Jika memang ia tak bisa mendapat hari lemburnya dari Opecca, maka tak ada pilihan selain ia kembali menjadi kurir makanan. Apa pun itu. Ia tak bisa jika terus berdiam di rumah tanpa melakukan apa-apa. Entah itu menjadi kurir Pizza Sherloss atau membantu Dewi di salonnya. Seperti kegiatan yang selalu ia lakukan saat bekerja di tempat sebelumnya. Ia biasa menghabiskan hari libur dengan pekerjaan seperti itu. Semenjak awal ia menginjakkan kaki di kota ini, ia tidak pernah mengenal hari libur. Apa itu hari libur?
Ia lalu berjalan melalui gang kecil yang setiap pagi yang memang sering tercium wangi bedak bayi di sepanjang jalan. Anak-anak itu dengan muka cemong khas baru mandi sedang bersiap hendak sekolah. Entah itu PAUD atau SD. Mereka tak jarang menaiki angkot yang sama. Dan Biandra menyukainya. Seperti saat ini, bocah dengan seragam putih merah itu berjalan pelan di depannya. Biandra lalu menyamai langkah kaki-kaki kecil itu tak lupa sambil menyapa. Anak berambut klimis itu menengok dan tersenyum.
"Nggak dianter mama?" Bocah dengan tas robot yang hampir menutupi punggungnya itu menggeleng. Lalu mereka menunggu angkutan umum setelah sampai di jalan raya. Biandra bertanya kembali, "Bareng sama aku, ya?" Setelah anak itu mengangguk, barulah Biandra menggandeng tangan yang terlalu kecil berada dalam genggamannya dengan lembut. Tangannya dingin sekali. Ia lalu menunduk dan mengambil tangannya yang satunya. Menggenggam keduanya dalam satu kukungan. Biandra mengusap pelan di sana. Tentu saja sambil bertanya sekolah di mana dan kelas berapa. Padahal ia sudah tahu dari atribut yang dikenakan di seragam itu.
"Ayo, angkotnya udah ada." Biandra menuntun anak itu untuk masuk ke dalam angkot terlebih dahulu. Lalu tertegun karena tak mendapat tempat duduk.
"Sini geseran, dipangku aja Adeknya."
Lalu ia duduk dengan tak nyaman di sebelah laki-laki itu.
"Ongkosnya udah di sini, ya." Biandra memperlihatkan uang dalam genggamannya. Anak itu mengangguk dan mengucapkan terima kasih dengan pelan. Biandra mengangguk dan tersenyum kecil. Semakin merapatkan pelukannya pada anak yang sedang dipangkunya.
"Kiri," ucap anak itu dengan lantang. Ia melepaskan pelukan Biandra dari perutnya dan turun setelah melihat gerbang sekolah di depan sana. Biandra yang duduk di belakang sopir mengatakan jika ongkos anak itu ada padanya. Lalu mobil berjalan kembali.
Tanpa sadar Dikri yang duduk di bagian paling belakang tak luput memerhatikan si gadis manis itu dari awal. Tak pernah ia melihat Biandra tersenyum seperti itu.
***
Ia mengeluarkan sandal dari laci paling bawah dan melepaskan sepatu. Menggantinya dengan sebuah sandal berwarna hitam sebagai ganti alas kakinya. Tentu saja harganya tak sedikit.
"Permisi, Pak. Ada Mbak Mey mau bertemu." Lalu terbukalah pintu itu dengan kencang. Menampilkan seorang wanita berbaju merah yang mengenakan bawahan yang tak lebih dari lututnya.
"Udah dibilang gak perlu pake ijin. Gue mau ketemu Arka, ch!" Frida si penerima tamu hanya bisa mengangguk sekali setelah Kafka memberi instruksi bahwa ia akan menangani perempuan yang sudah lama tak datang ke kantornya itu. Setelah pintu tertutup, barulah Meysa melenggok, mendekati Kafka yang menyibukkan diri dengan komputernya. Berusaha tak menggubris si wanita dengan parfum menyengat itu.
"Beib, kamu kok jarang dateng ke klub, sih?"
"Sibuk."
Tentu saja satu kata sebagai jawaban itu tak memberi kepuasan bagi seorang Meysa. Ia duduk di meja dan menyilangkan kakinya di depan Kafka. Dengan sengaja memperlihatkan paha mulusnya. Berharap menarik perhatian Kafka yang masih memusatkan matanya pada layar sialam itu.
"Nggak kangen aku?" Ucapnya s*****l. Tangannya merambat naik dari d**a Kafka menuju dagunya. Mengusap lembut di sana dengan tatapan yang sudah terbaca.
"Malem ini hang out, ya. Anak-anak juga sering nanyain." Wajahnya mendekat. Meniup telinga pria yang masih membisu itu. Ia tahu kelemahan laki-laki itu, titik s*****l yang akan merangsangnya. Kafka masih memperhatikan monitor yang menampilkan deretan kurva yang selalu menjadi permasalahan setiap bulannya. Tidak tertarik akan apa yang dilakukan perempuan yang mengenakan baju nyentrik itu.
"Diam artinya iya," ucapnya mengundang. Napasnya menerpa kulit wajah Kafka. Namun tidak ada respon berarti yang diberikan pria itu selain delikan mata, malas.
"Beib, kamu dengerin aku nggak, sih?" Satu senti lagi bibirnya mendarat di pipi Kafka sebelum pria jangkung itu mendorong kakinya ke meja, menyebabkan kursi yang didudukinya bergerak ke belakang. Meysa hampir terjatuh karena tumpuannya pergi. Wajahnya tertekuk. Tapi tidak bisa berbuat apa-apa setelah Kafka menariknya ke sudut. Memerangkapnya dalam tembok. Tentu saja ia senang. Bibirnya tertarik ke depan, mengartikan maksud Kafka yang semakin mendekatkan wajahnya. Hembusan nafas itu semakin terasa ketika sedikit lagi hidung mereka bertemu. Ia memejamkan mata hendak menerima ciu-
"Lo lupa kalo kita udahan?" Ia sontak membuka mata dan memandang Kafka dengan kaget. Kafka memalingkan wajahnya ke telinga Meysa yang sempat tertegun, tak percaya.
"Beib, kamu nggak bisa kaya gini. Kita udah lama nggak ketemu loh. Aku kangen kamu, dan respon kamu biasa aja kayak gini? Nggak bisa kayak gini, Beib." Meysa memandang Kafka dengan tajam. Tak kalah tajam dengan kuku panjangnya yang di cat merah.
"Bisa aja, tuh." Kafka kembali membuka lembaran dokumen di atas meja. Meysa mengepalkan tangan, geram. Lalu mengikuti Kafka yang sudah duduk lagi di kursi kebesarannya.
"Kamu- beib, hey. Liat aku," ucapnya. Suara seksinya menguar entah kemana. Berganti geram yang teramat. "We have a great s*x last night. Kamu nggak boleh lupain malam itu. Gimana kalo aku hamil?"
Kafka memandang Meysa setelah ucapannya menyentil telinga. "Gugurin, kalo gitu." Seringan kertas A4 di laci mesin fotocopy, seringan itu pula ucapan yang keluar dari mulutnya. Kafka membunyikan intercomnya dan meminta Frida untuk membawakan kopi tanpa gula ke sana. Harinya sudah sangat menyebalkan, jadi tidak perlu dipaksa dengan menambah manis ke dalam kopinya. Pahit adalah rasa terjujur untuknya.
"Kamu nggak bisa gini. Aku udah ngasih semuanya ke kamu."
"Gue nggak minta. Oh iya, we have a great s*x itu maksudnya apa, ya? Lo main sama laki-laki lain dan dateng ke gue, dan ngaku-ngaku kalo kita beneran ngelakuin itu? Lo ngelantur kalo ngomong."
Meysa menggertakan giginya. Bibir merona itu menipis, menampakan garis lurus karena berusaha menahan cacian yang ingin dikeluarkan. Tapi ia tidak menumpahkan semua itu di hadapan Kafka. Hanya sebuah senyuman yang diberikannya. Berharap bisa meluluhkan pria itu.
Frida membuka pintu setelah Kafka memberikan akses masuk. Ia sedikit canggung melihat pemandangan di depannya. Di mana Meysa memandang tajam ke arahnya dan Kafka yang tersenyum ceria. Keduanya sama-sama horor bagi Frida. Kafka tidak biasanya menampilkan senyuman selebar itu. Apalagi tidak ada yang lucu di sini. Raut wajah Meysa tentu bukan alasannya. Ia yakin seratus persen.
"Keluar."
Satu kata itu membuat Frida mengangguk patuh. Selangkah lagi ia mencapai pintu, Kafka kembali berujar yang membuat jantungnya memompa lebih kencang.
"Bawa sekalian. Dia mungkin lupa pintu keluarnya di mana." Tentu saja kedikan dagunya mengarah ke Meysa yang memelototkan mata. Seakan Meysa adalah bungkus makanan yang bisa Kafka buang dengan menyuruh Frida membawanya.
Suasana jadi semakin canggung saja ketika ruangan besar itu serasa menyempit. Kafka berjalan santai membawa kopinya ke sofa yang berada di dekat pintu masuk. Menduduki benda empuk itu dan menyilangkan kaki. Menyeruput kopinya dan menghirup dalam-dalam di sana. Yang oleh Meysa ditanggapi dengan delikan tajam. Namun buru-buru mengubah raut wajahnya dan menampilkan senyuman andalannya.
"Oke kalo ini mau kamu. Nanti kita bicarain lagi, ya." Yang sejujurnya ia hanya menahan gemelatuk gigi agar tidak bersuara. Tangannya mengepal kuat di bawah sana. Meysa lalu menyambar tasnya di atas meja dan menghentakkan kaki. Inginnya sih, Kafka menahannya sebelum ia mencapai daun pintu. Namun Kafka tidak peduli. Saat membuka pintu pun, Kafka masih tidak peduli. Meysa menutup pintu dengan kencang. Sekali lagi, Kafka tidak peduli.
***
"Mbaknya masuk aja, deh sendiri. Saya ngeri kalo harus masuk lagi ke dalem." Frida yang baru saja kembali ke mejanya melihat sebuah jinjingan kecil yang pembawanya sedang menulis di buku pengunjung tepat di hadapannya.
Kurir itu menatapnya selama tiga detik.
"Iya, Mbak tinggal masuk ke ruangan sana, pintu kiri." Frida memberikan jinjingan itu kembali pada si Mbak Kurir yang menatapnya heran.
"Tapi, saya-"
"Nggak papa, saya nggak kuat kalo disuruh masuk ke dalem lagi." Tatapan mata yang meyakinkan dari sang resepsionis itulah yang membuatnya mengangguk. Menyanggupi permintaan Frida untuk menyerahkan bingkisan kecil itu langsung ke ruangan yang dimaksud.
Baru saja langkahnya hendak mencapai pintu yang ditunjukkan Frida, seseorang di dalam sana membuka pintu dengan suara hak yang sangat nyaring. Sepertinya memang sengaja demikian, karena saat menutup pintu pun dibantingnya penghubung ruangan berwarna coklat itu keras-keras. Biandra sampai kaget dibuatnya.
Apalagi delikan tajam perempuan berbaju merah itu padanya. Jika boleh Biandra menebak, pasti ini alasan wanita di depan tidak mau mengantarkan dasi titipan Adit ini ke ruangan Kafka.
Setelah mengetuk pintu, Biandra melihat Kafka yang sedang memijit pangkal hidungnya di sana. Masih menunduk, laki-laki itu berujar dengan lelah. "Apa lagi, sekarang?"
"Ini saya, Pak." Jika tadi ia mencoba tidak peduli pada apa yang dilakukan Meysa terhadapnya, menolak pergi bersama Frida dan tetap kukuh untuk membicarakan hal yang tidak masuk akal itu. Maka suara yang didengarnya ini tak bisa ia ke sampingkan. Kafka melihat ke arah pintu, di mana seorang gadis dengan jaket yang terlalu besar dikenakan tubuhnya membawa sesuatu yang dimintanya kepada Adit beberapa jam lalu.
"Bawain dasi yang ada di atas." Adit mendecak di seberang sana. Kafka masih menempelkan ponsel pada telinganya. "Buruan, mau gue pake nanti siang."
Adit dengan kesal naik ke ruangan yang katanya berhantu itu dengan sebal. Suara sepatunya terdengar sampai telinga Kafka yang malah menarik bibir. Seakan itu hal menyenangkan baginya.
"Di mana, sih?" Adit membuka lemari di sana. Mencari benda yang diminta Kafka dari seberang telepon.
"Paling bawah, pokoknya. Nggak ada lagi lemari di sana. b**o banget kalo lo nggak nemu." Kafka menjauhkan ponselnya saat u*****n Adit mengaum di telinganya. Namun bibirnya tertarik ke atas. Seolah senang dengan respon Adit yang jelas-jelas jengkel kepadanya.
"Anterin sekarang. Nggak pake lama."
"Ini lagi rame. Gue nggak bisa ke sana sekarang." Adit menyahut setelah mendapatkan dasi berwarna hitam itu.
"Suruh orang, lah. Biasanya juga gitu."
"Elu itu mah, yang suka nyuruh-nyuruh." Suara Adit sudah geram terdengar di sambungan itu. Kafka hanya tertawa sebagai balasan.
"Buruan." Lalu sambungan itu Kafka putuskan. Tidak tahu kalau orang yang dikirimkan Adit adalah Biandra. Biasanya Bayu yang akan menyampaikan permintaanya. Jika seperti ini, suasana menjadi canggung. Bagi dirinya sendiri tentu saja. Karena gadis yang masih berdiri di depan pintu sana hanya diam memandanginya dari kejauhan dengan biasa saja. Hanya dirinya yang merasa gelisah di sini.
Adit sialan.
Berbanding terbalik dengan Adit yang sedang menumis olahan daging di dapur Opecca itu tersenyum puas.
"Mampus. Gue kirimin Bian sekalian. Siapa suruh hari libur gue dicancel."
***