Part 5 Tentu Saja Bisa
"Kalo hari liburnya nggak diambil, bisa nggak?" Biandra melipat tumpukan paper lunch box itu sambil menunggu jawaban Adit yang berdiri di sampingnya. Seperti yang dilakukannya beberapa hari lalu di rumah dan membawa dua kresek besar ke resto. Biasanya para pelanggan ada yang meminta take away makanannya meski tak sesering itu.
"Kenapa? Gajinya masih kurang?" Adit tertawa diakhir kalimatnya. Tentu saja membuat jantung Biandra berdegup kencang, merasa tak enak. Ia meremas ujung kaosnya. Melihatnya, Adit mengubah pertanyaan.
"Dapet berapa biji?" Adit menyusun tumpukan box ke belakang.
"16, Kak."
Laki-laki itu lalu mengambil catatan kecil dari laci dan menuliskan angka yang disebut Biandra ke dalamnya. Satu jam lagi jam kerja dimulai. Biandra sengaja datang lebih awal untuk melipat box makanan itu yang tentu saja upahnya lumayan untuk tambahan jajan Isyara. Uang yang mungkin tidak seberapa bagi kebanyakan orang, adalah hal yang paling dibutuhkannya sekarang.
"Nanti lanjutin lagi. Akhir-akhir ini nggak banyak pelanggan yang minta bungkus, kok." Biandra mengangguk mendengar perkataan Adit dan menyimpan box ke belakang. Kedua tangannya memangku tumpukan itu, cukup menghalangi pandangannya. Sehingga yang bisa ia lakukan adalah meraba-raba lantai dengan kakinya.
Kalaupun saat ini ia tidak berjuang sendirian, pasti hidup tidak akan sesulit ini.
Kalaupun dulu ia tidak pergi dari rumah dan menguatkan hatinya pasti tidak akan seberat ini beban di pundaknya.
Kalaupun dulu-
"Nggak ... nggak." Biandra cepat-cepat menggeleng atas apa yang berbisik di telinganya. Ia benci memikirkan hal itu lagi. Tapi bagaimanapun ia berusaha mengenyahkan pikirannya, hal itu justru semakin menggerogoti kewarasannya.
Dengan meraba permukaan pintu, ia menarik gagang pintu dan membukanya dengan wajah terkaget, karena melihat seseorang sedang berbaring di ranjang sana sambil bertelanjang d**a. Sontak saja membuat tumpukan box itu tercecer ke lantai. Tangannya refleks menjatuhkan hasil lipatannya. Jantungnya bertalu, dengan badan membelakangi pintu, ia berusaha mengumpulkan box agar rasa gugupnya menghilang. Suaranya mungkin tidak senyaring tumpukan panci jika terjatuh. Tapi mampu membangunkan seseorang di dalam sana.
Orang yang sedari tidur itu kemudian terduduk dengan keadaan belum sadar sepenuhnya.
"Suara apa, sih?" Suara berat itu masuk ke dalam indera pendengarannya. Biandra berdiri, namun masih memunggungi pria yang masih terduduk itu. "Berisik."
"Maaf, saya nggak tahu ada orang di dalam," cicit Biandra.
"Didit!" Orang yang dipanggil demikian datang dengan tergopoh-gopoh. Adit yang masih mencatat di dapur kemudian berlari setelah mendengar teriakan dari belakang. Gawat. Ia lupa memberi peringatan di depan pintu dengan tulisan, 'jangan masuk, macan galak lagi tidur.'
"Kok nggak ngomong, gue lagi di dalem?" Suara beratnya terdengar jelas di telinga mereka berdua.
"Maap, Bos. Kelupaan. Maklum udah dua minggu nggak libur, mata kriyep kriyep nggak fokus. Butuh cuti kayaknya." Adit tidak sepenuhnya salah, siapa suruh tidur di resto saat apartemen mewah menanti. Didit tidak habis pikir dengan tingkah Bosnya satu ini.
"Ambilin baju di atas."
"Laksanakan, Baginda." Adit segera melesat mengambilkan titah sang Raja. Tak ada yang berani ke ruangan atas kecuali pria itu. Selain ruangan yang jarang dimasuki, itu juga merupakan satu-satunya tempat yang akan digunakan untuk istirahat sang Bos jika melakukan pengecekan sarana prasarana. Yang mana itu sangat jarang dilakukan. Lagi pula, tak banyak tamu yang memesan meja di atas. Itu dijadikan alasan mengapa tak banyak pegawai yang berani naik jika tak berkepentingan. Apalagi kalau bukan kesan angker yang menyebar. Padahal bukan ruangannya yang angker. Pemilik ruangannya yang benar-benar angker.
"Kamu ngapain masih berdiri di situ?" Biandra menegakkan badan saat lagi lagi suara itu menginterupsinya.
"Kalo gitu, saya permisi dulu, Pak," ujar Biandra seraya meletakkan tumpukan box itu di sudut pintu. Masih tidak berani menatap ke dalam sana.
"Masukin sini aja biar nggak ngalangin jalan."
Mau tak mau, Biandra menuruti perkataan sang Bos. Kafka memberikan jalan dengan menyamping, memangku badannya dengan lengan yang di sandarkan ke daun pintu. Membiarkan Biandra membawa tumpukan box itu ke sudut ruangan di sana.
Tubuh berototnya tercetak dengan sangat jelas. Apa dia tidak kedinginan dengan hanya menggunakan celana pendek saja?
Cepat-cepat Biandra menggelang. Ada apa dengan pikirannya saat ini?
"Buatkan saya teh hangat, ya. Jangan pake gula." Kafka meregangkan badannya sehingga membiarkan perut kotak-kotaknya tertarik ke kanan dan kiri. Biandra segera mengalihkan pandangannya dengan mengangguk tegas. Ia akan membuatkan teh hangat yang diinginkan sang Bos.
Biandra bergerak menuju dapur yang tak jauh dari ruang belakang. Ia mengambil teh dari tempat yang sudah disediakan di lemari atas, bersama dengan kopi instan dan gula putih yang biasa digunakan para karyawan.
"Didit lama banget, ya." Suara itu mengagetkannya karena tiba-tiba ada kepala yang muncul di sebelah kanannya, lengkap dengan mata tajam yang menatapnya. Melarikan mata dari wajah Kafka adalah hal selanjutnya yang Biandra lakukan.
"Eh, saya mau pake gula aja, deh." Kafka menarik diri dengan gula di tangannya-yang barusan diambilnya. Dengan santai, pria itu mengambil gelas dari kabinet di dekat lemari persediaan bumbu tanpa menghiraukan Biandra yang masih mematung akibat ulahnya.
"Bos, lo nyimpen baju di mana, sih? Gue cari di lemari kagak ada." Adit melemparkan kaos hitam itu ke wajah Kafka. Biandra sampai menutup bibir di buatnya.
Ba-bagaimana bisa Adit melemparkan kaos itu ke wajah sang atasan?
"b**o lo, Dit. Terus ini dari mana?" Kafka meloloskan kepalanya dari kaos yang sudah terpasang, menutupi tubuh telanjangnya. Yang barusan membuat Biandra mematung. Karena bukan hanya otot di lengannya saja, melainkan wangi tubuh pria jangkung itu begitu menyeruak memasuki indera penciumannya saat ia berdiri tepat di belakang punggungnya.
"Gantungan di kamar mandi. Bodo lah bau apek juga. Lagian siapa suruh mabok terus kabur ke sini." Adit hendak melanjutkan pekerjaannya yang semula tertunda karena titah sang Paduka. Namun terhenti saat melihat Biandra mematung, menatap mereka berdua sambil menutup mulut.
Didit mendekatinya dan mengipaskan telapak tangannya di depan wajah yang kentara akan kekagetan itu.
"Halo, Bian?" Gadis itu mengerjap beberapa kali sebelum menurunkan tangannya. "Sorry, dia gangguin lo, ya? Maklum ya, abis mabok. Otaknya geser. Lo, nggak di apa-apain, 'kan?" Laki-laki itu memindai tubuh Biandra, memeriksa apa ada yang dilakukan Bosnya terhadap gadis pendiam ini. Lalu memicingkan mata kepada Kafka yang sedang mengaduk tehnya, santai.
"Wah, si Bos parah. Ini anak orang sawan loh. Diapain, nih?" Kafka mengedikkan bahu dan menyeruput teh buatannya karena orang yang di suruh sebelumnya malah bengong tidak jelas.
"Suruh bikinin teh, malah cengo. Yaudah bikin sendiri. Btw, gue nggak mabok, ya Sat." Kafka berbalik, menuju ruangan belakang lagi sambil meniupi gelasnya. Pemandangan yang lumayan membuatnya waras, karena telah mengenakan baju atasan.
"Sat? Apaan, woi?" Adit berteriak.
"Bangsat." Kafka menyahut pelan, yang masih bisa di dengar dua pasang telinga di sana. Biandra memandang Didit yang mengumpat di sana. Sialan. Itu kata yang di tangkap telinganya.
"Kok Kakak bisa ngomong gitu sama Bos?"
"Ngomong apa? b*****t-bagsatan? Bisa, lah. Kita temenan udah 7 tahun." Adit menjawab pertanyaan yang sedari tadi bercokol di kepala Biandra.
Pantas saja bahasanya bisa sesantai itu. Kata orang, memang begitu. Semakin lama umur pertemanan, semakin hilang kewarasan.
Biandra mengangguk mafhum. Adit kembali mencatat di buku kecil yang selalu ada di saku kerjanya. Entah apa yang sedang dicatat lelaki hitam manis itu. Mungkin pengeluaran bulan ini, entahlah.
"Lo abis lipet berapa box sama yang tadi?" Adit memandang Biandra yang sedang membereskan gula, sendok dan tempat teh yang tadi dibuat oleh Kafka.
"36, Kak." Didit lalu mengambil uang dari laci depan, tempat Amel biasa berjaga. Kasir.
"Nggak mau dimasukkin nanti sama gaji aja?" Adit tersenyum kecil memandangi Biandra yang menatapnya dengan gelengan kecil. Biasanya anak-anak jarang yang mau mengerjakan melipat box itu karena selain ribet jika harus dikerjakan di rumah dan membawanya ke Opecca keesokan harinya, upahnya juga tidak seberapa.
Pria itu mengangguk sekali, lalu menyerahkan uang dua puluh ribu itu kepada Biandra. Biandra menerima lalu mengucapkan terima kasih setelah menyerahkan uang recehnya kepada Adit sebagai kembalian upahnya. Adit kembali mencatat di sana. Kemudian tak lama, Bu Leah datang dengan sekantong peyek hasil buatannya. Katanya buat sarapan sama-sama di sini.
Beberapa menit kemudian, anak-anak datang dengan wajah riang. Menghabiskan harinya di Opecca. Tak ada yang membuatnya lebih bersyukur karena di dekatkan dengan orang-orang baik ini. Biandra tersenyum memandangi Amel yang diseret Cika.
"Iih, gue harusnya masih istirahat, tahu. Masih pegel nih badan," kata Amel sebal memandang Cika yang dengan senyuman manisnya menatap Amel.
"Jangan dong. Nanti kalo uang kurang, aku yang kena marah." Cika menusuk lengan Amel dengan pelan. Amel berontak dan segera melesat ke singgasananya. Melihat angka yang tertera di layar komputer sana.
"Udah lapor ke Abang?" Amel masih menekan kursor di kursinya.
"Udah."
Lalu mereka menyimpan tasnya ke belakang. Loker khusus pegawai.
Bukan urusan mudah jika itu berhubungan dengan uang. Biandra pernah mengganti tiga ratus ribu di tempat kerjanya terdahulu karena adanya ketidaksesuaian antara pengeluaran dengan pendapatan. Percayalah, uang yang mungkin bernilai kecil di mata orang adalah hal yang sangat memengaruhi kehidupannya untuk satu bulan ke depan.
***