Ceklekk!
Mama kembali terkejut melihat Yuna yang bobok ngusel Pangeran. Memeluk Pangeran dengan sangat mepet. Bahkan kepalanya berada didada Pangeran. Tangan Pangeran memeluk Yuna dengan nyaman.
Dengan cepat mama kembali turun ke kamarnya. Menarik suami yang baru aja nyampirin handuk hendak masuk ke kamar mandi.
“Mama kenapa sih?” Tanya pak Seno dengan heran.
“Papa harus lihat ini. Eh, bawa hape juga.” Meraih ponselnya yang berada diatas meja rias. Kembali menarik tangan papa keluar kamar.
Tergesa langkah dua orang ini menuju kamar Yuna. Kamarnya masih terbuka, karna tadi mama memang tak menutup kembali.
“Lihat deh, pa.” Menunjuk kearah ranjang.
Papa terbelalak menatap kedua anaknya yang masih ada diposisi awal. Mama maju, mengarahkan kamera ponsel ke Yuna dan Pangeran. Bibirnya tak berhenti tersenyum.
Kembali memasukkan ponsel ke saku saat sudah mendapatkan beberapa foto.
“Pa, mama gemes banget lihat mereka.”
“Biarin aja, ma. Ayo kita keluar. Yang penting udah dapat fotonya.”
Setengah jam berlalu.
Pangeran yang merasakan sesak didada, mencoba mengangkat tangannya. Meraba bagian dadanya yang seperti tertimpa batu. Menyentuh rambut Yuna, lalu meraba telinga, pipi.
Yang diraba mulai risih, merasa terusik. Meraih tangan nakal Pangeran. “Aku masih ngantuk, Buk.”
Mendengar suara wanita dipagi hari saat mata belum terbuka, spontan membuat jantung Pangeran berdegup cepat. Mata yang masih pengen merem itu langsung terbuka. Menatap kepala yang nempel didadanya. Sialnya satu tangannya benar-benar memeluk pinggang Yuna erat.
“Aaaa!” jeritnya.
Yuna yang mendengar jeritan Pangeran, langsung melek, bangun dan menatap Pangeran yang terbaring disampingnya. “Aaaaa!”
Menatap seluruh pakaiannya. Masih nempel sempurna. “Kamu ngapain tidur dikamarku!?”
“Elo ngapain bobok meluk gue!” Pangeran mengelap dadanya.
“Nggak sengaja. Aku kira ibukku. Maaf.” Turun dari tempat tidur dengan wajah cemberut. Sungguh, semalam tidurnya sangat nyaman. Terasa seperti tengah dikelonin Ibuknya. Cukup kecewa saat kenyataan mengatakan bahwa itu adalah suami, bukan ibuknya. Suami yang menjadi penyebab kepergian ibuk.
Pangeran masih mengelap d**a. “Lo nggak kutuan kan?”
Mata yang berkaca-kaca itu melotot, marah dengan pertanyaan Pangeran. Tapi sedih mengingat ibuknya. Akhirnya ada bulir yang menetes membasahi pipi.
“Enggak!!” Berjalan dengan cepat masuk ke kamar mandi.
“Kok malah nangis sih? Heran!” nggak mau telat sekolah, dia bergegas kembali kekamarnya melalui pintu balkon.
**
Mama tersenyum menatap dua anak berseragam putih abu-abu yang berbarengan menuruni tangga. Muka sama-sama cemberut karna kejadian bangun tidur tadi.
Duduk di kursi yang biasa mereka pakai. Mulai membalikkan piring. Seperti biasa, Yuna ngambilin makan untuk Pangeran.
“Gimana semalam, Na?” tanya mama yang sengaja mau memancing obrolan.
Yuna dan Pangeran sama-sama gugup. Membatalkan sendok yang hampir menyentuh mulut.
“Gimana apanya, ma?” Pangeran balik nanya.
“Semalam kan mama ngasih hape ke Yuna. Gimana? Udah bisa belum?” mama jelasin maksudnya.
Yuna tersenyum, Pangeran lanjutin makan. “Udah kok, ma. Semalam aku udah belajar cara pesen taxi online sama ojek online. Belajar kirim pesan lewat whatshap juga.”
Mama tersenyum. “Syukur kalo gitu.”
“Kamu bisa bawa mobil, Na?” papa nimbrung.
Yuna menatap Papa, tersenyum, lalu menggeleng. “Emang mobilnya mau dibawa kemana, pa? Aku sih nggak kuat.”
“Pppfftt.....uhuk...uhuk...uhuk.” Pangeran tersendak. Segera ngambil minum dan meneguknya. Menatap istrinya dengan kesal. “Lo o’on apa pura-pura bego sih!?”
Yuna menatap Pangeran dengan kening berkerut. “Kenapa tiba-tiba ngatain o’on sih? Lagian yang ngomong sama aku kan Papa. Bukan kamu! Kenapa nyahut!” balas Yuna sama keselnya.
“Gimana nggak nyahut, kalo lola lo lebih tinggi dari monas!”
Yuna tambah bingung. Apa yang membuat Pangeran marah?
“Bikin orang keselek aja!” kembali lanjutin makan.
Papa sama mama saling tatap melihat perdebatan Pangeran dan Yuna yang sama sekali nggak penting.
“Gini maksud papa, Na. Kamu bisa nyetir mobil?” tanya Papa lagi.
Yuna natap Papa. “Enggak bisa, Pa. Aku bisanya goes sepeda.” Jawabnya sambil nyengir.
“Uhuk...uhuk..uhuk.” kembali Pangeran keselek.
“Astaga, kamu bisa mati keselek.” Komentar Yuna sambil menutup mulut dengan telapak tangan.
Mama tersenyum mendengar ucapan Yuna.
“Cewek kampungan! Gaptek! Udik! Oa!------“
Yuna menyumpal mulut Pangeran dengan paha ayam. Mendorong kursi kebelakang dan segera berlari masuk kedapur dengan tertawa.
“Sialan lo ya! Awas! Nggak gue ajari lagi!” Teriaknya sambil memegang paha ayam.
“Ehhmm!” papa berdehem. “Ran, kamu semalam dari mana?”
“Biasalah, anak muda.” Kembali menggigit paha ayam itu.
“Kenapa masih nggak belajar? Udah siap berangkat pakai angkot?”
Pangeran melirik Papa dengan tatapan yang sangat kesal. Tetap diam, sama sekali nggak berniat untuk menjawab. Karna dia yakin papanya nggak serius dengan ancamannya. Ngabisin minuman dan segera beranjak. Nyampirin tas dibahu, lalu ngeloyor pergi.
“Ran, ajak Yuna berangkat bareng!” seru mama.
“Ogah!” tetap jalan dengan congkaknya keluar dari rumah.
Saat membuka pintu depan, Awan juga tengah mematikan mesin motor. Tatapan keduanya bertubrukan. Ada rasa tak rela melihat Awan terlalu dekat dengan Yuna. Tapi ia tak memiliki alasan yang tepat.
“Awan,” seru Yuna yang sudah berdiri diambang pintu.
“Hey, Na.” Tersenyum lebar. Berjalan masuk keteras rumah, menyalami mama dan Papa Pangeran yang berdiri disana. “Pagi, Om, Tante.”
“Pagi juga, Awan. Tumben kamu hampiri Pangeran.” Sapa Mama.
Awan nyengir. “Mau ngajakin Yuna berangkat bareng, Tan. Kebetulan kita ini sekelas. Satu bangku juga.”
“Oh, kalian ini satu kelas.” Sahut papa.
“Iya, Om.”
“Tapi Yuna mau berangkat bareng sama Pangeran.” Lanjut Papa.
“Kata siapa?” Pangeran menatap Yuna. “Gue mau jemput Intan. Terserah lo mau berangkat sama siapa.” Berlalu menuju garasi. Memakai helmnya dan segera menjalankan motor keluar dari pekarangan rumah.
“Bener-bener ya! anak itu!” Papa memijat pelipisnya. Cukup pusing memikirkan kelakuan anaknya.
“Boleh kan, Om. Saya ajak Yuna berangkat bareng?”
Pak Seno ngangguk. “Boleh, tapi jangan ngebut ya,” ucap Papa dengan terpaksa.
Yuna meminta tangan papa dan mama untuk disalami. “Aku berangkat dulu ya, Pa, Ma.” Pamitnya.
Mama memeluk Yuna. “Jangan terlalu dekat dengan lelaki lain ya, sayang. Ingat, kamu udah bersuami. Jaga diri kamu.” Bisik mama.
Yuna melotot kaget mendengar penuturan itu. Tapi tetap tersenyum dan ngangguk. “Aku berangkat, Ma.” Mengulangi ucapannya.
Mama dan Papa ngangguk. Melambaikan ttangan saat motor ninja putih itu mulai berjalan meninggalkan rumah.
“Pa, mama nggak rela Yuna dideketin Awan gitu. Dia kan mantu kita.” Keluh mama.
“Anakmu itu, ma. Bikin pusing! Papa nggak sabar pengen narik semua fasilitasnya!” sahut Papa dengan kesal. Mengulurkan tangannya. “Papa berangkat dulu, ya.”
Mama menjabat tangan Papa, menciumnya dengan takzim. “Hati-hati, pa.”
**
Awan menghentikan motor dideretan pertama saat lampu merah pas perempatan jalan.
“Na, lo beneran sepupuan sama Pangeran?” sedikit menoleh agar Yuna mendengar yang ia tanyakan.
“Ii—iiya.” Jawabnya singkat. Awan Cuma ngangguk, percaya aja. Walau sebenarnya curiga sesuatu.
Tak begitu lama, moge Pangeran berhenti tepat disamping kanan Awan. Tentu sudah ada Intan yang membonceng dibelakangnya. Awan menoleh, tersenyum miring.
“Cepet juga ya.” Sapanya sambil natap Pangeran dan Intan. Paha putih mulus itu terpampang sangat jelas. Awan geleng kepala. “Duuh, pagi-pagi bikin ngaceng!” umpatnya lirih. Tapi terus saja menatap paha itu melalui kaca spion.
**
Kedua moge itu berhenti diparkiran sekolah bersamaan. Yuna berpegangan erat dibahu Awan untuk turun dari motor. Melirik suaminya yang udah sibuk merapikan rambut Intan.
“Makasih ya, Wan.” Tersenyum simpul dan melangkah pergi.
Awan mengejar Yuna setelah rambutnya tertata rapi. Sedangkan Pangeran menatap keduanya dengan tatapan yang...entahlah.
“Beib, itu pacarnya Awan ya?” Tanya Intan yang ikut memperhatikan Awan menyamai langkah Yuna.
“Bukan.” Dengan cepat jawaban itu keluar dari mulut Pangeran. Bahkan kelihatan nggak terima saat Intan mengatakan Yuna pacarnya Awan. “Satu kelas, duduk sebangku.”
Intan langsung melingkarkan tangan dilengan Pangeran. “Tapi keknya Awan suka deh sama cewek itu.”
Pangeran tambah kesel. Diam nggak menyahut, tetap jalan dengan cool sampai didepan kelas Intan.
“Beib, pulang sekolah temenin nge mall ya.” Pintanya dengan manja.
Pangeran terlihat berfikir. “Lihat nanti ya.”
Intan manyun, karna jawaban itu beda dari biasanya. Pangeran memasukkan tangan kedalam saku celana.
“Aku kekelas dulu ya.” Pamitnya. Lalu berbalik menjauh dari kelas Intan.
“Iisshh! Dasar bocah! Beneran nggak romantis! Di cipok dulu kek, ato dipeluk. Ini ditinggalin gitu aja! Huuh!” dengan sangat kesal Intan masuk kedalam kelas.
**
Novel ini hanya ada di aplikasi innovel/dreame. Jika kalian baca selain di aplikasi, itu artinya kalian membaca barang curian. (karya, Yuwen Aqsa)
**
Begitu masuk kedalam kelas, tatapannya terarah pada Yuna yang sudah asik dengan buku tulis. Awan bertopang dagu menatap kearah Yuna tanpa kedip.
Pangeran membuang nafas dengan kesal. Menjatuhkan tas kemeja dengan kasar. Awan yang merasa telinganya terusik, menoleh kebelakang.
“Ni monyet kenapa sih?!” kesalnya pada Pangeran.
“Nggak dapat cium dari Intan?” sahut Mico yang sudah dari tadi ada didalam kelas.
“Bacot!” pangeran nonyor kepala Mico. “Yuda mana?”
“Biasa, nganterin Dewi dulu.” Jawab mico dengan santai.
“Kantin, kuy!” Pangeran berdiri, narik lengan Awan dan Mico.
“Ogah, ah. Gue mau dikelas. Bentar lagi bel.” Tolak awan.
Pangeran merasa geram, Awan nulai berbeda. “Karna ni cewek?” menuding Yuna yang dari tadi hanya diam.
Nyengir sambil ngangguk. “Demi jodoh dunia akhirat gue.”
Pangeran nonyor kepala Awan. “Tidur! Baru ngimpi!” Menarik tangan Awan dengan paksa mengikuti langkahnya.
Yuna hanya geleng kepala melihat ketiga lelaki itu keluar dari kelas. Menatap gadis didepannya yang sedati tadi hanya nunduk membaca buku. Rambutnya dikepang dua dan pakai kacamata.
Yuna beranjak, berjalan mendekati Selly. “Hey, boleh kenalan?”
Selly mengangkat kepala, tersenyum. Memperlihatkan rentetan gigi putihnya. Mengulurkan tangan ke Yuna. “Aku Selly Puspita.”
Yuna meraih uluran tangan Selly. “Aku Ayuna. Panggil aja Yuna. Aku boleh minta tolong nggak?”
Selly mengerutkan kening. “Boleh. Kenapa?”
Yuna mengeluarkan ponsel berlayar besar itu. “Aku baru pertama kali pakai hape. Ajari cara masukin nomor telfon, bisa?” pintanya dengan berbisik.
Selly terbelalak. Cukup kaget dengan permintaan Yuna. Bahkan dia yang dikatai cupu, culun, kampungan dan lola bisa menggunakan barang itu. Sedangkan Yuna yang kelihatan modis tak tau cara menggunakannya.
“duduk sini aja, Na.” Selly menepuk kursi sampingnya.
Yuna menurut. Lalu memberikan ponselnya pada Selly. Selly mulai mengusap layar ponsel. Menatap wallpaper utama dengan mata melotot. Lalu menatap wajah Yuna dengan penuh tanya.
Yuna nyengir. “Pliiss jangan bilang siapapun. Ini bukan aku yang pasang foto dihape. Tapi si izroil sendiri yang pasang fotonya.”
“Izroil?” Selly tambah tak mengerti.
“Maksudku Pangeran. Semalam dia mainin hapeku. Ngajarin cara pesan ojek online. Nggak taunya masang fotonya dihape. Itu bisa diganti nggak, Sel?” jelasnya dengan lirih.
“Bisa kok.” Banyak pertanyaan yang ingin Selly tanyakan. Ada hubungan apa Yuna dan Pangeran?
“Kamu mau ganti pakai fotonya siapa? Ini digalery nggak ada foto lain kecuali fotonya Pangeran.” Memperlihatkan galery ponsel yang hanya ada lima foto. Dan itu fotonya Pangeran semua.
“Gimana kalo kita foto dulu, Sel. Lalu dipasang dihapeku. Bisa kan?” ide Yuna.
**
Tiga cowok badboy itu mendudukkan p****t dikursi kantin. Di kursi paling belakang yang tertutup dinding, jadi nggak akan terlihat saat ada patroli anak bolos.
“Pesen jus alpukat sono!” Pangeran nyuruh Mico.
“Kenapa gue?” tak terima mendapatkan perintah.
“Karna elo yang nggak ada cewek!” seru Awan.
Mico nonyor kepala Awan. “Kaya’ lo punya cewek!”
“Bentar lagi, brow!” katanya dengan penuh percaya diri.
Pangeran menatap Awan tajam. Pengen ngomong, tapi nggak mungkin ngomong jujur.
“Taik lo pada!” umpat Mico, lalu berjalan meninggalkan kedua sahabatnya.
Setelah punggung Mico tak lagi terlihat, Awan menatap Pangeran tajam.
“Jujur lo!” ngomongnya dengan tegas.
Pangeran mengerutkan kening. “Apa sih!” kembali memainkan game diponsel.
“Yuna itu siapa? Jan jawab sepupu! Gue nggak percaya! Gue tau siapa aja sepupu elo! Mbak Chika itu udah kuliah, nggak seumuran sama kita. Dan sepupu perempuan lo Cuma dia.”
Pangeran hembusin nafas panjang, mempause game lalu natap Awan. “Dia bini gue! Jadi jan deketin!”
Kening Awan berlipat duabelas lipatan. “Bini??” Pangeran ngangguk. “Behahahahha..” tawanya lepas.
Bhukk!
Pangeran memukul bahu Awan. “Lo ngetawain apa, babi!”
“Ppfftt....” berusaha hentiin tawanya. “Ya kali, lo udah nikah, Ran. Nggak mungkin lah. Gue tau, lo ada rasa sama Yuna kan?”
Pangeran membuang muka. Cukup bingung dengan apa yang dirasa. Memilih lanjut main game.
“Elo kan udah ada Intan, si ratu sekolah. Jadi, Yuna buat gue. Gimana? Adil kan?”
Melirik Awan dengan tajam, tak berniat menjawab kata-kata itu.
**
Yuna duduk sebangku dengan Selly. Kebetulan Sania, teman sebangkunya nggak masuk, jadi dia duduk sendirian. Pangeran dan ketiga temannya pun bolos, nggak masuk kelas sampai bel istirahat berbunyi.
“Sel, kamu nggak kekantin?” tanya Yuna.
Selly geleng kepala. “Uangku cukup buat ongkos pulang nanti. Aku tadi sebelum berangkat sekolah udah makan kok. Jadi, nggak lapar.”
Yuna mulai merasa iba. “Gimana kalo aku traktir kamu? Kebetulan mama selalu ngasih uang double tiap pagi.”
“Enggak perlu, Na. Aku nggak enak sama kamu.”
“Udah, ayo aku traktir.” Beranjak dengan menarik tangan Selly.
Akhirnya Selly mengikuti langkah Yuna. Tapi dengan dituntun Selly, mereka sampai di kantin. Ngambil bakso dan es teh, lalu pergi mencari tempat duduk.
Awan melambaikan tangan. “Sini, Na.” Ucapnya agak berteriak.
“Jangan, Na. Aku nggak nyaman kalo duduk sama geng mereka.” Bisik selly.
Lalu menatap kursi kosong yang ada disamping Intan. Yuna melangkah, mendekati Intqn dan ke dua temannya, Caca dan Zia.
“Kak, boleh ikutan duduk disini?” ijin Yuna.
Intan mencibirkan bibir. “Boleh. Duduk aja.”
“Iisshh, cupu!” umpat Zia saat melihat Selly.
Yuna dan Selly tetap duduk disamping ketiga kakak kelasnya. Menuang kecap dan sambal lalu mulai mengaduk dan makan dalam diam.
“Tan, malming nginep rumah gue ya. Sama Caca juga. Bokap nyokap belum pulang. Kesepian gue.” Keluh Zia sambil memainkan sedotan dalam gelas.
Caca menelan baksonya lebih dulu. “Gue udah ada janji duluan, Zi. Sorry yak, nggak bisa nemenin.”
Zia natap Intan, sangat berharap sahabatnya yang satu ini mau menemani.
“Pacar kemana?” tanya Intan pura-pura.
“Dia ada acara katanya. Suruh nemenin mamanya.” Mulutnya manyun.
Intan tersenyum miring. “Sorry juga ya, Zia sayang. Gue juga udah ada acara. Gue mau kepuncak sabtu sore.”
“Ke puncak?” tanya Caca membeo. Intan Cuma ngangguk, lalu kembali menyendok mie dimangkuk. “Sama Pangeran?”
“Uhuk...uhuk...uhuk.” Yuna tetiba keselek kuah bakso. Selly menepuk punggung Yuna pelan, lalu menyodorkan segelas minum.
Intan menatap Yuna dengan heran. “Kenapa lo? Kaget, gue mau ke puncak sama Pangeran?” Yuna masih diam karna menyedot minumnya. “Gue udah biasa ya, pergi berdua sama dia. Bahkan lebih dari itu.”
“Jadi lo udah pernah kawin sama Pangeran, Tan?”
“Uhuk...uhuk...uhuk” pertanyaan yang Zia lontarkan kembali membuat Yuna tersendak minuman.
“Waktu pertama kali, sampai lo nggak bisa jalan itu, sama dia?” pertanyaan lanjutan dari Zia yang makin membuat otak dan hati Yuna ngerasa kurang nyaman.
Intan bingung mau jawab apa, karna tentu, itu ia lakukan sama Gavin, bukan Pangeran. Bahkan sejauh ini Pangeran tak pernah mau walau hanya sekedar menyentuh dadanya saja. Tapi tak mungkin jujur juga kan? Bunuh diri itu namanya!
“Iya, gue lakuin sama Pangeran.”
Yuna langsung berdiri. “Ayok balik ke kelas, Sel. Aku udah kenyang.”
Mendengar pengakuan Intan, membuat selera makan Yuna jadi hilang. Hanya ingin cepat pergi untuk tak lagi mendengar ocehan kakak kelas mereka.