10. Berusaha Bercerita

1612 Kata
Denis datang dengan motor hitamnya, menyerahkan helm kepada Isyara, lalu mereka melesat entah ke mana. Isyara juga tak tahu. "Kita mau ke mana?" "Hah?" "Mau ke mana?" Suaranya meninggi karena takut Denis tidak mendengarnya akibat helm yang dipakai laki-laki itu. Seperti yang sudah ia katakan dua kali sebelumnya. "Hah?!" Isyara langsung terdiam, sebal karena suaranya tak terdengar Denis. Dan raut wajahnya terlihat dari kaca spion. Membuat Denis tersenyum geli di balik helmnya. "Lo dari tadi denger gue, 'kan? Cuma pura-pura budeg aja?" Lalu seketika, tawa Denis menyembur keras. Membuat Isyara semakin sebal dan langsung memukul bahunya kencang. Untung saja keseimbangan Denis bagus, motor yang dikendarai mereka tidak oleng sedikit pun. Gadis cerewet di belakangnya tidak tahu saja jika dalam helm hitam itu, laki-laki hitam manis yang sedang menyeimbangkan kecepatan motor tersenyum geli melihat delikan mata yang dutujukan padanya. Tentu saja ia mendengar apa yang ditanyakan penumpangnya itu. Jika bertemu Biandra, maka Denis ada dikubunya. Ia tidak main-main saat mengatakan, sangat menyenangkan mengusili Isyara. Itu memang sungguhan. Denis juga merasakannya. "Ke surga bareng gue, mau?" "Najis kepedean." Mereka saling berteriak menyuarakan suaranya yang teredam pelindung kepala itu. Beberapa menit kemudian, motornya berhenti melaju. Berhenti di sebuah warung makan pinggir jalan yang terlihat ramai. Membaca spanduk di depannya, Biandra memekik heboh. Beberapa pembeli di sana menatap mereka dengan kernyitan di dahinya. Beberapa ada yang mendelik tidak suka karena mengganggu ketenangan di sana. Plak. Denis menabok helm yang masih digunakan Isyara. Kacanya sudah dinaikkan terlebih dahulu. "Sakit, b**o!" Isyara mengusap kepalanya perlahan. Tapi itu adalah usaha yang sia-sia karena hanya helm yang dielusnya. Denis lagi-lagi tersenyum malu, melihat orang-orang menertawakan tingkah konyol Isyara. "Lo juga b**o. Sini, gue bukain." Denis menarik kepala Isyara dan membuka pengait helm di bawah dagunya. "Bisa masang nggak bisa buka," cibir Denis yang juga sudah membuka helmnya. Ia menyugar rambut ke belakang, Isyara pun demikian. Merapikan rambutnya di depan spion motor Denis. "Masuk ah, cepet. Ntar keburu abis." "Skuy, lah." Isyara mengamit lengan Denis dan berjalan dengan santainya. Denis melepaskan gandengan Isyara pada lengannya dan mendorong punggung si rambut pendek itu. Memilih kursi paling pojok yang memang hanya tersisa satu di sana. "Asiiik, tengkleng. Gila, udah berapa abad nggak makan tengkleng lagi." Isyara memekik sambil menggoyangkan kedua kakinya di bawah meja. Membuat semua barang di atas meja menjadi bergoyang kecil. Denis menghentikan kegiatannya dengan mencapit kedua kaki bersepatu putih itu dengan kakinya yang panjang. Lutut mereka bertemu di bawah meja. "Diem, mejanya goyang." Bibirnya menekuk mendengar perkataan Denis. Tak lama, makanan berkuah dengan beberapa biji cabai mengambang di mangkok cap ayam itu datang ke mejanya. "Kayaknya besok udah masuk, deh." "Beneran?" Isyara tidak jadi menyendok nasi ke mulutnya. Denis mengangguk sambil memisahkan cabai ke dalam asbak yang ada di sudut meja. "Asiiik, tenang Bro, nanti gue kasih duit tariknya. Swallow." "Selow," koreksi Denis. Denis memandang Isyara dengan diam. Memperhatikan sobat karibnya yang sedang melahap makanan berkuah pedas itu. "Lo ... ih, napa di makan sekalian itu cabe?" Denis bergidik saat gadis sompral di hadapannya itu menggigit cabai merah besar itu dengan tenang, seakan melahap daging iga. "Pedes, kek omongan tetangga." "Kenapa lagi tetangga lo?" Bukannya kepo atau bagaimana, tapi sedikit banyak Denis tahu alasan kenapa Isyara dan kakaknya memutuskan pindah dari tempat tinggalnya terdahulu. Padahal tempat itu lebih dekat dengan jalan raya, tidak perlu melewati gang-gang kecil yang menyulitkannya saat membawa motor. "Kagak, yang sekarang mah pada baik, kok." "Syukur kalo gitu. Dah ah, cepetan abisin. Biar cepet pulang." "Yaaah, kok pulang?" "Ya terus mau ke mana lagi? Gue 'kan ngajak temenin makan doang." Denis menyendok kuah ke dalam mulut agar bertemu dengan daging iga itu. Segar rasanya menikmati semangkok tengkleng pedas dan Teh Manis. Denis melirik Isyara dengan senyuman tipis. Gadis itu sedang fokus dengan es batunya. "Cuci mulut, lah. Es krim, ya?" Mendengarnya saja Denis sudah ngilu. Isyara mengatakan itu sambil menggigit batu es yang berhasil dikeluarkannya dari gelas jangkung itu. Bisa apa lagi, Denis selain mengangguk pasrah. *** Hujan kembali mengguyur sebagian kota. Padahal masih sore, tapi langit beranjak gelap. Ia cepat-cepat mengambil jemurannya di atas. "Adek belum pulang," gumamnya sesaat setelah menumpuk baju ke atas kursi. Alasan ia jarang melipat baju di kamar atas adalah letak lemari yang berada di lantai bawah. Jadi percuma saja jika dilipat di atas, tetap harus disimpan ke bawah lagi. Percayalah, rumah sempit sekali pun jika harus bolak-balik, mager juga. Suara hujan menyerang genteng semakin keras, Biandra segera menutup jendela kamar atas dan mengunci pintunya. Pikirannya masih tertuju pada Isyara yang sampai detik ini belum mengetuk pintu. Apakah mereka kehujanan? Lalu ia beranjak menuju toilet, menutup saluran pembuangan dengan kaleng bekas cat yang diisinya dengan air agar menahan hewan yang tak diinginkan naik ke kamar mandinya. Pernah ada tikus besar yang berhasil masuk melalui saluran air itu dan masuk ke dalam rumahnya. Heboh sekali saat itu, apalagi Isyara yang ketakutan tapi tetap ingin mendapatkan binatang pengerat itu agar mati, keluar dari rumah mereka. Biandra bergidik saat tangannya bersentuhan dengan air, dingin sekali. Untung saja ia sudah mandi. Baiklah, ia akan melakukan hal yang wajib dimakan saat hujan-hujan begini. Apalagi jika buka mi instan. Makanan yang tidak akan pernah bosan untuk masuk ke perutnya. Jika Isyara adalah pecinta pedas, maka Biandra adalah seratus delapan puluh derajatnya. Ia tidak suka makan yang terlalu pedas. Oleh karena itu, bumbu pedas dalam mi saja ia tidak memasukkanya. Jika Isyara ada di sini sekarang, ia pasti akan berkata, "Payah banget sama cabe segitu doang. Apalagi sama cabe di sekolah aku, beuh nampol banget." Meski tidak tahu cabe apa yang di maksud, yang ada di sekolahnya, Biandra tetap bungkam. Tidak ingin meladeni nyinyiran adiknya. Lalu ia menikmati olahan tepung berkuah itu dengan khidmat. Hanya ditemani suara hujan yang bergemuruh ke atas atapnya juga samar-samar aroma petrichor yang disukainya. Aroma ini mengingatkannya pada kampung halaman. Apakah bapak, baik-baik saja di sana? Siapa yang mengurus bapak sekarang? Makannya apakah selalu terjaga? Selalu pertanyaan itu yang melintas di kepala Biandra ketika mengingat sang ayah yang nun jauh di sana. Meski kenangan terakhir saat bersama bapak adalah hal yang paling tidak ingin diingatnya, gadis itu tak pernah sekali pun mengharapkan hal buruk menimpa ayahnya. Saat terakhir ia dipaksa pergi dari rumah, saat cacian meng- "Hah! Dingin banget. Parrah." Pintu rumah terbuka tiba-tiba. Mengucapkan selamat datang pada hawa dingin yang langsung menerpa wajahnya. Cipratan air yang deras dari luar mengenai lantai rumah bagian dalam. Lalu di pintu sana, dua muda-mudi mengibaskan jas hujan dan melepas alas kaki di sana. "Masuk, Nis. Dingin." "Teteh, Ayish pulang." Isyara berteriak meski sudah tahu Biandra ada di sana. Biandra tersentak dan segera bangkit mempersilakan mereka masuk. Mengambilkan handuk dari dalam lemari untuk Denis dan sang adik. Mereka berdua sama-sama menggigil. Bedanya Isyara dengan gayanya yang hiperbola, sampai kakinya ditekuk dan dan dengan sengaja meggemelatukkan gigi. Sedang Denis berusaha tenang sambil menggosok kedua tangannya, berusaha menciptakan hangat akibat gaya gesek yang diciptakannya. "Bikin teh dulu, ya." Biandra beralih ke dapur dan mengambil dua gelas yang masih basah karena beberapa saat lalu baru dicucinya. Tidak banyak perlengkapan dapurnya, hanya ada beberapa biji saja. Bahkan ia ragu menyebutnya sebagai perlengkapan dapur. Karena memang tidak lengkap. Untungnya, stok gula pasir masih tersisa. Sambil menunggu airnya mendidih, ia menyuruh Isyara untuk ganti baju terlebih dahulu. Denis? Abege itu tidak punya pilihan selain mengenakan bajunya yang basah total. Celananya masih mendingan. "Tadi beli jas ujan satu. Ayish pake atasnya, Denis bawahannya." Isyara bergerak ke kamar mandi sambil menggosok rambut yang terkena cipratan hujan. "Kok gitu?" Aneh sekali muda-mudi ini. Bagaimana bisa mereka mengenakan jas hujan sebelah seperti itu? "Cuma sisa satu, Teh. Maafin Denis, ya udah bikin Isyara keujanan," ujar laki-laki yang masih menyampirkan handuk di pundaknya itu. Biandra tersenyum sambil mengangguk sebagai jawaban. Setelah mendengar air yang sudah mendidih, Biandra mematikan kompor dan menuangkan air dalam panci kecil itu ke dalam gelas. Mengambil teh celup dan mengaduknya di sana. "Di minum dulu, biar anget." "Makasih, Teh." Denis menerima sodoran teh yang barusan dibuatkan Biandra itu. Menyeruputnya perlahan dan terbatuk sekali karena panas menyapa mulutnya seketika setelah teh masuk ke sana. Ini kali pertama Denis masuk ke kontrakan temannya. Selama ini ia hanya mengantar Isyara sampai gang depan. Itu alasannya terdiam sedari tadi. Melihat rumah kontrakan yang hanya sepetak, bahkan dengan dapur yang sangat sempit itu mereka tinggal di sini. Tidak pernah Denis bayangkan jika teman karibnya hidup di rumah yang bahkan kamar mandinya saja terhubung langsung dengan meja dapur. Tidak ada tembok penyekat yang memisahkan antara keduanya. Lalu di sebelah kamar mandi, terdapat tangga kayu yang sepertinya lantai atas adalah kamar mereka. Karena tidak ada tempat lain lagi di sini. Televisi yang diletakkan di atas lemari lalu Denis tidak yakin, di balik lemari itu adalah tempat apa. "Parrah, dingin banget. Mau mandi, gak lo, Nis?" Denis mendelik ke arah Isyara yang cengengesan. Tadi saat di jalan, Isyara berteriak kepadanya. "Alah siah, nanti ganti bajunya sama baju gue. Warna pink, ya. Hahaha!" Di tengah suara hujan yang menerpa helm, suara Isyara semakin tak jelas saja. Tapi Denis bisa menangkap artinya. Ia akan dijahili kembali. "Kagak. Gue mau langsung balik. Gue turunin lo di pinggir jalan!" Denis membuka kaca helmnya agar Isyara bisa mendengar jawabannya. Perempuan itu pasti sedang cemberut sekarang. Ia tidak melihat spion karena percuma saja, tetesan air mengalir deras di kaca bening itu. "Atulaaaah," rengeknya di belakang sana. Denis tertawa terbahak sampai-sampai air masuk ke mulutnya. Lumayan, lagi aus juga. "Kagak, elah. Gue mau mulangin lo dulu. Tanggung jawab, gue mah!" Ia kembali berteriak sebelum menutup kembali kaca helmnya. Lalu setelahnya, suara sorakan terdengar nyaring di belakangnya. Suara cempreng itu beradu padu dengan derasnya hujan yang turun semakin besar. Selalu ceria seperti yang biasa ia tunjukkan kepada dunia. Gadis yang terkesan ceria ternyata menyimpan sejuta kisah pilu di dalamnya. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN