13. Jadian

1927 Kata
Beni sudah mendapat lampu hijau dari Ranti. Sejak itu, Beni tak pernah absen mendatangi kontrakan Ranti. Bahkan selagi ada waktu luang, Beni bisa lebih dari sekali menemui Ranti. Sumi dan Waluyo sendiri heran dengan Beni. Karena Beni yang kerja bisa sering menemui Ranti di kontrakan. Tidak hanya malam hari. Terkadang pagi-pagi, Beni sudah mengantar sarapan untuk Ranti dan orang tuanya. Sumi dan Waluyo sampai saat ini belum tahu apa sebenarnya pekerjaan Beni. Karena setiap ditanya, Beni seolah menutupi. Beni hanya bilang sebagai manajer di salah satu perusahaan di sekitar sini. Beni tak pernah berbicara langsung, nama perusahaan dirinya bekerja. Meski sedikit heran, Sumi dan Waluyo tak berani terus bertanya. Mungkin, kerja seorang manajer itu santai. Tidak seperti anak buah yang sibuk dari pagi hingga sore hari. “Mas Beni ini gak usah repot-repot segala! Tiap ke sini selalu ada saja yang dibawa. Memangnya Mas Beni ini gak kerja, kok pagi-pagi sudah ke sini?” Tanya Sumi melihat Beni datang pagi-pagi sembari membawa kantong plastik yang pasti berisi makanan di tangan kanan. “Kerja Bu! Tadi sudah absen dulu, terus saya tinggal sebentar ke sini.” Beni sedikit menjelaskan. “Wah enak dong kerjanya Mas Beni ini. Bisa santai begitu. Memangnya kalau ketahuan bosnya gak dimarahi?” Tanya Sumi lagi. “Gak ada yang berani marahi saya Bu. Masa manajer dimarahi, bisa-bisa saya yang balik marahi mereka!” Beni berucap santai. “Hebat dong! Ya sudah Ibu tinggal ke belakang dulu ya?” Sumi berpamitan. “Ran, tar malam lo ada acara gak? Gua pengin ajak lo keluar lagi! Gua pengin ngomong sesuatu sama lo!” Tanya Beni pada Ranti. “Tar malam? Memangnya kamu mau ngomong apa? Kenapa gak ngomong sekarang saja?” Ranti balik bertanya. “Gak bisa! Gua pengin ngomong semalam. Kalau di sini, rasanya tempat sama suasana kurang tepat. Gimana nanti malam lo bisa gak? Tenang saja, nanti gua jemput! Kita pakai mobil gua yang lain, biar lo kenal sama mobil gua lainnya!” Beni tetap ingin berbicara di luar. “Please! Penting banget! Mau ya?” Beni membujuk. Kedua tangannya memegang tangan kanan Ranti. “Mobil yang lain? Berarti benar, mobil Beni banyak? Tapi dia mau ngomong apa, kenapa gak sekarang saja? Bikin gua penasaran? Atau jangan-jangan dia mau mengungkapkan rasa suka sama aku?” Ranti berucap dalam hati. “Ranti, gimana? Kok malah diam?” Beni kembali bertanya. “Iya, aku mau Mas!” Ranti mengiyakan. “Makasih, ya udah gua balik kerjaan dulu! Gua lega yang penting hari ini udah ketemu lo. Rasanya hati ini selalu kangen jika sebentar saja gak ketemu lo.” Beni berpamitan sekaligus memuji Ranti. “Mas Beni bisa saja! Ya sudah, hati-hati ya Mas! Makasih juga buat ini!” Ranti menunjuk kantong plastik yang diberikan Beni padanya. Ranti sendiri belum tahu isinya apa. “Kira-kira mas Beni nanti malam mau ngomong apa ya? Kayaknya benar, seperti yang aku bilang tadi! Mas Beni mau nyatakan cinta sama aku. Buktinya, tadi dia bilang kangen kalau sebentar gak ketemu aku.” Ranti berucap sendiri. “Kalau beneran mas Beni mau nembak aku, aku jawab apa? Duh, gimana rasanya punya cowok kaya raya seperti mas Beni? Ke mana-mana jalan pakai mobil. Minta apa dibelikan. Buktinya mas Beni selalu bawa oleh-oleh buat aku sama orang tuaku. Padahal aku sama mas Beni belum ada hubungan apa-apa. Gimana kalau sudah pacaran, pasti dia lebih royal sama aku.” Ranti terus berucap sendiri. “Kok aku jadi berpikiran jauh seperti ini ya? Kamu pikir lagi Ran, dia itu kaya raya bisa mendapatkan cewek yang dia inginkan dengan mudah. Dengan modal duitnya, pasti banyak cewek klepek-klepek sama dia! Aku siapa? Jangan mimpi terlalu tinggi kamu, Ran!” Ranti masih berucap sendiri. Sejak Beni datang tadi pagi. Lalu dia menyampaikan niatnya untuk mengajak ke luar malam ini, Ranti tak berhenti memikirkan Beni. Ranti penasaran. Sebenarnya apa yang ingin Beni bicarakan padanya. Kenapa juga, Beni mesti menunggu nanti malam. Padahal tadi pagi juga banyak kesempatan untuk berbicara. *** Hari ini Ranti tak mau ikut orang tuanya berjualan. Ranti memilih tinggal di kontrakan sendiri. Rasa takut yang dia alami kapan hari sudah mulai hilang. Ranti pun lebih senang tinggal di kontrakan dari pada ikut jualan. Apalagi sejak Ranti bermasalah dengan Anton. Ranti sudah malas membantu orang tuanya berjualan. Selain menghindari Anton, berjualan di pinggir jalan membuat Ranti merasa kulitnya terbakar. Kulit wajahnya juga kusam karena terkena debu dan asap kendaraan yang lewat. Malam ini, Ranti juga sudah janjian dengan Beni. Dan Ranti tak mau mengecewakan Beni. Usai membantu orang tuanya berjualan, Ranti biasanya merasa tubuhnya lelah. Ranti pun tak betah lama-lama di luar. Ranti akan meminta pulang pada Beni. Padahal Beni saat itu masih betah. Sumi dan Waluyo sudah pulang ke kontrakan usai berjualan hari ini. Sebelum Maghrib tiba, mereka memang sudah tiba di kontrakan. “Ran, memangnya kamu kenapa tadi gak mau ikut Ibu jualan bakso? Kamu tadi ketemuan sama Beni lagi?” Tanya Sumi ingin tahu. “Gak Bu! Ranti baru mau ketemu mas Beni nanti malam. Makanya hari ini Ranti malas ikut Ibu sama bapak jualan. Suka lelah kalau Ranti ikut jualan, jadinya pas jalan gak betah karena sudah lelah duluan.” Ranti menjelaskan alasan kenapa dia tidak ikut orang tuanya jualan hari ini. “Oh gitu. Eh Ran, coba sini duduk sebentar! Ibu mau ngomong sama kamu!” Sumi meminta Ranti duduk di kursi tamu sekaligus kursi serbaguna mereka. “Ibu mau ngomong apa to? Kok kaya serius begitu? Ranti jadi deg-degan!” Tangan kanan Ranti memegang dadanya. “Begini loh Ran! Ini sih perasaan Ibu saja, mudah-mudahan perasaan Ibu ini salah.” Sumi memulai kata-katanya. “Kenapa to Bu? Ibu ini semakin bikin Ranti cemas saja!” Ranti penasaran. “Sebenarnya si Beni itu kerja apa to Ran? Kok kayaknya enak banget! Kerja semaunya, istirahat semaunya. Sudah begitu pegangannya mobil mewah, ganti-ganti pula! Sebenarnya Ibu sedikit curiga.” Sumi menyampaikan apa yang dia rasakan. “Kan Ibu sudah tahu, dia manajer keuangan. Anak orang kaya juga. Jadi Ibu gak usah curiga begitu!” Ranti menjelaskan. “Iya Ran, Ibu hanya ingin menyampaikan apa yang Ibu rasakan! Mudah-mudahan Ibu salah! Yo wis Ibu hanya mau bicara itu saja!” Sumi beranjak dari kursi. Satu jam sudah berlalu, Beni mengabari Ranti kalau dirinya sebentar lagi tiba di kontrakannya. Beni meminta Ranti untuk menyiapkan diri. Beni tak mau menunggu lama. Sepuluh menit, Beni tiba di kontrakan Ranti. Beni tak mau menunda waktu. Dia langsung meminta izin pada orang tua Ranti untuk mengajaknya ke luar malam ini. Orang tua Ranti hanya bisa mengizinkan. Karena semua keputusan pergi tidaknya ada pada Ranti. Ranti sudah tergiur dengan apa yang dia dengar dan dilihat dari Beni. Seorang manajer serta memiliki beberapa mobil sudah menjadi daya pikat Beni padanya. Ranti yang awalnya tidak suka, kini mulai tertarik dengan Beni. Karena Beni bisa memberi apa yang dia inginkan. Seperti biasa, Ranti dan Beni harus berjalan dulu ke parkiran umum. “Wah, Mas Beni gak bohong ya? Mobilnya ganti lagi. Yang ini bagus juga gak kalah sama mobil kemarin. Mas Beni benar-benar hebat!” Ranti memuji. “Iya dong, pokonya lo mau minta apa saja gua berikan! Lo tinggal bilang lo minta apa, gua turuti! Yang penting gua bisa dekat sama lo.” Kedua tangan Beni meraih kedua tangan Ranti lalu menciumnya penuh cinta. “Makasih ya Mas! Aku merasa sebagai wanita yang paling beruntung Mas! Bisa dekat sama laki-laki seperti Mas Beni ini. Sudah baik, kaya pula. Benar-benar laki-laki sempurna.” Ranti terus memuji. Mobil melaju melewati jalanan kota Jakarta yang padat. Mereka berdua hanya bisa berjalan lambat karena ramainya kendaraan malam itu. Tapi semua itu tak jadi masalah buat mereka. Yang penting mereka bisa menikmati waktu berdua. *** Setengah jam berlalu, mobil berhenti di sebuah taman pinggiran kota. Beni memarkirkan mobilnya. Lalu keluar dari mobil. Tak lupa Beni membuka pintu untuk Ranti. “Mas, kok berhenti di sini?” Tanya Ranti heran. Karena setahu dia, orang pergi dengan pasangannya biasanya ke kafe atau mall. “Iya Ran, gua ingin cari tempat yang romantis. Tempat yang masih alami. Ya seperti taman ini. Memangnya kenapa kalau di taman?” Beni menjelaskan lalu bertanya. “Oh gitu! Ya gak papa sih!” Ranti sedikit menekuk wajahnya. Karena Ranti tak begitu suka dengan tempat ini. “Ya Ran! Kita duduk di kursi taman itu yuk!” Beni menarik pelan tangan kanan Ranti. Ranti dan Beni duduk berdua di kursi pojok taman kota. Kalau dilihat taman itu memang indah. Lampu-lampu warna-warni yang menghias taman semakin menambah suasana keindahan taman. “Ran, gua suka sama lo! Sejak gua pertama kali lihat lo, gua sudah jatuh cinta!” Beni memulai kata-katanya. “Apa lo juga merasakan hal yang sama? Rasanya gua ingin selalu dekat sama lo. Gua ingin membuat lo bahagia!” Beni melanjutkan ucapannya. “Apa Ben?” Ranti tampak terkejut. “Duh, aku harus bilang apa ini? Cewek mana sih yang mau menolak cowok kaya seperti Beni? Masalah cinta belakangan. Yang penting duitnya dulu!” Ranti berucap dalam hati. “Ran, gimana? Apa lo merasakan seperti apa yang gua rasakan selama ini?” Beni kembali bertanya. Kali ini Beni memegang tangan Ranti begitu erat. “Ehm, gimana ya? Aku juga suka sama Mas Beni.” Ranti dengan wajah memerah. “Jadi, lo juga suka sama gua? Jadi, lo mau jadi pacar gua? Berarti malam ini gua sama lo resmi jadi pasangan kekasih?” Beni tampak senang. Ranti mengangguk sembari memberi senyum pada Beni. “Makasih ya?” Beni kembali mencium punggung tangan Ranti lembut. “Gua bahagia banget!” Beni tak berhenti tersenyum. “Tapi maaf ya, malam ini gua hanya bisa bawa lo ke sini, ke taman ini. Karena tadi mendadak gua ditelepon klien. Dia meminta bertemu setengah jam lagi. Lain kali gua pasti bawa lo ke tempat yang lebih indah. Ke kafe misalnya. Sekarang gua antar lo pulang!” Beni tak bisa lama-lama. “Tapi Mas, kita kan baru ketemu sebentar! Masa sudah pulang?” Ranti tak ingin pulang sekarang. “Maaf sayang, gua harus temui klien dulu! Gua janji, besok gua ajak lo ke luar lagi!” Beni membujuk. “Ya sudah lah! Kok sekarang manggil nya sayang?” Ranti setuju sekaligus meledek. “Sekarang lo kan pacar gua! Wajar dong, gua panggil lo sayang!” Beni merangkul Ranti dari samping. Mereka berjalan bergandengan. Seolah tak mau melepas satu sama lain. Maklum saja, malam ini malam pertama mereka menjadi sepasang kekasih. Pastinya mereka tak ingin malam ini tak cepat berlalu. Namun, alasan Beni untuk bertemu klien harus memisahkan mereka malam ini. Ranti memang kecewa, tapi dia tahu semua ini karena kerjaan Beni. Beni tak mungkin membohonginya. Ponsel Beni dari tadi juga terus berbunyi. Sepertinya itu panggilan dari klien nya. Tapi Beni tak menghiraukannya. Beni lebih peduli dengan Ranti. Gadis cantik yang baru dipacarinya. “Mas, itu HP-nya gak diangkat dulu! Barang kali penting?” Ucap Ranti yang dari tadi mendengar ponsel Beni terus berdering. “Gak papa, paling klien. Biar saja dia tunggu sebentar! Yang butuh siapa coba? Ya gak sayang?” Beni merayu. “Duh, bos ini gak ngerti suasana banget sih! Baru gua jadian, bos pakai teleponi gua terus! Sebentar bos, gua antar cewek gua dulu!” Ucap Beni dalam hati. “Mas kenapa, kok kaya gelisah begitu?” Tanya Ranti yang melihat perubahan wajah Beni usai melihat ponselnya. “Gak papa! Gua hanya senang banget malam ini! Bisa mendapatkan cewek secantik lo!” Beni menutupi. Beni melajukan mobilnya lebih cepat. Tidak seperti saat berangkat tadi. Saat tiba di parkiran, Beni juga cepat-cepat mengantar Ranti ke kontrakan. Beni tak sampai pamitan pada orang tua Ranti. Karena Beni harus buru-buru pergi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN