13. Serasa Dulu

1600 Kata
Aku tidak biasa dengan keadaan ini. Takut adalah kata yang tidak cukup untuk mendeskripsikan perasaanku saat ini. Tidak nyaman dan rasanya sungguh mendebarkan. Apalagi Pak Kafka semakin mendekatkan tubuhnya menghampiriku. Aku tahu matanya tak henti menatap diriku sedari tadi. Meskipun tidak melihat ke arahnya, aku sudah tahu hanya dengan ekor mata. "Kenapa?" Tanyanya. Aku juga tidak tahu. Aku tidak memiliki jawaban untuk pertanyaannya. Yang hanya bisa kulakukan adalah menautkan jari tangan yang terasa sangat dingin ini. Entah akibat suhu ruangan atau rasa gemetar dalam diriku setiap kali bertemu orang baru dihidupku. Apalagi dengan seorang pria di dalam ruangan. Setelah tak kuasa menahan gemetar ini, hal yang terlintas dalam pikiranku adalah pergi dari sini secepat mungkin. Aku harus kembali bekerja. Namun sepertinya keadaan sedang tidak memihakku. Tiba-tiba saja pintu terbuka dan nenampakkan seorang wanita yang tadi kulihat keluar dari ruangan ini juga. Bukan tatapan nyalangnya yang membuatku meremang, melainkan rangkulan kuat dari laki-laki di sebelahku yang entah dari kapan tangannya sudah bertengger di bahuku. Mual itu hadir saat tangan Pak Kafka mengelus punggungku pelan. Entah apa yang dikatakannya kemudian, tapi badanku sudah terlebih dulu didudukkan di sofa. Beruntung jaket milik Dikri bisa menyembunyikan gemetar pada tanganku. Tautan tangan aku gunakan untuk menahan lutut yang juga tak berhenti bergetar semenjak badanku di rangkul oleh laki-laki yang sedang berdebat dengan perempuan jangkung di sana. Aku tidak tahu mereka meributkan apa, tetapi kurasa perdebatan itu tak akan berakhir cepat karena wanita itu selalu membalas ucapan jengkel Pak Kafka. "Sepenting apa Tukang Bersih-bersih di mata kamu?" Teriakan tertahan itu mengembalikan pendengaranku yang berubah tuli semenjak dipapah duduk di sofa ini. Hanya bisa mendengar gemuruh suara ribut dan tak bisa menangkap satu pun maksudnya. Mataku menatap perempuan yang sedari tadi tak henti memberikan tatapan tajam kepadaku. Aku sudah terbiasa melihat tatapan seperti itu. Seakan jijik melihat seonggok gadis kampungan sepertiku duduk di ruangan megah ini. Tatapan merendahkan yang selalu kudapat sedari dulu, yang tak pernah aku hiraukan. Sebenarnya aku hanya mencoba mengabaikannya. Jauh dari lubuk hatiku, sakit tumbuh di sana. Menjadi lubang besar yang takkan pernah bisa aku tutupi. Aku juga punya hati. Sial, bagaimana bisa aku terjebak dengan dua orang yang sedang bersitegang ini? Pak Kafka menyentak tangan wanita itu yang menunjuk-nunjuk wajahku dengan telunjuk bercat merahnya. Lalu mereka kembali mendebatkan hal yang aku tidak pahami. Panggilan sayang yang diberikan perempuan itu pada Pak Bos ternyata tak bersambut baik. Dia sudah diabaikan sedemikian rupa namun tak urung merangkul tangan Pak Kafka. Yang juga dibalas dengan dengusan. Mereka terus berdebat dan waktu sudah menunjukkan pukul dua belas lebih. Dan aku tidak tahu sampai kapan percekcokan ini akan usai. Opecca pasti sedang ramai-ramainya. Bisa gawat jika Kak Adit kekurangan asisten di sana. Itu alasan terbesarku untuk melepaskan jaket yang melekat dan menggerai rambut panjangku. Lalu bangkit untuk mengikat jaket ke pinggangku, semoga ini bisa membuat penampilan yang perempuan itu sebut 'kampungan' bisa sedikit lebih layak. Aku menyampirkan rambut ke sebelah kiri, berharap bisa menutupi tulisan Opecca yang tercetak di kaos bagian kiriku. Kamu bisa, Biandra. Jika tidak seperti ini, kamu tidak bisa kembali ke Opecca tepat waktu. Kemungkinan terburuk adalah pemecatan akan karyawan baru. Itu isi pikiranku saat ini. Mencari kerja adalah hal yang tidak mudah, apalagi mendapatkannya butuh usaha dan pikiran yang kuat. Aku tidak mau dikeluarkan dari pekerjaan ini. "Sayang, kita jadi makan?" Akhirnya kalimat itu yang aku keluarkan. Tatapan kaget dari pria yang aku pegang kemeja lengannya hampir membuatku goyah, untung saja suaraku tidak ikut bergetar seperti kedua lututku di bawah sana. "Ayo, aku udah laper." Apa yang sedang kuperbuat ini sebenarnya? Mengapa lancang sekali mengucapkan rengekan yang menggelikan seperti  ini. Aku sudah pasrah akan apa yang terjadi selanjutnya. Beberapa detik tidak ada sambutan. Derai tawa lalu terdengar melengking dan tatapannya padaku semakin mengibarkan bendera perang. Seakan laser api siap dia tujukan padaku dengan tatapannya. Aku sudah pasrah akan apa yang terjadi selanjutnya. Apakah Pak Kafka akan mendorongku seperti yang dilakukannya pada perempuan itu tadi, atau bahkan- ah, bagaimana jika bukan Adit yang akan memecatku? Melainkan pemilik Opecca langsung yang akan mendepakku dari sana? Bodoh. Bodoh. Bodoh. Bagaimana mungkin aku tidak berpikir sampai sana? Lalu derai tawa yang terdengar dipaksakan itu berhenti ketika Pak Kafka mengucapkan hal yang juga tidak kuduga. Hal yang justru membuat dadaku berdebar hebat. Aku merutuki ide spontan itu. "Pacar manggil sayang, wajar dong." Lalu telingaku tuli kembali saat ia mengelus kepala belakangku dan menatap dalam ke mata yang bahkan tidak bisa berkedip ini. Apakah arti dari tatapan itu? Apakah ia menahan geram karena dengan lancang aku panggil sayang, atau- "Cukup! Keluar, gue bilang!" "Cukup! Keluar, kamu anak sialan!" Teriakan itu membuatku tertegun seketika. Bapak dengan urat di dahinya yang menonjol menyeretku keluar dari rumah. Air mata bahkan sudah mengering tak mau keluar lagi. Atau itu adalah alasanku agar tidak melihat Adek yang terus menangis di dalam sana. Adek menggedor jendela dari dalam karena Bapak menguncinya agar ia tidak bisa menghalangi amukan Bapak padaku. "Teteh nggak kayak gitu, Pak." Sebanyak apa pun kalimat yang terlontar dari bibirku, Bapak tidak akan pernah menggubrisnya. Bapak tetap mencaciku di hadapan tetangga yang perlahan, mereka keluar karena mendengar kegaduhan. Letak rumah satu dengan yang lainnya tidak begitu jauh, itu yang menyebabkan suara keras Bapak terdengar dan memancing mereka untuk mengintip dari balik tembok. Apalagi raungan Adek yang dipeluk Aang di dalam sana masih terdengar hingga kini. "Pergi! Keluar dari sini sekarang juga. Tidak sudi aku menampung anak pendosa sepertimu!" Sampai sekarang masih kuingat raut kecewa pada wajah Bapak. Rahangnya mengeras dengan mata memerah. Tangannya memegang sapu yang tadi digunakannya untuk memukul badanku. Air mataku kembali menetes begitu saja saat melihat Mamah berdiri di samping Bapak sambil tersenyum. Dia menangguk padaku dengan raut yang tidak bisa kumengerti. Aku tidak tahu arti senyuman itu. Tapi tanpa sadar, bibirku tertarik mengikuti bibirnya yang masih tersenyum padaku. Sudah lama sekali dia tidak hadir dalam mimpiku. Mamah seakan nyata, dengan memakai gaun putih yang indah, rambutnya yang berkilau. Aku senang sekali bertemu Mamah kembali. "Anak gila! Masih bisa-bisanya kamu senyum sekarang. Benar kata Pak Rayan, kamu pasti sudah gila saat menggoda menejer itu." Mataku kembali menatap Bapak. "Teteh beneran sumpah, Teteh nggak ngelakuin itu. Justru, dia yang-" "Dosa banget kamu pake bawa-bawa sumpah segala. Pergi sekarang juga! Bikin malu keluarga! Pergi!" Sudah tak bisa dideskripsikan bagaimana wajah Bapak saat itu. Terlalu marah hingga urat-urat itu menonjol di lehernya. Tangannya mengepal kuat dengan suara yang membuatku sangat takut. "Teteh berani sumpah, Pak. Bukan Teteh yang kayak gitu. Dia justru yang udah paksa Teteh di-" "Cukup! Anak tak tahu diuntung. Masih untung pihak sekolah tidak membesar-besarkan kejadian ini. Masih untung pihak hotel tidak meminta ganti rugi sama kita. Anak sialan memang, menyesal saya terima kamu dulu sebagai-" "Cukup, Pak. Teteh pergi, sekarang. Teteh bakalan pergi." Bapak tidak sudi melihatku saat aku meminta kunci rumah untuk terakhir kalinya bertemu dengan Adek. Gadis manis itu menangis tersedu dan langsung berdiri, berlari ke arahku dengan tergesa. Memeluk pinggangku dengan erat. Bahkam baju belakangku direnggutnya kuat. "Sayangnya Teteh, jangan nangis. Teteh nggak papa," ucapku kala itu. Memang benar aku tidak papa. Lebam di punggung dan kakiku tidak ada apa-apanya dibandingkan tangisan Adek yang memilukan di sana. Aang melihatku sekilas, lalu pergi ke dalam. Meninggalkan aku dan Isyara yang saling berpelukan. "Teteh jangan per-gi. Ka-lau Teteh pergi, Ayish sama siapa? Ayish m-mau ikut Teteh aja." Adik kecilku yang malang, dia sampai tergugu saat mengatakannya. Napasnya tersenggal-senggal, memberikan pilu bagi siapa saja yang mendengarnya. "Bapak jahat! Kenapa pukul Teteh?" Dia menjerit menatap nyalang kepada Bapak yang masih membelakangi kami. Aku menggeleng tidak setuju. "Jangan ngomong gitu, Bapak nggak salah. Emang di sini, Teteh yang nakal. Jangan benci Bapak. Ayish justru harus nurut sama Bapak, ya?" Dia tidak mengangguk seperti biasanya saat aku meminta sebuah persetujuan. Dia menggeleng keras dengan tangisan yang tidak mereda. "Ayish mau ikut Teteh," ucapnya seiring pelukan yang semakin erat di pinggangku. "Pergi sana! Mau ikut sama anak ini, biar mati kelaparan!" "Ayo, Teh. Kita pergi." Dia menarik tanganku. Aku mengangguk menanggapi. "Kita pergi, tapi bukan sekarang. Teteh janji bakal bawa kamu. Tapi Teteh butuh waktu. Kamu jagain Bapak dulu, ya di sini." Dia menggeleng keras-keras, sampai air matanya terciprat ke mana-mana. Aku melepaskan pelukannya dan berjalan menuju kamar. Mengemasi beberapa baju dan mengantongi uang sisa bekal yang memang sengaja sering aku sisipkan. Tidak sampai hati jika harus kembali melihat Adek yang tersedu di kursi sana sambil dipeluk Aang. Sorot matanya tak bisa lagi kusembuhkan. Adikku tersayang, tunggu beberapa tahun lagi. Kita pasti akan kembali bersama. Aku berjanji akan hal itu. "Pak, Teteh pergi ya. Bapak jaga kesehatan. Teteh nggak bisa masakin sarapan lagi buat Bapak, dari sekarang." Berat sekali langkahku untuk pergi dari sana. Tangisan Adek dan dengusan Bapak kuanggap perpisahan terakhir kami saat itu. Saat kulihat, Mamah sudah tidak ada lagi di sana. Tidak ada lagi di samping Bapak. Aku merasakan kehilangan sekali lagi. Ketakutan luar biasa kurasakan saat harus berjalan menyetop bus yang akan membawaku ke kota_ atau ke mana saja. Aku tidak tahu tujuan akan pergi ke mana saat kondektur menanyaiku untuk meminta ongkos perjalanan. Tidak ada yang tersisa dari rumah kecuali rasa sayangku kepada Isyara. Adek adalah satu-satunya orang yang menjadi semangatku dalam menjalani setiap pagi. Lalu suaranya mengalun ceria dalam telingaku. "Teteh masak apa hari ini?" "Tadi Ayish dapet nilai sembilan di sekolah." "Uang jajan Ayish sisa dua ribu." "Ayish sayang Teteh." Celotehnya kini tak bisa lagi aku dengar. Memikirkan esok hari sudah tak ada lagi sosoknya yang akan memelukku ketika tidur. Tidak ada lagi bocah kecil yang akan aku pasangkan dasi dan sabuk. Buku-buku sekolahnya, ia harus memasukkan sendiri ke dalam tas. Adikku tersayang, tunggu sebentar lagi. Aku sedang berjuang untuk mengembalikan kebersamaan kita. Tunggu aku. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN