14. Kamu Canduku

1410 Kata
Napasnya tersenggal. Badannya gemetar hebat. Kafka sampai terkejut akan apa yang dilihatnya saat ini. Perempuan itu terduduk di lantai dengan kedua lengannya yang menopang badan. "Hei, kamu kenapa?" "Sa ... kit," lirihnya. Saat Kafka menunjuk lengan Biandra, ia menggeleng. Begitu pun saat Kafka menunjuk kaki, perut, kepala, gadis itu tetap menggeleng. "Sakit ...." Kafka tertegun dengan apa yang Biandra tunjukkan. Dia memukul dadanya keras-keras dengan tangisan yang semakin lirih. Entah berapa tetes air mata yang membasahi lantai. Yang jelas itu tidak ada apa-apanya dibanding rasa sakit yang dirasakannya. "Ma-maaf, gara-gara teriakan saya, kamu jadi kaget ya?" Gadis itu seperti tidak mendengarkan apa yang Kafka katakan. Dia hanya menunduk dengan bahu naik turun. "Toilet," katanya. Biandra memegangi perut dengan wajah menahan mual yang kentara. Kafka menunjukkan letaknya dan dengan segera, ia berlari sambil menutup mulutnya. Perutnya mual luar biasa. Seperti ada yang hendak keluar, namun nyatanya tidak ada. Biandra sudah memuntahkan isi perutnya ke wastafel di sana. Namun hanya air yang berhasil keluar. Atau mungkin, memang perutnya belum menerima makanan sedikit pun sedari pagi. Air matanya belum berhenti turun, menyusuri pipinya yang memerah. Bapak. Sudah lama sekali tidak hadir dalam pikirannya. Lama ... sekali. Ternyata rasa sakit itu tetap ada meskipun sudah lama kilasan itu tak lagi hadir. Bapak yang dikiranya akan berdiri menopang keberaniannya untuk berbicara ternyata menjatuhkannya ke dasar jurang sampai ia berdarah-darah dibuatnya. Laki-laki yang teramat disayanginya. Laki-laki yang sangat dipercayainya. Teteh butuh bapak saat itu. Teteh nggak tahu harus ngomong sama siapa lagi selain bapak. Teteh bingung. Teteh takut juga. Dia membasuh wajahnya dan saat bangkit, dirinya melihat pantulan wajah yang mengerikan di cermin sana. Matanya yang bengkak, hidung memerah dan rambut yang tak beraturan. Lalu dia berbisik. "Wanna play with me?" Biandra mengerjap dan melarikan matanya untuk mencari benda yang sangat dia butuhkan saat ini. Sikat gigi. Shampo. Pasta gigi. Handuk. Bukan. Bukan itu yang Biandra cari. Ia membuka lemari kecil di sebelah rak handuk. Alat pencukur jenggot. Pasti ada pisau atau setidaknya alat tajam yang diletakkan di sana. Biandra mengambil silet baru yang masih terbungkus rapi, bertumpuk di sudut rak. Sepertinya alat ini jarang digunakan. Biandra mengambilnya lalu terduduk di atas toilet. Membuka pisau cukur itu dan mencari sasaran empuk di badannya. Ia ingin segera mengenyahkan sesak ini. Mungkin lengan bagian dalamnya tidak papa. Hanya sedikit luka yang dibutuhkannya. Hanya untuk mengenyahkan rasa sakit di dadanya. Tidak papa. Benda dingin itu menyentuh kulit Biandra perlahan. Ia memejamkan mata saat ujung silet menyentuh lengannya. Memberikan sensasi nyaman luar biasa. Meredakan napasnya yang semula tersenggal. Ia mulai merasakan udara masuk ke dalam paru-parunya kembali. "Lagi. Lagi. Lagi." Biandra hendak menuruti. Ada untungnya seragam Opecca berwarna hitam. Noda darahnya tidak akan terlihat sama sekali. Ia sangat menyukainya. Hitam adalah warna yang cocok digunakan dengan warna apa pun. Selain itu, hitam juga bisa menyembunyikan cairan kental yang sekarang sudah mengalir sepanjang sikut lengan kirinya. Dan sekarang, hal yang harus dipikirkanya adalah bagaimana menghentikan darahnya. Meskipun itu aroma yang menyenangkan baginya, orang lain tidak boleh melihatnya. Ia segera mencuci lengannya dengan air. Membiarkannya menjadi keruh karena darah. Bau anyir yang menyeruak, mengucapkan selamat tinggal pada Biandra yang menatap cermin seraya tersenyum. Dan sekarang, yang harus dipikirkan Biandra adalah bagaimana caranya untuk menutupi luka di lengannya karena darah masih saja keluar dari sana. Ia membuka pintu kamar mandi, mengintip apakah Kafka ada di sana atau tidak. Dan sejauh mata memandang, laki-laki itu tidak ada di ruangan ini. Biandra segera mengambil jaket yang ada di atas sofa. Mungkin Kafka yang menyimpannya di sana. Karena seingat Biandra, tadi ia melempar jaketnya ke sembarang arah karena mengganggu gerakannya untuk berlari ke kamar mandi. Matanya tertuju ke arah jam yang terpasang di meja kerja Kafka. Gawat. Sudah hampir jam satu siang. Waktu yang diberikan Adit padanya akan hangus sebentar lagi. Ia merogoh kunci motor dari saku jaket dan melesat keluar dari ruangan itu. "Mau ke mana?" Seseorang menangkup lengan kirinya yang terdapat luka. Sontak saja Biandra meringis. Sekaligus kaget karena tiba-tiba Kafka sudah ada di belakangnya. "Kita ke dokter dulu." "Siapa yang sakit?" Biandra membeo. "Kamu baru aja nangis sambil mukul-mukul d**a. Saya takut kamu-" "Saya nggak papa. Tadi cuma kaget sama teriakan Bapak. Tapi sekarang saya udah baikan." "Terus mau ke mana?" Pria jangkung itu menghalangi pandangan Biandra untuk melihat ke arah depan sana. Ia sekarang terhimpit pintu dan badan besar Kafka yang berada tepat di hadapannya. "Kerja, Pak. Opecca lagi rame." "Pulang aja. Saya anterin." Kafka masuk ke ruangannya kembali dengan tergesa. Ia mengambil kunci mobil dan dompet yang di simpan di atas mejanya. Namun ada yang aneh. Kotak tisu di sana tidak berada pada tempatnya. Beberapa lembar tisu juga tercecer di atas meja. Mungkin Biandra menggunakannya untuk menghapus air matanya sehabis menangis. Itu yang ada dalam benak Kafka. Tanpa tahu, tadi gadis yang terburu mengenakan jaket itu mengambil beberapa lembar tisu untuk menutupi noda darahnya agar tidak mengenai jaket Dikri. Setelah menutup pintu, alangkah kagetnya Kafka saat menemukan tidak ada siapa pun di sana. Biandra hilang entah ke mana. Ia tidak mungkin membiarkan Biandra pulang sendiri dalam keadaan seperti itu. "Da, liat cewek yang keluar dari ruangan saya?" "Kurir tadi?" Frida berhenti sejenak dari kegiatannya memperhatikan gawai. "Bukan kurir. Itu ..., yang jelas ke mana perginya?" "Tadi buru-buru lari ke dep-" Jangan lupakan Kafka adalah Bos yang tidak jauh beda bagi Adit. Frida pun merasa sedikit kesal atas apa yang sering dilakukan atasannya itu. Menyela pembicaraan, pergi begitu saja. Ia hanya sedikit kesal. Sedikit saja. *** Biandra menstater motornya, namun masih tidak mau menyala. Padahal ia sedang buru-buru. Ada-ada saja. Sangat tidak menyangka setelah berhasil menyalakan motor, ada sebuah lengan yang menarik kunci motornya begitu saja, sehingga mesin otomatis berhenti. "Turun. Pulang sama saya." "Tapi Pak, Opecca-" "Saya udah bilang sama Adit." "Saya baik-baik aja," katanya sambil membuka kembali helm yang sudah dipakainya. Agar Kafka bisa leluasa mendengar kata-katanya bahwa ia sudah baik-baik saja. Ia tidak apa-apa. "Orang lain mungkin bisa. Tapi saya tidak bisa kamu tipu." Kafka menarik lengan Biandra dan menyimpan helm ke atas spion. Meninggalkan motor itu di bawah rindangnya pohon mangga. "Saya bisa pulang naik angkot," ujarnya membuat langkah Kafka di depannya berhenti. Kafka jengah sekaligus khawatir akan raut yang diperlihatkan Biandra saat ini. Wajahnya terlihat pucat dan telapak tangannya juga dingin sekali. Bisa-bisanya gadis ini berkata bahwa dia baik-baik saja. "Masuk." Itu adalah perintah yang harus dituruti. Raut wajah Kafka yang terlihat marah adalah hal yang tidak bisa Biandra bantah. Oleh perkataan Kafka yang sudah berbicara dengan Adit, atau mungkin karena Kafkalah orang yang lebih tinggi jabatannya dari Adit sudah memberikan izin untuk pulang, Biandra menurut. Untuk kedua kalinya, ia memasuki mobil sang atasan. Tentu saja dengan perasaan yang berbeda. Jika yang pertama adalah gemetar hebat yang dirasakannya, kali ini mual sudah tidak hadir lagi dalam perutnya. Sedikit lebih baik. Namun Biandra terkaget saat mobil bergerak mendekati gang kontrakannya. Dari mana Kafka tahu bahwa ini adalah jalan menuju rumahnya? Padahal ia tak memberitahu sedikit pun. Sedari tadi ia hanya mengelusi lengan kirinya yang terdapat luka. Tidak ada sepatah kata pun yang keluar dari bibirnya. "Gang mana?" Kafka mengurangi kecepatan mobil karena selain ia belum tahu gang mana yang harus ia lewati, jalanan kecil ini juga banyak polisi tidur dan anak-anak yang berlarian di pinggir jalan. "Di sini aja, Pak. Saya bisa jalan ke sananya." Biandra membuka sabuk pengamannya. "Ey, kamu nggak tanggung jawab banget. Saya udah anter kamu pulang, bukannya ditawari mampir malah ditinggal di pinggir jalan." Kafka berdecak. "Saya nggak minta anter. Bapak yang maksa saya." Ah, ternyata bibirnya frontal sekali. Kafka tersenyum saat mendengarnya. Tapi memang ada benarnya juga. Jadi, siapa yang salah? "Saya males balik ke kantor lagi. Mau ngeteh dulu di rumah kamu, pokoknya." Tidak ada jawaban dari bibirnya. Hanya saja Kafka dibuat tertawa karena raut wajah Biandra yang melongo tanpa menghadapnya. Membuat sudut bibir Kafka tertarik ke atas. "Oke. Jadi mana gangnya?" Rasanya mengalir begitu saja saat menggoda gadis di sebelahnya. Gelenyar aneh tumbuh di sana. Sesuatu yang menyenangkan dan memberikan sensasi nyaman saat melakukannya. Tapi gadis itu tidak menanggapi guyonan Kafka yang mungkin dianggapnya sebagai hal yang serius. Justru itu yang membuat Kafka semakin gencar menggoda Biandra dengan kata-kata. Rasanya sudah lama sekali ia tidak kaku seperti yang dilakukannya kepada orang lain. Rasanya begitu nyaman saat bibirnya melengkung oleh hal remeh seperti ini. Tertawa untuk hal yang dianggapnya lucu sendirian. Dulu, ia juga pernah merasakan bebas seperti ini. Dulu, ia juga sering menggoda gadisnya. Dulu sekali. Dan sekarang, ia mendapatkan rasa itu kembali saat bersama Biandra. Ia merasa ... bahagia. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN