"Mbak," panggil Biandra sambil mengetuk pintu bercat merah bata itu_sama seperti pintu kontrakannya_ sambil menenteng kresek berisi s**u dan popok bayi yang tadi dibelinya sebagai titipan. Tak lama, Eva membuka pintu dan mempersilakan Biandra masuk. Ruangan ini tak beda jauh dengan rumahnya. Yang membedakan hanya tak ada televisi di ruang tengah, serta mainan dan bungkus makanan bayi yang berserakan di sana, dengan anak belum genap dua tahun sedang duduk di tengah lautan bola warna warni. Biandra menyapa dengan nada riang membuat Aril, bocah itu tertawa menampilkan dua gigi atas bawahnya yang menggemaskan.
"Kurang uangnya?" Eva mengambil belanjaan yang disodorkan Biandra yang detik itu juga langsung menghampiri Aril dan menggendong bocah itu.
"Ini kok susunya dua, Bian?" Gadis itu masih fokus menciumi perut Aril yang tertawa lepas mengumandangkan suara tawa yang lucu, membuat siapa saja yang mendengar ikut terkekeh gemas. Seperti Biandra yang terfokus padanya sampai tak sempat menjawab pertanyaan Eva.
"Bian?"
"Eh iya Mbak, dari aku satu. Mumpung masih ada uang gajiannya."
"Eh, kenapa? Nggak usah, ah. Mbak bayarin aja ya?" Yang langsung ditolak Biandra dengan memberikan Aril pada Eva dan langsung pamit dengan mengecup pipi bocah menggemaskan itu.
Biandra menutup pintu, mengabaikan teriakan Eva yang memanggilnya.
***
Lampu depan masih belum dinyalakan, padahal ini sudah pukul tujuh lebih membuat Biandra tanpa pikir panjang menaiki undakan tangga dan menemukan Isyara sedang menungging, memegangi perutnya sambil meringis tidak nyaman.
"Perutnya sakit lagi?" Ia menghampiri Adiknya lalu mengelus punggung Isyara, tidak tahu itu berguna atau tidak untuk mengurangi rasa sakitnya.
"iya, sedikit," jawab Isyara dengan menahan sakitnya sambil menggigit bibir bawah dengan wajah meringis.
"Udah minum obatnya?" Dan jawaban Isyara tentu saja sebuah gelengan. "Abis."
Biandra berdecak, bangkit lalu menutup jendela yang langsung mengarah ke balkon. Sebelumnya ia mengambil jemuran yang untungnya hari ini tak sebanyak kemarin. Ia menyalakan lampu lalu menuruni tangga dan langsung mengambil botol kaca bekas sirup jeruk saat lebaran kemarin. Mengisinya dengan air hangat dan memberikannya pada Isyara.
"Pakein ini dulu, aku mau beli obatnya. Tahan, ya." Isyara langsung meletakkannya di atas perut dan mengangguk.
Tidak ada lelah yang terlintas dalam diri Biandra.
Kenapa bisa sampai habis stok obatnya?
Hanya khawatir yang mendera. Masih dengan celana panjang dan kaos lengan pendek warna hitam dengan logo Opecca di d**a kirinya, Biandra menggunakan sendal jepit untuk menuju warung terdekat. Dengan uang receh, kembalian dari swalayan tadi yang untungnya dapat diskon dua belas ribu dua ratus rupiah.
Mengikat rambut dengan karet yang ada di pergelangan tangannya, Biandra menyapa pemilik warung dan menyebutkan keperluannya.
"Ke mana Neng Isyanya?" Tanya si ibu warung yang sempat heran, biasanya Isyara yang paling sering jajan namun hari ini tak nampak batang hidungnya.
"Biasanya abis sekolah suka beli seblak. Pantes, lagi dapet ya."
"Iya, dia suka gitu kalo hari pertama dapet." Biandra merogoh saku celananya dan menukar kresek berisi keperluannya dengan uang. Lalu kembali menyusuri deretan rumah di gang sempit itu ditemani lampu yang redup sepanjang jalan.
***
Isyara sudah duduk di kursi, ruang depan. Masih dengan botol yang ditempelkan di perutnya. Saat pintu terbuka, seiring suara ngilu yang dihasilkan gesekan dengan lantai, Biandra datang dengan rambut setengah basah. Di luar sedang gerimis.
"Aku beli bakso dulu, warteg tutup soalnya." Ia meletakkan dua bungkus bakso yang satunya di bening ke atas meja. "Makan duluan aja, ya. Mau mandi dulu, ganti baju."
"Iya Teh, makasih." Biandra mengangguk, memandang adik kesayangannya lalu tersenyum.
Diibaratkan dengan lautan luas pun tidak bisa menggambarkan bagaimana rasa sayangnya terhadap Isyara. Mereka hanya berdua, hanya bisa saling memiliki dan mengasihi. Tidak tahu bagaimana jadinya jika tidak ada Isyara yang menantinya di rumah sehabis kerja. Tidak tahu bagaimana jadinya jika tidak ada celoteh tak jelas yang keluar dari bibir anak manis itu saat pagi-pagi atau hendak tidur. Tidak tahu bagaimana jika Isyara tidak ada dalam hidupnya. Tidak tahu.
***
"Nasinya abis, lupa," Katanya sambil menekuk bibir ke bawah, lalu memperlihatkan tempat nasi yang hanya tersisa sedikit lagi.
"Tadinya pulang sekolah mau langsung masak beras, tapi ketiduran sakit perut." Lagi-lagi, hal yang bisa Biandra lakukan hanya tersenyum. Dan memindahkan nasi yang masih tersisa ke atas piring lalu membawanya ke atas meja, bergabung dengan dua mangkok bakso di sana.
"Adek aja yang makan sama nasi. Aku udah makan juga tadi. Cuma mau makan bakso aja."
Menyalakan TV dan menonton apa saja yang ada di dalamnya, tidak perlu repot mencari saluran yang ingin ditonton. Karena salurannya hanya tersedia beberapa saja. Yang lainnya tidak ada sinyal alias runyam. Jadi nikmati saja apa yang ada. Lagipula menyalakan TV hanya agar suasana tidak sunyi, bukan mencari tahu gosip terhangat di kalangan selebriti saat ini. Agar rumah ini terlihat hidup, mencerminkan adanya penghuni yang hidup baik-baik saja.
"Gimana sekolahnya tadi?"
"Lancar jaya. Cuma pas istirahat di UKS, nggak jajan." Isyara menjawab dengan santai.
"Nggak makan dong, tadi?" Biandra menghadap ke arah kirinya. Isyara mengangguk sambil mengunyah bakso. Rasa segar langsung didapatinya saat menyeruput kuah merah itu.
"Tapi dibeliin batagor kok, sama-" Biandra menunggu jawaban menggantung dari Isyara yang membulatkan matanya, entah kenapa.
"Sama ... sama siapa?"
"Sama ... Dean. Iya, Dean." Biandra mendengus lalu tersenyum. Membuat Isyara kurang nyaman. Lalu dengan lahap ia menghabiskan baksonya. Tak lupa menelan obat yang sudah dibelikan sang kakak. Menyimpan mangkok dan gelasnya di dekat kompor, di dapur. Lalu melesat menaiki tangga.
Langkahnya terhenti saat Biandra berujar, "inget kata aku, jangan kenal cowok dulu." Mukanya memerah diiringi delikan tajam dan melanjutkan langkahnya terburu-buru.
Biandra melanjutkan makan dengan santai sambil menonton entah acara apa, karena suaranya tidak jelas dan gambar di sana bergoyang. Malas membenarkan antena, ia meraih remot dan menekan tombol merah.
***
Dalam sepetak kamar ini, mereka bercerita tentang apa yang akan terjadi esok hari. Akan bagaimana jika Biandra tidak bekerja lalu Isyara putus sekolah, ikut mencari nafkah untuk hidup di kota orang ini. Yang jelas langsung disangkal Biandra.
"Hush! Ngomongnya ih. Amit-amit." Biandra menyimpan botol minum satu liter itu di atas meja yang ada di sana. Jaga-jaga kalau malam ingin minum dan malas turun ke bawah. Meskipun letak dapur dapat dijangkau dengan sekali pijak. Memang apa yang diharapkan dengan uang enam ratus ribu setiap bulannya_belum biaya listrik dan air_ mendapat tempat tinggal yang sedikit lebih luas dari kontrakan terdahulunya saja sudah bersyukur.
"Aku mau kerja aja abis SMA, bantuin Teteh."
"Nggak boleh. Kuliah pokoknya. Nyari beasiswa dulu. Kalaupun belum dikasih, tetep harus kuliah." Biandra sangat menentang keinginan Isyara yang satu ini. Tidak akan pernah ia biarkan adik kecilnya ikut merasakan kerasnya dunia kerja sebelum menyelesaikan pendidikan yang lebih tinggi. Disangkanya dunia kerja itu tidak akan jauh dari dunia pendidikan. Nyatanya jauh sekali. Dan Isyara belum boleh merasakan sakitnya dicaci maki atasan saat melakukan kesalahan setitik tinta. Belum boleh merasakan dicurangi teman kerja yang mengharuskan membayar ganti rugi yang tidak diperbuatnya.
"Kan aku udah ada simpenan buat kamu. Doain aja akunya sehat lahir batin supaya bisa ngasilin uang yang lebih banyak lagi." Ia mengusap rambut Isyara yang sedang menatapnya sambil memiringkan badan, sama seperti Biandra. Keduanya tersenyum.
"Makasih ya Teh, udah ngerawat aku sampe sekarang. Tanpa ngeluh sedikit pun." Ia mendekat, masuk dalam pelukan Biandra yang tentu saja melebarkan lengan menyambut lengan sang adik.
"Makasih juga udah jadi alesan buat aku bertahan selama ini."
Sebenarnya tidak apa jika mereka masih tinggal di kontrakan sepetaknya dulu. Hanya saja Biandra merasa tidak nyaman karena mulut para tetangga mengatakan hal yang tidak-tidak terhadap mereka berdua. Yang tentu saja dibantah besar oleh Isyara. Anak itu tidak akan tinggal diam saat mendengar kabar tidak baik perihal kakaknya. Enak saja menggunjingkan kakaknya tanpa tahu kehidupan mereka seperti apa. Isyra tidak bisa mendiamkannya.
Biandra yang belum menikah diusianya sekarang.
Biandra tidak laku.
Biandra si gadis jutek yang tak pernah menyapa.
Si gadis sombong yang selalu pulang malam.
Yang paling kesal, saat Isyara mendengar ibu-ibu sedang bergosip ria membicarakan kehidupan mereka di depan warung sambil memilih sayur.
"Sebenernya si Neng Judes suka tidur sama om-om, tahu, makanya bisa bayar kontrakan sama sekolahin adiknya. Mana ada SPG bisa dapet duit sebanyak itu." Saat mendengar hal demikian, Isyara tidak berpikir dua kali untuk menumpahkan kopi si Mamang sayur ke daster Bu Erni. Yang bahkan akan ia ingat namanya sampai sekarang. Ibu-ibu bertubuh gempal itu jelas tidak terima akan perlakuan Bocah Ingusan itu. Ia balik mencaci dirinya dengan berkata bahwa dirinya kurang didikan. Padahal mulut pedas itu yang tidak pernah disekolahkan.
Meski harus menangis saat perjalanan ke rumah sambil membawa seikat kangkung dan tempe, Isyara tidak menceritakan apa yang baru saja dialaminya kepada Biandra.
Meski bingung kenapa tiba-tiba adiknya minta pindah rumah, Biandra tidak banyak bicara selain, "doain aja biar dapet bonus terus. Supaya bisa secepatnya pindah dari sini, ya." Dengan sesegukan, Isyara mengangguk penuh mengaminkan dipelukan sang kakak. Berharap penuh akan kehidupan yang lebih baik di esok hari.
Bukannya tidak tahu, Biandra juga tahu lingkungan di sana seperti itu. Seakan lumrah membicarakan kehidupan orang lain yang bahkan mereka tidak kenal. Bukan sekali dua dibicarakan yang tidak-tidak. Namun Biandra masih bisa menulikan telinga. Lain hal dengan Isyara yang jiwanya masih menggebu-gebu tentu saja, siapa yang bisa tutup mulut mendengar kabar bohong seperti itu?
Kenapa orang-orang lebih senang membicarakan kehidupan orang lain? Lebih sibuk mengurusi yang bukan haknya. Kenapa tidak melihat diri sendiri. Mungkin saja kehidupannya lebih buruk dari kita. Sebal!
Hanya saja Biandra tidak memperlihatkan di depan Isyara. Bisa runtuh jiwanya melihat tiangnya rubuh. Hanya saling merangkul yang menguatkannya. Mereka bisa karena bersama.
***