9. Terjadi Lagi

1522 Kata
Melewati gang kecil yang sudah mulai tercium aroma bakso dorong di sepanjang jalan sempit itu, Biandra mengusap sepanjang lengan kirinya perlahan. Rasanya sama dengan yang pernah dialaminya dulu. Gemetar itu masih ada. "Bian, dari mana?" Mbak Eva berhenti sebentar, meliriknya dan tersenyum sambil menuntun Aril yang dengan semangat berlari menggunakan sandal berwarna biru bergambar mobil. Meski jalannya belum seimbang sempurna. Sang anak dengan semangat berlarian, lalu sang ibu yang menuntunnya berusaha mengikuti langkah kecilnya. "Ada perlu, Mbak." Biandra menjawab seperlunya. Suasana hatinya sedang tidak baik. Ia hanya takut itu semua akan berdampak pada orang sekitarnya. Oleh karena itu ia langsung pamit dan melesat masuk ke dalam rumah. Menutup pintu itu adalah awal dari napasnya yang mulai berat. Telinganya berdengung panjang. Masih berjongkok sambil menutup telinga dengan kedua tangannya, Biandra meremas rambutnya keras. Ia butuh sesuatu untuk menenangkan perasaannya saat ini. Ia butuh sesuatu. Sudah sangat lama ia merindukan hal ini. Ia berjalan perlahan ke dapur, mengambil benda tajam yang tersimpan di sudut tempat piringnya. Pisau kecil itu berujung lancip, jika dipakai mengiris daging pasti tidak akan susah. Itu pisau terbaru yang dibelinya. Jarang dipakai sehingga masih terlihat mengkilap. Biandra membawa pisau itu ke kamar mandi dengan tergesa. Menutup pintu yang sudah reyot itu. Setelah memastikan pintu tertutup sempura walau tidak ada kunci di sana, hanya kaitan paku yang dipasang sebagai ganti slot kunci. Ia duduk di lantai masih dengan pakaian lengkapnya, celana jeans panjang dan baju santai berwarna putih. Tak memperdulikan celananya basah akibat terduduk di lantai, Biandra kemudian mencoba pisau itu ke jari telunjuk kirinya. Akhirnya ia bisa bernapas lega. Aliran napasnya perlahan mulai teratur. Seiring darah segar yang mengalir melewati telapak tangannya. Ia tersenyum menatap luka itu, jenis tatapan yang sulit dipahami. "Sampai kapanpun, kamu tetap jalang." "Mereka hanya ingin menyentuhmu, merasakan tubuhmu. Tidak lebih." "Jangan berekspetasi terlalu tinggi. Mereka hanya melihat parasmu. Kamu tidak seberharga itu." Biandra menggeleng, suara itu tetap berbisik pada telinganya. Bahkan di ruangan sempit ini membuatnya semakin jelas. Ia butuh rasa sakit lain, rasa sakit yang bisa membuatnya mengenyahkan suara itu. Membuatnya lenyap meski dengan sebuah luka sebagai gantinya. Jika ia bisa menukarnya dengan luka sekujur tubuh untuk mengenyahkan suara itu dari telinganya, ia tidak akan berpikir dua kali. Ia menyayat jempol kirinya, memanjang mengikuti pinggiran kuku sampai ruas pertama. Aroma ini yang dirindukannya. Ia menghisap bau darah itu dalam ... dalam sekali. Ia butuh lebih banyak lagi. Lagi. Lagi. Dan lag- "Teh?" Ketukan pintu di belakangnya membuat gadis dengan noda darah di pipinya tersentak hebat. Ia bangkit dari duduknya dan membuang pisau kecil itu ke tempat sampah dengan asal. Menumpuknya dengan bekas sabun dan plastik sampo. Segera mencuci darah yang ada di wajahnya cepat-cepat. Lalu menyiram dengan segayung air untuk membersihkan darah dari seluruh lantai. "Teteh di dalem, ya?" Isyara berujar dari luar. Sebelum menjawab, Biandra melonggarkan suaranya terlebih dahulu. "Iya," jawabnya kemudian. "Ayish ke kamar dulu, kalo gitu." Suara ketukan tangga terdengar dari dalam kamar mandi. Ia mencari kain untuk menutup luka jarinya. Membungkus ibu jari terlebih dahulu dan mengakhirinya dengan plester yang selalu tersedia di rumahnya. Selesai berganti baju, Biandra menyiapkan makan untuk Isyara. Oleh suara dentingan piring yang di simpannya ke atas meja, mungkin suara itu juga yang membuat Isyara terpekik dari atas tangga. "Wuiiih, ayam goreng, Teh?" Matanya berbinar hanya dengan melihat ayam goreng sebagai pelengkap nasinya sekarang. Bagaimana mungkin Biandra tidak merasa sesak? Di saat orang lain mungkin bosan makan dengan ayam terus menerus, di sini ada seorang gadis yang begitu girang mendapati ayam tersaji di sebelahnya. "Bikin sambel nggak, Teh?" "Bikin, dong." Senyumnya terpancar bebas menjawab pertanyaan riang sang adik. Merasa puas dengan masakannya kali ini. Apalagi semuanya ia persembahkan untuk adik tersayangnya. Lalu dengan semangat, Isyara mencuci tangannya dan mengambil nasi banyak-banyak. Perpaduan yang sangat serasi. Ayam goreng, sambal dan nasi hangat. Jodoh dunia akhirat. Kalau kata Isyara. Hatinya kembali hangat melihat sang adik makan dengan lahap. Apalagi disela-sela kunyahannya, Isyara berbalik menatapnya sambil tersenyum, lalu menyuapi Biandra dengan tangan. "Teteh makan juga, dong. Enak banget parrrah." Biandra mengunyah dengan pelan, lalu balas tersenyum kepada Isyara. Menatap sang adik dengan tulus. Terlalu banyak rasa sayangnya yang tak bisa diungkapkan semua. "Makasih ya, Dek." Isyara mengangguk dengan semangat, kembali menyuap dengan lahap. Tidak tahu bahwa ucapan terima kasih itu untuk panggilannya dari menyelamatkan hidup Biandra di kamar mandi. Tidak tahu akan bagaimana jika Isyara tidak datang, bagian tubuh mana lagi yang akan mengalirkan darah. Mungkin perut, mungkin leher atau bisa saja dadanya. Tak apa, selagi Isyara tidak sadar akan ibu jarinya yang dibalut plester. Biandra juga akan baik-baik saja. Tak ada yang harus dikhawatirkan lagi. *** "Al, saya serasa liat kamu dalam matanya." Kafka memijit pangkal hidung keras-keras. Sebelah tangannya memegang selembar foto sepasang insan sedang menoleh ke arah kamera seraya tersenyum bahagia. Foto yang diambil setelah pemasangan cincin lamarannya. "Saya kaget Al, pertama kali liat dia. Saya kira itu kamu. Kalian sama-sama kecil. Saya ... kangen kamu," katanya melirih. Kamar ini seharusnya menjadi kamar pengantinnya, menjadi saksi bagaimana akan ada kehidupan berwarna setelah menjadi sepasang suami isteri. Menjadi saksi bisu penghabisan harinya kelak. Namun nyatanya tidak, kamar ini bahkan dipenuhi debu halus sebagai bukti, jarangnya Kafka bertandang ke sini. Kamar ini sudah di desain sedemikian rupa, dengan cat dinding pilihannya, ranjang empuk yang dibeli bersama, perlengkapan dan lainnya sudah dipersiapkan dengan matang. Tidak ada rasa bahagia yang dirasakan lebih dari hari itu. Rasanya aneh jika sekarang, Kafka hanya bisa memandang sekelilingnya seorang diri. Beberapa lemari dan meja bahkan tertutup kain putih di ruang tamu. Debu yang mulai merambat membelit lampu gantung yang berada di tengah ruangan. Kafka meraba ranjang dengan perlahan. Lalu berbisik, "andai kamu di sini." *** "Aw! Teteh kenapa?" Sial, Isyara sudah melihat luka di tangannya. Bocah SMA itu menjerit ketika melihat jari sang kakak yang terbalut perban. Yang sebelumnya baru disadari Isyara saat Biandra mengambil remot televisi. "Kena piso," jawab Biandra tenang. Isyara masih memandang tangan di genggamannya dengan ngilu. "Kok nggak hati-hati, sih? Sini, Ayish ganti perbannya." "Nggak usah, nanti aja. Kamu nggak ada tugas?" Ia menarik lengannya dari genggaman sang adik. Ia hapal betul kebiasaan adiknya yang satu ini, ia anti dalam hal terluka. Bagaimana kabarnya jika sampai mengetahui luka sayatan yang tidak kecil itu bersarang di ibu jarinya. Tentu saja darah masih mengalir dari sana. Dan Isyara tidak akan menyukainya. "Ih, Teteh mah pake diingetin. Jadi keingetan, kan." Ia menutup novelnya kembali dengan muka ditekuk. Baru saja ia berubah menjadi perempuan anggun yang sedang diperebutkan dua pria tampan sekaligus. Halusinasinya buyar setelah kata tugas masuk ke dalam pikirannya. "Pinjem hape, dong. Aku mau nanya Denis tugasnya apa aja." Isyara bangkit dari duduknya. "Tadi ada sms. Katanya belum masuk. Apanya yang masuk?" Biandra menyerahkan gawainya kepada Isyara. "Biasa lah Teh, urusan abege." Lalu ia menyengir dan melesat ke atas. Biandra tidak memusingkannya dan berbaring di atas kursi. Memperhatikan luka di telunjuknya yang sengaja tidak ditutupi plester. Maha karyanya setelah sekian lama melupakan kegiatan menyenangkan itu lagi. Memandang luka yang tidak sedalam ibu jarinya itu dengan mengelus pelan di sana. "Nanti kita main lagi, ya." Biandra tersenyum dan menutup matanya perlahan. Menikmati sensasi mengorek lukanya dengan kuku. Rasa tenang ini yang dibutuhkannya sekarang. Rasa ini. *** Belum masuk, Nis? Kirim. Tanpa menunggu lama, balasan langsung datang. Bukan melalui pesan teks seperti yang Isyara kirimkan, melainkan sebuah dering telpon masuk. "Belon, Is. Gue cek barusan." Isyara menghela napas setelah suara Denis masuk ke telinganya. "Sabar, belum dikirim aja kali. 'Kan banyak yang menangnya." "Yoi," jawabnya lesu. Denis tahu, tanggapan Isyara adalah salah satu bentuk kekecewaannya. Oleh karena itu ia berujar, "keluar lah kuy, temenin makan. Gue tunggu di depan." Tentu saja adik Biandra ini tidak akan menolak. Ia langsung mengiyakan ajakan Denis dan memakai jaket hitam sebagai luaran kaos pendeknya. Derap suara tangga yang dipijak terburu membuat Biandra yang semula menutup mata langsung terduduk, melihat Isyara mengambil sepatunya dengan tergesa. "Mau ke mana?" "Keluar, Teh. Denis ngajak makan." Di sela-sela menalikan sepatu, Isyara menimpali pertanyaan kakaknya. "Barusan 'kan abis makan." "Tenang, nasi yang barusan masuk ke sebelah sini." Ia menepuk perut bagian kirinya menggunakan tangan dan melanjutkan, "masih ada tempat di sebelah sini. Ayish pergi dulu, ya." Lalu melanjutkan menepuk perut sebelah kanannya, diakhiri dengan cengiran cerdiknya. Lalu ia mengucap salam dan melesat menutup pintu. Biandra memandang langit-langit ruang televisinya. "Sekarang sudah tidak ada orang, ayo kita main lagi," ucapan itu berbisik merdu, mengalun indah di telinganya. Biandra hendak bangkit, menuju kamar mandi dan mengambil pisau yang dibuangnya asal tadi. Namun suara ponsel di lantai atas lebih dulu berbunyi. "Ade udah nunggu di depan," ujarnya tanpa melihat siapa yang menelpon. "Nunggu siapa?" Biandra mengernyit mendengar suara itu menyahut dari balik gawainya. Ia menarik ponsel dari telinganya. Bukan suara teman Isyara yang biasa menelpon. Suara asing yang beberapa jam lalu didengarnya di- "Ini saya, ini nomor saya." -super market. Kafka. Itu adalah bosnya. Biandra mengutuk dirinya yang sembarangan berujar tanpa melihat siapa yang menelpon. Pasti terdengar sangat aneh kalimat itu yang pertama di dengarnya dari penerima. Apalagi Biandra. "Maaf, Pak. Saya kira temen adek saya." "Nggak papa. Simpan nomor saya." Biandra mengangguk. Lalu berakhir sudah panggilan berdurasi tidak sampai satu menit itu. Kenapa tidak kirim pesan saja? Sayang pulsanya, 'kan. Biandra si penyayang pulsa. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN