"Is, woy!" Seseorang menepuk keras pundak kirinya. Gadis itu berbalik dan menemukan laki-laki jangkung yang sedang cengengesan di sebelahnya. Kelas sudah hampir kosong karena baru saja bel dibunyikan, mereka seperti tahanan yang keluar dari penjara. Begitu bahagia hingga dengan semangat, ingin segera pergi dari kelas.
"Sakit, elah! Segala tepok-tepok." Isyara menggerutu sambil mengusap bahu kirinya. Sedangkan Denis mengeluarkan gawainya dari dalam tas. Mereka berjalan menjauhi pintu kelas yang sudah tertutup. Hari ini tidak ada jadwal ekstrakulikuler, jadi ia bisa langsung pulang dan rebahan sepuasnya. Isyara bersorak dalam hati.
"Sorry, deh. Gue kaget sekaligus seneng soalnya. Nih, liat." Denis menyodorkan benda pipih itu ke hadapan Isyara. Dengan sekejap, mata kecil itu membulat sempurna. Denis tersenyum bangga setelah melihat reaksi temannya itu. Pasti ia lebih bahagia setelah mengetahui kabar itu.
"Apaan itu?"
Lalu sekejap, mukanya berubah masam. Denis kira Isyara sudah mengerti akan apa yang ditunjukkannya. Memutar matanya lalu menarik tas Isyara agar gadis itu berhenti. Meski sempat terhuyung akibat tarikan Denis, ia tidak jadi marah karena sesuatu yang dikatakan siswa dengan sweater hitam itu amat membuatnya berteriak tidak sadar.
"Gandeng, elah. Pecah telinga gue, nih."
"Beneran udah masuk? Huwah!" Isyara senang bukan main saat ia merebut gawai dari tangan Denis dan melihat nominal yang ada di sana.
"Anjiiir, gue ngimpi apa semalem, ya?"
Gadis itu dibekap mulutnya oleh Denis dan ditarik menuju parkiran dengan cepat. Orang-orang yang ada di sana melihat aneh ke arah mereka karena teriakan Isyara yang terlalu melengking.
"Buruan naek." Denis sudah menghidupkan sepeda motornya dan menarik Isyara untuk segera naik. Tak lupa ia merebut gawainya yang masih dipegang erat oleh gadis yang sangat berbunga-bunga itu. Bibirnya tak henti melengkungkan senyum sedari tadi.
"Traktir gue, ye. Janji lu."
"Iya. Iya. Tapi beli boba dua belas rebu aja, ya?" Dagu Isyara nangkring di bahu Denis. Laki-laki itu tertegun sebentar hingga sadar wajahnya begitu dekat dengan bibir gadis ceriwis itu. Denis mengedikkan bahu untuk menghalau Isyara agar tidak terlalu dekat dengannya. Isyara memberengut dan duduk dengan benar kali ini.
"Awas, gue kagok ini. Pala lo berat." Seketika itu juga Isyara membuang muka. Membiarkan Denis menyeimbangkan kecepatan tarikan gas pada motor itu. Tapi setelah itu ia tersenyum kembali. Seakan hal yang disampaikan Denis itu adalah kabar sangat istimewa.
***
"Udah pulang tamunya?" Isyara bertanya sesaat setelah Biandra menutup pintu. Kakaknya datang dengan wajah yang linglung, seperti memikirkan sesuatu.
"Teh?"
"I-iya, kenapa?" Biandra tersadar dari lamunannya dan menemukan, bahwa Aril sudah tidak ada di sana. Ternyata bocah itu sudah diambil Eva tadi, begitu kata Isyara. Eva hanya mengambil nomor antrian untuk berobat.
"Udah, udah pulang."
"Kok bisa sih Bos Teteh dateng ke sini? Teteh nggak biasanya bawa orang ke rumah kita." Dan Biandra bingung harus menjawab apa. Tidak mungkin ia menceritakan kejadian tadi kepada Isyara. Itu hanya akan membuka luka lama yang semakin menumbuhkan rasa benci dalam diri adik tercintanya. Biandra sadar, setelah kejadian menyakitkan dulu, Isyara seakan menjauh dari sang ayah. Isyara menyimpan kebencian terhadap sosok yang diidam-idamkan semua anak gadisnya itu.
"Teteh cuma agak pusing tadi. Jadi dianterin pulang," jawabnya, tidak sepenuhnya berbohong. Di hadapan adiknya, ia tidak boleh memperlihatkan rasa sakitnya. Tidak boleh sama sekali.
"Teteh sakit?"
"Nggak. Cuma pusing biasa aja. Minum obat juga udah ilang pusingnya."
"Sebentar, aku ada sesuatu buat Teteh." Isyara berlari menaiki tangga dan mengambil sesuatu dari dalam tas sekolahnya. Biandra mencicipi bakso yang semula sedang disantap Isyara sedikit. Lalu matanya membulat tak kala rasa pedas hadir dalam mulutnya dengan langsung setelah satu gigitan masuk ke dalam mulutnya. Ia harus memperingatkan Isyara untuk berhenti makan pedas jika tidak ingin lambungnya sakit.
"Adek ini, nggak kira-kira kalo masukin cabe. Pedes banget." Ia mengambil minum dan meneguknya banyak-banyak.
"Iih, pedes apaan." Isyara menimpali.
"Sini, Teh duduk dulu." Ia menepuk kursi dengan semangat. Biandra mengikuti instruksi sang adik.
"Tara~" ia terkejut saat Isyara menyerahkan sebuah bingkisan ke atas pahanya. Isyara menyembunyikan senyumannya dengan malu-malu saat Biandra mengambil bingkisan itu dan mengintip isinya.
"Apa ini?"
"Hadiah buat Teteh."
"Kok ngasih hadiah?" Biandra membuka isinya dan mendapati sebuah baju. Cantik sekali. Pandai Isyara memilih sebuah pakaian untuknya.
"Aku dapet hasil nulis, Teh." Ia menjawab rasa penasaran yang Biandra belum lontarkan.
"Nulis apa?" Alisnya tertarik ke atas.
"Aku ikutan lomba gitu, eh ternyata menang." Lihatlah raut bahagia yang terpancar dari wajah keduanya. Isyara dengan rasa senang bukan kepalang, dan Biandra dengan rasa bangga yang menyenangkan.
"Wuah, hebat banget Adek. Selamat, ya." Isyara mengangguk sambil tersenyum. Merasa sangat senang dengan sebuah ucapan kecil seperti itu.
"Makasih ya," lanjut Biandra mengusap sayang kepala adiknya. Betapa bangganya saat melihat sang adik tersenyum seperti itu.
"Aku mau tabungin buat nanti ke Jogja, ya?" Lalu usapannya terhenti. Biandra menanggapi perkataan Isyara dengan seutas senyuman.
"Adek seneng kalo nanti ikut?"
"Iya." Hanya jawaban itu yang dibutuhkan Biandra untuk menyanggupi keinginan Isyara nanti. Alasan kebahagiaan sang adik adalah yang utama.
***
Malam ini angin berhembus pelan, menggoyangkan dedaunan di atas pohon sana. Dua orang kakak beradik itu berjalan bergandengan menyusuri trotoar sepanjang jalan. Suara bising kendaraan menambah keramaian kota ini. Sorot lampu yang menyoroti jalanan silih berganti.
"Mau jalan kaki aja, beneran?"
"Iya. Jarang-jarang bisa jalan sama Teteh, ceilaah," ujar Isyara dengan kekehan diakhir kalimatnya. Biandra hanya menanggapi dengan genggaman pada lengan Isyara yang semakin mengerat saat mereka hendak menyebrang jalan.
"Aku tuh seneng, tahu Teh. Bisa traktir Teteh makan kayak gini." Mereka duduk lesehan di atas tikar yang disediakan di sana. Bau khas daging yang dibakar menambah kehangatan yang tercipta karena para pembeli yang bersenda gurau bersama yang terkasih.
Biandra memandang Isyara tak jauh beda dari seorang laki-laki yang sedari tadi tak henti-hentinya memandangi wajah manis itu ketika senyuman selalu hadir di bibir mungilnya. Begitulah Biandra memandang adik terkasihnya.
Biandra tahu jika Isyara memiliki potensi sebagai penulis. Ia tidak hanya suka membaca, justru menulislah yang membuatnya menyukai berbagai macam n****+ yang menumpuk di sudut meja kamarnya. Isyara sepertinya menyukai hal berbau sastra. Ah, jangan lupakan kemampuam menggambarnya juga. Adiknya sangat pandai dalam hal mengkreasikan pensil dengan tangannya.
"Hebat banget Adek, dari hobi dapet uang jajan."
"Iya, dong. Sehebat aku punya Teteh."
Jika orang lain mendengar percakapan mereka, mungkin responnya akan sama seperti laki-laki tadi yang berada di meja sebelah kirinya. Perasaan sayang itu terlihat bagaimana Biandra mengusap sayang tangan adiknya yang ditangkupkan di atas meja. Jika orang lain sedang sibuk dengan gawainya, mereka terlihat bahagia hanya dengan candaan kecil yang dilontarkan.
Lalu laki-laki itu akhirnya memutuskan untuk mendekati meja mereka, duduk di hadapan kakak beradik itu mungkin cukup mengagetkan bagi keduanya. Terlebih Biandra.
"Hai," ucapnya dengan lambaian tangan tak lupa sebuah senyuman.
"Gue ikut makan di sini, ya. Gaenak makan sendirian." Lalu teman-temannya di meja sebelah mendelik sebal mendengar perkataan Dikri yang menyebalkan. Meski tidak mendapat jawaban yang diinginkan, ia tetap menyantap sate lontongnya dengan khidmat.
"Mau?" Ia menyodorkan piringnya dan mendapat gelengan yang sama dari kedua gadis di hadapannya.
Isyara mendelik sebal saat percakapannya terpotong begitu saja ketika Dikri mengajak ngobrol sang kakak.
"Lo kok nggak balik Opecca, sih tadi?"
"Nggak enak badan." Ketika jawaban itu terdengar, kunyahannya terhenti lalu memandang Biandra, ingin mengetahui lebih lanjut keadaannya sekarang. Namun niatnya terhalang saat pesanan mereka datang.
"Mau sambelnya, dong Teh." Biandra mengambilkan sambel yang memang jauh dari jangkauan Isyara.
"Udah ke dokter?" Biandra tidak jadi menyuapkan lontong ke mulutnya dan menanggapi pertanyaan Dikri, bahwa obat warung saja cukup karena memang sakitnya tidak separah itu untuk pergi ke dokter.
"Gue anter pulang ya, nanti?"
"Nggak boleh. Kita tuh lagi kencan berdua. Abang siapa, sih? Tiba-tiba dateng gangguin kita." Isyara mendelik sebal ke arah Dikri yang langsung disenggol Biandra.
"Itu temen kerja aku. Nggak boleh gitu," balas Biandra dengan gelengan pelan. Berusaha memberitahu Isyara jika tidak sopan berlaku demikian meski hanya dengan ucapan.
"Ini siapa?"
"Dari tadi ngeliat, baru ditanya." Delikan matanya tetap tajam meski dengan suara kesal yang teredam.
"Adek," balas Biandra berusaha santai menanggapi pertanyaan Dikri disaat Isyara makan dengan mulut penuh dan memandang tajam Dikri yang sepertinya tak terlalu menghiraukan perlakuan adiknya itu.
"Eh, sebelumnya sorry nih. Tapi bisa nggak, besok jaket gue dibawa?" Ah benar, Biandra belum sempat mengembalikan jaket Dikri tadi. Dan sekarang, tentu saja ia tidak membawanya karena tidak tahu akan bertemu Dikri di sini.
"Gue butuh buat pergi soalnya. Besok gue libur, gue tunggu di persimpangan aja, ya?"
"Oke," jawab Biandra sambil mengangguk. Lalu setelah itu Dikri pamit pulang duluan karena sepertinya ada yang tidak nyaman akibat kehadirannya yang serba tiba-tiba itu.
"Ganggu aja," ucapnya sebal. Isyara masih saja tidak terima. Biandra hanya bisa tersenyum melihat tingkah adiknya yang merajuk itu.
"Nanti aku usahain sering jalan sama Adek, ya. Udah makannya?" Angin semakin nakal menerbangkan rambut panjangnya. Semakin lambat juga membelai pipinya yang berubah dingin. Biandra lalu mengeluarkan dompet, siap untuk membayar. Namun niatnya terpotong karena Isyara yang mengeluarkan delikannya dan berkata bahwa ia yang akan membayar.
"Simpen aja buat ditabung."
"Teteh, Ayish mau traktir. Ngapain Teteh yang bayar kalo gitu?"
"Nggak papa. Udah, simpen aja." Biandra menahan lengan Isyara yang hendak mengeluarkan uang dari saku celananya. Tentu saja dengan wajah masam yang kentara.
Mereka lalu bergandengan kembali menuju jalan pulang. "Aku tuh harus seneng apa sebel, sih sebenernya?" Ucapan tiba-tiba Isyara membuat langkah Biandra terhenti sebentar. Biandra memandang Isyara dengan alis terangkat. Cukup jelas bagi adiknya untuk menangkap maksud sang kakak dengan pertanyaan, kenapa?
"Iya. Liat aja tadi muka temen Teteh, pas dia tahu aku adiknya Teteh. Kayak nggak percaya gitu."
"Kenapa nggak percaya?"
"Teteh sih, kecil banget. Banyak yang ngira aku ini kakaknya, loh. Muka aku ketuaan emang? Muka aku boros, ya?" Tentu saja, siapa yang tidak tertawa melihat Isyara yang cemberut. Tawanya tak berhenti ketika Isyara berkata, bahwa ia harus mencoba memberikan nutrisi wajahnya agar tetap terlihat muda sambil menekan-nekan wajah dan memperlihatkan ekspresi aneh yang membuat tawa Biandra meledak.
"Adek cantik, kok," sahutnya sambil menggenggam erat lengan sang adik yang masih saja cemberut.
Setidaknya Dikri masih cukup cupu untuk mendekati seorang Biandra yang sedang tertawa di depannya. Gadis itu tidak pernah memperlihatkan senyum semanis dan tawa sebebas itu pada semua orang. Ia menjalankan motor amat pelan, tanpa disadari dua orang yang sedang asik itu. Seakan tidak ada hal yang paling penting lagi dibanding melihat pemandangan yang membuat jantungnya berdegup lebih kencang.
"Gimana mau berhasil deketin kakaknya. Adeknya galak gitu."
Dikri yang malang.
Dikri si sadboy.
***