"Mau makan apa?" Kafka membuka halaman menu yang ada di genggamannya. Memilih apa saja yang perutnya inginkan. Suasana restoran yang lenggang tidak membantu Biandra menetralkan degup jantungnya sedari tadi. Membuat gadis itu tidak menjawab pertanyaan Kafka. Tautan tangannya masih sama seperti beberapa menit lalu saat di dalam mobil. Perutnya mual, seperti ada tangan yang masuk ke dalam mulutnya, mengaduknya di sana.
Biandra tidak kuat lagi, tangannya membekap mulut. Suara gesekan kursi akibat dorongan yang dilakukannya membuat Kafka menoleh. "Kamu kenapa?" Kafka ikut berdiri mengikuti Biandra yang meremas perutnya.
"Saya mau ke toilet." Susah payah Biandra mengatakannya. Semoga Kafka menangkap apa yang dikatakannya, sehingga ia tiak perlu mengatakannya sekali lagi. Karena jika itu terjadi, ia tidak yakin bisa menahan gejolak perut di dalam sana agar tidak keluar.
"Saya antar," ujar lelaki jangkung itu hendak memapah Biandra. Dia pun ikut panik saat melihat gadis itu menahan mual yang kentara. Namun gadis itu terlebih dahulu menggeleng. Baiklah, Kafka mengerti. Ia hanya berjalan mendahului Biandra yang langsung diikuti gadis yang menutup mulut dengan satu tangan itu di belakangnya. Terlalu terburu saat pintu terbuka dan segera masuk.
"Saya tunggu di-"
Pintu toilet terlebih dulu menutup kencang. Kafka sampai melotot dibuatnya. Namun bukan hanya itu saja yang membuat Kafka tak berhenti memandang pintu bercat hitam itu. Melainkan suara erangan Biandra yang mencoba mengeluarkan isi perutnya.
"Dia mabuk perjalan?" Sebenarnya itu yang ingin Kafka pikirkan. Ada juga orang yang tidak bisa naik mobil terlalu lama, 'kan? Atau jangan-jangan, ini akibat pewangi varian jeruk yang dipasang dalam mobilnya? Entahlah, Kafka berhenti memikirkan hal yang bisa membuat gadis itu seperti ini. Tidak bisa menerka lagi atas dasar apa gadis itu muntah di dalam sana. Namun setelah mendengar isakan yang tertahan dari dalam sana, pikirannya tak sama lagi dengan yang pertama. Ia mengetuk pintu sebayak dua kali dan memanggil nama Biandra pelan. Baru setelahnya suara isakan itu berhenti.
"Kamu oke?" Dan lagi, ia tak mendapat sebuah jawaban apa pun.
Ada apa sebenarnya dengan gadis ini? Kenapa sampai menangis jika hanya mabuk? Lalu kemudian, seseorang masuk ke dalam toilet. Saat itu pula Biandra keluar dari sana. Rambutnya basah, mungkin karena air yang digunakan untuk mencuci wajah terkena rambutnya. Wajahnya lebih pucat dari sebelumnya.
"Kamu nggak papa?" Kafka segera melihat wajah Biandra dari dekat. Hanya ingin memastikan gadis itu tidak papa. Bisa gawat jika ia merasa sakit karena yang membawanya adalah Kafka.
"Sakit?" Baru sedetik punggung tangan Kafka menempel di dahinya, Biandra sudah menghempaskan tangan besar itu.
"Maaf, Pak. Saya kurang nyaman jika seperti ini."
"Seperti apa?" Kafka kembali bertanya.
"Seperti ini?" Ia kembali menaruh telapak tangannya lagi di sana. Meskipun Biandra sudah menggeleng menghindar, tangan Kafka yang satu menahan belakang kepalanya agar tetap diam.
"Kamu dingin."
"Tangan Bapak yang panas," jawab Biandra dengan memalingkan wajah kasar, lalu terlepaslah kontak fisik mereka.
"Ayo, kita lanjutkan makan."
Bagaimana caranya untuk menolak ajakan Kafka?
Ternyata tidak ada cara lain. Alhasil, mereka duduk dengan berhadapan di meja yang sudah tersedia dua piring makanan di atasnya. Kafka yang memesankan makanan itu untuk Biandra. Tanpa kata, mereka menghabiskan makanan dengan khusyuk.
Tidak tahu saja bahwa pria tampan di seberangnya terus memandangi Biandra dengan diam. Ada yang aneh dengan perempuan ini. Dan dia tidak bisa menebaknya meski itu yang ingin ia ketahui.
"Bapak kenapa liatin saya dari tadi?" Oleh kaca yang tebal, tidak mungkin terdengar suara kendaraan dari luar jendela membiarkan suara Biandra mengaum jelas di telinga Kafka. Itu juga yang membuat Kafka berkedip seraya mengalihkan pandangannya yang semula menatap.
"Saya sudah habis, kamu lama." Kafka memperlihatkan piringnya yang sudah kosong dengan kedikan dagu. Sedangkan piring perempuan ikat kuda itu masih tersisa cukup banyak.
"Saya kenyang." Biandra menggeser piringnya yang langsung di tahan Kafka.
"Makanan kamu cuma setengah porsi. Tidak mungkin kamu kenyang."
Biandra menggeleng lemah. Lalu Kafka berdecak. "Kamu jangan diet-dietan. Badan kamu sudah kecil. Habiskan." Kafka mendorong piring itu ke depan Biandra lagi.
"Saya bakal muntah kalo ngabisin semuanya."
Kafka berdiri dari duduk dan menyelesaikan p********n. Mengabaikan Biandra yang menatap makanannya sayang.
Kenapa tidak dibungkus saja? Sayang kalo dibuang. Kata otak gratisannya.
Biandra si penyayang makanan.
***
"Rumah kamu di mana?" Kafka memutar kemudi untuk keluar dari parkiran. Biandra yang semula diam dalam duduknya menoleh seketika.
"Saya nggak ikut ke Opecca?"
"Tugas kamu cuma nganter beli belanjaan. Itu sebabnya Adit nelpon." Ia menurunkan kaca mobil dan memberikan selembar rupiah berwarna hijau yang memang sering disimpan di dekat tempat tisu kepada tukang parkir yang tetap tersenyum meski diterpa sinar sang surya. Gigi ompongnya menyembul dari bibir yang melengkung senang. Tangannya menghentikan kendaraan di belakangnya agar mobil Kafka bisa keluar. Kafka membunyikan klakson sebagai balasan dari ucapan terima kasih yang lantang diucapkan tukang parkir itu. Kemudian Kafka menoleh kepada Biandra yang tak menanggapi perkataannya lagi. Seakan pasrah atas apa yang terjadi. Padahal gadis itu sedang berbicara dengan pikirannya.
'Yaah, dikira masuk lembur. Taunya cuma belanja doang. Pasti uang jalannya nggak sebesar lembur.'
Padahal laki-laki di sampingnya tidak tahu saja jika telepon yang diterimanya tadi pagi sangat berarti baginya. Seakan memberikan harapan jika ia akan mendapatkan jam lemburnya. Ia akan mendapat uang lebih minggu ini. Tapi nyatanya, harapan selalu dipatahkan oleh keadaan.
Melihat rambut panjang Biandra yang tersampir di bahu kecilnya membuat Kafka tidak percaya, bahwa gadis di sampingnya ternyata sudah memasuki kepala dua. Jika ia tidak bertanya pada Adit, maka ia akan mengira jika Biandra adalah anak SMA yang baru lulus kemarin sore. Dilihat dari postur dan tinggi badannya memang tidak mencerminkan usia matang.
"Anak baru itu lulusan sekarang?" Adit yang sedang membersikan bekas makannya di Opecca sedikit tersentak akibat pertanyaan tiba-tiba dari sang Bos. Ia lalu membilas piring itu dan menyimpannya bersebelahan dengan gelas khusus Kafka yang sudah dilabeli namanya di sepanjang pegangan gelas.
"Siapa? Bian?"
"Siapa lagi?" Kafka balik bertanya dengan semangat. Itu juga yang membuat Adit langsung melirik Kafka dengan sontak.
"Kenapa sih? Jangan bilang mau deketin." Adit mendelik sebal kepada Kafka yang masih memutar kunci mobil di jari tangannya. Lalu bertanya lagi tentang umur gadis itu. Terlalu ingin tahu segalanya, dan garis awalnya mungkin bisa melalui Adit yang mengurus penerimaan karyawan.
"Udah 24 doi. Kenapa sih?"
Hampir saja kunci mobil di jarinya terpental.
"Dua empat?"
"Yoi. Nggak keliatan, ya. Sama, gue juga ngiranya anak baru lulus kayak Cika. Pas gue liat pengalaman kerjanya, ternyata udah banyak. Gila. Diumur segitu udah banyak yang dicoba. Dia nggak betahan apa nyari yang gimana, ya?"
"Kapan-kapan kasih gue berkasnya." Kafka lalu melenggang, meninggalkan Adit yang sibuk mengumpat karena hari ini akan menjadi super duper sibuk. Tapi tidak apa, Kafka sudah memberikan dua hari libur padanya. Tidak apa jika hari ini ia akan bekerja ekstra mengurus keperluan dapur dua hari ke depan.
Percayalah, sahabat sekaligus atasannya ini terlalu membiarkan Adit untuk mengurus Opecca ketimbang dirinya sendiri. Kafka sering menanyakan perihal perempuan yang sedang dekat dengan Adit. Mana bisa memperhatikan seorang perempuan, jika Kafka terus menyuruh Adit hanya berfokus pada Opecca. Lalu kepala Adit ditabok keras oleh Kafka saat berujar, bahwa Bu Leah adalah perempuan yang sedang dekat dengannya saat ini.
Tidak salah, 'kan?
***
"Saya turun di depan aja," ujar Biandra tiba-tiba.
"Saya anter sampe rumah. Tunjukkan saja arahnya." Yang tetap ditolak Biandra dengan alasan ia akan mampir ke suatu tempat dahulu sebelum pulang ke rumah.
Di dalam mobil beraroma jeruk ini_akibat pewangi yang terpasang di atas dashboard di depannya_ mereka hanya menghabiskan sisa perjalanan dengan diam. Sebelum akhirnya Biandra undur diri dengan membuka pintu penumpang yang sebelumnya dibuka kunci oleh Kafka.
"Saya pamit, Pak. Hati-hati di jalan." Kafka memperhatikan gadis di seberangnya dengan diam. Lalu berujar, "kamu juga. Hati-hati." Setelahnya, Biandra berjalan mendahului Kafka yang belum menarik gasnya.
Pria itu masih memperhatikan Biandra dari dalam mobil tanpa sepengetahuannya. Ia hanya sedang menerka, ada apa dengan gadis itu sedari tadi. Ah tidak, dari awal mereka bertemu di Opecca pagi itu. Kafka sudah bisa menduga, bahwa ia tidak baik-baik saja. Lalu setelahnya, pertemuan di super market. Dengan menatap dalam bola matanya, Kafka menjadi semakin yakin. Gadis itu mempunyai sesuatu yang disembunyikan dari banyak orang. Tatapan mata yang tajam dan penuh dendam meski terbalut dengan sorot sayu, ia tahu. Yang menjadi pertanyaannya sejak saat itu adalah, masalah apa yang dihadapinya sehingga memiliki tatapan tak biasa seperti itu.
Bukan Kafka ingin mencampuri urusan orang lain, orang yang bahkan baru ditemuinya beberapa kali. Ia hanya tak ingin kehilangan orang yang bekerja di bawah naungannya jika terjadi hal yang tidak diharapkan oleh pikirannya sekarang.
Karena ia pernah memiliki seseorang yang juga memiliki sorot sama. Tatapan yang sama pula. Tapi dengan tragis, ia harus pergi selama-lamanya.
Dan ia tak akan membiarkan orang lain mengalami hal serupa. Tidak akan pernah.
***