Biandra yang baru menginjak ruang karyawan di belakang tiba-tiba di tarik oleh Adit untuk cepat-cepat ke dapur.
"Bantuin dapur lagi, ya. Hari ini dadakan banget ada yang nyewa rooftop." Adit mengedipkan matanya berusaha membuat Biandra bersedia. Anak-anak lain belum datang. Entah mereka lebih nyaman datang mepet jam kerja atau memang Biandra yang tak terbiasa membuat jam seperti itu. Hanya dirinya dan Adit yang sudah ada di Opecca saat ini.
Ia hanya berusaha bertindak layaknya pegawai baru yang belum tahu apa saja yang harus dilakukan. Makanya selalu datang lebih awal. Jika demikian, ia bisa menyapu atau mengepel lantai depan terlebih dahulu saat yang lain datang, maka lantai sudah kinclong.
"Bu Leah nggak masuk hari ini. Mampus, kita keteteran." Biandra sudah menggunakan penutup kepala dan apron yang diberikan Adit barusan. Ia mulai mengupas bombay di sana. Sedangkan Adit mengiris daging yang baru saja dikeluarkan dari freezer.
"Wah, udah mulai Bang?" Dikri kemudian bergabung bersama mereka. Ia menghaluskan bumbu dalam blender di belakang Biandra.
"Bu Le beneran nggak akan masuk? Seriusan, Bang?" Suara Dikri hampir teredam mesin penghalus itu. Adit mengangguk dan mulai berpindah tangan membersihkan beberapa bahan pelengkap di wastafle.
"Berapa orang?"
"Katanya nggak bakal nyampe dua puluh. Mana mereka minta lobster sama kepiting, lagi." Adit masih menggerutu dengan hewan bercangkang merah itu yang sudah dicuci bersih.
Teriakan selamat pagi terdengar dari depan sana. Suara nyaring itu tentu saja keluar dari bibir ceriwis Cika yang datang bersama Bayu. Mereka berjalan mendekat sambil melihat gawai dan memastikan beberapa hal yang harus dibeli kepada Adit.
Setelah Adit mengoreksi dan menambahkan beberapa hal yang harus dibeli lagi, Bayu melesat menggunakan motornya dengan Cika. Mereka memang seumuran, mungkin itu yang membuat keduanya sering bersama.
"Kenapa balik lagi?" Bayu berlari kembali datang ke dapur.
"Kuncinya ketinggalan," jawabnya sambil terkekeh diakhir kalimat. Laki-laki yang baru menginjak umur dua puluh itu mengambil kunci motor dari dalam jaket yang sebelumnya sudah ia simpan ke dalam loker pegawai.
Semua orang yang menyaksikan berdecak melihat kelakuan Bayu. Bayu hanya meringis dan melesat kembali menghampiri Cika yang berdiri di depan sana.
Mereka lalu fokus pada apa yang sedang dikerjakan.
Lalu saat jam makan siang datang, para tamu yang memesan lantai atas datang bergerombol. Chika, Amel dan Biandra menuntun mereka menuju tempat yang sudah disediakan.
"Ini tempat makan yang direkomendasiin temen saya. Makanannya enak banget katanya. Makanya saya ajak Jeng sekalian ke sini." Satu ibu-ibu dengan tas mengkilap yang dibawanya memandu ibu-ibu lainnya, ia memimpin di depan sana, yang sudah Amel tunjukkan mejanya.
Adit sudah menata makanan di meja sana dengan sangat cantik. Lalu setelahnya, Adit turun untuk membawa hidangan lainnya sebagai pelengkap. Namun belum sempat tangannya mengambil piring di tengah meja sana, dering gawai di sakunya membuat Adit mengangkat panggilan itu dengan mata malas.
"Bawain dasi di laci atas."
Begitu kiranya kata pembuka dari seberang sana. Benar saja firasat Adit tidak enak. Ia akhirnya mengetahui alasan jantungnya berdetak lebih kencang sebelumnya. Kafka sialan yang selalu mengganggu jam kerjanya. Sekarang apalagi katanya? Dasi? Di laci atas?
Adit dengan terburu naik ke lantai atas. Tentu saja dengan perasaan jengkel. Namun mau bagaimana lagi? Jika sang Paduka sudah bertitah, Kacung harus patuh. Kafka Sialan Arkais. Mengapa tidak menyelipkan gelar itu di tengah namanya?
"Di mana? Nggak ada, juga."
"Pake mata nyarinya, Didit," ucap santai disambungan sana. Hampir saja Adit mengeluarkan umpatannya pada Bos kesayangan semua orang itu. Tapi tidak, ia hanya menyimpannya dalam hati saja. Nanti saja ia berpikir untuk membalasnya.
"Kirimin secepatnya. Siang ini gue mau pake."
"Nggeh, Raden Kafka." Adit membuka laci satu persatu. Mulai dari paling bawah hingga laci teratas. Ternyata tertutup dua jam tangan Kafka. Pantas saja tadi dicari tidak ketemu.
Oleh semena-menanya sikap Kafka, itu yang membuat Adit ingin membalas dendam dengan membiarkan Bayu kali ini tidak pergi ke tempat Kafka.
"Bian, saya minta tolong bisa?" Gadis itu mengelapkan telapak tangannya ke apron dekat pahanya. Lalu menghampiri Adit setelahnya.
"Anterin ini ke alamat sini. Berhubung Bayu lagi keluar, kamu bisa naik motor, 'kan?" Biandra mengangguk sambil menerima jinjingan kecil dari tangan Adit. Pria jangkung itu memberinya kunci motor dan berkata bahwa jam satu harus sudah kembali lagi. Tentu saja Biandra menyanggupinya. Ia hanya tinggal membuka apron Opeccanya dan berjalan ke tempat parkir. Namun sebelum itu, seseorang menyodorkan sebuah jaket tepat di pintu belakang.
"Pake jaket gue. Di luar panas banget." Dikri masih menggantungkan tangannya di depan Biandra sebelum gadis itu mengambilnya dan berterima kasih. Lalu Dikri kembali bertugas membuat minuman di sana.
Biandra berjalan menjauhinya dengan memakai jaket yang sudah tentu kebesaran bagi tubuhnya. Tapi wangi maskulin cowok itu memberikan aroma nyaman bagi Biandra yang sudah mengenakan helmnya. Dengan melihat alamat itu sekali lagi, ia sempat terdiam untuk menerka apakah jalanan kali ini bisa membantunya untuk kembali ke Opecca dengan tepat waktu, sesuai yang diperintahkan Adit atau tidak. Maka dengan segera, ditariknya gas itu dan ia mulai menlajukan motor membelah jalanan lumayan ramai ini ditemani sinar matahari yang tidak akan mudah membakar kulitnya berkat jaket Dikri.
***
Kafka masih memandang Biandra yang juga belum beranjak dari sana.
"Saya simpan ini di mana?" Seakan tersadar dari lamunan, Kafka bangkit dan mendekatinya untuk sekalian mengambil barang sialan yang menjadi alasan jantungnya berdegup lebih kencang.
"Kalau begitu, saya permisi." Setelah barangnya diterima Kafka, tidak ada alasan lain untuk Biandra tinggal di ruangan dingin itu. Tadi sewaktu masuk ke sini, perasaan ini pernah ia rasakan saat memasuki pintu swalayan. Panas matahari langsung lenyap karena dingin yang langsung menerpa badannya. Tentu saja, ruangan luas ini dilengkapi pendingin ruangan.
"O-oke." Jawaban itu keluar dari mulut Kafka dan dengan percaya diri_sedikit. Ia mendekati Biandra. Tentu saja untuk mengambil dasi yang diletakkan di atas meja sana oleh Biandra. Untuk apalagi? Aah, mungkin melihat wajah lelah itu bonus bagi Kafka. Matanya mengerjap pelan dan tangan yang ditautkan di balik lengan jaket kebesaran itu. Gelagat yang sangat ingin Kafka ketahui karena semakin dekat langkahnya, gadis itu semakin memundurkan kakinya hingga hampir menabrak pintu.
"Kenapa?" Kafka mengambil benda itu dari meja meski tatapannya tak lepas dari Biandra. Gadis itu menggeleng sebagai jawaban.
"Saya pamit," ujar Biandra kemudian. Yang tidak bisa ditanggapi Kafka selain anggukan.
Suara pintu yang dibuka dengan tiba-tiba itu mengagetkan Biandra hingga terhuyung ke belakang. Untungnya sikap sigap Kafka menahan lengannya agar kaki Biandra tidak terkantuk ujung meja di sana. Ditariknya pinggan Biandra agar lebih merapat ke arahnya.
"Masa kaca ma-" perempuan itu menahan mulutnya ketika melihat Kafka merangkul seorang gadis udik di hadapannya. Niat Meysa mengambil kaca mata yang tertinggal ternyata memberikan sebuah kejutan kecil bagi perasaannya. Atau mungkin tidak bisa disebut kecil.
Apalagi Kafka yang sadar dengan keadaan, malah semakin mempererat rangkulannya di bahu Biandra.
"Beib, kamu ... ngapain?" Jika bisa didengar, maka suara Meysa sarat akan kesinisan yang nadanya amat merendahkan bagi siapa pun yang mendengarnya. Ah, jangan lupakan delikan di matanya yang hitam karena memakai eyeliner tebal.
"Kamu duduk dulu, ya." Biandra digiring untuk duduk di sofa oleh Kafka. Oleh rasa terkejut yang luar biasa, Biandra hanya bisa mematung mengikuti instruksi dari Kafka.
"Ambil."
Kaca mata tidak berdosa itu diberikan Kafka kepada Meysa dengan kasar. Yang tentu saja memancing rasa panas dihati Meysa.
"Apa lagi? Gue ada tamu penting. Hush, keluar."
"Sepenting apa Tukang Bersih-bersih itu di mata kamu?"
Kurang ajar. Kafka menatap Meysa tajam. Tentu saja Biandra sadar, bahwa 'si tukang bersih-bersih' itu ditujukan padanya. Tapi tidak ada pembelaan apa pun yang keluar dari bibir pucat itu.
"Tukang Bersih-bersih yang lo maksud, siapa?"
"Udah deh, Beib. Nggak usah bikin ini kayak sinetron murahan. Ngapain cewek udik ini ke ruangan kamu kalo bukan mau bersihin sampah?"
Kafka hendak mendorong Meysa dengan paksa jika bukan Biandra yang lebih dulu bangkit dan mendekatinya. Sebentar, sejak kapan jaket itu diikatkan di pinggang dan rambut panjang yang tergerai indah membalut punggungnya. Tampilannya menjadi sedikit ... keren.
"Sayang, kita jadi makan?" Ujar Biandra dengan berani. Suaranya halus namun penuh percaya diri. Empat pasang mata memandanginya kaget. Terlebih Meysa yang memasang tampang tidak percaya akan apa yang didengarnya.
"Ayo, aku udah laper." Biandra menarik kemeja pada lengan Kafka, merajuk.
Meysa terbahak sambil menunjuk Biandra tanpa henti. Satu tangannya ia gunakan untuk menutup mulut. Tentu saja jenis tawa yang terdengar dipaksakan.
Menangkap maksud Biandra, Kafka mengelus kepalanya pelan. Memberikan sebuah senyuman dalam bagi gadis yang baru saja membuatnya terkejut luar biasa. Bagaimana bisa sikapnya berubah drastis? Tapi sekarang, bukan itu yang harus dipikirkan Kafka. Yang harus dipikirkan adalah bagaimana mengusir jelmaan belut ini agar enyah dari ruangannya, ah tidak. Dari hidupnya.
Tawanya mereda seiring raut wajah tak suka.
"Ngapain manggil Sayang ke Arka? Beib, dia lancang banget manggil kamu-"
"Pacar manggil Sayang, wajar dong. Lo yang nggak wajar manggil Bab-Beb, Bab-Beb ke orang lain. Sana ah, pergi."
Tertohok, itu juga asalan Meysa menepis kasar lengan Biandra pada kemeja Kafka. Biandra mundur sedikit karena dorongan kuat yang diberikan Meysa membuat keseimbangannya goyah.
"Dibayar berapa buat jadi pelacurnya Arka?"
"Cukup! Keluar gue bilang!" Teriakan seorang pria dengan mata membulat itu cukup membuat kedua perempuan di sana terdiam karena kaget. Terlebih Biandra yang tersentak hebat karenanya.
Tak ada kata-kata yang dikeluarkan Meysa lagi. Dadanya sudah naik turun karena rasa geram yang teramat dalam. Ia memberikan delikan tajam sebagai salam perpisahan sebelum menutup pintu keras-keras.
Sedetik kemudian, tubuh Biandra terduduk lemas. Pandangannya mengabur dengan keringat di dahinya. Padahal ruangan ini sejuk dengan pendingin. Itu juga yang membuat Kafka ikut berjongkok, dan mendapati muka pucat itu semakin pasi dengan kedua tangan bergetar hebat. Pandangan matanya kosong. Kafka bingung luar biasa saat ini. Sebuah bisikan pelan keluar dari bibirnya.
"Sakit ...," paraunya.
Dan Kafka tahu jika perempuan ini jauh dari kata baik-baik saja.
***