"Eh gila, ngapain dateng jam segini?" "Suka suka gue, lah." Adit mendengus ketika jawaban itu keluar dari bibir Kafka yang baru saja datang dengan dua kancing kemeja atas yang terbuka. Wajahnya kusut sekali. Dia jadi seperti bapak-bapak di mata Adit. Meski bagi perempuan di luar sana wajah Kafka adalah nilai jual nomor satu. Siap membuat para wanita bertekuk lutut hanya untuk menemaninya minum atau mengobrol. Tentu saja mereka mengharapkan hal lebih. "Buatin kopi, Dit. Bawa ke atas." Kafka menaiki undakan tangga dengan kakinya yang malas. Adit yang sudah siap pulang hanya bisa menghembuskan napas lelah. Baiklah, sekali ini lagi ia akan menuruti. Padahal apron kebesarannya sudah ia tanggalkan dari tubuhnya. Itu tandanya, predikat chef sudah lepas dari pundaknya. Waktunya menjalani hari d