Dengan mulut manyun dan wajah yang sama sekali nggak bersahabat, Yuna berjalan disamping pria tampan ini. Berjalan sambil menyilakan kedua tangan didepan dadanya. Sedangkan pangeran terlihat sangat tampan, bahkan sangat menyita perhatian setiap orang yang berpapasan dengannya.
Yuna merasa sangat risih, karna setiap orang akan tersenyum genit dan berbisik ngomongin kegantengan Pangeran. Dengan kesal dia menutup kepala Pangeran pakai hoddienya. “Mending sembunyiin deh, wajah kamu itu!”
Pangeran tersenyum miring, membiarkan hoddie itu menutupi kepalanya. “Kenapa? Cemburu?”
“Astaga, amit-amit ya. Aku tu risih dilihatin orang-orang.”
Pangeran tertawa kecil, makin jadi pusat perhatian orang yang ada didekat mereka. “Mereka lihatian gue, bukan elo. Gue biasa aja, kok elo yang repot sih.”
“Iisshh!” Yuna makin kesal dibuatnya, berjalan meninggalkan Pangeran yang masih saja tertawa.
Pangeran udah biasa jadi pusat perhatian. Siswa tertampan, banyak yang mengidolakan, sering tampil di publik karna punya group band di sekolah. Tentu untuknya bukan hal yang baru jadi pusat perhatian kek gini.
“Aduuhh,” keluh Pangeran dengan tiba-tiba. Jongkok memegangi kaki yang sebenarnya nggak kenapa-napa. Sengaja pengen ngajakin Yuna duduk ditepi pantai.
Yuna yang udah berjalan agak jauh darinya, berlari kecil menghampiri. Ikutan jongkok menatap kaki Pangeran. “Kamu kenapa?”
“Kaki gue sakit.” Duduk beralaskan pasir.
Yuna ikutan duduk didepan Pangeran, masih memperhatikan kaki yang tak terluka itu. “Sakit kenapa?”
“Pilek.” Jawabnya ngasal.
Yuna menatap wajah tampan itu dengan kesal. Beberapa kali mencebik, ikutan duduk disamping Pangeran.
Mereka berdua mirip sepasang kekasih yang lagi marahan. Duduk saling berjauhan, saling diam hanya sama-sama menatap kedepan. Kearah laut yang bermain dengan ombaknya. Terlihat sangat indah, apalagi buat Pangeran yang baru pertama kali memijakkan kaki di pantai Parangtritis. Melihat hamparan laut luas, sesaat hati dan pikiran terasa begitu damai.
“Besok pagi ikutan ke Jakarta, ya,” ajaknya dengan lembut.
Yuna tetap diam, dia masih ingin mengenang kedua orangtuanya disini, di pantai Parangtritis yang menjadi tumpuan Bapak dan Ibuknya mencari nafkah. “Aku mau disini, aku nggak mau pergi.”
“Kenapa? Elo bisa lanjutin sekolah disana. Kita akan satu sekolahan. Sekolahannya lebih bagus dari pada sekolahan disini, cowoknya juga ganteng-ganteng lho.” Pangeran nyengir, terus menatap Yuna yang tetap diam nggak menanggapi. “Ikut ya,” bujuknya lagi.
Entah, rasa bersalah membuatnya menjadi pribadi yang berbeda. Merasa jika semua kehidupan Yuna adalah tanggung jawab dia sepenuhnya.
Yuna menunduk, lalu menatap wajah tampan disampingnya. “Keknya aku nggak mau lanjutin sekolah.”
Pangeran mengerutkan kening. “Why?”
Yuna menghembuskan nafas panjang. “Nggak guna.”
“Cewek peringkat satu seantero sekolah bilang sekolah itu nggak guna?” Pangeran mencebik. “Pikirin lagi semua. Gue tau lo sedih, tapi nyokap bokap lo akan lebih sedih kalo liat lo nggak ada semangat kek gini.”
“Apa sih! Sok nasehatin!”
“Aelaa,” kembali mencebik dan memilih diam.
Lama, mereka kembali saling diam. Hingga ponsel Pangeran berdering, sebuah panggilan telfon masuk. Pangeran merogoh saku celananya, tertera nama papa dilayar utama.
“Hallo,” sapanya. “Kita dipinggir pantai,” jeda sebentar. Dengerin si papa ngomong. “Ya, kita balik.” Lalu kembali masukin ponsel kesaku celana.
Pangeran menatap gadis disampingnya, kebetulan Yuna juga sedang menatapnya. “Balik kuy, papa mama nungguin di rumah lo.”
Tanpa menjawab, Yuna berdiri dan berlalu meninggalkan Pangeran. Membiarkan lelaki jelmaan Izroil itu ngintil dibelakangnya.
Bhuukk
Tangan Pangeran terulur menepuk bokoong Yuna yang ketempelan pasir. Yang punya bokoong menoleh dengan tatapan tajamnya, dia marah.
“Kamu ngapain! Mesuum banget sih!” marah Yuna.
Pangeran memasukkan kedua tangan kesaku hoddienya. Nyelonong melewati Yuna yang terlihat sangat marah.
“Bokoong tepos, jauh dari kata bahenol,” ujarnya sambil terus jalan.
Mata Yuna tambah melotot. Sumpah! Dia beneran marah. Mengepalkan kedua tangan dan berjalan mengekor dibelakangnya.
Kembali terdengar suara lirih dari mulut Pangeran. Dia bersenandung selama perjalanan.
Bhhuukk!
Seorang pria bersenggolan bahu dengan Pangeran, hampir saja dia oleng karna ditabrak bahunya dengan kasar.
“Wooii matanya dipake wooi! Kambing!” bentak Pangeran dengan menunjuk muka lelaki itu.
Lelaki berambut hitam, tinggi tubuhnya hampir sama dengan Pangeran itu hanya mencebik. Sama sekali nggak peduli dengan bentakan Pangeran. Matanya tertuju pada Yuna yang berdiri terpaku dibelakang Pangeran.
“Na,” panggilnya. Lalu mendekati gadis manis itu. “Kamu beneran mau pindah ke Jakarta?”
Yuna mengangguk. Ya, awalnya memang dia nggak mau pergi. Tapi tak ada pilihan lain, bahkan Bapak berpesan agar berbakti pada si Izroil. Lagi pula, Yuna nggak mungkin bisa hidup sebatangkara di Jogja. Sama sekali dia nggak punya sanak saudara.
“Maafin kalo aku banyak salah ya, Ga,” ucapnya tulus pada lelaki yang bernama Arga.
Arga mendegus, menatap Yuna nanar. “Jadi, kita nggak akan pernah ketemu lagi?”
Arga, teman masa kecil Yuna. Mereka selalu satu sekolahan sejak TK hingga SMA. Memang, dia mempunyai perasaan khusus sama Yuna, tapi cukup dalam diam saja. Masih terlalu pengecut untuk mengungkapkan rasa cinta.
“Iya, Ga. Aku nggak ada pilihan lain. Aku nggak akan sanggup jika hidup sebatangkara disini.” Jelas Yuna.
Arga meraih secarik kertas, lalu memberikan pada Yuna. “Tolong, hubungi aku saat kamu sudah mempunyai hape. Aku nggak akan pernah ganti nomor sampai kamu menghubungiku. Aku..........akan menunggumu.”
Yuna meremas jari jemarinya. Merasakan getaran didada yang membuncah. “Ga,.......” nggak mampu nerusin kata-kata.
Sangat nggak mungkin untuk jujur. Tapi lebih nggak mungkin membiarkan Arga menunggunya. Sedangkan status Yuna sudah seorang istri.
“Usai SMA, aku akan menyusulmu ke Jakarta. Aku akan ambil kuliah disana. Tunggu aku datang ya, Na.” Arga tersenyum penuh harap.
Yuna hanya bisa diam terpaku, nggak tau harus jawab gimana. Tetiba tangan Arga terulur, mengacak puncak kepala Yuna dengan lembut.
“Plliiss, ingat kalo di jogja ada yang selalu sibuk mikirin kamu.” Bisiknya pelan.
“Ga, ......” kata-kata itu terhenti. Yuna menunduk, menimbang hatinya. Sejujurnya dia pun mempunyai perasaan yang sama. Sayang itu sudah jelas ada, namun jika dikatakan cinta, Yuna masih ragu. “Jangan menyia-nyiakan masa mudamu, ya. Kamu nggak perlu nungguin aku. Andai Tuhan memang menjodohkan kita, pasti suatu saat kita akan dipertemukan. Jadi, pliiss....kita jalani saja semua seperti alir mengalir melewati arus.”
Sepertinya Arga nggak mendengarkan itu. Bahkan dia tetap bersikukuh ingin menyusul Yuna ke Jakarta saat usai SMA. “Itu terserah kamu, Na. Aku hanya ngungkapin apa yang pen aku ungkapin. Dan tentunya, aku bukan pria yang ingkar janji dengan mudah.”
Kembali tangan Arga mengulurkan secarik kertas yang belum Yuna terima. “Pliiss, simpan ini. Hubungi aku kapanpun, dan jika kamu butuh bantuanku, langsung hubungi aku.”
Yuna masih terpaku memandangi kertas itu.
“Kita nggak ada yang tau Na. Keluarga barumu itu pengusaha apa? atau pejabat apa? mereka itu pakai pesugihan atau enggak? anak-anaknya jahat sama kamu atau enggak? Jadi, hubungi aku jika kamu butuh bantuan.”
“Anjeng! Lo pikir bokap gue pengusaha buto ijo?!” pangeran yang memang menyimak obrolan keduanya, tak trima jika keluarganya dikatain nggak bener.
Lagi-lagi Arga tak menanggapi itu, tetap diam menatap wajah Yuna yang kelihatan sedih. Pelan, Yuna meraih kertas itu, menggenggamnya erat. “Insyaallah aku akan hubungi kamu.” Suaranya tercekat, menahan tangis yang hampir keluar. “Aku pergi dulu ya, mama sama papanya udah nungguin.”
Dengan berat, Arga mengangguk. Mengulurkan tangan sebagai tanda perpisahan. Tangan Yuna bergetar, meraih uluran tangan itu.
Dengan erat Arga menggenggam tangan Yuna. “Jaga diri baik-baik, ya. Aku nggak bisa lagi jagain kamu. Kuharap kamu selalu baik-baik aja.” Tanpa aba-aba, Arga menarik tangan Yuna hingga masuk kedalam pelukannya. Memeluknya cukup erat untuk pertama kali setelah mereka dewasa.
Yuna masih diam, nggak membalas pelukan itu. Membiarkan Arga mencium puncak kepalanya. Dihirupnya wangi tubuh Arga yang selalu sama. Bulir bening akhirnya menetes, membasahi pipi Yuna yang tirus.
“Aku sangat mencintaimu, Na. Maaf aku terlalu pengecut untuk mengakuinya. Maafkan aku.” Bisiknya lirih. Bahkan Pangeran tak bisa mendengar bisikan itu.
Sadar menjadi obat nyamuk, Pangeran mulai melangkah menjauh. “Taik! Gue dijadiin obat nyamuk. Duluan!” nggak butuh jawaban. Dia melangkah menjauh.
Mendengar langkah kaki menjauh, Yuna membalas pelukan Arga. Mengelus punggung itu. “Maafkan aku, Ga. Maaf, aku nggak bisa bilang apapun.”