[Author Pov]
"Emang sesulit itu permintaan gue?"
Cindy menahan Haras yang hendak masuk ke dalam mobil. "Kenapa diam aja? Jawab Har. Emang sesulit itu permintaan gue?"
Haras menarik napas pelan. Ia tutup pintu mobil cukup kencang. "Bukan masalah sulit atau enggak."
"Terus?" Cindy menatap Haras dengan ekspresi menuntut. "Gue cuma minta lo temenin gue di hari ulang tahun gue. Itu aja?! Apa itu aja lo juga nggak bisa menuhin?"
"Kamu bisa rayain sama yang lain. Papi sama Mami nyuruh ke rumah. Papi udah siapin kejutan buat kamu."
"Tapi gue nggak mau sama Papi."
"Cin—"
"GUE MAUNYA SAMA LO!"
Haras menatap Cindy dengan ekspresi sulit diartikan.
"Gue selalu rayain sama orang lain setiap tahun, Har. Kali ini aja gue mau rayain sama lo. Apa lo segitu gak perdulinya sama gue sampai permintaan kecil inipun lo nggak mau menuhin?"
Haras mengerang frustasi. "Bukan gitu.."
"Terus apa?"
"Cin, please. Jangan kayak gini, ok.."
"Kenapa? Apa yang ada di kepala lo cuman Baby? Apa cuma Baby yang harus lo perduliin?"
Haras menatap Cindy dengan kening mengerut.
"Apa sih bagusnya dia?"
"Cindy!"
"KENAPA HARUS SELALU DIA, HAR?!Kenapa selalu Baby yang menang atas lo?!"
Haras melotot.
"Gue, Har. Gue yang duluan suka sama lo. Gue yang duluan kenal sama lo. Kenapa Baby yang harus dapet lo, hah? Kenapa harus Baby yang lo suka? Apa nggak ada perempuan lain selain dia?!"
Haras terdiam. Benar-benar bungkam di tempatnya.
"Iya! Gue masih suka sama lo. Gue udah coba buat lupain lo. Tapi gue nggak bisa! Gue nggak bisa hapus perasaan gue sama lo!" Cindy membuang napas lelah. "Apa sekali aja lo nggak bisa melihat gue, Har?" Tanyanya lirih.
Hening. Untungnya parkir kampus sedang sangat sepi.
"Aku akan anggap nggak pernah dengar tentang ini. Sebaiknya kamu segera kembali ke asrama dan istirahat." Haras kemudian masuk ke dalam mobil, meninggalkan Cindy sendirian di sana dalam kebekuan.
...
Baby menatap kekasihnya itu sesekali. Haras sedang berbaring di kasurnya sambil memainkan ponsel. Sementara Baby sedang berkutat dengan macbooknya.
"Lagi ada masalah di kampus?" Akhirnya Baby buka suara. Sejak sampai lima belas menit lalu, Haras terlihat tidak nyaman. Seperti ada sesuatu yang tengah mengganggu pikirannya.
"Hah? Kenapa nanya gitu?"
"Kayaknya kamu lagi mikirin sesuatu gitu.."
"Oh, cuman masalah OSPEK aja, kok," Haras berikan senyuman pada Baby. "Mama sama Papa apa kabar? Udah lama aku nggak ketemu mereka.."
"Baik," Baby mengangguk. "Oh iya, kebetulan besok aku mau dinner sama Mama dan Papa. Sekalian aja, Mama sama Papa pasti seneng kalau kamu ikut.."
"Oke.." Haras mengangguk. "Kerjaan kamu masih banyak?"
"Lumayan. Kamu pasti bosen ya?"
"Enggak kok. Lanjut aja. Aku juga lagi main game.."
Baby tersenyum, kemudian melanjutkan pekerjaannya.
...
"Cantiknya? Berasa kayak mau candle light dinner berdua aja.." Haras menatap kekasihnya yang hari ini terlihat cantik dengan style santainya seperti biasa.
"Apa kita dinner berdua aja kali?"
"Ih becanda aja. Mama sama Papa udah nungguin.." Baby geleng-geleng. Haras sontak tertawa. Keduanya kemudian meninggalkan asrama Baby.
Mereka sampai di restoran. Tidak susah untuk menemukan mama dan Papa Baby yang sudah lebih dulu sampai di sana. Mereka menyambut dengan senyum lebar. Terlihat senang dengan kehadiran Haras. Siapa yang tidak akan senang bertemu dengan calon menantu seperti Haras. Ganteng, baik, ramah, pintar. Terlepas ia berasal dari keluarga terpandang. Lagipula orang tua Baby sudah mengenal Haras sejak lama. Bisa dibilang mereka melihat bagaimana Haras tumbuh. Jadi menyerahkan Baby pada Haras adalah keputusan paling tepat sebagai orang tua. Haras pasti bisa menjaga Baby yang merupakan putri semata wayang mereka.
Makan malam mereka berjalan hangat dan harmonis. Haras melebur dengan baik. Sudah tidak diragukan lagi bagaimana akrabnya ia dengan keluarga Baby.
"Kenapa?" tanya Baby pada Haras yang terus menatapnya sambil tersenyum. "Ada sesuatu di wajah aku?"
Haras menggeleng tanpa hilangkan senyum di wajahnya. "Nggak kok. Cuma mau mandangin kamu aja.."
"Ih, Be.. apa sih?" Baby tersipu malu. Senyuma Haras makin lebar.
"Mama sama Papa bisa kan percayakan Baby sama Haras?" tanya Papa Baby.
Haras menatap laki-laki yang terlihat masih sangat gagah itu. Haras mengangguk. "Har akan lakukan yang terbaik, Pa.."
Papa Baby tersenyum. Menoleh sebentar pada sang istri, lalu pada Baby. "Kalau gitu Papa bisa lega.."
Baby menatap sang Papa. "Papa kenapa aneh gitu sih ngomongnya? Berasa kayak Baby sama Har mau nikah besok pagi aja," candanya.
Sang Papa dan mama tersenyum. "Setiap orang tua itu mau yang terbaik untuk anak mereka, sayang.." jawab sang mama.
Baby manggut-manggut. Untuk sesaat suasana terasa haru. Kemudian mereka melanjutkan makan sambil mengobrol ringan tentang apa saja.
Tidak ada yang lebih membahagiakan bagi Baby dari ini. Keluarganya dan Haras. Bagi Baby itu adalah dua hal terbaik yang ia miliki di dalam hidupnya.
...
Mereka sampai di asrama Baby saat jam menunjuk di angka 10 malam. Langit sudah gelap dan sepertinya akan turun hujan malam ini.
"Hati-hati ya.." Baby melambaikan tangannya. Sudah malam dan Haras pasti lelah. Jadi Baby minta Haras langsung pulang dan tidak perlu mengantarnya sampai ke kamar. Mobil Haras menjauh meninggalkan area asrama Baby.
Baby melangkah memasuki lobi asrama. Tiba-tiba ponselnya berdering.
"Cindy?" Baby terkejut mendapati nama itu muncul di layar ponselnya. Kenapa Cindy menelponnya jam segini?
"Hallo.." Baby menempelkan ponselnya ke telinga.
"Apa sih bagusnya? Apa hebatnya lo? Apa lebihnya lo dari gue?"
Kening Baby mengerut. "Cin, lo kenapa?" Jelas saja Baby bingung.
"Pasti lo bangga banget kan udah dapetin Haras? Pasti lo bahagia banget.."
"Maksud lo apa sih? Kenapa ngawur gini?"
"Gue benci sama lo, By! Gue benci sama lo! Kenapa lo selalu lebih beruntung dari gue? Kenapa lo bisa dapetin semuanya dengan mudah? Lo punya keluarga yang sempurna! Kenapa Haras juga harus jadi milik lo?!" Cindy terdengar penuh amarah.
Baby terdiam di tempatnya.
"Kenapa lo harus dapat semuanya?" Suara Cindy terdengar lirih. "Bahkan untuk ulang tahun gue aja Haras nggak perduli."
"Cin— hallo Cindy, hallo.." sambungan sudah diputus sepihak. Baby menatap layar ponselnya. Ia meremas ponsel itu. Baby baru ingat kalau hari ini adalah hari ulang tahun Cindy. Lalu apa maksudnya dengan Haras?
Baby masih belum tenang. Ia terlihat ragu menatap ponsel yang tergeletak di atas kasur. Menimbang sebentar, Baby akhirnya meraih ponsel itu.
"Hallo.." sapa suara di sebrang.
"Kamu di mana, Be?"
"Kamar. Kenapa?"
Baby menggigit kukunya. Masih berdebat dengan dirinya sendiri. "Be.." Baby masih ragu.
"Kenapa? Ada yang ketinggalan?"
"Bukan.." Baby menarik napas. "Be, itu, Cindy.."
Terdengar helaan napas. "By.." ujar Haras memotong. "Nggak usah bahas Cindy ya. Mending kamu istirahat. Besok kuliah kan?"
"Tapi.."
"By.."
Baby membuang napas pelan. "Yaudah deh."
"Good night.."
"Good night." Sambungan berakhir. Baby terduduk di pinggir kasur. Ia masih berpikir. Jujur saja, perasaannya tidak tenang. Baby merasa ada yang salah.
Sudah jam 11 lewat. Mungkin ini tidak benar, tapi Baby tidak bisa tenang. Ia mengetuk pintu kamar Dara setelah berdebat dengan dirinya selama beberapa waktu. Dengan mobil Dara, Baby melaju menuju tempat yang ia pikirkan.
Tujuan Baby adalah restoran favoritnya dan Haras. Tempat wajib mereka makan satu kali seminggu. Rintik hujan mulai turun. Tidak butuh waktu lama untuk Baby sampai. Ia memarkirkan mobil di dekat gerbang depan. Ia kemudian turun tanpa payung karena hujan belum lebat. Jarak gerbang ke restoran tidak terlalu jauh.
Beberapa langkah dari gerbang, tiba-tiba Baby berhenti. Dan seketika ia mematung di tempatnya dengan arah pandangan tertuju pada satu titik.
Rintik hujan mulai lebat. Pejamkan mata sedetik, Baby memutar tubuhnya, kemudian berlari meninggalkan tempat itu.
...
Baby turun dari mobil. Berjalan pelan menuju gedung asramanya.
"By, Baby! Astaga, lo ngapain hujan-hujanan gini?" Kayhan setengah berteriak karena terkejut.
Baby mengangkat wajahnya. Kening Kayhan makin mengerut.
"Lo kenapa? Lo habis nangis?"
Baby menatap Kayhan tanpa suara.
"By.." Kayhan menyentuh lengan perempuan itu. Tapi kemudian dalam gerak lambat Baby berhambur ke dalam pelukan Kayhan. Sesaat Kayhan masih terkejut dan bingung. Tapi kemudian ia tepuk-tepuk pelan punggung Baby.
Dan tangis Baby pecah.
...
"Baby mana, Mil?"
Milani agak terkejut mendapati Haras di depan kelasnya. "Loh, Baby kan lagi demam. Lo nggak tau? Baby nggak masuk hari ini.."
Haras terkejut. "Baby demam?"
Milani mengangguk. Ia terlihat heran karena Haras tidak tau. "Iya. Masa lo nggak tau? Emang Baby nggak ngasih tau?"
Haras menggeleng. "Sejak kapan? Tadi malam dia masih oke-oke aja.."
"Hmm, nggak tau juga gue. Pagi tadi gue ke arama dia udah sakit tuh anak.."
"Ok thanks ya.." Haras langsung berlari meninggalkan tempat itu. Milani yang ditinggal menggaruk kepalanya bingung. "Ada apa sih mereka berdua? Aneh banget.."
...
Dua kali Haras mengetuk, tak ada jawaban. Ia kemudian gunakan kunci cadangan untuk membuka kamar Baby. Berhasil. Haras masuk. Tampak Baby tengah berbaring membelakanginya.
"By.."
Tak ada jawaban. Haras menghampiri Baby. Perempuan itu menutup kedua matanya. Sepertinya sedang tidur. Haras menyentuh kening Baby. Panas.
"By.." ia goyang tubuh Baby pelan.
"Hmmm..." Baby bergumam pelan.
"Kita ke dokter ya," bujuk Haras.
"Aku nggak apa-apa kok.." ia bicara dengan mata masih tertutup.
"Badan kamu panas gini. Kita ke dokter aja. Nanti kalau parah gimana?"
Baby menggeleng.
"Aku udah minum obat. Bentar lagi juga baikan.."
Haras menghela napas. Baby biasanya jarang rewel soal berobat. Tidak susah membawanya ke dokter.
Perlahan ia membuka matanya. "Kamu kenapa di sini? Bukannya masih ada kegiatan OSPEK?"
"Kamu nggak balas chat aku. Nggak angkat telpon aku juga. Tadi aku samperin ke kelas, kata Milani kamu sakit. Makanya ke sini. Kenapa nggak kasih tau aku kalau kamu lagi sakit?"
Baby menelan ludah, pilih tidak menjawab.
"Ada yang lagi kamu pikirin ya?" Tebak Haras.
Baby terdiam cukup lama. "Be.."
"Hm?"
Baby menatap Haras seksama. "Kemarin Cindy ulang tahun kan?"
Seketika raut wajah Haras berubah.
"Cindy kemaren nelpon aku," Baby memberi jeda. Ia menunggu. Menunggu Haras bicara. Tapi... Baby tersenyum. "Aku lupa kasih selamat."
Haras masih terlihat tegang.
"Kamu balik aja ke kampus. Aku nggak apa-apa kok."
"Tapi—"
"Ntar kalau nggak mendingan sampai sore aku kasih tau, kita ke dokter.."
"Beneran ya?"
Baby mengangguk. Haras mengalah. Ia cium kening Baby sekilas. Kemudian meninggalkan kamar Baby setelah memesan makanan untuk perempuan itu.
...
Seminggu ini terasa benar-benar melelahkan bagi Baby. Kelas yang padat ditambah kegiatan pelatihan para Duta yang berjalan semakin intens. Ia hampir selalu pulang malam. Kegiatan Haras pun sama padatnya. Bazar tengah berlangsung dan sekalipun Baby belum pergi ke sana. Ia anti keramaian.
Dan sampai detik ini, Haras belum mengatakan apa-apa. Milani menyadari ada yang salah dengan sahabatnya itu. Seminggu ini ia perhatikan Baby dan Milani tak bisa menahannya lagi.
"Lo lagi ada masalah ya, By?" Mereka sedang di kantin. Sejak lima menit lalu, yang Baby lakukan hanya mengaduk-aduk makanannya.
"Hah? Oh nggak kok. Kenapa?"
Milani menatap seksama sahabatnya itu. "Nggak usah bohong sama gue. Gue tau lo lagi ada masalah. Gue kenal lo bukan sehari dua hari, By. Lo aneh tau nggak? Seminggu ini gue perhatiin lo kayak ada beban pikiran. Kadang ngobrol sama gue juga nggak fokus. Ada apa, cerita sama gue, jangan dipendam sendiri.."
Baby terdiam.
"By, gue ini sahabat lo.."
"Mil.." Baby kembali diam. "Gue..."
"Anjir! Beneran? Siapa siapa?" Kerusuhan yang berasal dari meja belakang mereka menarik perhatian Baby dan Milani.
Mereka serempak menoleh ke sumber suara. Tiga orang anak perempuan tengah berbincang serius dengan pusat perhatian tertuju pada sebuah ponsel.
"Ini, kemaren katanya ada yang nggak sengaja dengar gitu. Kak Haras lagi bertengkar sama pacarnya yang anak FK itu di parkir. Terus katanya Kak Haras ada main sama cewek lain.."
"Serius?"
"Iya. Tapi nggak tau tuh cewek siapa. Katanya sih anak kampus ini juga.."
Milani langsung menatap Baby. Apa yang sedang terjadi? Baby sendiri diam tanpa berkomentar apa-apa.
...
Haras melambaikan tangannya. Baby langsung masuk dan Haras melajukan mobil meninggalkan kampus. Selama beberapa menit di dalam mobil tak ada yang bersuara. Keduanya diam.
"Kita makan dulu ya, di restoran biasa?" Tanya Haras akhirnya.
Baby yang sedang menatap keluar jendela menoleh sebentar. "Makan di kamar aku aja gimana? Aku masak tadi.." Baby memberi usulan.
Haras tersenyum, mengangguk setuju.
Tidak butuh waktu lama untuk Baby memanaskan makanan. Ia kemudian menyiapkan makanan sementara Haras mencuci wajahnya. Laki-laki itu keluar dari kamar mandi dengan wajah lebih segar.
Selama makan pun mereka lebih banyak diam. Lebih tepatnya Baby lebih banyak diam. Ia bahkan menjawab seadanya jika Haras bertanya.
"Kamu nggak enak badan?" tanya Haras memyadari bahwa akhir-akhir ini kekasihnya itu jadi lebih pendiam.
Baby menggeleng.
"Ada yang lagi kamu pikirin?"
Haras menatap Baby. "By, kenapa?"
Baby balas menatap Haras. "Be.. boleh aku tanya sesuatu?"
Haras mengangguk.
"Aku mau kamu jawab jujur.."
Haras mengangguk lagi.
Baby menarik napas. "Apa kamu pernah suka sama Cindy?"
Seketika gerak tangan Haras terhenti. Ia terdiam beberapa waktu. "By.."
Baby meremas sendoknya. "Aku cuma mau tau. Tolong kamu jawab jujur." Baby menarik napas. "Gimana perasaan kamu sama Cindy dulu?"
Haras mengalihkan pandangan. Baby menunggu, tapi nyatanya Haras tak bisa memberikan jawaban.
"Gimana perasaan kamu sama Cindy, sekarang?"
Haras langsung menoleh. "By, pertanyaan kamu mulai nggak masuk akal."
Baby tersenyum tipis. "Nggak masuk akal?"
Haras letakkan sendok dan garpunya. Ia hela napas pelan. "Apa kamu nggak percaya sama aku?"
"Ini bukan masalah percaya atau enggak. Ini masalah hati kamu.."
"Aku cinta sama kamu, By. Apa yang kurang dari itu?"
Baby memejamkan mata. Sangat susah untuknya tetap tenang di saat ada banyak sekali hal di dalam kepalanya.
"Cindy? Apa arti Cindy buat kamu?"
Haras mengerang frustasi. "Kenapa kamu selalu bawa-bawa Cindy?"
"Karena kamu selalu mengelak setiap kita bahas Cindy. Kamu nggak sadar, Be. Tapi aku sadar.."
"Apa maksud kamu?"
"Kamu perduli sama Cindy."
Haras melongo. "Perduli, iya, sebagai keluarga.." katanya.
Baby menggeleng. "Kamu nggak perduli sama dia sebagai keluarga. Tapi lebih dari itu.."
"Kamu ngomong apa sih?"
"Kalau kamu peduli sama dia sebagai keluarga, kamu nggak akan nemuin dia diam-diam."
Haras langsung menatap kekasihnya itu. Terkejut.
Baby menengadahkan wajah. Berusaha keras menahan air matanya. "Kamu nggak perlu temuin dia diam-diam, Be. Kalau nggak ada apa-apa kamu nggak perlu rahasiain itu dari aku. Aku nggak akan pernah larang kamu ketemu sama dia."
"Aku nggak mau kamu salah paham.."
"Tapi ini bikin aku jadi makin salah paham.."
Haras tiba-tiba bangkit dari kursinya. "Kepala kita lagi panas. Aku nggak mau bahas ini dalam keadaan marah. Kita akan bahas ini setelah kepala kamu dingin." Kemudian Haras meninggalkan kamar Baby.
"Kenapa kamu nggak jujur aja, Be. Kalau emang nggak ada apa-apa, aku akan percaya sama kamu.." ucap Baby lirih.
***