"Dewa! Cepat ikut saya sebentar." Damar yang baru saja tiba di ruang pesta langsung menemui Dewa yang sedang berbincang-bincang dengan beberapa orang.
"Baik, Tuan." Dewa langsung menganggukan kepala ke arah sang majikan yang berdiri di sampingnya. Setelah berpamitan dengan beberapa orang yang ada di tempat itu. Dewa langsung melangkahkan kakinya menuju ke arah Damar yang berdiri tidak jauh dari tempatnya.
Sambil sedikit membungkukkan tubuhnya.
"Ada yang bisa saya bantu, Tuan?” tanya Dewa.
"Cepat katakan pada seluruh tamu undangan! Jika acara akan dimulai dua jam lagi. Karena pengantin pria dan keluarganya saat ini sedang terjebak macet!" perintah Damar sambil memasukkan tangannya ke saku celana. "Setelah itu kamu temui aku di ruang kerja."
"Baik, Tuan." Pria itu langsung berjalan ke arah kerumunan tamu yang sudah menunggu acara pesta pernikahan Maura dan Marko. Setelah membisikkan pesan yang disampaikan Damar kepada seorang MC. Dewa langsungsung berjalan ke ruang kerja sang majikan.
Tidak berapa lama pria berusia tiga puluh tujuh tahun itu sudah berdiri di hadapan Damar. Ia terlihat bingung saat melihat Maura dan Linda sudah berada di ruangan yang sama.
"Dewa, menikahlah dengan putriku." Damar yang sejak tadi duduk di depan Dewa langsung berdiri.
"Menikah dengan Nona Maura? Ta-tapi, Tuan …." Dewa terlihat terkejut dengan permintaan majikannya itu.
"Apa Papa enggak salah? Memintaku menikah dengan sopir miskin dan tua ini." Maura yang sejak tadi duduk di sofa sambil menangis kini sudah berdiri di hadapan Damar.
"Pa, apa kamu yakin mau menikahkan putri kita dengan sopir pribadi mu? Coba kamu pikirkan lagi keputusanmu." Linda yang sejak tadi berdiri di samping Damar langsung memegang tangan suaminya. Ia juga terlihat tidak rela jika putri kesayangannya harus menikah dengan pria itu. Tidak terbayangkan bagaimana susahnya hidup Maura jika ia menjadi istri seorang sopir.
"Kita nggak punya pilihan lain. Nggak mungkin kita batalkan pernikahan ini, sementara semua tamu dan penghulu sudah menunggu di luar."
"Pokoknya aku nggak mau menikah dengan sopir tua ini, lebih baik aku nggak punya suami daripada harus menikah dengan orang miskin seperti dia." Maura mengarahkan pandangannya ke arah Dewa dengan angkuh. Nafasnya terlihat memburu dengan cepat, sambil kedua tangannya mengepal menahan amarah yang sedang meledak-ledak di dadanya.
"Maaf, Tuan. Bukannya saya mau membantah perintah, tapi saya juga menolak permintaan Tuan untuk menikah dengan Non Maura."
Seharusnya hari ini adalah hari yang paling membahagiakan bagi keluarga besar Damar. Pasalnya putri tunggalnya yang bernama Maura Adelia akan melangsungkan pernikahannya dengan Marko Pratama seorang putra pengusaha Furniture terbesar di Jakarta. Namun, rupanya semua itu sirna, Marko yang seharusnya datang tepat waktu.
Justru tidak menampakkan diri di pesta tersebut. Bahkan berkali-kali, Maura yang sudah siap dengan gaun pengantin terus berusaha menghubunginya. Tetapi tidak ada jawaban dari pria itu, bahkan nomer pria itu juga tidak aktif. Damar yang tidak ingin menanggung malu, akhirnya meminta Dewa agar bersedia menggantikan Marko sebagai pengantin pria.
"Baik jika kalian menolak." Pria itu memasukkan tangannya ke dalam saku celana dan membalikkan tubuhnya membelakangi Dewa dan Maura. "Maura, mulai hari ini kamu bukan lagi putriku. Sekarang cepat kemasi barang-barangmu dan pergi dari rumah ini."
"Tapi, Pa."
"Dan kamu Dewa silahkan keluar dari rumah saya, satu lagi mulai besok kamu tidak perlu datang kemari lagi karena mulai hari ini kamu aku pecat."
Ancaman Damar rupanya berhasil membuat dua orang itu ketakutan. Terlebih Maura yang saat ini sedang mengandung anak Marko. Bagaimana bisa ia hidup tanpa keluarga dengan keadaan hamil, siapa yang akan menerimanya setelah keluar dari rumah ini.
"Baik. Aku mau menikah dengan sopir ini." Jawaban itu terdengar keluar dari mulut Maura. Walaupun sebenarnya terkesan seperti dipaksakan. Tapi bagi Damar itu tidak penting, yang terpenting nama baiknya tidak tercemar gara-gara kehamilan Maura yang tanpa suami.
"Kalau memang itu yang Tuan minta, saya juga bersedia menerima pernikahan ini." Tidak berapa lama Dewa juga menyatakan kesanggupannya untuk menikah dengan Maura.
Damar yang sejak tadi berdiri membelakangi anak dan sopirnya terlihat tersenyum. Ia terlihat bahagia karena berhasil membuat dua orang itu takut, hingga akhirnya bersedia menerima permintaannya.
"Bagus. Dewa, setelah ini kamu masuk ke dalam kamar dan ganti pakaianmu." Pria itu menoleh ke arah Dewa yang hanya bisa menjawab dengan anggukan. Tidak berapa lama pria itu langsung meninggalkan ruang kerja untuk segera bersiap.
"Sekarang, ayo kita menemui para tamu di luar." Damar segera melangkah terlebih dahulu.
***
Kini pesta pernikahan antara Dewa dan Maura telah digelar dengan begitu meriah. Para tamu yang hadir saat itu terlihat begitu bingung dengan kehadiran Dewa sebagai seorang pengantin. Pasalnya di dalam undangan yang tersebar nama pria itu bukanlah Dewa melainkan Marko Pratama.
Ketika acara telah selesai dan semua tamu akhirnya pulang ke rumah mereka masing-masing. Damar mengajak keluarganya masuk ke ruang keluarga.
"Maura, Dewa. Cepat bereskan semua pakaian kalian! Malam ini kalian bisa menikmati malam pengantin di hotel yang sudah aku pesan untuk kalian." Damar menoleh ke arah Maura dan Dewa secara bergantian. "Dan kamu Maura, mulai hari ini Papa nggak akan ijinin kamu pulang ke rumah ini."
"Maksud Papa apa? Apa Papa mau mengusirku dari rumah ini." Wajah wanita itu kini menatap tajam ke arah Damar. Ia mulai mengepalkan tangannya, berusaha menguatkan kakinya. Dan berharap semua dugaannya salah.
"Kamu sudah menikah, jadi sudah sepatutnya kamu hidup bersama suami mu." Damar memalingkan wajahnya, sebenarnya ia juga tidak tega membiarkan putri tunggalnya hidup susah bersama Dewa.
"Enggak! Aku nggak mau," ia menggelengkan kepalanya sambil terus memandang sang ayah. "Ma, tolong bujuk Papa agar dia nggak mengusirku dari sini. Aku mohon, Ma."
"Pa. Apa nggak bisa Maura tinggal di rumah ini bersama kita? Kasihan dia, Pa. Bagaimana kalau dia kesusahan di luar sana." Linda mulai berjalan mendekati suaminya yang berdiri tidak jauh dari tempatnya saat ini.
Maura terlihat begitu berharap jika sang ayah mau merubah keputusannya. Namun, pria yang sudah memiliki banyak uban di kepalanya hanya terdiam tanpa mau memandang wajah Maura yang masih berdiri di belakangnya.
"Dewa, cepat bawa Maura keluar dari rumah ini." Damar berteriak tanpa menoleh ke arah Maura. Seketika air mata gadis cantik itu menetes tanpa bisa dibendung kembali.
Sambil memegang tangan Maura dengan lembut. "Ayo kita pergi dari rumah ini."
"Lepaskan aku! Kamu nggak berhak memerintahku seperti itu." Gadis itu langsung menarik tangannya dengan kasar. "Papa nggak bisa mengusirku seperti ini, aku anak Papa. Jadi aku juga berhak tinggal di rumah ini."
"Kamu memang putri ku, tapi apa kamu mau keberadaanmu mencoreng nama baik keluarga kita? Apalagi dengan keha--" Damar langsung menghentikan ucapannya setelah Linda memegang tangannya. Tidak ingin jika suaminya semakin terbawa emosi Linda segera mengajak sang suami masuk ke dalam kamar.