangan buka galeri, ya. Awas loh." Denis mewanti-wanti Isyara yang sepertinys tidak mendengarkan perkataannya itu. Dia hanya fokus dengan gawainya. "Takut kebuka ya Bang, pidio naninu nya?" Agung yang tangannya masih menulis tapi telinganya masih mendengar itu. Apalagi urusan menggoda teman-temannya. Agung paling hebat dalam hal itu. Akibat pertanyaan itu, bibirnya langsung ditabok oleh buku paket lumayan tebal yang ada di kolong meja oleh Denis. Agung mengusap bibirnya yang dimonyongkan. Meski tidak terlalu keras, jiwa hiperbolanya menyeruak seketika. "Buset dah, udah pala ditoyor Ayish, bibir ditabok Denis, pagi gue tercemar ini mah." Agung memberengut, pura-pura sebal padahal ia senang melakukannya. "Mau gue tambahin, nggak?" Andi yang sudah selesai dengan kegiatannya mereganggang kesepuluh jari tangannya sehingga terdengar suara patahan tulang bersahutan. "Tambahin apa, Ndi?" Agung berbalik dan seketika menjerit karena rambutnya dijambak Andi. Mereka sama sekali tidak bisa serius. Ada saja tingkah yang dilakukan agar tawa selalu berderai di sana. Di dalam kelas bercat putih gading itu, lima sekawan saling bercengkrama. Berusaha terlihat baik-baik saja meski kehidupan kadang tak adil. Mereka hanya pura-pura. Terlihat baik-baik saja padahal tidak. *** Hari ini waktunya Biandra libur. Meski sudah meminta lembur kepada Adit, namun ia tak mendapatkannya. Katanya, Kafka sengaja membagi hari libur untuk para karyawannya agar bisa istirahat yang cukup. Dengan begitu, bekerja di esok hari akan lebih bermutu. Padahal baginya, istirahat cukup sudah tidak ada harga dirinya lagi. Sudah turun ke kasta paling rendah. Yang paling dibutuhkannya saat ini adalah uang. Ia bahkan lupa bagaimana rasanya istirahat yang benar-benar istirahat. Meskipun badannya berdiam diri, namun pikirannya tak henti berputar. Dalam tidur ia terus dikejar bayangan itu. Hal yang sudah lama ia singkirkan kembali hadir pagi ini. Biandra meleburkan beban dengan mengguyur air dingin itu ke kepalanya. Berusaha mendinginkan kepalanya yang selalu panas. Hari ini ia akan memasak ayam yang tadi ia beli di tukang sayur yang lewat di depan rumah. Isyara pasti senang saat pulang nanti. Mereka sudah lama tidak makan ayam. Apa boleh buat, uangnya tidak cukup jika harus makan ayam terus menerus. Kebanyakan harinya mereka habiskan dengan lauk mie atau tahu tempe. Mereka tidak punya mesin pendingin, sehingga bahan masakan yang dibeli hari ini harus segera di eksekusi. Kalau tidak, maka akan busuk atau mengeluarkan bau tak sedap. Sebenarnya, Biandra jarang masak. Mereka biasa membeli lauk di warung nasi untuk sarapan. Atau paling tidak, telor ceplok menjadi salah satu pilihan. Menu olahan telur memang selalu menjadi pilihan utamanya. Selain gampang untuk memasaknya, harganya juga cukup terjangkau. "Uangnya nggak akan cukup kalo hari ini dibayarin," ia menggumam dengan beberapa lembar uang di tangan. Masih menunggu ayamnya matang, Biandra memilih memasukkan kembali uang itu ke lemari di bawah televisi. Nanti saja ia pikirkan, sekarang lebih baik menjemur pakaian yang barusan di cucinya. Kontrakannya saat ini memang begini, berhubung terletak di dalam gang, tempat jemur baju ada di balkon kamarnya. Kontrakan yang lain memang tidak tingkat seperti miliknya, kata ibu sang pemilik kontrakan, letak tanahnya tidak sesuai yang diharapkan. Apa boleh buat, hanya satu petak kamar yang di tingkatkan. Alasan lainnya juga agar menjemur baju ada lahannya. Jadi jangan heran jika pagi-pagi, tetangga sebelahnya akan menjemur pakaian di balkon kamar. Seperti saat ini, Mbak Eva juga sedang menjemur baju Aril di sana. Baju-baju kecil itu tergantung di atas tali yang terbentang di antara kayu panjang di ujungnya. Biandra menaiki tangga semen di samping rumah untuk mencapai atas. Membawa seember pakaian basah yang makin menambah bebannya. Semakin terasa berat saat ember itu tidak ada pegangannya. Biandra harus memeluk pinggiran ember dengan dua tangan. "Libur, Bian?" Eva menyapa gadis dengan handuk di kepala itu. Jarang sekali ia bertemu Biandra di pagi hari. "Iya, Mbak." Biandra mengibaskan selimut basah itu. Matahari sudah berani menunjukkan sinarnya untuk sang bumi. Memberikan kehangatan di sana. "Bian udah sarapan? Mbak masak banyak, nih. Makan bareng, yuk." Eva sudah selesai dengan pekerjaannya. "Nggak usah, Mbak. Aku juga kebetulan masak," tolak Biandra halus. Eva hanya mengangguk dan tersenyum. Ia menepuk bahu Biandra sebelum membawa ember kosong itu ke bawah. "Kalo ada apa-apa, jangan sungkan bilang ke Mbak, ya," ujar Eva yang ditanggapi Biandra dengan seutas senyum. Ia membuka handuk yang membungkus rambutnya. Membiarkan rambut panjang itu tertimpa sinar sang surya. Membantunya mengeringkan rambut dengan pengering alami. Semilir angin dan sinar mentari yang masih malu-malu memancar. Menutup matanya sambil menghela napas, Biandra menghadirkan sebuah senyuman yang terbit di bibir manisnya. "Besok coba lagi." Ia berbisik pelan di sana. *** "Gimana, Neng? Udah ada?" Ibu Asti sang pemilik kontrakan duduk di kasur sebelah Biandra. Ia mengusap paha Biandra pelan. "Bukannya Ibu nggak kasian, masalahnya Ibu juga lagi butuh, Neng." Usapannya berhenti saat mata wanita paruh baya itu menatap ke dalam netra sang gadis belia. Biandra menurukan pandangan. Telapak tangannya berkeringat. Merasa tidak enak karena belum membayar uang sewa selama dua bulan terakhir ini. Takutnya dia diusir dari sini karena menunggak. "Tadinya Bian mau bayar sekarang, cuma belum cukup. Rencananya mau lunasin nanti pas gajian sekarang, Bu," ujar Biandra. Sebenarnya Biandra sudah biasa mengatasi hal seperti ini. Didatangi pemilik kontrakan untuk menagih uang bulanan. Sudah dua bulan ia mangkir dari kewajiban. Berat rasanya memikul beban sekarang. Beruntung saja ia masih diperbolehkan tinggal di sini. "Jadi kapan, Neng mau bayarnya? Ibu tunggu ya, kalo gitu." Bu Asti mengusap pundaknya dan mendaratkan sebuah tepukan di sana. Kemudian ia keluar dengan membuka pintu kamar yang langsung menghubungkan ke balkon, tempat di mana tadi Bu Asti masuk. Untung saja wanita itu masih bisa memaklumi keadaan Biandra. Kalau tidak, ia sudah buntu. Tak tahu harus pindah ke mana lagi. Merasa beruntung karena orang-orang baik selalu ada di sekelilingnya. Ini adalah alasan mengapa ia meminta lembur dari Adit. Seberapa besar ia mengejar, garis finishnya juga semakin menjauh. Semakin besar langkah yang harus ia ambil. Bunyi gawai tiba-tiba mengagetkannya. Ia segera turun saat itu juga. Menuruni undakan tangga kayu itu dan memunculkan suara ketukan yang khas dari langkah yang terburu. Lalu menggeser tombol hijau di sana. Nomornya tidak diketahui. "Iya?" Suara di seberang sana kemudian menjawab. "Sekarang?" Biandra memandang ke arah bawah, pakaiannya tidak mungkin seperti ini. Sedangkan kaos kebanggaannya sudah di cuci dan ia sangsi, baju itu belum kering bahkan setengahnya. "Nggak papa, cuma beli bahan masakan aja. Pake baju bebas juga boleh." Suara itu kemudian menjawab pemikiran Biandra seakan tahu, keterdiamannya barusan adalah tentang hal itu. Biandra segera bergegas, mengganti kaosnya dengan baju yang lebih layak dan segera melesat ke tempat yang disebutkan. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN