Meski menyesal, Sumi tak bisa mengulang kembali apa yang sudah dijalani selama ini. Yang ingin Sumi lakukan saat ini hanya ingin mengubah pikiran Ranti.
Sejak kejadian tadi, Sumi juga lebih banyak diam. Sumi terus memikirkan ucapan Ranti tentang kehidupan masa kecilnya. Kehidupan yang berkecukupan materi. Namun, kasih sayang serta perhatian orang tua tidak didapatkan Ranti.
Saat kecil segala keinginan Ranti memang bisa dipenuhi orang tuanya dengan cepat. Apa pun yang diminta Ranti, Sumi dan Waluyo berikan.
Tapi Sumi dan Waluyo tak pernah pikirkan akibat dari anak yang jauh dari pengawasan orang tua. Anak yang selalu dimanja dengan materi. Namun, tak diimbangi nasihat serta perhatian orang tua. Seperti yang mereka alami pada Ranti, anak gadis satu-satunya.
“Ibu kenapa Bu? Ibu sakit?” Tanya Waluyo pada istrinya.
“Gak Pak, Ibu gak papa! Ibu hanya capek!” Sumi menutupi.
“Nek capek, Ibu istirahat saja di kontrakan! Biar warung, Bapak sama Ranti yang jaga. Istirahat siang juga sudah terlewatkan, jadi ndak terlalu repot Bapak sama Ranti.” Waluyo menyuruh Sumi istirahat.
“Gak usah Pak, sebentar rasa capek Ibu juga hilang! Terus dikontrakan, Ibu juga mau ngapain sendirian!” Sumi menolak.
“Ibu istirahat! Di sini Ibu kan ndak bisa istirahat. Sudah Ibu pulang saja, gak papa!” Waluyo kembali memerintah Sumi pulang ke kontrakan.
“Ibu bilang gak usah Pak! Ibu mau di sini saja! Sebentar juga ilang capeknya.” Sumi tetap menolak.
“Ya sudah terserah Ibu saja nek begitu! Oh ya, ngomong-ngomong Ranti ke mana? Kok gak kelihatan?” Waluyo tak mau memaksa. Waluyo juga mencari keberadaan Ranti yang tidak ada di warung.
“Tadi Ranti ngambek terus keluar dari warung. Ibu gak tahu dia ke mana, paling jalan-jalan sekitar sini kalau gak pulang ke kontrakan.” Sumi sedikit menjelaskan tentang Ranti tadi.
“Ngambek? Memangnya Ranti ngambek kenapa Bu?” Waluyo ingin tahu.
“Semua ini salah kita juga Pak. Harusnya dulu kita tidak tinggalkan Ranti di kampung. Ranti benar-benar keras kepala. Ranti juga jadi wanita yang mudah suka sama laki-laki. Padahal Ranti itu kan masih kecil, belum bisa bedakan laki-laki yang baik dan yang tidak!”
“Dan Bapak tahu, baru sebentar Ranti mengenal Anton, Ranti bilang dia suka sama Anton. Ibu tahu Pak, Anton itu baik. Tapi dia itu sudah punya pacar. Setahu Ibu, pacar Anton itu banyak. Dia juga senang gonta-ganti cewek! Ibu gak mau Ranti sampai sakit hati.” Sumi menjelaskan.
“Kok bisa jadi begini! Terus, Ibu sudah nasihati Ranti to?” Waluyo bingung.
“Sudah Pak! Ya Ranti ngambek karena Ibu nasihati dia! Ibu larang dia agar tak terlalu dekat dengan Anton! Tidak hanya dengan Anton, Ibu juga larang Ranti dekat dengan laki-laki yang belum dia kenal sepenuhnya.”
“Bapak tahu gak, tadi pas rombongan Angga datang? Masa Ranti ngobrol begitu akrab sama ketiganya. Terutama sama Anton! Ibu gak enak sama pembeli lain, kesannya Ranti seperti wanita gak benar, dengan 3 laki-laki sekaligus.” Sumi terus menjelaskan.
“Masa to Bu? Lha kok Ranti kaya gak ada harga dirinya begitu!” Waluyo seolah tak percaya.
“Yaitu Pak, makanya Ibu larang terlalu dekat! Kalau berteman mbok yang biasa saja kan bisa. Gak usah ikut mepet-mepet anak cowok! Ibu jadi curiga, jangan-jangan di Solo Ranti sudah biasa dengan laki-laki.” Sumi menebak.
“Ibu jangan ngomong begitu! Semoga yang Ibu pikirkan tentang Ranti itu salah! Ranti bukan wanita seperti itu! Wanita yang gampang jatuh cinta, serta berganti-ganti kekasih! Dia masih terlalu kecil Bu!” Waluyo berharap kecurigaan Sumi tentang Ranti salah.
“Habisnya Ibu lihat, Ranti itu begitu mudah dekat dengan laki-laki! Bisa langsung nyambung begitu. Sekarang kalau Ranti gak biasa gabung dengan laki-laki pasti dia akan merasa segan berteman dengan laki-laki. Lha ini baru sebentar Ranti mengenal, langsung akrab. Bahkan Ranti bisa langsung bilang suka.” Sumi yakin.
“Sudahlah Bu gak usah berpikiran aneh-aneh tentang Ranti! Semoga yang Ibu pikirkan tentang Ranti itu salah!” Waluyo tak mau berpikir macam-macam.
“Iya Pak, salah kita juga! Kalau saja kita gak meninggalkan Ranti di kampung, pasti kita bisa memperhatikan Ranti lebih! Sekarang kita bisa kumpul dengan Ranti setelah dia remaja. Sikap dan perilaku Ranti sudah terbentuk tanpa perhatian kita. Jadi tugas kita sekarang untuk meluruskan kembali sikap Ranti jika ada yang salah!” Sumi tak mau menyalahkan sikap Ranti.
“Sebenarnya gak ada yang salah! Karena kita meninggalkan Ranti juga untuk kebaikan dia. Jika kita tetap di kampung, mungkin saat Ranti kecil tak bisa mendapatkan apa yang dia inginkan. Kita melakukan ini semua semata-mata untuk kebahagiaan Ranti. Kita sebagai orang tua juga sedih karena harus berpisah dengan Ranti.” Waluyo bijak.
“Sebaiknya kita biarkan Ranti tenang dulu! Jangan sampai emosi menguasai pikiran kita semua! Yang ada masalah bukannya selesai malah tambah besar!” Waluyo kembali menyarankan.
“Ya, Bapak benar. Menyesal sudah tidak ada gunanya. Sekarang kita sama-sama menjaga dan memperhatikan Ranti dengan baik. Karena Ranti mulai dewasa. Pikirannya sudah tidak seperti anak-anak lagi. Yang bisa kita atur. Ranti sudah mulai tertarik lawan jenis. Biasanya, jika sudah seperti itu keras kepalanya semakin bertambah. Jika sudah jatuh cinta, segala yang dia lakukan akan dianggap benar. Siap tidak siap kita harus bisa menerima masalah itu!” Sumi berusaha mengerti sikap Ranti.
Sebagai ibu, Sumi memang menganggap Ranti tetaplah gadis kecilnya dulu. Yang harus terus dijaga dan dimanja.
Tapi tidak dengan Ranti. Kehidupannya yang sudah bebas sejak masih anak-anak membuatnya tumbuh menjadi gadis yang cepat dewasa. Kebutuhan perhatian dan kasih sayang yang tidak dia dapatkan dari orang tua. Membuatnya mencari pelarian dengan mencari kasih sayang dan perhatian dari orang lain. Dari seorang laki-laki, Ranti bisa dapatkan semua yang dia butuhkan. Saat masih SMP, Ranti sudah memiliki kekasih tanpa sepengetahuan orang tuanya.
***
Sore telah tiba. Ranti belum juga tampak di warung. Sumi dan Waluyo mulai gelisah. Masalahnya, tadi Ranti pergi dalam keadaan emosi. Dan sampai saat ini belum juga kembali.
“Pak, Ibu cemas sama Ranti. Ranti kok belum juga muncul ya Pak?” Tanya Sumi cemas.
“Iya mungkin Ranti masih ingin menenangkan dirinya Bu!” Waluyo berusaha menenangkan pikiran Sumi.
“Iya, tapi ke mana? Ibu cemas! Tadi kan dia pergi pas lagi emosi.” Sumi kebingungan.
“Sudah Ibu tenang saja! Ranti pasti baik-baik saja! Kalau gak Ranti sudah pulang ke kontrakan dulu Bu.” Waluyo tetap berusaha menenangkan.
“Semoga saja benar begitu Pak. Ranti... Ranti ke mana kamu Nok?” Sumi tak bisa menutupi kekhawatirannya.
“Biar Ibu tenang, coba Ibu hubungi Ranti saja! Tanya dia di mana? Tapi Ibu jangan pakai emosi! Baik-baikin saja Ranti! Biar dia mau pulang, kalau memang masih di luar. Syukur-syukur dia sudah di kontrakan.” Waluyo menyarankan.
“Iya Bapak benar. Kenapa dari tadi Ibu tak punya pikiran ke situ ya Pak?” Sumi meraih ponsel di dalam tas kecil di bagian perutnya. Tas pinggang yang melingkar di bagian perut dan pinggang Sumi sebagai tempat menyimpan uang sekaligus ponselnya.
“Ibu sih bawaannya emosi!” Waluyo meledek.
Sumi membuka layar ponselnya. Lalu mencari nama Ranti di kontak ponselnya. Setelah itu, Sumi menekan tombol warna hijau untuk memulai panggilannya.
“Ada apa lagi Bu?” Ucap Ranti dengan nada yang terdengar masih emosi.
“Ibu sudah menentukan keputusan? Kalau belum Ranti belum mau pulang?” Tanya Ranti tegas.
“Kok Ranti ngomongnya begitu? Kamu pulang ya sekarang? Ibu cemas sama kamu. Kamu kan belum hafal kota Jakarta. Kamu cepat pulang ya! Ibu sama Bapak sudah mau beres-beres warung ini. Kalau kamu mau kembali ke warung Ibu tunggu! Tapi kalau kamu mau pulang langsung ke kontrakan ya sudah, terserah kamu.” Sumi berusaha membujuk.
“Iya, tapi Ibu jawab dulu! Ibu sudah menentukan keputusan belum? Kalau belum, Ranti juga belum mau pulang! Percuma juga Ranti pulang, Ranti gak bisa mendapatkan apa yang Ranti inginkan!” Ranti kembali bertanya soal keputusan Sumi.
Sumi terdiam. Mencoba memikirkan jawaban. Sumi tak mau salah bicara. Sumi takut, Ranti benar-benar nekat. Dia tidak akan pulang sebelum Sumi menyetujui keinginan Ranti.
Ini kota Jakarta. Kota yang penuh dengan segalanya. Kota dengan tingkat kejahatan tinggi, kalau kita tidak hati-hati. Kota yang bisa menjerumuskan diri, jika kita tidak bisa jaga diri.
“Bu! Ibu dengar ucapan Ranti kan?” Tanya Ranti lagi.
“Iya, Ibu dengar jelas!”
“Terus gimana? Apa Ibu mau tetap pada pikiran Ibu? Kalau begitu, Ranti gak akan pulang sampai Ibu mau mengubah pikiran Ibu! Ranti hanya ingin, Ibu bisa mengizinkan Ranti seperti remaja-remaja lain yang bisa memiliki kekasih. Dan Ranti ingin lebih dekat dengan mas Anton!” Ranti tegas.
“Baik Nok! Ibu akan coba turuti keinginan kamu. Tapi Ibu mohon kamu pulang ya sekarang!” Sumi akhirnya menyetujui keinginan Ranti.
“Ibu gak bohong kan? Ranti bisa pegang ucapan Ibu? Ibu menyetujui bukan karena Ibu menginginkan Ranti pulang? Tapi Ibu menyetujui karena Ibu memang sudah mengizinkan keinginan Ranti!” Ranti kembali memastikan.
“Iya Nok! Buruan kamu pulang to! Ibu tunggu di kontrakan saja ya?” Sumi menegaskan.
“Beneran ya Bu? Makasih! Kalau begitu Ranti pulang sekarang!” Ranti memutuskan pulang.
Pikiran Sumi sudah lega. Akhirnya Ranti mau pulang juga. Bagi Sumi, melihat Ranti tersenyum adalah tujuan hidupnya. Sumi akan terus berusaha membahagiakan Ranti semampunya.
Meski berat, Sumi akhirnya mengizinkan Ranti untuk lebih dekat dengan Anton. Sumi tak terlalu membatasi Ranti bergaul dengan laki-laki. Bagi Sumi saat ini yang penting Ranti segera kembali ke kontrakan. Karena Sumi tak ingin hal buruk terjadi pada Ranti di kota besar ini. Kota yang sudah memberi penghidupan bagi Sumi dan Waluyo selama kurang lebih dua belas tahun ini. Sejak Ranti masih TK sampai sekarang Ranti sudah lulus SMK.
***
Azan Maghrib sudah terlewati. Sumi dan Waluyo juga sudah kembali ke kontrakan. Tapi Ranti belum juga muncul di hadapan Sumi dan Waluyo.
Sumi kembali dihinggapi rasa cemas. Karena anak gadis satu-satunya belum juga datang. Padahal sudah 1 jam yang lalu, Sumi menghubungi Ranti. Dan Ranti juga sudah mengiyakan untuk segera pulang secepatnya. Tapi sampai saat ini, Ranti belum juga tiba di kontrakan.
“Ya ampun Pak, Ranti ini ke mana lagi? Kenapa sampai sekarang Ranti belum juga datang? Padahal dia bilang akan segera pulang. Tapi kenapa sampai sekarang ini, dia belum juga kembali?” Sumi kembali cemas.
Sumi tak berhenti berjalan ke depan lalu ke belakang bolak-balik. Berharap anak gadisnya segera pulang.
“Ibu tenang to? Mungkin macet Bu, jadi Ranti pulangnya agak lama!” Waluyo terus berusaha menenangkan.
“Macet? Memangnya Ranti ke mana kok bisa macet?” Sumi terlonjak dengan ucapan Waluyo. Karena setahu dia, Ranti belum hafal kota Jakarta. Ranti juga belum hafal arah angkutan kota ke mana-mananya.
“Ya gak ke mana-mana sih Bu! Bapak kan hanya bilang mungkin? Sudah coba Ibu tenangkan pikiran Ibu dulu! Kita berpikir baik saja Bu, Ranti pasti baik-baik saja!” Waluyo kembali menenangkan.
“Ya Pak!”
Setengah jam kembali berlalu. Sampai saat ini, Ranti juga belum muncul.
“Pak, ini sudah setengah jam berlalu loh! Ranti belum juga pulang! Apa Ibu coba hubungi dia lagi ya Pak?” Sumi kembali gelisah.
“Iya Bu, biar jelas coba Ibu hubungi Ranti lagi saja!” Waluyo mengiyakan.
“Sebentar Ibu ambil HP dulu di kamar!” Sumi melangkahkan kedua kakinya ke kamar.
“Ibu coba hubungi Ranti lagi ya Pak!” Sumi mencoba menghubungi Ranti.
Nomor Ranti tiba-tiba saja tidak bisa dihubungi. Nomor Ranti sudah tidak aktif lagi.
“Pak, kok gak bisa dihubungi ya?”
“Coba Ibu pelan-pelan hubunginya, mungkin ada salah satu nomor yang keliru!” Waluyo berpikir positif.
“Iya Pak!” Sumi mencoba menghubungi nomor Ranti kembali.
“Bagaimana Bu?” Meski berusaha tenang, Waluyo ingin segera tahu keberadaan Ranti saat ini.
“Gak bisa Pak! Coba Bapak yang hubungi! Kali saja sama Bapak bisa!” Sumi memberikan ponselnya pada Waluyo.
“Welah, lha kok gak bisa dihubungi Bu? Bagaimana Bu?” Waluyo jadi ikut cemas.
“Ya sudah, coba kita tenang dulu Bu! Kita coba berpikir positif, mungkin baterai HP Ranti habis. Sudah, Ibu jangan berpikir macam-macam! Kita tunggu saja di sini sembari berdoa semoga Ranti segera pulang dalam keadaan selamat!” Waluyo berusaha tenang.
Sumi dan Waluyo memang tak bisa berbuat apa-apa. Karena mereka tak bisa menghubungi Ranti. Tiba-tiba ponsel Ranti tidak aktif. Mereka hanya bisa berharap dan berdoa semoga Ranti segera pulang. Semakin malam, kota Jakarta akan semakin rawan. Dan Ranti yang masih kurang pengalaman hidup di Jakarta, membuat Sumi dan Waluyo terus mencemaskannya.