Bab 1. Awal Kehamilan

1106 Kata
"Aku hamil! Dan kamu harus bertanggung jawab." Maura melemparkan sebuah alat tes kehamilan ke arah Marko. Ia terlihat begitu ketakutan dengan apa yang dialaminya saat ini. Marko yang saat itu sedang menikmati makan siangnya di kantin kampus langsung terkejut, ia segera mengambil benda pipih yang ada di samping mangkok baksonya. Mata pria itu langsung membulat sempurna saat melihat dua garis terpampang jelas di alat test tersebut. Marko langsung terlihat melirik ke kanan dan kiri seolah khawatir jika ada yang mendengar ucapan Maura. Hingga akhirnya ia langsung menarik tangan gadis yang masih berdiri di sampingnya. "Kamu yakin dengan hasil test ini." Marko terlihat gugup sambil mendekatkan wajahnya ke arah Maura. Sikap pria itu tentunya membuat sang kekasih merasa sedikit aneh. Pasalnya Marko seolah tidak percaya dengan apa yang diketahuinya baru saja. "Kamu pikir aku bercanda! Aku nggak mau tahu, pokoknya kamu harus segera nikahin aku secepatnya. Kalau enggak aku bakal laporin hal ini ke kantor Polisi," ancam Maura yang terlihat serius dengan ucapannya. Saat ini tidak ada pilihan lain bagi Maura selain melepaskan pendidikan S1-nya dan memilih menikah dengan sang kekasih. Semua ini ia lakukan demi menjaga nama baik orang tuanya. "Ok … ok, aku janji bakal nikahin kamu, tapi tolong beri aku waktu untuk memikirkan bagaimana caranya menyampaikan hal ini pada orang tua kita." Marko berusaha menenangkan Maura yang terus menatapnya tajam. Marko masih tidak menyangka jika hubungan terlarang yang selama ini mereka lakukan rupanya menghasilkan benih dalam kandungan Maura-kekasihnya. "Baik. Aku beri waktu untuk kamu pikirkan semuanya, tapi ingat. Setelah itu kamu harus benar-benar nikahin aku secepatnya." "Kamu tenang aja, aku bakalan tanggung jawab. Kok, lagi pula anak ini 'kan darah dagingku.” Pria itu langsung mencium kening Maura. Setelah berhasil meyakinkan Maura, Marko langsung berlari meninggalkan gadis itu sendiri. Sementara Maura masih terus memperhatikan sang kekasih dari kejauhan. Ada rasa lega dalam hatinya saat mendengar jika pria yang dicintainya itu bersedia bertanggung jawab atas kehamilannya. Marko Putra Pratama adalah putra tunggal dari seorang pengusaha properti terbesar di Indonesia. Sementara Maura Adelia adalah putri tunggal seorang pengusaha kuliner di Jakarta dengan beberapa cabang di tiga kota besar yang ada di Indonesia. Keduanya juga merupakan salah satu mahasiswa di sebuah Universitas swasta ternama di Jakarta. Sudah hampir dua tahun ini mereka memiliki hubungan spesial. Bahkan keduanya kerap melakukan hubungan terlarang di rumah Marko. Dan kini hubungan tersebut telah menjadi benih di dalam rahim Maura. Hal ini tentunya membuat Marko dan Maura bingung. Selain usia yang terlalu muda, keduanya juga sedang dalam semester akhir. "Semoga dia benar-benar mau bertanggung jawab atas anak ini, awas aja kalau sampai dia menolak mengakui anak ini. Aku pasti akan langsung melaporkannya ke Polisi," Cicitnya yang kini sudah duduk di sebuah bangku kayu yang ada di taman kampus sambil mengusap perutnya yang masih rata. Gadis itu terlihat gelisah sambil sesekali mengedarkan pandangannya ke arah seluruh kampus. Seolah sedang menunggu seseorang "Selamat siang, Non.” Sebuah suara tiba-tiba mengejutkan Maura yang larut dalam lamunannya. Seorang pria tampan berpakaian rapi lengkap dengan kacamata hitam yang digunakannya kini sudah berdiri di hadapan Maura. Dewa Atmaja, seorang pria tampan yang hampir empat tahun ini menjadi supir pribadi keluarga Maura, sekaligus orang kepercayaan Damar-ayah Maura. “Darimana saja kamu? Jam segini baru datang.” Maura langsung bangkit dari tempat duduknya. “Maaf, Non. Hari ini jalanan sangat padat, jadi saya terlambat.” Dewa menundukkan wajahnya saat berhadapan dengan Maura. “Ya udah ayo.” Maura langsung berjalan mendahului Dewa yang masih menunduk. Setelah sampai di dekat mobil, Dewa segera membuka pintu mobil untuk Maura. “Silahkan, Non.” Dengan angkuh Maura mulai masuk ke dalam mobil. Maura memang memiliki sifat keras kepala, manja dan sombong. Ia selalu menganggap rendah semua orang yang memiliki ekonomi di bawahnya. Semoga Marko benar-benar mau bertanggung jawab,” batin Maura sambil menatap jendela mobil yang kini sudah menyusuri jalanan Ibu Kota. “Non Maura kenapa? Saya lihat sejak tadi Non Maura murung.” Dewa yang sejak tadi memperhatikan Maura dari cermin kecil mulai memberanikan diri bertanya. “Bukan urusanmu, lebih baik kamu fokus saja mengemudi,” jawab Maura dengan ketus. “Baik, Non.” Dewa langsung mengalihkan pandangannya pada jalanan yang ada di hadapannya. *** Tiga hari berlalu, Marko yang selama beberapa hari ini tidak menampakkan batang hidungnya. Kini sudah kembali hadir di kampus. Senyum manis terukir di bibir gadis cantik itu saat melihat kedatangan sang kekasih, dengan segera ia langsung berdiri dan berjalan ke arah Marko yang sedang memarkirkan motor kesayangannya. "Gimana? Apa kamu sudah bicara dengan orang tuamu. Kapan mereka akan datang melamarku? Kamu tahu sendirikan kandunganku ini semakin hari akan semakin membesar." Setelah memarkirkan motornya, Marko segera menggandeng tangan sang kekasih dan mengajaknya ke kantin. Setelah memesan dua mangkuk bakso dan dua gelas teh manis dingin. Mereka langsung duduk di sebuah kursi yang ada di pojokan kantin. Pria itu memandang wajah kekasihnya dengan sangat lekat dan senyum yang sangat menawan. Perlahan Marko menggenggam tangan Maura dan mendekat ke arahnya. "Malam ini aku akan menemui orang tuamu, dan meminangmu, Sayang." Wajah gadis itu seketika berubah, matanya yang indah terlihat berbinar-binar mendengar jawaban sang kekasih. Ia tidak menyangka jika pria yang selama ini terkenal sebagai playboy di kampus justru akan segera menjadi suaminya. Waktu berlalu begitu cepat, tepat hari ini pernikahan Maura dan Marko akan digelar karena Maura terus mendesak agar pria itu menikahinya. Wanita itu takut jika kandungannya semakin besar dan akan menimbulkan masalah yang tidak diinginkan. Semua acara pun sudah disiapkan. Pesta mewah yang mengundang banyak tamu dengan dekor yang begitu indah. Maura pun tampak sudah cantik dengan gaun pengantinnya. Namun, sampai para tamu sudah datang semua serta penghulu menunggu, Marko tak kunjung datang. "Dimana Marko, kenapa sampai sekarang dia tidak juga datang?” ucap Maura yang masih berada di dalam kamarnya. Ia terlihat begitu panik sambil menggenggam ponsel di tangannya. Gadis itu kini sudah menggunakan gaun pengantin lengkap. Beberapa kali ia mencoba untuk menghubungi Marko. Namun, nomor tersebut justru dalam keadaan tidak aktif. Damar yang sejak tadi menemui para tamu memutuskan untuk masuk ke dalam kamar Maura. "Maura! Apa kamu sudah menghubungi Marko? Para tamu dan penghulu sudah datang dan menunggu sejak tadi." Tatapan mata pria itu terlihat begitu tajam, terlebih saat melihat perut sang putri yang masih terlihat rata. "Aku sudah menghubunginya, tapi …." Maura tiba-tiba menghentikan ucapanya. Ia langsung menunduk dan terlihat menahan air matanya. Hatinya saat ini dalam keadaan tidak baik, ketakutan akan kehamilannya membuat Maura terlihat murung. "Bagaimana ini. Pa? Apa yang harus kita lakukan sekarang? Nggak mungkin kita membatalkan pernikahan ini, apa kata orang nanti." Utami terlihat khawatir keadaan siang itu. Sambil memeluk pundak Maura, ia terus berusaha untuk menguatkan putri kesayangannya. Sementara itu Damar yang terlihat bingung langsung keluar dari kamar tersebut.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN