06. Keras Kepala

1685 Kata
Sudah satu bulan Ranti di Jakarta. Satu bulan juga Ranti belum menemukan pekerjaan yang diinginkan. Hari-hari Ranti hanya diisi dengan membantu orang tuanya berjualan bakso. Namun, tak jarang juga Ranti berdiam diri di kontrakan. Ranti sudah mulai akrab dengan Anton, Dicky, dan juga Angga. Dari ketiganya, Ranti lebih sering bercanda dengan Anton. Selain Anton suka bercanda, dia juga pandai membuat hati perempuan melayang dengan gombalannya. Tak heran banyak wanita yang sudah tertipu daya dengan rayuannya. “Mas Anton, kapan ada lowongan jadi sekretaris? Aku sudah bosan tiap hari kerjanya hanya begini terus. Kalau gak bantu bapak sama ibu jualan berdiam di kontrakan. Kalau begini terus, rasanya aku pengin pulang ke Solo saja!” Keluh Ranti mendekati Anton usai menikmati bakso. “Lo sabar Ranti! Cari kerjaan itu gak gampang. Kalau gua yang punya perusahaan sendiri, lo gak usah perlu daftar. Gua langsung jadikan lo sekretaris pribadi gua tanpa seleksi. Karena dari wajah dan penampilan lo sudah mendukung jadi sekretaris tanpa perlu seleksi lagi.” Anton merayu. “Mas Anton bisa saja. Kenapa Mas Anton gak buka kantor sendiri saja?” Ranti tersipu. “Kalau buka kantor sendiri harus butuh modal banyak. Lagian kalau gua punya modal banyak, mending buat modal melamar Neng Ranti yang cantik ini.” Anton kembali merayu. “Mas Anton ini gak usah nggombal begitu! Ranti kan jadi malu.” Ranti kembali tersipu. "Mas Anton gak gombal, memang nyata kok! Kamu jangan pulang ke Solo ya? Nanti kalau mas Anton kangen gimana, kan jauh?" Anton terus merayu. “Eh Ranti, jangan percaya sama omongannya raja gombal satu ini! Sudah banyak korbannya, bisa jadi lo menjadi korban berikutnya!” Dicky menimpali. “Ah lo mah syirik aja! Gak bisa lihat orang senang sedikit!” Anton tak terima. “Neng Ranti gak usah dengarkan omongan orang yang syirik pada Mas Anton. Sejak putus sama ceweknya, sampai sekarang Dicky belum punya pengganti. Makanya dia itu gak suka kalau lihat orang dekat sama cewek! Ya kayak gua yang dekat sama Neng Ranti.” Anton menjelaskan. “Apa gua syirik sama lo? Sory ya, gua bukannya syirik sama lo! Gua cuma kasihan sama gadis seperti Ranti. Takut kena makan rayuan lo!” Dicky tak terima. “Sudahlah gak usah berantem! Masalah begitu saja diperpanjang!" Angga menengahi. “Sapa yang berantem? Kita kan cuma beradu pendapat. Benar gak Ky?” Anton menganggap omongannya dengan Dicky sudah biasa. “Gak! Sapa bilang?” Dicky gak setuju dengan ucapan Anton. “Ah, lo ini Ky gak bisa diajak bercanda!” Anton berusaha merayu. “Ada apa to? Kok kayak tegang begitu?” Tanya Sumi yang melihat obrolan mereka serius. “Gak ada apa-apa Bu! Biasa, ini Anton sama Dicky bercanda!” Angga menjawab santai. “Owalah, Ibu kira kalian kenapa? Serius banget sih!” Sumi tersenyum. “Gak Bu, si Dicky cemburu karena saya lebih dekat sama anak Ibu!” Celetuk Anton tiba-tiba. “Eh, gak Bu! Dia bohong!” Dicky melambaikan kedua tangannya. “Lo apaan sih, asal aja kalau bicara!” Dicky tak terima. “Kalian ini, anak Ibu masih kecil jadi belum Ibu izinkan pacaran! Biar Ranti kerja dulu baru boleh pacaran!” Ibu tersenyum. “Itu dengar Ky, bu Sumi ngomong apaan barusan! Ranti belum boleh pacaran, masih kecil! Lo dekati dia terus!” Anton mengalihkan. “Eh kok jadi gua! Bukannya lo yang dari tadi gombali dia ya? Kok jadi lo bilang gua!” Dicky tak merasa, karena dari tadi yang merayu Ranti adalah Anton. “Gak, sapa bilang? Gak kan Neng! Mas Anton gak gombali Neng!” Anton balik bertanya pada Ranti. Ranti sendiri hanya bisa tersenyum. Melihat tingkah Anton dan Dicky yang saling menyalahkan. “Itu kan Ranti tersenyum, berarti benar gua gak ngapa-ngapain Ranti!” Anton membela. “Iya sudah! Ibu mau lanjut pekerjaan Ibu di belakang! Kalian lanjut mengobrolnya! Ranti bantu Ibu sebentar!” Sumi mengajak Ranti ke belakang. Sesuai perintah Sumi, Ranti beranjak dari kursi. Lalu berjalan mengikuti Sumi dari belakang. “Hayo loh! Ibu Sumi marah sama Ranti! Ranti gak bakal diizinkan lagi dekat dengan kita! Gara-gara lo sih tadi, pakai ganggu gua yang lagi mendekati Ranti! Jadi gini kan?” Anton meledek Dicky. “Biar saja! Biar gak lo gombali terus! Lo kan yang dari tadi gombali dia terus!” Dicky senang. “Ya udah, kita balik ke kantor yuk! Sebentar lagi jam istirahat juga habis!” Angga menengahi. Dicky melirik jam tangan di pergelangan tangan kanannya. “Ayuk!” “Bu Sumi, kita permisi dulu!” Ucap Angga berpamitan. “Iya Mas, terima kasih!” Jawab Sumi dari dalam. Tak lama Ranti kembali ke luar. Menuju meja tempat Angga, Anton, dan Dicky duduk. Ranti harus membereskan mangkok serta gelas sisa makan yang berantakan ke belakang. Setelah itu, Ranti mengelap meja warung. *** Jam istirahat kantor sudah habis. Warung bakso Sumi sudah mulai sepi pembeli. Hanya satu dua dari orang yang mampir. Sumi bisa santai istirahat sejenak. “Ran, Ibu mau ngomong sama kamu!” Sumi memulai pembicaraannya. “Iya Bu, ada apa?” Tanya Ranti ingin tahu. “Begini Nok! Ibu senang kamu punya banyak teman di sini! Tapi kamu kan anak gadis, jadi Ibu mohon sama kamu! Tolong kamu jangan terlalu dekat sama mereka! Ibu gak enak, di warung kan ramai banyak orang. Ibu gak enak, dikiranya kamu perempuan bagaimana? Kaya tadi, masa laki-laki 3, kamu cewek sendiri!” Sumi menasihati. “Ranti kan hanya ngobrol Bu, gak berbuat yang aneh-aneh! Kenapa gak boleh? Lagian, Ibu gak usah dengarin omongan orang kenapa?” Ranti tidak suka, Sumi melarang dirinya dekat dengan Angga, Anton, dan Dicky. “Iya kamu memang hanya ngobrol! Tapi kan orang yang melihat belum tentu tahu. Yang orang lihat kamu dekat sama mereka. Orang menganggap kamu perempuan gak benar! Apalagi kamu tadi dekat banget sama Anton!” Sumi menjelaskan. “Biarkan saja Bu! Yang penting Ranti gak berbuat begitu! Ranti hanya ngobrol biasa. Kenapa Ibu mesti melarang! Oh, Ranti tahu! Apa karena Ranti dekatnya sama mas Anton ya? Jadi Ibu melarang Ranti ngobrol sama mereka! Ibu pinginnya Ranti dekat sama mas Angga yang seperti es itu!” Ranti menebak. “Kok Ranti jadi ngomong begitu! Ini gak ada hubungannya sama Angga! Bagi Ibu, mereka bertiga sama saja! Pokoknya Ibu gak suka kamu terlalu dekat sama mereka, Ibu gak enak!” Sumi tegas. “Ibu ini apa-apaan sih! Ranti bukan anak kecil lagi! Yang bisa diatur-atur Ibu terus! Ranti juga ingin seperti yang lain! Punya banyak teman! Bisa punya pasangan!” Ranti tak suka Sumi melarangnya. “Ranti, kamu itu belum lama hidup di Jakarta! Kamu beru mengenal sedikit soal laki-laki Jakarta! Ibu gak melarang kamu berteman sama mereka! Tapi tolong, kamu bisa melihat waktu dan kondisi! Kamu gak lihat, tadi banyak pembeli yang lihat kamu begitu dekat dengan 3 laki-laki sekaligus!" “Padahal, pembeli di sini tidak hanya mereka! Masih banyak pembeli lain, yang perempuan misalnya! Ibu lebih senang kamu punya banyak teman, tapi mereka perempuan!” Sumi terus menjelaskan. “Tapi Ranti lihat mereka bertiga itu baik! Terutama mas Anton! Mas Anton selalu bisa bikin Ranti senang. Mas Anton selalu bisa menghibur Ranti.” Ranti membela. “Apa? Jangan bilang kalau kamu suka sama Anton!” Sumi dengan nada tinggi. “Memangnya kenapa Bu kalau Ranti suka sama mas Anton? Seperti yang Ranti bilang tadi! Mas Anton baik dan selalu menyenangkan hati Ranti. Dan Ranti memang senang dekat dengan mas Anton. Bahkan mungkin bisa dibilang, Ranti jatuh cinta pada mas Anton!” Ranti jujur. “Ya ampun Ran! Kamu ingat, niat kamu ke Jakarta untuk mencari kerja! Kerja saja belum, kamu sudah jatuh cinta duluan! Kamu itu baru mengenal Anton luarnya saja! Kamu belum mengenal Anton lebih dekat. Bisa-bisanya kamu bilang jatuh cinta! Ibu heran sama kamu, kok bisa kamu jadi perempuan mudah sekali untuk jatuh cinta tanpa mengenal orangnya dulu!” Sumi masih dengan nada tinggi. “Iya Bu! Ranti ingat sekali, Ranti ke Jakarta ingin bekerja di kantor gede dan ber-AC. Tapi apa salah kalau Ranti jatuh cinta? Ranti sudah mengenal mas Anton. Ranti juga senang berada di dekat mas Anton.” Ranti tetap mempertahankan keinginannya. “Jatuh cinta memang gak salah! Tapi kamu itu masih terlalu dini untuk jatuh cinta! Kamu belum bisa membedakan mana itu cinta, mana itu suka! Karena kedua kata itu hampir sama. Suka belum tentu cinta!” Sumi terus menjelaskan. “Tapi Ranti suka dan cinta pada mas Anton! Dan Ibu gak berhak melarang Ranti! Karena Ranti yang merasakan bukan Ibu!” Ranti keras kepala. “Biar Ibu melarang, Ranti tak peduli! Karena Ranti yang akan menjalaninya!” Ranti beranjak dari kursi. “Ranti kamu bisa duduk gak! Ibu belum selesai bicara sama kamu! Kenapa kamu jadi gak sopan begini sama orang tua! Dari mana kamu belajar seperti ini! Apa kamu tidak tahu caranya menghargai orang tua?” Sumi emosi. Ranti kembali duduk. Wajahnya terus ditekuk. “Apa lagi yang mau dibicarakan Ibu? Ibu lupa ya, selama ini Ranti tinggal dengan siapa? Selama ini Ranti tumbuh dan belajar sama siapa? Apa Ibu tahu, Ranti itu begitu iri sama teman-teman? Mereka bisa setiap hari bermanja-manja dengan orang tua mereka. Sementara Ranti, apa-apa sendiri!” Ranti menyampaikan perasaannya yang dia pendam selama ini. “Tapi Ran? Ibu sama bapak kan kerja juga buat kamu! Maafkan Ibu kalau selama ini terus meninggalkan kamu? Tapi kamu harus tahu, Ibu lakukan semua ini demi kebahagiaan kamu! Ibu dan bapak sangat menyayangi kamu!” Sumi berkaca-kaca. Sumi tak percaya Ranti bisa berucap seperti itu. “Kalau memang Ibu sama bapak sayang sama Ranti, sekarang Ibu izinkan Ranti dekat dengan siapa saja! Tidak peduli itu laki-laki ataupun perempuan! Termasuk Ranti bisa dekat dengan mas Anton!” Ranti mengancam. “Tapi Ran?” Sumi bingung. “Terserah Ibu! Kalau memang Ibu beneran sayang sama Ranti, Ibu harus tentukan keputusan!” Ranti beranjak lalu meninggalkan Sumi sendiri. Sumi hanya bisa tertunduk. Menyesali dengan semua yang sudah terjadi. Sumi tak menyangka akibat dia meninggalkan Ranti sendiri dengan Suti. Ranti tumbuh jadi gadis yang keras kepala serta gengsi tinggi. Untuk urusan kerjaan saja, Ranti tidak mau dengan pekerjaan bawahan. Ranti menginginkan pekerjaan tinggi tanpa menyadari pendidikannya yang hanya menengah. Ranti sangat menjaga harga diri tanpa memandang dirinya sendiri. Yang lebih mengecewakan Sumi, Ranti dengan mudah menilai seseorang. Hanya melihat luar, Ranti bisa langsung suka lalu jatuh cinta. Padahal Ranti sendiri belum tahu, seperti apa laki-laki itu sebenarnya. Sumi menyesal kenapa Ranti bisa seperti ini. Sumi tak bermaksud meninggalkan Ranti dengan neneknya. Karena yang Sumi lakukan hanya untuk kebahagiaan Ranti. Tapi ternyata pilihan Sumi dan Waluyo keliru. Ranti yang mereka sayang tumbuh menjadi anak keras, jaga gengsi, serta mudah jatuh hati pada laki-laki. Nasihat yang Sumi berikan tak berarti bagi Ranti. Karena Ranti tetap pada keinginannya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN