Waluyo masih terduduk lemas. Mengingat kejadian buruk yang dialami Ranti malam ini. Belum lagi, jika terjadi hal yang tidak diinginkan pada Ranti. Seperti hamil misalnya. Waluyo benar-benar tidak bisa bayangkan semua itu. Bagaimana Ranti bisa menjalani kehidupannya nanti. Hamil tanpa suami. Hamil di luar nikah. Pasti sakit sekali rasanya.
Belum lagi cibiran orang pada Ranti. Di usia Ranti yang masih belia, dia harus memiliki anak tanpa suami di sisinya. Bagaimana Ranti bisa menghidupi anaknya sedangkan Ranti saja masih butuh penghidupan dari Waluyo dan Sumi.
“Pak, Bapak ini kenapa to? Bapak ndak senang Ranti pulang?” Tanya Sumi membuyarkan pikiran Waluyo.
“I... iya Bu! Ibu bilang apa barusan?” Waluyo gugup.
“Bapak melamun? Bapak melamuni apa? Alhamdulillah Pak, Ranti sudah pulang! Mas Beni yang sudah menolong Ranti Pak. Untung saja ada mas Beni. Kalau gak ada, gak tahu seperti apa nasib Ranti sekarang ini.” Sumi sedikit menjelaskan.
“Gak Bu, Bapak gak melamun! Makasih Mas Beni! Mas Beni sudah menyelamatkan anak Bapak.” Waluyo menjabat tangan Beni. Lalu duduk di kursi sebelah tak jauh dari Beni dengan wajah ditekuk.
“Iya Pak sama-sama! Kebetulan tadi saya lewat jalan besar depan gang, terus dengar suara neng Ranti teriak-teriak minta tolong. Saya cari-cari di mana arah suaranya. Sebuah bangunan tua di dekat gang kecil, neng Ranti lagi diganggu dua preman yang sepertinya tengah dipengaruhi alkohol.”
“Saya pun cari bantuan warga. Karena saya tak berani menghadapi sendirian. Takutnya kedua preman itu nekat bawa senjata. Alhamdulillah neng Ranti gak papa.” Beni menjelaskan.
“Sekali lagi terima kasih Nak Beni!” Waluyo kembali mengucapkan terima kasih. Waluyo masih dengan wajah ditekuk.
“Pak, Bapak ini sebenarnya kenapa to? Bukannya senang Ranti sudah kembali malah sedih begitu! Dipeluk atau gimana kek!” Sumi heran dengan sikap Waluyo.
“Ibu ini yang aneh, anak habis kena musibah gimana Bapak bisa senang! Ibu gak pikirkan akibat dari musibah ini buat Ranti! Bagaimana masa depan Ranti selanjutnya? Terus, kalau ada apa-apa sama Ranti bagaimana? Siapa yang akan bertanggung jawab?” Waluyo kesal dengan sikap Sumi. Masalah besar untuk Ranti, tapi Sumi malah bersikap biasa seolah tak ada apa-apa.
“Bapak yang aneh! Sekarang Ranti kan sudah pulang, keadaannya juga selamat! Terus Ibu ngapain mesti memikirkan nasib Ranti nanti?” Sumi semakin dibuat bingung.
“Terus maksud Bapak, siapa yang bertanggung jawab sama Ranti itu apa? Ibu makin bingung sama jalan pikiran Bapak!” Sumi kembali melanjutkan ucapannya.
“Ibu kan orang tua Ranti! Jadi Ibu sama Bapak harus memikirkan nasib Ranti selanjutnya mau bagaimana!” Waluyo tampak emosi.
“Ranti! Kamu yang sabar ya? Anggap semua ini sebagai ujian! Bapak yakin pasti ada jalan terbaik untuk kamu! Suatu saat pasti akan ada laki-laki baik yang mau menerima kamu apa adanya!” Waluyo beranjak dari kursi lalu memeluk Ranti.
Ranti yang awalnya masih menangis ketakutan tiba-tiba tangisnya berhenti seketika. Hati Ranti juga terlonjak mendengar ucapan Waluyo.
“Maksud Bapak apa? Kenapa Bapak ngomong seperti itu sama Ranti? Seolah-olah Ranti ini habis mengalami kejadian yang sangat buruk!” Kedua tangan Ranti melepas pelukan Waluyo.
“Bapak hanya ingin kamu bisa sabar menghadapi masalah ini Ran! Bapak gak bermaksud membuat kamu mengingat kejadian buruk yang sudah kamu alami!” Waluyo terus menguatkan Ranti.
Waluyo tahu, cobaan ini pasti sangat berat untuk Ranti. Di usianya yang masih belia, Ranti harus mengalami kejadian buruk yang sudah menghancurkan masa depannya. Ranti harus menanggung malu serta aib di depan orang banyak karena kejadian buruk ini.
***
Ranti dan Sumi masih bingung dengan sikap dan ucapan Waluyo. Kenapa ucapan Waluyo seolah membuat Ranti takut. Ranti memang masih trauma atas kejadian yang baru dia alami. Tapi Ranti justru dibuat bingung dengan ucapan Waluyo yang terus mengkhawatirkan Ranti
“Pak, maksud Bapak ngomong seperti itu kenapa? Ranti baik-baik saja kok Pak! Ranti hanya masih ketakutan dengan bayangan kedua laki-laki gak sopan tadi.” Ranti benar-benar bingung.
“Maksud kamu? Kamu ndak apa-apa gimana Ran? Jelas-jelas kedua preman itu sudah mengambil kehormatan kamu! Bisa-bisanya kamu bilang gak papa! Kamu ini gak waras atau gimana Ranti?” Waluyo emosi.
“Jadi, Bapak aneh dari tadi karena masalah ini? Bapak memikirkan Ranti sudah tidak gadis lagi? Ya ampun Pak, justru Ranti masih dilindungi sama Tuhan. Melalui mas Beni. Mas Beni yang sudah menyelamatkan Ranti dari kedua laki-laki yang berniat mengambil kehormatan Ranti.”
“Ranti juga sangat bersyukur Pak! Entah bagaimana kalau tidak ada mas Beni. Mungkin Ranti belum ada di sini saat ini! Ranti tak bisa bayangkan itu semua. Ranti sangat takut Pak.” Ranti sedikit menjelaskan.
Waluyo kembali memeluk Ranti. Kali ini pelukannya begitu erat. Waluyo tak bisa menahan kebahagiaannya saat ini. Dia juga lega karena pikirannya sudah salah.
“Alhamdulillah! Terima kasih Tuhan, Engkau telah melindungi anak gadis hamba. Tiada kata yang bisa hamba ungkapkan selain kata terima kasih!” Waluyo terus memeluk putri satu-satunya yang dia punya. Tak terasa kedua matanya berkaca-kaca menahan haru atas kebahagiaan besar ini.
“Mas Beni, sekali lagi Bapak ucapkan terima kasih banyak! Karena kamu sudah menyelamatkan masa depan Ranti. Kalau gak ada kamu bagaimana hidup Ranti, pasti akan menahan malu seumur hidupnya. Kami hutang budi sama kamu.” Usai memeluk Ranti, Waluyo kini memeluk Beni.
Sama seperti suaminya yang tak bisa menahan kebahagiaan ini. Kedua mata Sumi pun kembali berkaca-kaca melihat kejadian mengharukan ini. Sumi tak berhenti bersyukur atas segala perlindungan Tuhan pada anak gadis satu-satunya.
“Iya Pak, saya ikhlas. Karena sudah menjadi kewajiban sesama manusia untuk saling tolong-menolong. Apalagi untuk mereka yang membutuhkan. Seperti neng Ranti tadi.” Beni sopan.
“Owalah Pak, berarti Bapak tadi bersikap dan berucap aneh karena menganggap Ranti sudah kehilangan kegadisannya?” Sumi sedikit tersenyum sembari geleng-geleng kepala.
“Iya Bu. Bapak sudah takut banget! Pokoknya pikiran Bapak saat itu sudah kalut lah! Membayangkan hidup Ranti ke depannya saja Bapak gak sanggup. Tapi untunglah semua itu hanya salah paham saja!” Waluyo tak berhenti bersyukur.
“Bapak kok bisa berpikiran kalau Ranti mengalami nasib buruk seperti itu, dengar dari mana?” Sumi ingin tahu.
“Begini loh Bu! Tadi Bapak puter-puter di beberapa gang kecil yang mau ke kontrakan kita. Terus pas di gang depan yang tembusnya jalan besar, di situ ramai banyak orang kumpul-kumpul.”
“Bapak penasaran. Bilang salah satu ibu, tadi ada anak gadis malang yang habis dikerjai dua preman. Bajunya terkoyak terus rambutnya berantakan. Coba sebagai orang tua, pikiran Bapak langsung ke mana-mana. Apalagi pas sampai rumah, lihat Ranti sama seperti yang ibu di gang tadi bilang.” Waluyo menjelaskan.
“Owalah, jadi begitu to Pak ceritanya! Pantas saja sikap sama ucapan Bapak aneh! Wong anaknya pulang bukannya senang malah cemberut terus! Jadi, itu alasannya.” Sumi tersenyum.
“Iya Bu, Bapak jadi malu sudah berpikiran buruk tentang Ranti.” Waluyo tersipu.
“Ya ampun Pak, kenapa malu? Itu tandanya Bapak mencemaskan Ranti. Bapak perhatian sama Ranti.” Sumi menyenangkan hati suaminya agar tak merasa malu di depan istri dan Ranti. Apalagi di ruang tamu sekaligus ruang serbaguna mereka ada laki-laki penolong Ranti.
Keempatnya tertawa bersama. Kebahagiaan di balik musibah ini menjadi pelajaran buat keluarga Ranti. Orang tua Ranti harus lebih hati-hati menjaga anak gadisnya. Jangan sampai kejadian seperti ini terulang kagi. Karena jika itu terjadi, belum tentu Ranti bisa beruntung seperti ini. Tuhan masih melindungi anak gadis mereka.
***
Meski Ranti tidak sempat dinodai. Rasa trauma Ranti tetap membekas. Bayangan kedua wajah laki-laki yang diselimuti nafsu terus terbayang di pikiran Ranti. Saat salah satu tangan mereka menarik paksa pakaian Ranti hingga koyak.
Belum lagi, bekas sentuhan tangan mereka yang masih terasa di wajah serta rambut Ranti sampai saat ini. Sangat sulit bagi Ranti untuk melupakan semua kejadian itu.
“Ran, kamu kenapa?” Tanya Sumi yang melihat Ranti tampak ketakutan.
“Ranti takut Bu! Ranti takut, orang-orang tadi akan kembali mendatangi Ranti.” Tubuh Ranti bergetar.
“Kamu gak papa Nok! Kamu sudah di rumah, kamu sudah selamat. Di sini ada Ibu, bapak, sama mas Beni juga. Orang-orang itu gak bakal berani ganggu kamu lagi. Mulai sekarang, Ibu sama bapak akan selalu menjaga kamu! Di manapun kamu berada!” Sumi menenangkan.
“Benar ya Bu? Ibu akan temani Ranti terus. Ranti takut!” Ranti masih ketakutan.
“Iya Ranti!” Sumi memeluk anak gadisnya.
“Semua ini salah Ranti juga! Coba Ranti mau mendengar ucapan Ibu, pasti Ranti gak akan mengalami kejadian seperti ini. Maafkan aku ya Bu?” Ranti menyesal.
“Iya gak papa Nok. Ibu sudah maafkan kamu. Dari kejadian ini, Ibu harap kamu gak akan kabur-kaburan lagi seperti tadi. Kota Jakarta tak sebaik yang kamu bayangkan! Begitu juga dengan orang-orangnya, di mana ada kesempatan apa saja akan dilakukan. Untung saja ada mas Beni.” Sumi menasihati Ranti.
“Iya Bu! Ranti salah. Mulai sekarang Ranti akan dengarkan ucapan Ibu sama bapak! Dan satu lagi Bu, Ranti menyesal telah membela mas Anton. Ranti menyukai orang yang salah. Ternyata benar kata Ibu, mas Anton sudah memiliki kekasih. Tadi di jalan, Ranti sempat bertemu mas Anton berdua dengan kekasihnya.” Ranti dengan muka masam.
“Ya sudah gak papa, yang penting kamu sudah tahu sendiri seperti apa itu Anton. Sebenarnya dia anak yang baik, cuma dia itu suka menggoda perempuan! Apalagi dengan wajah cantik seperti anak Ibu.” Sumi meledek Ranti.
“Satu lagi pelajaran yang kamu dapat! Jangan menilai laki-laki dari luar saja! Karena ucapan yang manis belum tentu manis juga dalam hatinya.” Sumi menasihati.
“Iya Bu! Ah Ibu ini, Ranti kan jadi malu.” Ranti tersipu.
“Oh ya, sampai lupa di sini ada Mas Beni. Maaf ya Mas, malah asyik ngomong sendiri. Mas Beni jadi dicueki.” Sumi tidak enak dengan Beni.
“Ranti, kamu tolong buatkan minum untuk nak Beni! Dari tadi Ibu panik mikirin kamu, jadi gak sempat buat minum!” Sumi meminta Ranti membuat minuman untuk Beni.
“Gak papa Bu. Gak perlu repot-repot!” Beni menolak.
“Gak papa, Nak Beni kan baru pertama ke sini. Nak Beni juga yang sudah menyelamatkan anak saya. Sudah sepantasnya saya dan suami mengucapkan banyak terima kasih. Tapi maaf ya, hanya bisa kasih minum!” Sumi tersenyum.
“Terus Mas Beni ini, mau ke mana atau dari mana ceritanya?” Tanya Sumi lagi.
“Saya baru pulang kerja. Saya tinggal tidak jauh dari kontrakan Ibu. Hanya selisih beberapa gang dari sini. Makanya pas lewat tadi, saya bisa dengar suara Neng Ranti.” Beni mengenalkan dirinya.
“Memangnya kalau boleh tahu, Mas Beni ini kerja di mana? Kok pakaiannya resmi begitu?” Sumi ingin tahu.
Beni terdiam. Dia bingung harus menjawab apa. Tak mungkin Beni bercerita tentang pekerjaan sebenarnya. Yang ada, Ranti gak mau dekat sama dia. Beni tak mau menyia-siakan kesempatan ini. Kapan lagi bisa dekat dengan perempuan secantik Ranti. Apalagi di zaman sekarang, banyak perempuan menilai laki-laki dari kesuksesan mereka.
“Ehm, saya bekerja di salah satu perusahaan di daerah sini juga. Saya sebagai manajer keuangan. Belum apa-apa sih.” Beni merendah.
“Owalah Mas, wong manajer keuangan kok bukan apa-apa! Mas ini, orangnya merendah ya?” Sumi memuji.
Tak lama, Ranti datang sembari membawa 3 gelas minuman untuk Beni dan kedua orang tuanya.
“Ran, mas Beni ini orangnya gak sombong! Masa sudah jadi manajer keuangan, bilangnya belum apa-apa. Hebat ya mas Beni ini! Masih muda, baik, sukses juga.” Sumi memuji Beni di depan Ranti.
“Biasa saja Bu, gak usah berlebihan! Kalau neng Ranti sendiri kerja atau kuliah?” Tanya Beni balik.
“Ranti baru lulus sekolah. Dia pengin jadi sekretaris. Sapa tahu di tempat kerja Mas Beni ada lowongan. Minta tolong dikabari ya Mas?” Sumi sedikit menjelaskan.
“Iya Bu, nanti kalau ada saya kabari neng Ranti!”
Mereka mengobrol cukup lama. Karena malam sudah larut. Beni segera berpamitan. Dia harus segera pulang.