Pukul 10.00pm
Ayuna, Pangeran, Pak Seno dan Bu Dina turun dari mobil jemputan. Dengan lembut bu Dina mengulurkwn tangan, membantu Yuna turun dari mobil.
“Sekarang, ini juga rumah kamu.” Merangkul Yuna, sedikit mengelus lengannya.
Yuna terkagum melihat rumah berlantai dua yang begitu megah. Menoleh kekiri kanan. Ada garasi yang ukurannya lebih besar radi rumahnya. Sekitar tiga mobil dan dua motor ada disamping mobil itu. Taman depan begitu luas. Ada gazebo didepan rumah, lengkap sama ayunan berkursi panjang disana.
Nggak nungguin yang lain, Pangeran udah melangkah masuk lebih dulu. Dina menarik tubuh Yuna untuk berjalan memasuki teras, kemudian masuk kedalam rumah.
Lagi-lagi Yuna terkejut melihat seisi rumah yang sangat mewah. Lampu gantung yang sangat besar dan bagus banget, belum lagi banyak pernak-pernik dilemari kaca samping ruang tamu. Di Jogja, Yuna belom pernah menjumpai rumah yang sebesar dan sebagus ini.
Bu Dina membawa Yuna menaiki tangga. Tepat disamping tangga, ada dua pintu bercat putih yang berjajar.
“Ini kamar kamu. Yang sebelahnya, kamar Pangeran. Kalau butuh apapun, kamu bisa panggil Pangeran.
“Enak aja. Kan ada bik Siti, ngapain panggil gue.” Pangeran muncul dari bawah, menaiki beberapa anak tangga. Tanpa ngomong lagi, segera buka pintu kamar, masuk lalu menutupnya kembali.
Bu Dina tersenyum, kembali mengelus lengan Yuna. “Pangeran emang gitu, Na. Tapi aslinya juga baik kok. Ayo masuk kamar, kamu harus istirahat. Pasti capek banget.”
Bu Dina membukakan kamar untuk Yuna. Wajah Yuna kelihatan sangat terkejut. Nuansa biru langit dikamar ini sangat tepat sama warna kesukaannya. Luasnya tiga kali dari kamar Yuna yang ada di kampung.
“Mama tinggal ya. Kamu istirahat, mama juga mau istirahat.” Bu Dina melangkah keluar kamar.
“Ma, kamar mama dimana?” pertanyaan Yuna menghentikan langkah mama.
Kembali menoleh. “Itu dibawah.”
“Oh,” ngangguk, lalu bu Dina berjalan menuruni tangga.
Yuna menutup pintu kamar. Duduk diatas tempat tidur, menghentakkan bokongnya lagi. Lalu tersenyum. “Empuk banget. Jauh beda sama kasur yang ada dirumah bapak.” Ngomong sendiri.
Beranjak, mencoba duduk dikursi samping tempat tidur. “Meja belajarnya bagus.” Menyalakan lampu yang ada dimeja itu.
Selesai kagum sama meja belajar, Yuna membuka lemari pakaian. Masih kosong. Lalu teringat sama tas ransel yang tadi dibawa dari kampung. Memasukkan baju itu kedalam lemari. Mematut wajah didepan cermin yang nempel dipintu lemari. Langkahnya tertuju pada pintu kaca sebelah kanan kamar. Membuka gorden biru itu, lalu gorden tipis yang ada dilapisan belakang. Membuka pintu kaca itu.
Wwhhuuss!
Semilir angin malam menerpa wajah Yuna, membelai rambut panjang yang dibiarkan terurai. Melangkahkan kaki keluar, lalu lengannya bertumpu pada pagar balkon. Menatap langit yang dipenuhi dengan bintang.
“Hey, Bapak. Yuna disini. Yuna beneran pergi dari Jogja, Pak. Bapak sama Ibuk tenang disana ya. Yuna pasti akan bikin kalian bangga.” Tersenyum menatap beberapa bintang yang ada dilangit.
“Lo nggak tidur? Ini udah tengah malam.”
Yuna menoleh kesamping, ternyata Pangeran udah berdiri disana. Ada sebatang rokok yang terselip diantara jari, pelan dia menghisapnya dan detik kemudian kepulan asap itu melayang keudara.
Yuna tak menjawab omongan itu, hanya memutar bola mata jengah, lalu kembali tersenyum menatap bintang dilangit. “Yuna bobok dulu ya, Pak.” Melambaikan tangan kearah langit.
Tanpa melirik Pangeran atau ngomong apapun, Yuna kembali masuk ke kamar. Pangeranpun tak mempedulikan itu, tetap fokus sama rokok ditangannya.
°°°
Seminggu nggak sekolah, Yuna menghabiskan hari-harinya belajar dirumah. Mama mengajaknya belanja setiap hari. Termasuk pergi kesalon. Sore tadi, mama merubah semua penampilan Yuna. Mengenalkan Yuna sebagai saudara sepupu Pangeran dari Jogja, tentu nggak mungkin iarkan penampilan Yuna biasa aja.
Seragam baru, walau dengan warna yang masih sama seperti dulu. Putih, abu-abu. Berkali-kali Yuna mengukir senyum didepan cermin. Bahagia menatap pantulan wajahnya didepan.
“Pak, lihat deh. Sekarang Yuna lebih cantik." Rambut hitam lurus yang dulunya biasa saja itu sekarang berponi miring. Bahkan rambutnya dibuat curly dengan warna sedikit pirang. Sangat cocok dengan wajah Yuna. Meraih tas selempang warna biru yang dibeli sama mama dua hari lalu.
Keluar kamar, menuruni tangga dengan senyum melebar.
“Nggak! Pokoknya aku nggak mau berangkat bareng dia!” Pangeran ngomong dengan suara yang meninggi.
Yuna menghentikan langkah, menyimak lebih panjang lagi sama apa yang akan Pangeran katakan.
“Yuna belum tau letak sekolahannya Ran. Dia bisa nyasar.” Nasehat dari mama.
“Dia punya mulut, ma. Bisa nanya sama sopir angkot, atau bajai.” Tolaknya, lalu menggigit roti yang sedari tadi ada ditangan. Berdiri, nyampirin tas dibahu dan segera keluar rumah.
“Aku bisa berangkat sendiri, ma.” Melanjutkan langkahnya setelah punggung suaminya tak lagi terlihat. Gabung sama mamanya, duduk dimeja makan.
“Beneran kamu nggak apa?” mama memang terlihat sangat khawatir.
Yuna mengangguk, meyakinkan. “Iya, sopir angkotnya pasti juga tau letak sekolah Yuna.”
“Naik taxi aja, Na.” Sahut papa yang baru aja gabung. “Mama pesenin taxol sana.”
“Iya pa.”
“Na, papa nitip Pangeran ya.”
Yuna mengerutkan kening. Beneran nggak ngerti maksud papa.
“Dia sering bikin onar disekolah. Sering bolos, bahkan hampir tiap hari masuk ruang BK. Kamu bisa merubahnya kan?” pinta papa dengan serius.
Yuna merasa kesusahan menelan roti yang sebenarnya udah lembut dimulut. “Yuna akan berusaha, Pa.”
“Didepan ada taxi, Tuan.” Seorang satpam berdiri di samping pembatas meja makan dan ruang tamu.
“Iya, pak. Suruh nunggu bentar.” Sahut mama. “Itu taxi yang mau antar udah nunggu, Na.”
Yuna segera meminum segelas s**u didepannya. “Yuna berangkat ya pa, ma.” Mengulurkan tangan untuk menyalami kedua mertuanya.
Papa dan mama sama-sama bengong. Pasalnya, mereka lupa hari terakhir anaknya melakukan hal kecil seperti yang dilakukan Yuna saat ini.
“Assalamualaikum pa, ma,” ucapnya sambil tersenyum. Lalu berjalan setengah berlari keluar rumah.
“Waalaikumsalam,” balas bu Dina lirih. Menyentuh dadanya yang tetiba terasa sesak. Lalu menatap suami yang duduk disebelahnya. “Pa, sopan sekali Yuna. Sepertinya dia adalah anugrah yang dikirim Tuhan untuk keluarga kita. Terutama Pangeran.”
Papa menghembuskan nafas pelan. “Papa juga merasa begitu ma.” Meminum segelas susunya. Lalu mengulurkan tangan pada istrinya. “Pamit kerja ya, ma.”
Bu dina tersenyum, matanya mulai berkaca-kaca. Menyambut uluran tangan papa dan menciumnya dengan takzim. “Assalamualaikum, ma.”
“Waalaikumsalam, pa.” Papa mencium kening mama dan keluar rumah dengan menenteng tas kerjanya.
Mama masih duduk dimeja makan, sibuk mengusap mata yang mengembun. “Ya, Tuhan, semoga Pangeran bisa menerima keadaan Yuna dengan ikhlas.”
°°°
Ninja warna merah itu berhenti diparkiran sekolah. Seorang cewek cantik nan modis itu turun dari boncengan. Sibuk merapikan rambut yang berantakan. Si cowok yang ngeboncengin ikutan turun, merapikan rambutnya sekilas di depan kaca spion. Lalu berbalik, ikut ngerapiin rambut si cewek.
Tersenyum manis pada cewek cantik didepannya. “Cantik bener cewek gue.” Pujinya.
Yang dipuji ikutan tersenyum manis. “Udah lama gue cantiknya.” Menggandeng tangan Pangeran dan berjalan menuju kedalam sekolah.
Semua mata langsung tertuju pada mereka. Si bestcouple, Pangeran dan Intan. Pangeran lebih dulu ngantar Intan kedalam kelasnya, 12 IPA3. Dengan manja Intan mergelayut dilengan Pangeran, lalu mencium pipi cowok itu. Memang sengaja sih, memamerkan didepan semua temannya.
“Makasih ya, sayang,” ucapnya dengan suara manja yang dibuat-buat.
Pangeran tersenyum bahagia, mengacak rambut Intan. Lalu keluar dari kelas itu.
“Duh, Tan, beruntung banget sih lo bisa jadi pacarnya cowok imut itu. Gue jadi ngebayanhin pipinya yang mulis itu saat teraba.” Caca teman sebangku Intan sekaligus salah satu geng Intan menerawang.
Bhhuuk! Intan nimpuk pakai buku.
“Anjiir! Sakit bego!” Caca mengelus bahunya.
“Taik lo! Ngebayangin pacar orang!” ngambil kaca di dalam tasnya. Mulai tuch up pipi, mengoles kembali bedak yang luntur terkena angin saat dijalan tadi.
“Lo udah berapa kali kelon sama dia? Asik nggak?” kembali mulut Caca nerocos.
“Belom sampai tahap itu, njjeer! Nyium gue aja belom pernah.”
“What?!” mata Caca membulat.
“Ya misal pengen cium, gue yang duluan. Tauk tuh! Polos atao gimana! Gue nggak paham. Nggak betah sebenernya. Tapi lumayan lah, bisa belanja gratis tiap minggu.” Intan nyengir, lalu mengoles lipgosh dibibirnya.
Teng! Teng! Teng!
Bel tanda masuk sudah bunyi. Pangeran, Yuda, Awan dan Mico masih duduk di kantin. Mereka menghabiskan jus alpukat yang tadi sudah dipesan.
“Wooii, masuk! Kalo punya kuping pasti dah denger ada bel bunyi!” Nano si ketua kelas mereka memperingatkan.
“Ngebacot lo!” Awan tak terima.
“Eh, jam pertama jamnya Bu Fatma. Mending kita masuk deh. Dia bakalan nyariin kita sampai ketemu. Bolosnya di jam ketiga aja.” Mico memberi saran.
“Tumbel si kadal mikirnya bener. Yaudah, ayok cabut.” Pangeran beranjak, berjalan membayar pesanan. Lalu jalan dengan congkaknya masuk kedalam kelas.
Mereka berempat duduk dideretan paling belakang. Awan ngambil satu buku paket, lalu berdiri menghampiri Zainal yang duduk didepannya.
Bhuuk!
Memukul kepala Zainal dengan buku paketnya. “Pindah belakang.”
Zainal hanya diam, berdiri dan duduk disamping Pangeran, teman sebangku Awan. Mendudukkan p****t dikursi yang Zainal duduki. Tanpa aba-aba, menarik rambul Selly yang duduk didepannya.
“Cih, rambutnya lepek banget! Nggak jauh beda sama sapu ijuk!” aksi membuly dimulai.
“Masih pagi, nyet! Bikin nangis anak orang, suruh nikahin!” seru Pangeran yang duduk dibelakangnya.
“Gue sih jujur, nggak liat apa, nih lecek!” menarik kembali rambut Selly.
Yang punya rambut Cuma meringis kesakitan. Memajukan kursinya agak kedepan biar nggak digangguin sama Awan, tapi kaki Awan menahan kaki kursi bagian belakang. Hingga tak bisa ditarik lebih kedepan lagi.
Awan menyobek kertas, menggulungnya kecil lalu menggelitik leher Selly dengan gulungan kertas itu. Selly beneran merasa sangat terganggu. Swlanjutnya menarik tali beha yang sebenarnya tak terlihat, karna ada tangtop yang menutupinya.
“Anjiir! Masuk ke kelas Cuma pen gangguin Selly! Gue sumpahin lo cinta sama si Selly!” teriak Mico yang duduk dimeja belakang Pangeran.
“Nggak nafsu! Daada rata, bokonng tepos! Apa yang empuk!” sahut Awan.
Tak begitu lama, Bu Fatma guru matematika killer itu masuk. Menaruh beberapa buku diatas meja.
“Pagi semua,” sapanya.
“Pagi, Buk!” serempak semua menjawab.
“Hari ini ada murid baru yang akan menjadi teman kalian.”
Mendengar murid baru, mata Pangeran langsung awas menatap arah pintu. Dia sama sekali nggak ngira kalo Yuna akan masuk dikelas yang sama dengannya.
“Sini masuk.” Bu Fatma melambaikan tangan kearah pintu.
Yuna menghembuskan nafas sebentar untuk menguasai diri. Mulai melangkah masuk dan berdiri didepan, menghadap kesemua teman sekelasnya.
“Anyiing! Cantik bener!” seru Awan yang juga memperhatikan Yuna.
Pangeran terpaku, menelan saliva yang mampet ditenggorokan. Memang selama seminggu serumah dengannya, ia nggak pernah ketemu sama Yuna. Ia sibuk main diluar, kencan sama Intan dan nongkrong sama teman-temannya.
“Jodoh gue, njiing!” seru Yuda yang ada disamping Mico.
“Ayo, kenalkan dirimu,” perintah bu Fatma.
Yuna tersenyum memperlihatkan dua lesung pipi, sangat manis. “Pagi teman-teman, nama saya Ayuna. Saya pindahan dari Jogja. Semoga kita bisa berteman ya.” Membungkukkan sedikit badan sebagai tanda hormat.
“Ayuna, kamu duduk disamping ....” bu Fatma celikukan mencari kursi yang kosong.
“Sini kosong, Buk,” seru Awan.
“Ya udah, kamu duduk disana ya.”