Tentu saja mobil milik Kafka tidak bisa masuk ke gang sempit ini. Ia harus menitipkan mobilnya di halaman pemilik toko buah di pinggir jalan. Lalu mereka berjalan menyusuri pinggiran kota yang tidak Kafka ketahui, jika masih ada tempat seperti ini di dalamnya. Gang yang hanya bisa dilalui satu motor. Atau ... dua mungkin bisa, hanya saja salah satunya harus mepet ke halaman sempit rumah orang lain yang berjejer, berdempetan sepanjang gang. Rasanya terlalu sulit untuk membayangkannya. Maka dari itu ia memilih diam dan hanya mengikuti Biandra yang berjalan lebih dulu di depannya.
"Saya belum makan," ujar Kafka tanpa ada yang bertanya. Biandra hanya diam tanpa menimpali ucapan Bosnya itu. Ia hanya memikirkan, apa masih ada stok gula di dapurnya. Kemarin sudah digunakan untuk membuatkan Denis, teman Isyara yang kehujanan teh manis. Lalu, makanan apa yang akan disuguhkan untuk seorang Kafka Arkais. Secara ... jika dilihat dari sepatunya saja, orang sudah tahu bahwa tidak mungkin pria ini memakan sambal dicocol kerupuk sebagai teman makan. Biandra mungkin bisa memasak sesuatu, nanti saja ia pikirkan. Mungkin Kafka hanya akan mencari alasan untuk segera pergi setelah melihat keadaan rumahnya setelah ini. Jadi untuk apa susah-susah memikirkan jenis makanan apa yang akan disuguhinya untuk laki-laki itu? Toh ia tidak mungkin sudi berlama-lama tinggal di rumah sempitnya.
"Masih jauh?" Pertanyaan Kafka kali ini berhasil membuat Biandra berbalik ke arahnya. Menghentikan obrolannya dengan diri sendiri.
"Sebentar lagi," jawabnya. Kafka hanya mengangguk menanggapi. Membiarkan gadis dengan jaket kebesaran itu memimpin langkah lebih depan. Suara tangisan anak mulai terdengar. Ada juga ibu mereka yang menyuapi makan dengan aksi kejar-kejaran. Ramai sekali dengan suara bising kendaraan atau suara penjual makanan yang membunyikan mangkuk sebagai sarana untuk menarik minat para pembeli.
Kafka terlalu memperhatikan sekitar, sampai-sampai ia tidak tahu Biandra hilang ke mana. Kafka celingukan melihat deretan rumah di sekelilingnya. Ia berjalan ke depan sana. Mungkin Biandra mampir ke warung di sebelah sana.
"Pak." Suara itu muncul dari rumah bercat biru. Biandra melengokkan kepala dari balik pintu. Kafka menghampiri Biandra dengan wajah lega. Biandra menyimpan sepatunya di balik pintu yang dipasangi rak gantung khusus sepatu. Sangat efisien bagi rumah sempitnya. Padahal sebenarnya ia menyembunyikan tawa dari Kafka.
"Kenapa ketawa?" Biandra terciduk namun tidak menjawabnya. Ia hanya mempersilakan Kafka masuk. Laki-laki itu sampai harus menunduk karena pintu yang begitu rendah bagi tubuh jangkungnya. Meskipun tidak mungkin juga kepalanya terbentur di sana. Ia hanya berjaga-jaga. Sama seperti Denis, Kafka juga sempat tertegun melihat dalam rumah Biandra.
Biandra pamit untuk mengganti baju dan Kafka masih bisa mendengar guyuran air dari dalam kamar mandi yang notabennya hanya beberapa langkah dari tempatnya duduk.
Matanya meneliti ke sebelah kiri. Tempat tangga yang menghubungkannya dengan ruangan di atas. Ternyata seperti ini kediaman Biandra yang sebelumnya Kafka mengira, tempat yang sedikit layak untuk ditinggali dua orang. Kafka tahu, Biandra tinggal dengan adiknya.
"Bapak udah sholat?" Gadis itu keluar dari kamar mandi dengan pakaian lebih santai. Rambutnya digulung, memperhatikan lehernya. Kafka menggeleng sebagai jawaban. Sudah lama sekali ia tak bertandang ke rumah Tuhan. Hatinya sedikit tersentil saat mendengar pertanyaan itu.
"Mau ke masjid aja, atau di sini? Kalo di sini, harus gantian sholatnya." Biandra mengangguk setelah mendengar jawaban Kafka yang lebih memilih pilihan pertama yang diberikannya. Setelah menunjukkan arah dan Kafka mengangguk paham letak arahnya, barulah pintu ditutup. Biandra menuju ruangan di balik lemari yang sengaja dibuat sekat untuk beribadah.
***
Sepanjang jalan, Kafka merenung. Bagaimana bisa gadis itu bertahan hidup di rumah sempit seperti itu? Atap di sudut rumahnya bolong, dan ditambal menggunakan triplek tipis yang kontras dengan warna atapnya.
Pikirannya berhenti ketika mendengar suara gelak tawa anak kecil dari dalam rumah. Ia jadi ragu untuk masuk. Sebentar, apakah ia salah jalan dan lupa di mana rumah Biandra tadi? Mengapa tidak ada tanda-tanda gadis itu di dalam rumah?
"Eh, tamunya Bian, ya?" Perempuan dengan seorang anak dipangkuannya berdiri menyambut Kafka yang melengokkan kepala, masuk. Ini ... benar rumah Biandra, 'kan?
"Biannya pergi ke warung sebentar." Jawaban perempuan itu membuat Kafka menghembuskan napas lega. Ia tak salah masuk ternyata. Tak lama, suara gesekan sandal hadir dari arah belakangnya. Ternyata Biandra yang membawa bungkusan kresek berwarna hitam. Tanpa aba-aba, ia menggendong bocah laki-laki itu dan mengucapkan perpisahan kepada perempuan yang dipanggilnya 'Mbak' itu. Eva juga berpamitan kepada Kafka, namun Kafka tak begitu menanggapi dan mengangguk sekali sebagai jawaban.
"Saya belum beli makan. Bapak mau makan apa?" Dia tidak menatap Kafka, ia hanya fokus kepada Aril yang ada dipangkuannya. Angin masuk dari pintu yang memang sengaja tidak ditutupnya.
"Ini anak siapa? Kok sama kamu?"
"Barusan ibunya nitip Aril ke saya. Mau nganter suaminya ke puskesmas." Bocah itu menggigiti kue yang dibawa Biandra barusan. Kafka mengangguk paham. Lalu bocah itu tergelak tanpa alasan yang jelas. Entah karena kue yang digigitinya, meski belum banyak gigi mungil tumbuh dalam mulut itu atau sejak tadi menertawakan kekakuan Kafka yang bingung harus duduk di mana. Karena hanya satu kursi yang ada di sana dan Biandra mendudukinya.
"Saya bikin teh dulu," ujarnya sambil memangku Aril, bangkit dari duduknya.
"Eh, beneran mau bikin teh? Padahal saya tadi cuma bercanda." Laki-laki yang kemejanya digulung hingga sikut itu tersenyum tanpa dosa menghadap Biandra yang juga menatapnya tanpa kedip.
"Berarti Bapak belum makan juga cuma bohongan, ya?"
"Nah, kalo itu saya beneran laper." Kekehan menyusul di akhir kalimatnya. Kafka menggaruk kepalanya yang tak gatal saat Biandra melenggang menjauhinya.
Biandra menyeduh teh ketika Kafka membuka kaleng biskuit yang sudah tersedia di atas meja. Yang sebenarnya isinya bukanlah biskuit, melainkan cemilan Isyara yang ia curi dari kamar atas. Anak itu selalu membawa makanan ke kasur. Sudah diperingati jika itu hanya akan mengundang semut dan menggigiti kulit mereka saat tidur, tapi Isyara tetaplah Isyara. Cemilan tetap yang utama.
Memasukkan gula pasir sebanyak dua sendok. Tidak tahu, apakah Kafka bisa meminumnya atau tidak. Karena ini gula biasa bukan gula rendah kalori seperti yang biasa disediakan di Opecca.
"Bapak mau makan apa?" Suara Biandra terdengar dari sekat tembok. Aril berjalan tertatih juga muncul dari sana. Berpegangan sepanjang tembok. Kafka yang melihat anak itu sempat oleng, segera berdiri dan memangkunya.
"Bapa bapa apapa," celotehnya. Biandra sempat kaget karena Aril yang ternyata sudah menghilang dari dapur sudah dipangku Kafka yang entah sejak kapan berdiri tepat di belakangnya. Untung saja teh panas yang dibawanya tidak tumpah.
"Anak ini kayaknya suka sama saya, deh," ucapnya dengan bangga saat Aril memeluk Kafka di leher.
"Itu dia lapin bekas kue di tangannya ke kerah Bapak." Biandra berusaha menahan tawa saat Kafka dengan cepat menengok ke belakang. Memastikan kerah bajunya tidak kotor. Padahal percuma, ia bukan burung hantu yang bisa memutar kepalanya ke belakang. Aril menepuk bahu Kafka sekali lagi dan itu mengundang gelak tawanya saat Kafka menggelitiki perut kecilnya. Bocah itu cekikikan dengan sangat lepas.
"Nakal banget kamu, ya." Biandra selesai meletakkan tehnya di atas meja dan mengambil Aril dari gendongan Kafka.
"Bapak mau makan apa?" Tanyanya sekali lagi.
"Tadi saya cium bau bakso di sana. Kayaknya bakso enak, deh."
Biandra kira, Kafka minta dimasakkan makanan apa. Ternyata yang diinginkannya hanya bakso malang mang Oleh. Tidak terlalu sulit, kecuali Kafka mau menggendong Aril dan menjaganya di dalam rumah. Tapi permintaan itu tidak disanggupi Kafka. Jadilah mereka bertiga pergi bersama. Kapan lagi seorang Bos Opecca jalan kaki untuk membeli bakso malang, jika bukan bersama Biandra.
"Duh, uangnya nggak ada yang kecil, gitu?" Mang Oleh tidak jadi mengambil sodoran uang berwarna merah itu dari tangan Kafka.
"Berapa emang semuanya?" Saat menyebutkan bahwa harga tiga bungkus bakso senilai dua puluh satu ribu, Kafka tertegun.
Ini makanan termurah yang pernah dicobanya. Harga segelas kopinya saja bahkan cukup untuk membeli sepuluh bungkus bakso atau bahkan lebih. Yang artinya bisa untuk uang makan seminggu untuk Biandra.
"Saya baru tahu kalo ada bakso semurah ini." Kafka berdecak sambil memperhatikan plastik hitam yang dibawanya. Sedangkan Biandra yang menggendong Aril, berjalan di sebelahnya sambil menghitung kembalian.
"Ini mahal, tahu Pak. Biasanya saya beli lima ribu."
Hah? Kafka melongo dibuatnya. Biandra mendudukkan Aril di kursi dan mengambil mangkok dari dapur, lalu menuangkan baksonya ke sana. Terlalu santai dibandingkan Kafka yang bingung harus duduk di atas kursi atau berselonjor seperti yang Biandra lakukan saat ini.
Pilihan yang kedua mungkin tidak ada salahnya. Ia jadi lebih leluasa memandang gadis manis itu dari samping dengan bebas. Ia meniupi bakso yang sengaja tidak pakai bumbu untuk bocah jahil itu.
"Kenapa kamu nggak makan?" Lalu tersadar saat matanya bersibobrok dengan netra yang selama ini selalu membuatnya bertanya-tanya. Bulu matanya lentik dengan bulu alis yang jarang, namun rapi. Hidungnya juga kecil mengikuti bentuk wajahnya yang juga mungil.
Biandra mengerjap saat Kafka menurunkan pandangannya semakin bawah, semakin bawah ... dan mengarah ke bibirnya.
"Assalamualaikum!" Teriakan itu muncul saat Biandra hendak memukul kepala Kafka dengan garpu yang dipegangnya. Itu adik semata wayangnya. Senyum yang terbit begitu saja dari bibirnya malah semakin membuat Kafka kelimpungan.
"Kenapa Teteh udah pulang?" Biandra bingung harus menjawab apa. Tapi untungnya Isyara mengerti dengan tidak bertanya lebih lanjut perihal alasannya sudah ada di rumah di jam seperti ini.
"Siapa, Teh?" Isyara menunjuk Kafka yang langsung ditangkis Biandra. Ia berbisik bahwa itu adalah bosnya.
"Halo, Pak. Kenalin, Adiknya Teteh. Isyara." Gadis yang masih menggendong tas di punggungnya menyalami Kafka dan langsung menggendong Aril dari sana. Bocah itu anteng sekali jika diberi makanan. Tidak pernah merepotkan Biandra maupun Isyara. Alasan yang tepat karena Eva mempercayakan anaknya pada gadis penyayang seperti Biandra.
"Adik kamu?" Kafka menyeruput kuah bakso saat Biandra kembali dari dapur untuk membawa segelas air mineral untuknya.
"Iya," jawabnya sambil tersenyum. Seakan hal itu adalah hal menyenangkan baginya. Biandra lalu membiarkan Kafka makan dengan tenang. Ia menaiki tangga dan memberitahu Isyara untuk segera makan.
"Ganti dulu bajunya. Nanti kotor."
"Ambilin dong Teh," nadanya yang manja membuat Biandra memutar mata. Ia akhirnya menuruni tangga untuk mengambil baju di lemari. Ternyata Kafka sudah selesai dengan makannnya. Ia sedang membaca sesuatu di gawainya. Hingga tersadar saat Biandra menutup pintu lemari di hadapannya.
"Saya balik sekarang, ya." Perkiraan Biandra jika Kafka akan segera pergi setelah melihat keadaan rumahnya ternyata salah besar. Pria itu justru terlihat nyaman dan baik-baik saja.
Kafka memasukkan gawainya ke dalam saku di celananya dan tentu saja Biandra berlari ke atas untuk memberikan baju Isyara lalu kembali ke bawah untuk mengantarkan Kafka sampai jalan depan. Selain banyak belokan di gang, ada hal yang harus Biandra bicarakan dengan Kafka.
"Makasih buat tehnya. Manis." Kafka menatap dalam ke wajah Biandra. Teduh sekali tatapan matanya sampai mampu membuat jantung Biandra berdegup. Padahal itu hanya pujian untuk sebuah teh buatannya. Apalagi setelah mengatakan itu, Kafka memberikan sebuah senyuman yang baru kali ini Biandra tangkap oleh netranya. Pertama kali bertemu, pria itu menguarkan kesan galak ... atau mungkin mengerikan bagi Biandra saat kilas balik kejadian ia mengganggu tidurnya di Opecca tempo hari. Saat itu jantungnya berdegup kencang karena takut, tapi sekarang ia tak tahu mengapa hal serupa terjadi lagi. Tapi bukan rasa takut yang dirasakannya. Sesuatu yang bertalu dalam dadanya, lalu perut yang melilit tapi bukan karena lapar.
Kafka mengenakan sepatunya dan Biandra sudah menunggu di sebelahnya. Gadis itu mengenakan sandal jepit berwarna merah. Kaki putihnya menyembulkan urat-urat kecil yang tercetak jelas, kontras dengan warna kulitnya.
Berjalan berdampingan di sebuah gang kecil adalah hal yang tak pernah terbayangkan oleh Kafka. Ternyata tidak begitu buruk, karena selain hatinya yang menghangat, ia juga merasakan nyaman yang sudah lama sekali tak singgah di hatinya. Rasanya menyenangkan hingga mampu menghadirkan senyum singkat di bibir kakunya.
Biandra sempat tersentak saat Kafka menarik badannya ke sebelah kiri saat sebuah motor hampir saja menyerempetnya. Ia kaget luar biasa. Kafka menyumpahi sang pengendara sambil memeriksa apakah ada yang terluka pada lengan Biandra. Wajahnya terlihat kesal, masih memerhatikan pengendara motor yang dengan santainya melaju kencang di depan sana.
"Saya nggak papa."
"Udah saya bilang, saya jalan sendiri saja. Kamu nggak usah nganter sampe sini."
"Maaf, Pak."
Kafka berdecak. Bukan ucapan itu yang ingin didengarnya. Ia hanya ... hanya apa, ya? Khawatir akan keadaan Biandra. Bagaimana pengendara motor itu memacu kencang dan jika sampai mencelakai gadis itu, entah apa yang akan terjadi.
"Itu ... saya mau minta maaf buat ucapan lancang saya tadi."
Oleh suara kendaraan yang terlalu bising, Kafka tidak bisa menangkap maksud Biandra. Ia mengajak berbicara di dalam mobil saja. Suara di luar langsung lenyap tak kala pintu yang dututup kencang.
"Mau ngomong apa?" Kafka menghadapkan badan ke arah kirinya. Seorang gadis yang menarik napas dengan tautan tangannya yang sedari tadi tak pernah dilepasnya lalu menatap matanya.
"Maaf karena sudah lancang- ucapan saya ... itu, tadi-"
"Rileks. Bicara pelan-pelan."
Percuma. Kata-kata Biandra sudah meninggalkannya sejak kali pertama Kafka menatapnya tanpa henti. Matanya terlalu menusuk ke dalam netra Biandra yang semakin ciut nyalinya.
"Kamu minta maaf kenapa?" Laki-laki yang menyugar rambutnya ke belakang itu tak memutuskan pandangan pada gadis yang masih melarikan matanya itu.
"Karena saya lancang bertindak seperti kekasih Bapak," ucapnya dengan suara yang semakin mengecil. Apalagi saat mengatakan kekasih. Ia akan sangan bersyukur jika Kafka langsung menangkap maksudnya. Jadi ia tidak perlu mengulangi perkataannya dan menjelaskan secara rinci, yang mungkin saja ia juga tidak bisa menjelaskan apa-apa lagi.
Jika Biandra melihat ke arah Kafka saat ini, pasti kata yang terlintas adalah aneh. Lihat saja, bagaimana laki-laki itu berusaha menyembunyikan senyum yang sedari tadi sulit sekali untuk dihalau terbit dibibirnya. Hanya mendengar kata "kekasih" saja, jantungnya sudah memacu lebih kencang. Atau itu mungkin karena tingkah polos yang dilakukan Biandra.
Baiklah, mari kita buat gadis itu bingung atas ucapan yang akan keluar dari bibir Kafka sebagai jawaban. Agar wajahnya berani menatap sosok pria yang saat ini ingin meneliti wajah manis itu lebih jelas. Bosan mencuri pandang sedari tadi.
"Oh itu. Nggak papa, saya juga suka."
***