"Mbak, ada apa?" Sebisa mungkin ia mengatur wajahnya untuk tetap tenang, meski di dalam dadanya berdegup begitu kencang. Biandra menatap Eva tersenyum tidak enak di luar rumah. Sedangkan Biandra menutupi pintu dengan badannya.
"Bian, pewangi baju Mbak habis. Boleh pinjem satu dulu, nggak? Mbak males ke warung. Lagian Aril juga belum bangun, jadi nggak bisa ditinggal," jelasnya panjang lebar. Setelah mengiyakan permintaan Eva, ibu satu anak itu langsung masuk begitu saja ke dalam rumah. Membuat Biandra buru-buru menahannya.
"Mbak, biar aku ambilin."
"Biar aku aja, Bian. Kamu habis mandi, 'kan? Udah sana jemur aja handuknya."
Benar. Memang benar ia memegang handuk. Tapi itu bukan-
Biandra menutup mata saat Eva membuka pintu kamar mandinya. Entah apa yang akan Eva pikirkan saat mendapati seorang pria bertelanjang d**a sedang ada di kamar mandinya pagi-pagi seperti ini. Biandra memandang kemeja Kafka yang tergeletak begitu saja di atas kursi. Pria itu melemparkan kemejanya asal sedetik setelah ditarik Biandra tadi. Biandra sudah siap menjelaskan semuanya jika sampai bosnya tertangkap basah ada di sana.
"Bian." Eva memanggilnya dari sana. Bersiap menjelaskan sejelas-jelasnya, Biandra berbalik dan mendapati Eva sudah menggoyangkan pewangi pakaian itu di tangannya sambil tersenyum.
"Makasih, ya. Nanti diganti." Eva meninggalkan rumahnya dengan terburu, takut putra kecilnya bangun. Dengan segera, Biandra melesat, mengecek kamar mandinya setelah itu dan memang tidak ada Kafka di sana. Mustahil sepetak kamar mandi ini bisa menyembunyikan Kafka yang setinggi itu. Bersembunyi di balik pintu juga percuma. Badan besarnya tidak akan muat.
"Saya harus gimana?" Kafka bangkit dari jatuhnya dan memandang gadis yang meletakkan telunjuknya di depan bibir. Tangannya mengibas-ngibas tidak jelas sambil sesekali menjawab panggilan dari Eva di luar sana.
Kafka berdecak dan segera melesat ke kamar mandi. Biandra menarik napas sebelum membuka pintu. Tepat setelah itu, Kafka menemukan seekor kecoa di tembok dekat cermin dan itu alasan Kafka naik ke atas melalui tangga yang dapat dijangkau kaki panjangnya tanpa mengeluarkan suara sedikit pun.
"Mbak, nggak usah diganti," teriaknya, berharap Eva masih mendengar suaranya. Ia merasa lega seketika. Seperti beban yang lepas dari dadanya. Meskipun ia tidak mengerti bagaimana rasanya.
"Bapak ...," panggilnya ke arah atas. Nenek-nenek rabun juga pasti sudah mengerti, ke mana Kafka akan bersembunyi. Namun sudah panggilan kedua, pria itu tidak juga menyahutnya. Akhirnya Biandra yang menyusul, masih dengan handuk di tangannya.
Kafka berdiri dari sudut sana, tempat meja kecil yang terdapat beberapa n****+ milik Isyara diletakkan. Kafka menyugar rambutnya ke belakang dan menutupi bahunya dengan handuk yang baru saja Biandra sodorkan.
Mereka sama-sama diam tak bersuara juga mematung di tempat. Kafka mengambil peran utama dengan berjalan mendekati Biandra-atau anak tangga untuk menuruninya.
Saat Kafka berhenti tepat di sebelahnya, laki-laki itu berujar.
"Kenapa kita harus seperti ini?"
Matanya mencari manik Biandra yang masih setia dengan bungkamnya.
"Aneh saja ada seorang pria yang datang ke rumah sepagi ini dan ... tanpa baju." Jujur lebih baik. Laki-laki itu tidak menimpali ucapannya lagi.
"Bapak ada perlu apa?"
"Kalau saya bilang saya khawatir sama kamu, kamu percaya?"
Barulah Biandra menatapnya. Jenis khawatir seperti apa yang sudah membuat bosnya datang ke rumah sepagi ini? Ia tidak kenapa-napa sampai saat ini. Baik-baik saja jika tidak ada pemandangan yang membuatnya tak sanggup memandang Kafka lama-lama.
"Saya baik-baik saja."
"Tidak," jawabnya cepat sambil berjalan menuruni anak tangga dengan lima kali pijakan.
"Kamu tidak baik-baik saja. Dan saya tahu itu." Terselip nada mengejek dalam kalimatnya. Dan Biandra kurang menyukainya.
"Saya tidak mengerti."
"Baiklah. Saya akan buat kamu mengerti." Hanya butuh sedetik untuk menarik tubuh Biandra lebih dekat, lalu menaikkan lengan kaos Biandra. Dan luka itu menyembul dari sana. Memanjang dari lengan bagian dalamnya, hampir mendekati sikut. Kafka sudah curiga akan semua ini. Bagaimana cara perempuan itu berusaha menutupi dengan kaos kebesarannya sedari tadi. Lebih jelas ketika ia sedang menjemur pakaian. Kaosnya tersingkap ke atas, memperlihatkan luka itu semakin jelas.
"Bapak sudah keterlaluan." Biandra menghempaskan lengan Kafka yang memegang bahunya.
"Di mana kamu dapat luka itu?"
Biandra tidak menjawab dan melengos ke dapur. Mencoba menyibukkan diri dengan apa saja yang bisa dikerjakan. Memeriksa gelas dan piring contohnya. Ia mengelap peralatan makan yang tadi dicucinya dengan kain.
"Kenapa mempermasalahkan luka saya?" Kafka mengerjap di sebelah sana. Laki-laki itu tersenyum singkat.
"Cuma luka biasa dan saya baik-baik saja."
"Kamu dapat itu dari kantor saya?" Satu langkah Kafka mendekat. Hanya demi mendapat jawaban, laki-laki itu sampai penasaran berlebihan. Bukan. Bukan sekadar ingin tahu, Kafka hanya menuruti dorongan dari dalam tubuhnya. Ia pernah mendapati seseorang yang sangat berarti dalam hidupnya harus mengalami hal yang tidak pernah Kafka bayangkan sebelumnya. Kafka hanya takut jika gadis ini melakukan hal yang sama.
"Mustahil jika kamu menyebut itu dengan terjatuh."
"Bapak kenapa? Kenapa sangat peduli dengan kehidupan pribadi saya?"
Dan tidak ada jawaban yang keluar dari bibir Kafka. Itulah alasannya Kafka memilih bungkam dan mengambil kemejanya dari atas kursi. Mengenakannya kembali setelah mengibasnya beberapa kali.
"Saya harus berangkat kerja," ujar Biandra masih membelakanginya.
"Oke." Satu jawaban dari Kafka membuatnya segera masuk ke dalam kamar mandi dengan seragam Opecca di tangannya.
Biandra segera meloloskan napasnya yang sedari tadi ia tahan untuk memberikan kesan tenang. Tidak, jarinya tangannya bergetar di bawah sana. Setelah mengganti bajunya, ia menutupi lukanya setelah mengolesinya dengan obat merah. Matanya tertuju pada cermin di sana.
"Ini rahasia kita berdua. Jangan sampai dia tahu perbuatan kita." Biandra mengusap lengannya perlahan. Membiarkan suara itu masuk ke dalam pikirannya.
Akan sangat aneh jika orang lain memperhatikannya sedetil itu. Biandra tidak terbiasa akan apa yang diberikan Kafka padanya. Karena sebelumnya, tidak ada yang pernah memberinya perhatian sebesar itu. Tidak ada yang peduli padanya. Biandra tidak terbiasa seperti ini.
***
Kafka terdiam dalam ruangan gelap itu. Memikirkan apa yang baru saja dilakukannya. Benar kata gadis itu. Mengapa ia harus mengetahui apa yang gadis itu lakukan? Atas dasar apa yang membuatnya harus berlaku demikian?
"Saya ini kenapa, ya Al?" Gadis cantik yang tersenyum lebar di sana tidak akan bisa menjawabnya. Tapi setiap Kafka melewati hari mengerikannya, selembar foto itu sangat berguna. Hanya dengan melihatnya saja, Kafka menjadi tenang. Rasa yang ia tidak pernah temukan pada siapa pun. Kecuali mungkin ... pada gadis yang berusaha menyembunyikan rahasianya. Gadis yang matanya indah dengan tatapan sama seperti foto yang ada di genggaman Kafka saat ini.
Rumah ini adalah pilihannya. Karena katanya rumah ini saja sudah cukup untuk tinggal berdua dengannya. Kafka meneliti sekitar, semua furnitur juga dipilihnya dengan warna-warna senada, hijau toska. Warna kesukaannya. Kafka tersenyum kecut saat memorinya mengulang kenangan itu.
Senyumannya, rambut sebahunya yang selalu Kafka suka. Semua tingkah lakunya tak pernah hilang dari ingatan Kafka.
Gadisnya yang ceria, ia merindukannya.
"Kenapa nggak pernah mampir di mimpi saya, Al?"
***
Sepertinya siang ini cukup terik dan akan menyenangkan apabila makan seporsi tumis udang saus merah racikan Bu Leah. Tapi nyatanya para pengunjung tidak sebanyak hari sebelumnya. Hari ini terlihat hanya ada beberapa pengunjung yang hadir mengisi kursi di sudut meja sana. Amel yang bersantai di balik meja kasir sambil menggulir gawainya dengan asyik, Adit yang sedang mengecek perlengkapan di gudang sana dan Biandra yang sedang duduk bersama Cika.
"Banyak pelanggan, sibuk, capek. Nggak ada pelanggan, bosen ya Teh?" Cika memainkan kakinya di bawah sana. Mengetuk lantai dengan sepatunya menjadi sebuah irama saat bibirnya menggumamkan nada lagu yang tidak diketahuinya. Biandra tersenyum menanggapi. Anak ini mirip dengan Isyara, ceria dan manis disaat bersamaan.
"Teh Bian kenapa liatin aku?" Cika menoleh saat mendapati Biandra yang terang-terangan memandanginya. Ia kembali tersenyum sebagai jawaban.
"Kamu nggak kuliah?" Cika mengerjap mendengar pertanyaan yang dilontarkan Biandra. Bibirnya tersenyum kecut lalu menggeleng.
"Belum, Teh. Belum rezekinya."
Jawaban yang bagus. Menyebutnya demikian berarti masih ada keinginan yang terkubur dalam hatinya.
"Nggak lolos SBM, sekarang kerja dulu aja. Ngumpulin buat tahun depan." Biandra mengaminkan ucapan Cika dengan pelan.
"Kerja itu capek, ya?" Cika mengangguk mantap menjawab pertanyaan Biandra.
"Capek. Tapi kalo temen kerjanya bikin nyaman sih jadi nggak capek lagi. Yang penting dari sebuah pekerjaan itu adalah temen kerjanya."
Biandra mengangguk membenarkan ucapan itu. Jika Isyara harus mengikuti jejaknya, mungkin nanti akan seperti Cika. Bekerja keras untuk mencari rupiah. Alasan terbesarnya menyuruh Isyara melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi, tidak lain dan tidak bukan adalah agar kelak mendapatkan pekerjaan yang sesuai dan tidak sekeras dirinya sekarang. Ia ingin memberikan yang terbaik untuk sang adik. Meski tidak mendapatkan kasih sayang layaknya orang tua utuh, Biandra ingin adiknya itu tidak merasa kesepian hanya dengan hidup berdua dengannya saja.
"Tapi gaji yang lebih penting." Suara itu mengagetkan keduanya yang sama-sama terdiam. Amel menyengir dengan kedua lengan yang ditautkan.
"Bener 'kan. Gaji lebih penting. Temen kerja bisa aja ngekhianatin kita. Tapi uang tidak akan bisa."
"Yang pernah ditusuk dari belakang sama temennya mah gitu, Teh." Cika menyenggol lengan Biandra, lalu Amel tertawa bersama Cika yang hanya bisa_lagi-lagi_ ditanggapinya dengan senyuman. Karena tidak mengerti akan apa yang sedang dibahas mereka berdua.
"Eh, disuruh beli makan sama Abang. Kalian mau ikut, nggak?"
"Ayok, ayok. Aku gabut duduk mulu," sahut Cika dengan semangat empat lima. Ia menggandeng lengan Amel dan menggoyang-goyangkannya.
"Kamu ikut, nggak?"
Biandra menggeleng dengan alasan akan berjaga di sini, jika ada pelanggan yang datang maka Opecca tidak akan kehilangan banyak pelayan.
"Oke, deh." Lalu mereka pergi meninggalkannya seorang diri. Biandra memandang sekitar. Memerhatikan orang-orang yang berlalu lalang di luar sana melalui sekat kaca yang gelap.
"Barang pada dateng, bantuin yuk," teriak Adit dari belakang sana. Biandra dengan sigap berdiri dari duduknya dan menghampiri Adit di pintu belakang, pintu yang menyambungkannya dengan gudang tempat penyimpanan bahan makanan.
"Si Cika ikut?" Bayu masuk dengan membawa sekotak paprika. Biandra mengangguk menanggapi. Ia lalu mengikuti jejak Adit yang sudah berada di luar sana, mengambil barang dari mobil box yang terparkir di samping tempat makan ini. Di seberang sana juga ada tong sampah besar berwarna hijau.
"Di dalem ada Bu Le, 'kan?" Adit memangku kiloan bombay dengan kedua tangannya. Semua bahan ini seakan tersegel rapi yang sudah ditata dalam wadah kayu yang masih banyak tersimpan di dalam mobil box yang pintunya terbuka itu.
"Iya, Ibu jaga di dalem," ucap Biandra yang juga mendekap sebuah wadah besar berisi kalengan bahan-bahan dapur yang tidak Biandra ketahui semuanya.
Ia sampai lupa jika lukanya kembali tergores dengan benda berat itu. Akibatnya darah kembali merembes dari balik kaosnya. Kembali tergores ketika Biandra memangku wadah kedua dan selanjutnya. Ia hanya bisa mengelap rembesan itu dengan sapu tangan yang diselipkan di saku celananya.
"Ada pelanggan, kamu masuk aja." Adit tergesa saat kembali dari dalam sana memanggil Biandra. Gadis itu lalu dengan kaki kecilnya, mempercepat langkah dan menyerahkan bawaannya kepada Bayu untuk ditumpuk di lemari sana.
Biandra menyerahkan buku menu dan segelas air putih ke atas meja samping jendela itu.
"Saya mau-"
Biandra yang sudah siap dengan buku dan pulpen di tangannya otomatis berhenti saat pria itu menghentikan perkataannya dan malah memandang Biandra dalam diam.
Gadis yang menggunakan apron berwarna merah darah itu juga terkejut. Ia memandang pelanggan itu dengan diam. Mereka sama-sama saling tatap tanpa mengeluarkan sepatah kata.
Sekian lama tidak bertemu ternyata rasanya masih semenegangkan ini. Dadanya bergejolak hebat. Perutnya melilit saat pelanggan itu berdiri dari kursinya dan tanpa sengaja menyenggol gelas di sana. Tatapan itu masih sama seperti dulu. Mata yang memandang Biandra tajam dan sialnya, Biandra masih tidak kuat melawan tatapannya. Terlalu menusuk ke dalam hatinya.
***