"Kamu tidur di sana!" Wanita itu menunjuk ke arah sebuah sofa yang ada di sudut kamar. "Kita memang sudah menjadi suami istri yang sah, tapi bukan berarti kamu bisa tidur bersamaku." Maura melemparkan bantal ke arah Dewa yang baru saja menutup pintu kamar hotel. Wanita muda itu terlihat begitu sangat membenci pria yang baru beberapa jam yang lalu menikahinya.
"Baik, aku akan tidur di sofa. Lagipula siapa juga yang mau tidur dengan bocil sepertimu." Pria itu langsung mengambil bantal yang berada tepat di bawah kakinya. Dengan segera ia pun langsung berjalan menuju sofa, meninggalkan Maura yang masih berdiri sambil menatapnya dengan penuh kebencian.
Jika biasanya pasangan pengantin baru menghabiskan malam panas bersama. Berbeda dengan Dewa dan Maura yang justru tidur terpisah. Keesokan paginya, Maura yang baru saja bangun dari tidurnya langsung segera berjalan ke arah kamar mandi untuk membersihkan dirinya.
Setelah beberapa saat menikmati segarnya air. Wanita muda itu segera menemui Dewa yang masih tertidur pulas di sofa.
"Eh! Sopir. Cepat bangun, udah jam berapa ini." Maura berdiri di dekat Dewa sambil bertolak pinggang. Berkali-kali wanita itu berusaha membangunkan suaminya. Namun, hal itu tidak membuat Dewa terbangun dari tidurnya. Pria itu justru menutup tubuhnya dengan selimut yang dikenakannya.
"Dasar kebo! Ayo cepat bangun. Perutku sudah lapar, tahu!" bentak Maura sambil menarik tangan Dewa, hingga membuat pria itu terjatuh ke lantai.
Dewa yang tidak terima dengan perlakuan Maura segera berdiri.
"Apa enggak bisa kau membangunkanku dengan perlahan! Apa kamu lupa kalau sekarang aku udah jadi suamimu."
"Eh. Sopir jelek, dari tadi aku sudah membangunkanmu dengan pelan. Kamunya aja yang nggak sadar, tidur persis seperti orang mati. Lagian siapa juga yang mau nikah sama kamu." Maura melipat tangannya sambil membuang muka. Ia terlihat malas saat berhadapan dengan Dewa.
"Dasar bocah! Kalau emang kamu nggak mau nikah sama aku kenapa kamu nggak nolak." Dewa mendekatkan wajahnya ke arah Maura yang masih menatapnya tajam. Sesaat mata mereka saling memandang. Hingga akhirnya Maura yang tersadar dari lamunannya langsung mendorong tubuh pria itu hingga membuatnya jatuh ke sofa.
Maura yang tidak ingin berlama-lama bicara dengan Dewa langsung berjalan ke arah sebuah meja rias.
"Sudah cepat mandi sana, setelah itu kita makan di restoran bawah."
"Kamu pergi saja sendiri, kamu pikir aku bodyguardmu yang harus ikuti kemanapun kamu pergi." Pria itu langsung kembali membaringkan tubuhnya ke sofa dan langsung menutup wajahnya dengan selimut. Maura yang melihat hal itu tentu sangat kesal, pasalnya perutnya saat ini sudah begitu sangat lapar.
Maura yang merasa tidak ingin membuang waktunya, langsung keluar dari kamar. Dengan rasa penuh kesal wanita itu berjalan menyusuri lorong hotel menuju ke sebuah restoran yang ada di lantai bawah. Sementara itu, Dewa yang sejak tadi menutup wajahnya dengan selimut kini mulai membukanya kembali.
"Memang dia pikir dia siapa, bisa-bisanya memerintah ku seenak jidatnya."
Sambil bangun dari tempat tidurnya dan duduk di sofa.
"Bagaimana kalau terjadi apa-apa dengan bocah itu? Gawat! Bisa-bisa aku dibunuh Tuan Damar."
Dewa yang awalnya ingin melanjutkan tidurnya. Memutuskan untuk segera mandi dan segera menyusul Maura yang sudah ada di restoran bawah. Terlihat dari kejauhan Maura sedang menikmati secangkir teh dan sepotong roti.
"Mau apa kamu ke sini? Bukannya kamu bilang akan melanjutkan tidur," ucap Maura dengan ketus. Tanpa mempersilahkan sang suami untuk duduk, wanita itu langsung mengambil cangkir di hadapannya dan mulai meminumnya.
"Aku lapar, makanya aku kemari." Pria itu langsung duduk di hadapan Maura. Ia langsung mengedarkan pandangannya ke seluruh restoran untuk mencari seorang pelayan.
Dewa melambaikan tangannya pada seorang pelayan yang berdiri beberapa meter darinya.
"Mas! Minta daftar menunya."
"Silahkan, Tuan." Pria itu memberikan sebuah buku menu kepada Dewa. Dengan segera pria itu memilih beberapa menu makanan dan minuman yang tertulis di dalam buku tersebut. Salah satunya adalah sebuah daging panggang dengan kentang goreng.
"Dasar orang kampung." Maura memalingkan pandangannya dari Dewa. Ia terlihat meneguk kembali teh hangat yang masih ada di tangannya. Sementara Dewa hanya memandangnya dengan senyum kecil.
Satu jam kemudian, makanan yang ia pesan akhirnya tiba. Dewa yang sudah menantikan pesanannya mulai mengambil sendok yang sudah tertata di samping piringnya.
Maura yang saat itu duduk di hadapan Dewa, tiba-tiba menutup mulutnya dengan kedua tangannya. Ia terlihat menahan mual saat melihat daging panggang yang ada di hadapannya. Hal itu sontak membuat sang suami terkejut dan langsung memberikan secangkir teh manis pada sang istri.
"Kamu baik-baik saja 'kan? Apa kamu ingin kita kembali ke kamar sekarang?” tanya Dewa sambil memberikan cangkir teh kepada Maura. Bahkan dengan segera ia langsung berdiri dan berjalan dibelakang Maura. Perlahan ia langsung memijat leher Maura yang masih duduk di kursi.
Sambil melepaskan tangan Dewa dari lehernya. Dan langsung berdiri dari tempat duduknya.
"Aku nggak apa-apa. Lanjutkan saja makan mu, aku bisa kembali ke kamar sendiri." Wanita itu segera berjalan meninggalkan restoran dengan terburu-buru sambil menahan mual di perutnya.
Beberapa menit kemudian, Dewa yang sudah tidak memiliki selera makan langsung segera kembali ke kamarnya. Pria itu terlihat begitu mengkhawatirkan keadaan Maura.
Baru saja ia tiba di kamar hotel, Dewa yang sedang menutup pintu mendengar Maura masih muntah di kamar mandi. Dengan segera ia langsung berjalan ke arah kamar mandi dan mengetuknya.
"Maura! Maura, apa kamu baik-baik saja? Bagaimana kalau kita ke Dokter sekarang."
"Dasar pria bawel, kenapa dia harus mengikutiku kemari sih." Gerutu Maura sambil membersihkan mulutnya dengan air yang mengalir.
"Maura! Apa kamu mendengarku?” teriak Dewa sambil terus mengetuk pintu kamar mandi.
Maura yang merasa terganggu dengan ketukan pintu dan teriakan Dewa langsung membuka pintu kamar mandi.
"Ada apa sih! Apa nggak bisa kamu berhenti ikut campur semua urusanku?"
"Dasar bocah, aku itu hanya mengkhawatirkan keadaanmu. Bukan mau ikut campur urusanmu," jawab Dewa sambil memukul kepala Maura dengan pelan. Hingga membuat gadis itu terkejut dan langsung memegang kepalanya yang tidak sakit.
"Dari pada kamu sibuk dengan urusan orang lain, lebih baik sekarang kamu cepat kemasi barang-barang kita! Karena aku mau pulang sekarang." Maura berjalan meninggalkan Dewa yang masih berdiri di depan kamar mandi. Gadis itu berjalan ke arah tempat tidur dengan lemas. Sementara Dewa terus memperhatikan Maura dengan rasa heran.
"Sepertinya ada yang aneh? Apa mungkin dia hamil, tapi bagaimana mungkin. Sementara kita saja belum melakukan malam pertama," batin Dewa sambil terus memperhatikan Maura.
"Kenapa kamu masih berdiri disitu, apa kamu belum pernah melihat perempuan muntah! Cepat kemasi barang-barang kita aku mau pulang hari ini juga." Gadis itu merebahkan tubuhnya di tempat tidur. Ia mulai menutup kedua matanya. Sebenarnya itu hanya rekayasa Maura untuk menghilangkan kecurigaan Dewa atas apa yang sudah terjadi hari ini.
"Kamu yakin nggak mau ke Dokter? Sudah beberapa kali kamu muntah, bahkan makananmu tadi aja nggak kamu sentuh sama sekali."
"Nggak perlu! Aku bisa urus diriku sendiri." Maura menoleh ke arah Dewa yang masih berdiri di depan kamar mandi. Dasar keras kepala, kata-kata itulah yang ada di pikiran Dewa saat ini. Hingga akhirnya ia mulai berjalan ke arah lemari pakaian dan langsung memasukkan barang-barang mereka ke dalam koper.
Setelah memastikan semua barang sudah masuk ke dalam tas. Dewa segera meletakkannya di dekat pintu, dan langsung membangunkan Maura yang sudah tertidur pulas.
Dewa yang sudah duduk di dekat Maura langsung mendekatkan bibirnya ke wajah gadis cantik itu. Hingga membuat Maura yang baru saja bangun langsung terkejut.
"Mau apa kamu! Jangan macam-macam, ya. Aku bisa melaporkanmu ke Polisi sekarang juga." Maura mendorong wajah sang suami dengan kuat, hingga membuat Dewa langsung terjatuh ke lantai.
"Dasar bocil. Kamu pikir pria dewasa sepertiku mau b********h dengan anak kecil sepertimu, geer. Aku hanya ingin membangunkanmu karena semua barang sudah aku masukkan ke dalam koper."
"Apa kamu bilang, aku bocil. Aku ini gadis remaja berusia 22 tahun … ."
"Lalu apa bedanya dengan bocil, bagi pria dewasa seperti aku yang usianya 15 tahun lebih tua darimu, kamu tetaplah anak kecil." Dewa memotong ucapan Maura dan langsung berjalan ke luar kamar hotel. Gadis itu terlihat begitu kesal dengan sikap sopir pribadi sang ayah. Sepanjang perjalanan keluar hotel gadis itu terus mengumpat sambil berjalan di belakang Dewa.
Tidak berapa lama keduanya sudah tiba di mobil. Dengan segera Maura yang sudah merasa pusing langsung masuk ke dalam mobil. Sementara Dewa yang baru saja selesai memasukkan barang-barang ke dalam bagasi langsung masuk ke dalam mobil dan menyalakan mesin. Perlahan mereka pun mulai meninggalkan hotel tersebut menuju ke sebuah rumah.
***
Maura terlihat bingung saat mobil yang mereka kendarai mulai memasuki halaman sebuah rumah. Ia terlihat mengedarkan pandangannya ke seluruh halaman rumah itu. Sebuah rumah mewah yang terlihat begitu asri dengan beberapa pepohonan di halaman depannya.
"Kok di sini, kenapa nggak ke rumah Mama."
"Apa kamu lupa, kalau papamu melarang kita pulang ke rumah itu." Dewa memarkirkan mobilnya di halaman rumah dan langsung mematikan mesin mobilnya. Tanpa memperdulikan Maura, pria itu langsung turun dari mobil dan berjalan ke arah bagasi.
"Silahkan masuk, Non." Seorang wanita paruh baya tiba-tiba membuka pintu mobil Maura, Hingga membuat gadis itu terkejut.
"Terima kasih," jawab Maura dengan ragu. "Mbok ini siapa."
"Panggil saja saya Mbok Darmi, saya adalah asisten rumah tangga di rumah ini. Saya juga adalah … ."
"Mbok, cepat bawa barang-barang ini masuk ke dalam kamar. Biar gadis manja itu aku yang menemaninya." Dewa langsung memotong ucapan Mbok Darmi. Setelah berpamitan pada Maura, wanita paruh baya itu segera meraih dua buah koper dan segera menariknya masuk ke dalam rumah.
"Rumah siapa ini?" tanya Maura sambil berjalan mengikuti langkah suaminya.
Dewa terlihat menghirup nafas dalam dan menghembuskannya dengan kasar.
"I-ini rumah yang disewa Papa mu." Dewa terus berjalan tanpa menoleh ke arah Maura yang masih terlihat bingung.
"Wah! Mewah sekali rumah ini, tapi kenapa Papa nggak pernah bilang kalau dia menyewa rumah mewah ini.” Maura terlihat begitu takjub dengan arsitektur modern yang ditampilkan rumah itu. Selama ini bagi Maura rumah milik orang tuanya adalah rumah paling mewah dan megah di bandingkan para pengusaha sukses lainnya. Namun, kini ia justru terkejut saat melihat kemewahan yang ada di hadapannya.
“Ehm … i-itu, itu karena dia ingin memberi kejutan untukmu.” Dewa terlihat begitu gugup.
“Kejutan, aneh,” ucap Maura.
Sambil berdiri di dekat anak tangga dan memasukkan tangannya ke saku celana.
"Bagaimana, Mbok. Apa kamarnya sudah siap?” tanya Dewa saat Mbok Darmi sudah kembali dari kamar.
"Sudah, Tuan. Semua sudah saya siapkan satu jam yang lalu." Mbok Darmi menundukkan kepalanya sambil sedikit membungkuk di hadapan Dewa.
"Baik. Terima kasih, sekarang Mbok boleh kembali ke dapur!" perintah Dewa sambil melepas kaca mata hitam yang sejak tadi ia gunakan.
"Pria aneh, padahal ini rumah sewaan papaku, tapi kenapa tingkahnya seperti pemilik rumah." Maura melirik ke arah Dewa sambil melipat tangannya. Ia terlihat muak melihat sikap Dewa yang seolah seperti tuan besar di rumah itu. Padahal ia hanyalah seorang sopir miskin yang beruntung karena sudah menikah dengan putri tunggal seorang pengusaha sukses dan kaya.
"Sekarang kamu masuk ke dalam kamar dan istirahat, dan satu lagi. Kamarmu ada di pojok paling kanan."
Dewa memang hanya seorang sopir pribadi keluarga Atmaja. Namun, pria berkulit putih itu memiliki penampilan yang sangat keren dan modern berbeda dengan sopir pribadi kebanyakan. Bahkan karena penampilannya yang selalu rapi dan kacamata hitam yang selalu digunakannya, membuat beberapa orang berpikir jika pria itu adalah salah satu pengusaha sukses.
Tanpa menunggu lagi Maura langsung berjalan ke arah kamar yang disebutkan oleh suaminya. Baru saja kakinya memasuki kamar utama di rumah itu, kedua mata Maura langsung membulat sempurna saat melihat ornamen yang ada di dalam kamar tersebut. Sebuah ornamen bergaya eropa tertata rapi di kamar ini.
"Rumah ini benar-benar keren dan mewah. Bahkan lebih mewah daripada rumahku." Maura memperhatikan sekeliling kamar itu. Matanya terlihat begitu takjub dengan apa yang ia lihat saat ini. Cukup lama ia mengagumi kamar utama yang kini menjadi miliknya, hingga tiba-tiba rasa haus mulai hadir di kerongkongannya.
Setelah meletakkan tas jinjing miliknya di atas tempat tidur. Gadis itu segera berjalan ke luar kamar untuk menuju ke arah dapur. Belum juga ia tiba di dapur ia melihat Dewa berbicara dengan seorang pria di ruang tamu.
Perlahan Maura mulai berjalan mendekat ke arah Dewa.
“Maaf, jika kedatangan saya mengganggu Mas Dewa, tapi saya diminta Nyonya besar kemari untuk menyampaikan jika Tuan dan Nyonya besar akan kemari besok lusa. Jadi mereka minta agar Mas Dewa meluangkan sedikit waktu,” ucap pria berseragam safari.
“Tuan dan Nyonya besar. Mas Dewa, memangnya siapa Dewa, kenapa pria itu terlihat begitu menghormatinya?” ucap Maura lirih.