Ranti bisa melewati hari ini tanpa bertemu dengan Anton CS. Meski sebenarnya rasa rindu ada di benak Ranti. Namun, kejadian tadi malam masih membuat Ranti kecewa. Laki-laki yang pertama kali Ranti suka di Jakarta sudah membuatnya terluka.
Ranti harus menelan pil pahit pada laki-laki yang sudah membuatnya jatuh cinta untuk pertama kalinya di kota orang. Laki-laki yang sudah memberi harapan ternyata buaya. Ranti yang biasanya mempermainkan buaya, kini jadi korban buaya.
Selama di Solo, Ranti belum pernah merasakan kecewa seperti ini dengan laki-laki. Justru Ranti yang sering membuat laki-laki terluka. Dengan memutuskan hubungan jika Ranti merasa bosan.
Sepulang membantu orang tuanya jualan, Ranti langsung membersihkan tubuhnya dari keringat dan debu yang menempel. Ranti tak ingin tubuhnya sampai tidak wangi dan kotor. Tentu tidak akan ada laki-laki yang tertarik padanya. Jika Ranti tak bisa menjaga tubuhnya dengan baik.
“Ran, kamu sampai kapan akan menghindari masalah terus?” Tanya Sumi pada Ranti di ruang tamu.
“Maksud Ibu?” Ranti balik bertanya.
“Ibu tahu, hari ini kamu menghindari Anton karena masalah semalam. Kalau kamu terus menghindar, kapan masalah kamu akan selesai?” Tangan kanan Sumi memegang pundak kiri Ranti.
“Entah Bu! Ranti belum bisa! Bayangan mas Anton dan kekasihnya masih tampak jelas di pikiran Ranti. Ranti takut saat di depan Anton, tak bisa menahan emosi Bu!” Ranti sedikit menjelaskan.
“Ranti, kamu ini gadis yang cantik, baik, masih muda juga. Gak sulit buat kamu cari laki-laki. Sudah kamu lupakan masalah Anton!” Sumi menasihati.
“Lupakan bagaimana Bu?” Ranti bingung.
“Kamu bersikap biasa sama Anton. Seolah tidak pernah terjadi apa-apa pada kalian! Buang jauh-jauh perasaan suka dan kecewa kamu sama Anton!” Sumi menyarankan.
“Apa Bu? Gak segampang itu! Apalagi kalau Ranti sering bertemu dengan laki-laki itu. Ranti akan terus ingat, kecewa yang sudah dibuatnya.” Ranti beralasan.
“Kalau begitu, sementara kamu cari aktivitas lain! Seperti bekerja misalnya! Atau kamu mau lanjut kuliah lagi, Ibu juga mendukung!” Sumi mengusulkan.
Ranti terdiam. Memikirkan ucapan ibunya. Bekerja atau kuliah?
“Baik Bu! Untuk melupakan masalah ini, Ranti ingin bekerja saja! Gak papa untuk sementara Ranti tidak jadi sekretaris. Ranti mau jadi SPG gak papa Bu. Yang penting Ranti tidak jadi OG!” Ranti setuju dengan usulan Sumi.
“Begitu dong! Nanti Ibu tanya-tanya pembeli Ibu di warung, sapa tahu ada lowongan.” Sumi senang dengan pikiran Ranti.
Dengan bekerja, Ranti bisa mudah melupakan masalah yang sudah terjadi. Ranti tidak perlu menghindar dari Anton. Karena Ranti akan segera memiliki kesibukan sendiri dengan bekerja.
Sumi bukannya ingin Ranti bekerja dan menghasilkan uang. Sumi hanya ingin, Ranti punya kesibukan sendiri. Ranti bisa punya banyak teman. Sapa tahu juga dari pekerjaan sekarang, Ranti bisa mendapatkan info tentang pekerjaan yang dia impikan.
“Tapi Ibu jangan tanya sama Anton CS loh Bu! Ranti gak mau mas Anton tahu! Pokonya Ranti mau melupakan mas Anton!” Ranti tak ingin Sumi bertanya soal pekerjaan pada Anton CS.
“Gak, paling sama Angga.” Sumi tersenyum.
“Ibu, kok mas Angga lagi! Mas Angga kan teman mas Anton, pasti mereka itu sama saja!” Ranti tampak kesal.
“Gak, bagi Ibu Angga beda sama laki-laki lain! Angga gak seperti itu! Makanya kamu kenal lebih dekat sama dia, biar kamu tahu dia seperti apa?” Sumi memuji Angga.
“Ya sudah, mas Angga buat Ibu saja sana!” Ranti meledek.
“Buat Ibu? Terus pak Waluyo mau ditaruh mana?” Sumi menyambung ledekan Sumi.
“Hehe, ya Bu kasihan bapak.” Ranti tersenyum.
“Kamu itu Ran, ada-ada saja! Tapi benar kok, Ibu gak bela Angga! Selama Ibu jualan, laki-laki baik dan sopan yang Ibu kenal ya Angga itu!” Sumi kembali memuji.
“Tapi Bu, masalahnya mas Angga itu kan teman Anton! Masa iya, habis dekat sama Anton sekarang dekat sama Angga!” Ranti kurang setuju.
“Gak masalah, selagi hati kita cocok! Gak usah pedulikan orang lain! Lagian, Anton kan sudah punya kekasih, gak salah juga to kamu dekat sama Angga?” Sumi menjelaskan.
“Ibu kok kesannya jadi kaya jodohkan Ranti sama mas Angga?” Ranti merasa Sumi terus memuji Angga di depan Ranti.
“Ibu gak jodohkan! Ibu hanya ingin, kamu bisa berteman dengan Angga!” Sumi menegaskan.
“Nanti lihat saja Bu!” Ranti menjawab santai.
Sumi memang menginginkan Ranti memiliki teman seperti Angga. Karena Angga laki-laki yang bisa menghargai perempuan. Yang pasti Angga bisa menjaga Ranti dengan baik.
Bagi Sumi, sangat sulit mencari seorang teman yang benar-benar baik. Apalagi seperti Ranti yang belum lama datang di Jakarta. Ranti yang kadang masih terikat dengan kota Solo. Hingga menyamakan setiap orang yang baru dia kenal tanpa mengenalnya lebih dekat.
***
“Tok.. tok.. tok!”
Seseorang terdengar mengetuk pintu kontrakan Sumi malam itu. Tak seperti biasa, Sumi dan Waluyo kedatangan tamu malam-malam. Pekerjaan Sumi dan Waluyo yang memakan waktu, membuat mereka jarang berkomunikasi dengan tetangga.
Kontrakan mereka juga jarang didatangi tamu. Apalagi malam-malam begini.
Ranti sendiri tampak ketakutan. Ingatan tentang kejadian dua laki-laki yang mengganggunya malam-malam kembali terlintas. Ranti takut, kalau kedua laki-laki itu akan mendatangi kontrakannya.
Namun, Sumi terus meyakinkan. Tidak mungkin kedua laki-laki itu mendatangi Ranti. Karena kontrakan Ranti ramai dan banyak orang.
Sumi membuka pintu, karena Ranti yang awalnya diminta Sumi menolak takut.
“Eh Nak Beni, masuk-masuk!” Sambut Sumi senang.
“Silakan duduk!” Sumi mempersilakan Beni duduk.
“Ran tolong kamu bikin minum ya!” Sumi meminta Ranti membuatkan minum untuk Beni.
Ranti beranjak dari kursi. Berjalan ke dapur membuat minuman untuk Beni.
“Ini silakan Mas Beni!” Ranti meletakkan secangkir teh panas di meja depan Beni.
“Tumben, Mas Beni malam-malam ke sini ada apa?” Tanya Sumi heran karena baru semalam dia dari sini.
“Gak ada apa-apa Bu! Cuma pengin main saja. Kebetulan tadi lewat jalan sini, jadi sekalian mampir. Oh ya, bagaimana keadaan Ranti sekarang?” Beni menjelaskan sekaligus bertanya soal Ranti.
“Oh begitu! Ya gak papa, main-main saja ke sini kalau ada waktu.” Sumi tak keberatan.
“Iya Bu pasti! Oh ya ini tadi lewat depan cuma ada jualan roti bakar Bandung sama sate. Silakan Bu buat camilan!” Beni memberikan bungkusan plastik berwarna putih pada Sumi.
“Owalah Nak Beni ini repot-repot segala! Wong ke sini tinggal ke sini kok pakai acara bawa-bawa segala. Makasih loh Mas!” Sumi senang.
“Ya sudah, Ibu tinggal ke belakang dulu ya? Ibu masih banyak pekerjaan buat siapin jualan besok! Kalian ngobrol saja berdua!” Sumi berlalu meninggalkan Ranti dan Beni.
“Sini saja Bu! Temani Ranti sama mas Beni!” Pinta Ranti sama Sumi.
“Itu kan ada mas Beni masa masih minta temani Ibu! Kalian ngobrol saja berdua! Ngobrol soal anak muda! Kalau Ibu kan sudah tua, jadi sudah gak nyambung lagi sama ucapan kalian! Santai saja ya Mas Beni!” Sumi tetap meninggalkan Ranti dan Beni.
“Ibu Sumi memang pengertian. Tahu saja kalau aku pengin ngobrol sama anak gadisnya yang kelewat cantik ini. Kapan lagi aku bisa dekat dengan cewek secantik ini. Ternyata usahaku menolong Ranti tak sia-sia! Aku bisa mengenal Ranti lebih dekat.” Beni berucap sendiri.
“Mas Beni silakan diminum dulu, nanti keburu dingin tehnya?” Ucap Ranti mempersilakan Beni minum.
“Iya Neng! Kalau tehnya yang dingin mah gak papa! Asal Neng Ranti yang buat mah nikmat-nikmat saja!” Beni merayu.
“Mas Beni bisa saja! Gak usah meledek Mas, Ranti kan jadi malu!” Ranti tersipu.
“Gua gak meledek Neng Ranti! Memang benar kok, minuman yang dibuat Neng Ranti nikmat! Pas manisnya! Seperti orangnya!” Beni kembali merayu.
“Mas Beni jangan memuji Ranti terus! Ranti malu!” Ranti kembali tersipu.
“Beni ini apa sih! Baru kenal sudah memuji begitu! yang ada nanti seperti laki-laki sebelumnya yang Ranti kenal. Muji-muji, eh ternyata sudah memiliki kekasih!” Ranti berucap dalam hati
“Neng Ranti kenapa diam?” ucap Beni mengagetkan lamunan Ranti.
“Gak Mas! Ranti gak melamun?” Jawab Ranti singkat.
“Terus kalau gak melamun kok diam? Jangan-jangan Neng Ranti mikir yang gak-gak ya?” Beni menebak.
“Apa sih Beni ini, sok tahu dan sok kenal!” Ranti tak begitu suka dengan Beni.” Ranti kembali berucap sendiri.
“Itu kan diam lagi?” Beni kembali mengagetkan Ranti.
Ranti tak begitu menyukai sikap Beni yang terlalu sok tahu dan sok kenal pada Ranti. Kalau bukan karena hutang budi Ranti pada Beni. Ranti malas dekat-dekat sama Beni. Karena Beni terlihat memanfaatkan kesempatan.
***
Sudah tiga hari ini, Beni mendatangi rumah Sumi dan Waluyo. Sumi dan Waluyo menerima kedatangan Beni dengan senang hati. Karena Sumi dan Waluyo merasa hutang budi pada Beni. Tidak mungkin mereka menolak kedatangan Beni yang sudah menyelamatkan hidup Ranti.
Namun, karena perasaan hutang budi inilah, Beni seolah memanfaatkan kebaikan orang tua Ranti. Beni jadi sering mendatangi untuk mendekati Ranti. Belum lagi, setiap datang Beni selalu membawa buah tangan untuk orang tua Ranti. Orang tua Ranti semakin merasa tidak enak menolak kedatangan Beni.
“Pak, Bu saya mau ajak jalan neng Ranti sebentar boleh gak?” Izin Beni pada orang tua Ranti.
“Kalau Ibu sama bapak terserah Ranti saja!” Jawab Sumi tak mau memaksa Ranti.
“Gimana Neng Ranti, mau gak? Kita putar-putar Jakarta malam ini! Tenang saja, Neng Ranti gak akan kedinginan karena malam ini saya bawa kendaraan pribadi. Maksud saya mobil!” Beni membujuk.
“Mobil? Jadi Beni punya mobil? Boleh juga, lumayan lah ada tumpangan gratis!” Ranti berucap dalam hati.
“Gimana Neng?” Beni kembali bertanya.
“Ya Mas boleh, Ranti mau!” Ranti menganggukkan kepala sembari tersenyum.
Hati Beni berbunga-bunga. Karena dirinya sudah berhasil mengajak keluar Ranti. Setidaknya ada lampu hijau dari Ranti.
Ranti dan Beni sudah tiba di tempat parkir umum. Tempat parkir bagi pemilik mobil yang menghuni kawasan sempit kontrakan Sumi dan Waluyo.
“Ini dia mobil gua!” Beni menunjukkan sebuah mobil dengan bodi mulus dan merek ternama.
“Ini mobil Mas Beni?” Tanya Ranti ingin tahu.
“Iya! Dan ini salah satu dari koleksi mobil gua. Kalau gua bosan bisa pakai yang lain.” Beni santai.
“Wah aku gak sangka, selain baik Mas Beni ini ternyata orang kaya juga.” Ranti kagum.
“Ya udah! Ayuk kita jalan, nanti keburu kemalaman. Gak enak sama orang tua lo.” Beni membukakan pintu mobil untuk Ranti.
Ranti seakan belum percaya dengan Beni. Penampilan Beni yang biasa ternyata kaya raya. Ranti yang awalnya hanya ingin membalas budi, kini mulai suka.
“Memang sih, wajahnya pas-pasan bahkan bisa dibilang kurang. Tapi lumayan sih, yang penting pegangan dia mobil terus kantongnya juga tebal!” Ranti berucap sendiri.
“Oke, lo mau gua antar ke mana Neng?” Ucap Beni pada Ranti.
“Ke mana saja Mas Beni terserah, Ranti kan gak tahu jalan Jakarta. Oh ya Mas, boleh gak Mas Beni gak usah panggil aku neng? Panggil Ranti saja!” Pinta Ranti pada Beni.
“Iya Neng! Maksud gua Ranti.” Beni tersenyum.
“Gua gak sangka, usaha gua gak sia-sia! Maafkan gua ya bos? Akhirnya, Ranti mau juga gua ajak jalan.” Beni berucap sendiri.
Malam ini menjadi malam pertama buat Beni dan Ranti jalan berdua. Beni tak berhenti tersenyum. Bahagia tampak di wajahnya. Karena Beni sudah bisa mendekati Ranti. Secepatnya Beni akan menyampaikan niatnya pada Ranti.