Jika orang akan berpikir kehidupan Kafka sungguh sempurna dengan memiliki segalanya, cukup bernapas saja, angka-angka itu dengan sukarela bertambah dalam digit ATMnya. Memiliki perusahaan sendiri dan restoran yang cukup maju mungkin tidak cukup untuk menggambarkan kebahagiaannya. Jauh dilubuk hatinya, terdapat tempat kosong yang ia tak tahu harus mengisinya dengan apa. Rasanya ... terlalu membingungkan.
"Eh kaget!" Pintu terbuka dan menampakkan sosok laki-laki yang mengenakan seragam berwarna biru, dengan alat pel tangannya.
"Saya kira nggak ada si Aden, atuh di sini teh." Pak Tono hendak menutup pintu kembali saat mendapati Kafka yang masih memejamkan matanya di sofa empuk itu. Jas yang tersampir dilengan sofa dan kaki yang menggantung di seberang sana. Masih lengkap mengenakan sepatu. Dua kancing kemejanya terbuka.
"Nggak papa, Pak Tono. Masuk aja. Saya udah bangun." Kafka akhirnya bangkit dan menepuk kepalanya dua kali sebelum menggeleng keras. Berusaha mengenyahkan pusing di sana.
"Permisi atuh, ya Den," pamit Tono membawa ember kosong menuju toilet.
Frida masih belum datang. Ia jadi tidak bisa meminta dibuatkan kopi pagi ini. Siapa juga yang rela datang ngantor pagi-pagi seperti ini. Jarum jam saja belum sampai diangka enam.
Ia lalu memutuskan keluar, mencari makanan untuk mengisi perutnya yang sejak semalam tak berhenti berbunyi. Ia ingat, terakhir kali makanan masuk ke perutnya adalah di tempat Biandra. Itu pun hanya semangkuk bakso yang jelas tidak cukup mengenyangkan baginya.
Lalu kembali dengan dua bungkus bubur ayam yang sudah nangkring di depan pertigaan sana.
Pak Tono yang sudah selesai dengan toiletnya lalu bersiap membersihkan kaca dan halaman depan.
"Aden tumben cukuran di sini," celetuknya sambil memperlihatkan gigi ompongnya. Kafka sudah kembali dari pantry kecil yang ada di ruangan sebelah.
"Saya beli bubur. Pak Tono boleh makan di pantry sana." Kafka lalu duduk dan mulai menikmati buburnya. Pak Tono jelas langsung semangat dan melarikan diri ke ruang sebelah. Kebetulan pagi ini ia belum sarapan.
"Makasih, Den." Sambil tertawa, Pak Tono keluar dari ruangan Kafka. Tak lama kemudian, ia mengikuti. Kafka butuh sesuatu yang manis pagi ini. Ia butuh asupan gula untuk menambah semangatnya pagi ini.
"By the way, saya nggak cukuran kemarin." Kafka mengagetkan Pak Tono dengan hadir tiba-tiba dan mengambil gelas di rak sana. Suara dentingan gelas yang beradu hampir membuat pria tua itu jantungan.
"Kaget, saya Den," ujarnya sambil memegangi d**a.
"Maaf."
"Masa sih? Saya tadi periksa silet di rak ilang satu. Terus alat mandi juga geser dari tempatnya. Masa iya ada gempa?" Benar-benar teliti sekali, hingga letak barang bergeser sedikit saja ia hafal.
Kafka tidak mempermasalahkan lebih lanjut jika Pak Tono tidak mengatakan hal yang selanjutnya cukup membuat Kafka tertegun.
"Ada noda darah juga. Tapi saya jadi mikir, ya meskipun saya kadang-kadang nggak ada pikiran. Masa iya Aden kegores silet darahnya sampe netes di lantai sama wastafle, gitu ya."
"Darah?"
Pria berumur itu mengangguk menatap Kafka dengan kunyahan di mulutnya.
Jelas bukan Kafka yang terluka. Uler- Meysa juga tidak mungkin karena ia tidak ke toilet. Ah, jika terjadi sesuatu dengannya pun Kafka tidak akan peduli. Namun satu nama yang bisa membuat jantungnya berdetak kencang. Pikirannya kembali saat dia mendapati Biandra yang meringis saat ia menyentuh lengannya kemarin.
Dan jika tidak salah lihat, gadis itu sedikit kesakitan saat menggendong bocah laki-laki kemarin.
Mungkin bukan sesuatu yang manis yang dibutuhkan Kafka kali ini. Ia butuh sesuatu untuk meredam gemuruh di dadanya. Untuk meredakan perasaan takut yang ia sendiri tidak tahu mengapa demikian.
"Eh, Den! Ini kopinya."
"Minum aja." Kemudian setelah itu, Kafka berlalu begitu saja. Meninggalkan Pak Tono yang kegirangan mendapatkan sarapan paket lengkap dari sang majikan. Ia jadi bisa menghemat uang makannya hari ini.
***
Adit baru saja menyalakan speaker bluetoothnya, memutar musik klasik yang sangsi anak muda jaman sekarang mengetahuinya. Matanya terpejam berusaha masuk ke dalam alunan nada. Sampai suara dering pada gawai menghentikan konsentrasinya. Padahal ia belum menghabiskan satu lagu pun.
"Yoi. Kenape?" Adit mengecilkan volumenya, berusaha fokus pada suara si penelpon.
"Belum, lah. Gila, jam segini. Cuma gue yang kepagian." Lalu sambungan ditutup begitu saja. Adit sempat mengernyitkan dahi tapi tidak sepenasaran itu hingga ia harus menelpon balik seorang Kafka. Laki-laki itu memang sering seperti itu. Memutuskan sambungan secara sepihak. Untung saja Adit tidak baperan.
Kafka memutar kemudinya yang semula hendak menuju Opecca menjadi ke rumah Biandra. Jantungnya berdetak seperti tak seharusnya. Udara yang masuk lewat sela jendela mobil tak membantu banyak untuk mengurangi sesak yang melanda dadanya. Matanya tertuju pada seorang gadis yang sedang berjalan di trotoar sana. Ia ingin membunyikan klaksonnya, namun tidak jadi karena gadis itu terlebih dahulu naik ke atas motor.
Mengirim sebuah pesan mungkin bisa saja ia lakukan. Namun sepertinya itu tidak akan cukup jika tidak bertemu secara langsung. Maka dari itu, di sinilah ia sekarang. Di depan rumah yang pintunya tertutup rapat. Ia tidak yakin jika gadis itu sudah berangkat kerja, karena Adit bilang bahwa belum ada siapa pun di sana. Hanya adik perempuannya yang ia lihat tadi sudah berangkat sekolah. Biandra mungkin masih ada di rumah.
"Bapak?"
Bukan main kaget yang tertera di wajah polos itu saat menatapnya. Rambut yang dicepol asal, memakai celana training dan kaos kebesaran saja cukup membuat Kafka terpana. Ia membawa kresek di genggamannya dan tanpa sadar, Kafka memindai Biandra sedari tadi.
"Ada apa Bapak datang ke sini?" Tentu saja untuk menjunjung tinggi sebuah kesopanan, Biandra mempersilakan Kafka untuk masuk kembali ke dalam rumah sempitnya. Bedanya kali ini ada banyak baju yang menumpuk di atas kursi. Membuat Biandra menutup mata sambil menggigit bibir.
Kenapa ia sampai lupa tidak melipat baju, kemarin.
"Saya cuma mau memastikan satu hal." Kafka berujar setelah Biandra kembali dari atas. Gadis yang rambutnya dicepol asal itu menatapnya sesaat sebelum menundukkan pandangan saat menemukan mata Kafka yang sedsri tadi selalu memandanginya tanpa henti.
Kafka mulai mendekat ke arah Biandra yang berdiri di samping anak tangga. Satu persatu langkahnya memberikan sensasi mendebarkan bagi tubuhnya. Kafka hanya terfokus pada gadis yang semakin memundurkan langkahnya saja tak kala tiga langkah lagi, Kafka sampai di hadapannya. Saat lengannya terulur hendak meraih tangan Biandra, gadis itu dengan mudah meloloskan diri dengan berlari kecil menuju kamar mandi.
"Saya harus jemur pakaian." Nada gugup tidak bisa disembunyikan dalam suaranya. Dan Kafka juga menggaruk kepala bagian belakangnya. Merasa bingung namun ia tetap penasaran.
Pasti terlihat aneh jika ia datang ke sini hanya untuk memastikan keadaan seorang karyawan baru di restorannya. Ia mungkin sedikit berlebihan. Bisa jadi juga, perempuan itu tidak nyaman akan apa yang dilakukannya ini.
"Maaf."
Hanya satu kalimat yang berhasil terucap dari bibirnya setelah melihat banyak luka di jari tangan gadis yang sedang menyibukkan diri di toilet itu. Padahal tidak ada yang dilakukannya selain menyalakan kran air dan membuangnya sembarangan.
Kafka membiarkan Biandra keluar dengan ember di tangannya. Gadis itu sungguh tidak mau menatapnya sedikit pun sekarang ini. Kafka jadi serba salah. Ia menimang kunci mobil di tangannya dan memutuskan untuk mengikuti gadis itu keluar rumah. Ia meneliti sekitar hingga matanya menemukan Biandra di atas sana. Sepertinya tidak ada jalan selain tangga di samping rumah dan itulah jalan yang Kafka ambil.
Benar. Gadis itu terlihat menghindarinya. Ia tetap membelakangi Kafka dan sibuk dengan cuciannya, padahal jelas tadi matanya bertemu dengan mata tajam milik Kafka.
"Kamu kenapa?"
Alangkah terkejutnya Biandra ketika mendapati suara Kafka yang muncul tepat di belakangnya. Itu juga yang membuat air bekas cucian itu tumpah membasahi kemeja dan celananya. Ah, jangan lupakan sepatu mengkilap itu juga terkena air cucian.
Matanya membulat sempurna saat ia memindai dari bawah, dimulai dari sepatunya yang Biandra yakini ada air menggenang di dalam sana. Matanya memejam sesaat, seakan menyesali tindakan cerobohnya. Lalu celana hitamnya yang tentu saja basah semua di bagian depannya. Jari telunjuk dan jempolnya saling menggesek. Merutuki dirinya yang sangat gegabah. Bagaimana bisa ia menumpahkan air cucian ke baju sang atasan?
Matanya terhenti saat melihat lebih atas. Kemeja bagian perutnya juga sedikit basah. Tapi bukan itu yang membuatnya tertegun. Otot perut yang tercetak jelas di sana adalah hal yang membuat Biandra tersadar dan memalingkan wajah cepat-cepat.
"Kamu-"
"Maaf, Pak. Saya nggak sengaja num-"
Inikah balasan dari memotong ucapan orang lain? Biandra berhenti berujar tak kala matanya menangkap hal yang justru membuat bibirnya masuk ke dalam, berusaha meredam tawa.
Ternyata bukan hanya badan Kafka yang basah, wajahnya juga. Mungkin terkena cipratan karena badan Kafka langsung bertemu dengan bibir ember yang mengakibatkan air bergoyang sebelum menampar wajahnya. Rambut depannya juga sedikit basah. Tapi bukan itu yang membuat Biandra mengatupkan bibir, ada sedikit busa yang menempel di dahinya.
"Kamu harus tanggung jawab." Tangan Biandra ditariknya menuju rumah. Ia sampai tertatih-tatih saat menuruni tangga. Kakinya tidak sepanjang milik Kafka yang bisa menuruni dua anak tangga sekaligus.
"Maaf, Pak. Tapi bukan salah saya juga. Bapak yang tiba-tiba ada di belakang saya."
Oke. Itu tidak salah dan Kafka mengakuinya. Tapi kenapa harus dipagi seperti ini. Kenapa ia harus memulai harinya dengan tersiram air cucian.
"Saya ambilkan handuk dulu." Biandra lalu melesat ke ruangan di balik lemari. Dan terkejut ketika kembali, Kafka sudah mengibaskan kemejanya di depan sana. Bertelanjang d**a dan dengan santainya membiarkan pintu terbuka. Catat. Bertelanjang d**a.
Pikirannya langsung tertuju pada tetangga yang bisa saja memikirkan hal yang tidak-tidak kepadanya. Sekali ini saja. Ia tidak mau pindah rumah lagi karena bibir orang-orang yang bahkan membicarakan hal buruk sekali pun tentangnya.
Ia menarik Kafka dan menutup pintu dengan segera.
"Bapak ngapain?"
Gadis itu menelan bulat-bulat omelan yang sudah siap ia keluarkan untuk Kafka. Terlalu kaget saat berbalik badan dan mendapati d**a bidang itu menguncinya di antara pintu. Apalagi dengan sengaja, laki-laki itu mendekatkan wajahnya untuk lebih meneliti raut wajah Biandra yang mencoba melarikan pandangan ke kanan dan kiri. Padahal percuma saja karena pandangannya terhalang oleh badan Kafka.
"Kenapa diam?" Suaranya berbisik pelan di telinga kiri gadis patung itu. Napasnya tertahan seiring wajah Kafka yang berhenti tepat di sampingnya.
Kafka meneliti dari samping. Bibirnya yang kering terlihat pucat jika dilihat dari dekat seperti ini. Pipinya berubah merah dan wangi yang keluar dari tubuhnya membuat Kafka semakin mendekatkan wajahnya. Mengundang hidung Kafka untuk mencium pipinya. Dihadiahi tamparan sebagai balasan, Kafka mungkin tidak akan keberatan. Sedikit lagi hidungnya menyentuh pipi itu jika suara ketukan dan teriakan seseorang mengagetkan keduanya. Tanpa aba-aba, Biandra langsung mendorong Kafka dengan keras. Pantatnya hampir mencium kerasnya lantai jika otot lengannya tak mampu menopang bobot tubuhnya. Hampir saja.
Biandra membulatkan mata saat suara perempuan itu semakin keras memanggil namanya. Gawat. Jangan sampai Kafka terlihat oleh orang lain, apalagi dengan keadaan seperti ini. Pagi-pagi, pakaian dan rambut basah serta tubuh atasnya yang telanjang. Akan sangat aneh jika terlihat oleh orang lain.
***