Bab 4.Bayangan dari Balik Pintu

1150 Kata
Maura yang tidak ingin keberadaannya diketahui oleh Dewa memutuskan untuk segera kembali ke kamarnya. Sesampainya di kamar gadis itu langsung duduk di tempat tidur. Wajahnya terlihat begitu panik. "Ini gara-gara Marko! Coba kalau dia nggak kabur saat pesta pernikahan, aku nggak akan pernah menikah dengan sopir sombong itu." Marko Hutama adalah kekasih Maura sekaligus putra tunggal dari seorang pengusaha Properti sukses di Jakarta. Kurangnya pengawasan, serta perhatian orang tua. Membuat mereka akhirnya melakukan hubungan terlarang, hingga membuat Maura hamil. Karena kehamilan itulah yang akhirnya membuat Maura mendesak pria itu agar segera menikahinya. Awalnya Marko dan keluarganya menyetujui permintaan Maura untuk menikahinya. Namun, di saat acara tersebut berlangsung pria itu justru tidak menampakkan batang hidungnya. Di saat sedang mengingat hari pernikahannya. Tiba-tiba Maura di kejutkan oleh sebuah ketukan dari pintu kamarnya. "Masuk." Maura berteriak sambil berdiri dari tempat duduknya. Perlahan Mbok Darmi mulai membuka pintu kamar Maura dan langsung masuk ke dalam kamar Maura sambil membawa sebuah nampan berisi makanan. "Permisi, Non." "Ada apa. Mbok?" tanya Maura yang masih berdiri di tempatnya semula. "Ini makan siang Non Maura. Tadi Tuan Dewa meminta saya untuk mengantarkannya ke kamar, Tuan bilang sejak pagi Non Maura belum makan." Mbok Darmi berjalan ke arah sebuah meja kecil dan langsung meletakkan nampan tersebut. Setelah meletakkan nampan tersebut, wanita paruh baya itu segera berjalan ke arah pintu. "Tunggu, Mbok." Maura tiba-tiba memanggil nama asisten rumah tangga itu. Hingga membuat wanita itu langsung menghentikan langkahnya. Perlahan gadis cantik itu berjalan mendekati Mbok Darmi. "Ada yang bisa saya bantu, Non." Mbok Darmi langsung menunduk saat Maura sudah berdiri di hadapannya. Ia terlihat tidak berani memandang wajah gadis itu. Sesaat Maura menghirup nafas dalam sebelum akhirnya dia melipat tangannya ke depan. "Siapa dua orang laki-laki yang tadi bicara dengan Mbok dan Tuan Dewa." "Laki-laki. Maaf kalau boleh tahu, laki-laki yang mana. Non?" tanya Mbok Darmi dengan wajah gugup. Wajah keriput wanita yang ada di hadapan Maura itu kini terlihat ketakutan. Hal itu membuat gadis muda itu semakin merasa jika ada hal yang telah disembunyikan oleh Dewa. "Tadi saat akan ke dapur, aku nggak sengaja lihat kalian berbicara dengan dua orang laki-laki di dapur, sepertinya ada hal yang serius hingga membuat mereka ketakutan saat berhadapan dengan sopir sombong itu." "Oh itu, mereka adalah security komplek sini. Mbak, mereka hanya diminta Tuan Dewa untuk menjaga rumah ini, itu saja." Mbok Darmi terlihat berusaha mencari alasan untuk menjawab kecurigaan Maura. Tapi wajah gadis muda itu tidak berhenti menatapnya seolah mengintimidasinya. Security? Apa mungkin kedua pria itu adalah security." Maura berbicara dalam hati sambil terus memandang wajah tua wanita yang ada di hadapannya. "Oh ya, tadi Tuan pesan jika Non Maura harus segera makan. Dan jika ada hal yang dibutuhkan bisa langsung memanggil saya," ucap Mbok Darmi hingga membuyarkan lamunan Maura. "Memang sekarang di mana pria sombong itu." "Maksud Non Maura. Tuan Dewa?" tanya Mbok Darmi dengan terbatah-batah. Wanita itu terlihat berhati-hati dalam menjaga ucapannya. Ia terkesan seolah sedang berusaha menutupi satu rahasia. "Tadi Tuan Dewa pamit, jika ia akan ke rumah orang tua Non Maura untuk bekerja. Dia juga bilang kalau hari ini akan pulang larut malam, jadi Non Maura tidak perlu menunggunya untuk makan malam." "Dasar pria sombong, siapa juga yang akan menunggunya untuk makan. Tapi, ngomong-ngomong kenapa dia ke rumah Papa tanpa mengajakku?" Maura mengerutkan dahinya sambil bertolak pinggang. Beberapa saat Mbok Darmi berdiri di hadapan Maura, hingga ia berpamitan untuk keluar dari kamar itu. Sementara Maura yang sudah merasa sangat lapar dan haus segera berjalan mendekati nampan yang tadi diletakkan asisten rumah tangganya itu. "Sepertinya enak." Maura terlihat berselera saat melihat buah-buahan, serta semangkuk sayur sop dan udang goreng di nampan tersebut. *** Malam harinya Maura yang baru saja selesai membersihkan diri segera berjalan ke arah meja makan. "Mbok. Mbok!" panggil Maura yang sudah berdiri di sisi meja makan. "Iya. Non, sebentar." Mbok Darmi yang masih sibuk di dapur terdengar berteriak. Dengan segera wanita itu berlari ke arah meja makan untuk menemui Maura yang sudah menunggunya. "Iya, ada apa? Non." "Cepat buatkan aku teh hangat dan makan malam!" perintah Maura sambil duduk di kursi. "Oh ya, Mbok. Apa sopir miskin itu belum pulang." "Belum, Non. Tuan Dewa belum pulang." Mbok Darmi membungkukan sedikit tubuhnya. "Tuan … Tuan, kamu nggak perlu panggil dia dengan sebutan Tuan. Panggil saja dia Dewa, karena status dia dan kamu itu sama. Sama-sama pesuruh di rumah ini." Maura memandang Mbok Darmi dengan angkuh. Gadis itu sepertinya tidak terima dengan sebutan yang diberikan Mbok Darmi pada Dewa. "Tapi. Non, Tuan Dewa itu 'kan …." "Sudah-sudah sana, aku nggak mau bahas sopir itu lagi. Lebih baik sekarang kamu cepat ambilkan makanan untukku." Maura mengacungkan jari telunjuknya ke arah dapur sambil sedikit berteriak. Dengan terburu-buru dan ketakutan wanita paruh baya itu segera berjalan meninggalkan meja makan. Setelah menunggu beberapa lama, Mbok Darmi akhirnya kembali sambil membawa sebuah nampan di tangannya. Ia mulai meletakkan nampan di hadapan gadis muda itu. Maura yang sudah merasa sangat lapar langsung melahap makanan yang sudah ada di hadapannya. Maura yang dahulu sangat membenci nasi atau pun ikan, kini sangat menyukai makanan tersebut. Tidak hanya itu gadis muda itu juga sangat sering merasa lapar, bahkan seperti hari ini saja ia bisa sampai empat kali makan. Bagaimana tidak, janin yang ada di dalam rahimnya terus memaksanya untuk terus makan. Setelah menikmati makan malam, Maura segera memutuskan untuk masuk ke dalam kamarnya. Sesampainya di dalam kamar ia segera mengambil ponsel yang sejak tadi di simpan di dalam tas jinjingnya. Dengan terburu-buru Maura mulai menekan nomer sang ibu. "Halo, Mama." Maura memulai pembicaraannya saat mendengar suara Linda dari seberang telepon. "Ada apa, Ra. Kenapa jam segini kamu menghubungi Mama, apa ada sesuatu dengan kandunganmu." Linda terdengar mengkhawatirkan keadaan sang putri dan calon cucunya. "Nggak ada. Oh ya, Ma. Apa sopir sombong itu masih di rumah?" tanya Maura dengan suara sedikit ketus. "Maksudmu Dewa," jawab Linda saat mendengar pertanyaan sang putri. "Dia sudah pulang dari tadi." "Sudah pulang, dimana pria menyebalkan itu? Bisa-bisanya dia meninggalkanku di rumah ini begitu saja." Maura terdengar kesal mendengar jawaban Linda. "Ma. Memangnya kenapa sih kalau aku tinggal di rumah? Aku nggak bisa kalau harus hidup sendiri seperti ini." Gadis itu mulai terdengar protes dengan keputusan orang tuanya yang melarang dirinya pulang ke rumah. Maura tahu jika semua itu dilakukan orang tuanya untuk menutupi kehamilannya dari banyak orang. Namun, ia berpikir jika keputusan orang tuanya sangat berlebihan terlebih di saat perutnya masih terlihat rata. "Kamu sabar ya, Ra. Nanti juga ada saatnya kamu pulang ke rumah." Linda berusaha menenangkan sang putri. "Tenang? Mama bilang aku harus tenang, asal Mama tahu, kehamilan ini sangat menyiksaku." Maura yang tanpa sengaja menoleh ke arah pintu tiba-tiba terdiam saat ia melihat sebuah bayangan berjalan menjauhi kamarnya. Dengan segera ia langsung mematikan ponselnya dan berjalan ke arah pintu kamar. "Sepertinya tadi ada orang yang berdiri di sini, tapi kenapa sekarang nggak ada! Apa jangan-jangan." Wajah gadis itu mendadak khawatir dengan langkah cepat ia mulai berjalan menyusuri rumah mewah itu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN