L 19. Break

2651 Kata
Gedung FK cukup ramai siang ini. Lebih tepatnya toilet FK. Ada banyak orang sedang berkumpul di sana. Ada keributan. "Bilang aja lo sengaja. Lo sengaja kan pengen celakain gue?!" Cindy menghela napas. Terlihat muak. "Sebelum ngomong itu dipikir dulu pake otak. Anak FK tapi kok bodoh banget." Perempuan dengan rambut diikat ekor kuda itu melotot. Terlihat ia sangat marah. "Lo emang siluman betina sialan! Lo punya apa sih? Nggak usah sok kaya depan gue! Lo nggak ada apa-apanya dibandingin gue!!" Toilet semakin ramai. Keributan antara dua perempuan cantik FK itu berhasil menarik minat banyak orang. Tidak hanya anak FK saja. Bahkan berita itu sudah tersebar ke fakultas lainnya. Perempuan yang kini sedang bertengkar dengan Cindy adalah perempuan yang selalu mencari masalah dengan Cindy di setiap kesempatan. Sebenarnya Cindy tidak perduli pada perempuan itu. Tapi sialnya hari ini tidak berpihak pada Cindy. Mereka satu kelompok praktikum dan Cindy tidak sengaja menumpahkan zat kimia ke perempuan bernama Dita itu. Hanya sedikit, untungnya. Dan Dita langsung meledak, menuduh Cindy sengaja ingin mencelakakannya. Mengatakan Cindy iri pada dirinya dan bla bla bla. "Gue nggak mau ribut ya sama lo, Dit. Gue kan udah minta maaf." "Minta maaf nggak bikin lecet di tangan gue jadi baik!" Bentak Dita. "Lo sengaja kan karena iri sama kecantikan gue! Takut tersaingi, iya? Cewek kayak lo jadi pacar Haras?! Rugi Haras mau sama lo! Cewek nggak bener!" Emosi Cindy meledak seketika. "Jaga ya mulut lo! Gue udah ngomong baik-baik dan lo makin menjadi-jadi." "Kenapa? Lo kira gue takut? Lagian apa sih bagusnya lo? Apa sih yang Haras lihat dari lo?" Dita menatap Cindy dari atas sampai bawah dengan ekspresi merendahkan. "Gue yakin juga cantiknya lo dapet dari om-om." Tangan Cindy mengepal, lalu sebuah tamparan melayang ke wajah Dita. "Jangan kira gue diam karena gue takut ya. Lo bener-bener udah nyari masalah sama gue." "Cin, tenang.." Aina berusaha menenangkan Cindy. Masalah sepertinya makin tak terkendali karena Cindy mulai main fisik. Bisa gawat jika sampai ke dosen dan Dekan. "Lo nggak denger dia ngomong apa barusan? Gue udah berusaha baikin dia, tapi dia seenaknya ngatain gue. Mau lo apa sekarang hah? Mau oplas tangan lo yang kena cairan secuil itu, iya? Ini gue kasih duit!" Cindy ambil uang di dalam tasnya, kemudian ia lemparkan ke wajah Dita. Tak hanya Dita, semua orang yang ada di sana pun tampak terkejut. Jujur saja, bagi sebagian orang yang sering bertemu Cindy mungkin sudah tau bagaimana jutek dan sombongnya perempuan itu. Tapi mereka tidak menyangka bahwa Cindy punya sisi menakutkan seperti ini. Bisikan-bisikan mulai terdengar. "Cin.." Aina memegangi lengan Cindy. "Udah. Jangan berantem lagi." "Lo jangan coba ya sengaja mancing-mancing gue. Lo nggak tau gue bisa lakuin apa buat bales lo!" Ancam Cindy sebelum ia ditarik Aina keluar dari toilet. ... "Gue.. gue cuma kesel aja, Na. Lo denger sendiri kan kata-kata yang dia lontarin ke gue gimana.." Cindy mencoba membela diri. Tapi kali ini ia tidak meledak-ledak seperti Cindy yang sombong biasanya. Cindy yang tak pernah salah. Kali ini terlihat ada sedikit sesal di nada suaranya. Pun ia tampak benar-benar hanya membela diri saja. "Ya tetap aja Cin, kamu salah. Harusnya nggak perlu sampai lempar duit gitu ke Dita. Aku nggak tau kamu dapet duit emang hasil kerja keras kamu atau masih dari orang tua kamu. Tapi di luar sana masih banyak orang yang nggak seberuntung kamu. Yang kerja banting tulang buat mengais rezeki. Tapi kamu malah buang-buang duit seolah duit nggak berarti sama sekali." "Tapi—" "Ini bukan cuma soal duit aja. Soal sikap kamu ke Dita juga. Kamu kan tau gimana Dita." "Ya makanya. Dia yang mulai, nyari gara-gara mulu sama gue." "Ya maka dari itu, kamu jangan jadi ikutan kayak dia." Aina berkata tegas. Cindy terdiam. "Kalau kayak tadi apa bedanya kamu sama dia? Kan kamu tau dia emang suka ngerendahin orang. Kalau kamu ikutan rendahin dia berarti kamu sama aja kayak dia." "Na.." "Aku serius," potong Aina tak mau membiarkan Cindy membela diri. "Aku tau kamu nggak sepenuhnya salah waktu di lab tadi. Sebagian anak-anak juga tau kamu nggak salah. Tapi dengan apa yang kamu lakuin ke Dita tadi, anak-anak udah nggak perduli sama masalah intinya. Yang ada mereka jadi fokus ke apa yang kamu lakuin ke Dita." Cindy benar-benar terdiam. Aina menghela napas. "Mungkin waktu kamu di luar hal kayak gini bukan masalah besar, Cin. Tapi sekarang kamu ada di lingkungan sosial di mana orang lebih tertarik pada asumsi daripada fakta. Karena berasumsi lebih menyenangkan dari pada mencari tahu fakta yang sebenarnya." "Iya, gue salah. Gue emosi aja, lagi kesel. Si Dita malah mancing-mancing." Aina menatap Cindy teduh. "Aku tau. Tapi sedang semarah apapun, kamu juga harus bisa kendalikan emosi kamu. Mungkin awalnya susah, tapi aku yakin kamu bisa. Akhir-akhir ini aku lihat kamu udah jarang marah-marah." Aina tersenyum. Aina benar. Tapi ada alasan kenapa Cindy mencoba berubah. Kini alasan itu juga yang membuat kepalanya seperti mau meledak. "Lo mau ke mana?" Tanya Cindy pada Aina yang bersiap hendak pergi. "Balik. Kelas udah selesai. Kamu nggak balik?" "Oh, iya.." Keduanya kemudian meninggalkan ruangan. Benar-benar hari yang melelahkan. ... "Lo mau ke rumah sakit bareng gue?" tawar Kayhan. Baby terlihat berpikir, namun akhirnya ia berikan anggukan. Mereka langsung berangkat tak menunggu lama. Tadi Baby mendapat kabar kalau Cindy dilarikan ke rumah sakit. Belum tau apa yang terjadi. Kebetulan Kayhan sepertinya juga mendapat kabar itu dari Haras yang sudah lebih dulu ke rumah sakit. Rumah sakit masih ramai meski jam sudah menunjuk di angka 11 malam. "Di mana?" tanya Baby. "Nggak tau. Gue tanya Haras bentar." Kayhan menekan-nekan layar. "Nomor Haras nggak aktif." "Tanya resepsionis aja kali," saran Baby. Kayhan kemudian langsung bertanya ke resepsionis. Untungnya tidak susah untuk mereka mendapatkan informasi. Cindy sudah dipindah ke ruang rawat. Entah jam berapa kejadian itu terjadi. "Nomor 29 A.." Kayhan dan Baby mencari-cari nomor ruangan. "Tuh.." akhirnya mereka menemukannya. Kayhan meraih handle pintu, bersiap masuk. Tapi baik ia maupun Baby sama-sama tertegun begitu melihat apa yang terjadi di dalam kamar. Di sana, Haras sedang memeluk Cindy. Ya, Haras memeluk Cindy. Dan Cindy pun tengah memeluk Haras erat sambil terisak. "By," Kayhan langsung menoleh ke arah Baby. Baby menarik napasnya, coba berikan senyum pada Kayhan. "Gue nggak apa-apa. Lo duluan aja, Kay. Gue keluar sebentar.." Baby langsung balik badan. Tapi tangannya ditahan Kayhan. "By!" Panggil Kayhan. Haras mendengarnya. Ia langsung menoleh ke sumber suara dan menemukan Haras dan Baby di sana. "Baby.." panggilnya cepat. Ia bergegas menghampiri kedua orang itu. Baby melepaskan cekalan Kayhan, kemudian melangkah pergi. "By, tunggu!" Kali ini Haras yang menahan tangan Baby. "Kamu mau ke mana?" Baby menarik napas dalam, menatap Haras. "Aku mau beli minum," jawab Baby asal. "Aku temenin.." "Nggak usah.." "By.." "Sebentar aja, Har." Perlahan Haras melepaskan cekalannya. Baby melangkah pergi tanpa menoleh lagi ke belakang. "Lo biarin Baby pergi sendiri?" tanya Kayhan tak percaya. "Ya terus gimana?" "Anjir Haras, lo b**o apa gimana sih? Si Baby tadi lihat lo peluk Cindy.." Haras tampak terkejut. Tapi kemudian keningnya mengerut. "Baby nggak mungkin salah paham.." "Kenapa nggak mungkin?" Tantang Kayhan seolah mengatakan bahwa pikiran Haras salah. "Gue aja sahabat dekat lo salah paham sama apa yang terjadi barusan. Terus kenapa Baby bisa nggak salah paham? Lo kira hati dia batu?" Haras mengeram pelan kemudian bergegas mengejar Baby. "b**o banget nih anak," maki Kayhan. ... Haras mencari ke kantin dan tidak menemukan Baby di sana. Ponselnya mati dan dia tidak bisa menghubungi perempuan itu. Setelah kurang lebih sepuluh menit mencari, akhirnya Haras temukan Baby tengah duduk di salah satu bangku taman. "Katanya mau beli minum.." Haras duduk di samping Baby. Baby tidak menoleh, hanya berikan senyuman amat tipis. "Kamu ngapain di sini?" tanya Baby. "Kamu sendiri ngapain di sini?" tanya Haras balik. Baby tak menjawab. "By.." Haras meraih tangan Baby, menggenggamnya. "Apa yang kamu lihat tadi nggak seperti apa yang kamu bayangin. Aku nggak mau kamu salah paham.." Baby menoleh, menatap Haras. Lama ia terdiam. "Be.." "Hm?" "Kita udah janji kan nggak ada rahasia di antara kita.." Haras mengangguk. Baby menarik napas dalam. "Apa ada sesuatu yang mau kamu bilang ke aku?" Lama Haras terdiam. Baby menunggu. Kemudian Haras berikan gelengan. "Nggak ada." ... "Beneran Cindy kecelakaan tadi malam?" tanya Milani. Entah bagaimana berita itu sudah tersebar di kampus. Baby mengangguk. "Wew. Ngeri banget. Gimana ceritanya sih?" tanya Milani lagi. "Gila ya langsung heboh sekampus woy. Katanya kemaren itu Cindy udah bertengkar gitu sama temennya yang anak FK itu, siapa namanya? Dita ya? Nah Cindy nggak sengaja gitu numpahin cairan kimia ke Dita, nah Ditanya marah. Terus pokoknya mereka bertengkar gitu lah. Nah, kayaknya Dita masih nggak terima gitu lah, jadi dia nyamperin Cindy tadi malam. Terus dia katanya lempar cairan apa gitu ke si Cindy. Nggak tau juga gue namanya. Semacat zat kimia keras lah. Untungnya Cindy nggak kena muka, tapi kena lengan. Nggak tau deh parah apa enggak.." Vivi menjelaskan secara rinci. "Lo tau dari mana Vi lengkap gitu?" Tanya yang lain yang ada di meja itu. "Akun gosip kampus lah. Kayak nggak tau aja lo pada betapa updatenya akun gosip kalo soal yang beginian. Apalagi soal King Kampus.." Yang lain manggut-manggut. "Emang beneran ya si Cindy-Cindy itu pacarnya Haras?" "Nggak tau juga ya gue," jawab Vivi. Milani melirik Baby sekilas. Perempuan itu tak banyak bicara, bahkan bisa dibilang nyaris hening. "Ya soalnya kan isunya tuh si Dita emang rese banget ke Cindy, kayak ada dendam gitu lah. Katanya lagi nih, itu tuh gara-gara Cindy pacarnya Haras. Si Dita kan dari dulu naksir Haras. Makanya dia sampai nekat gitu.." "Ihhh serem woy..." Vivi bergidik ngeri. "Sampe segitunya?" tanya Milani. "Ya itu buktinya. Banyak kok yang bilang kalau Dita tuh selalu ngusik Cindy. Bahkan yang kejadian di lab itu juga katanya si Dita yang sengaja nabrak Cindy.." Milani melotot. "Gila.." "Emang gila sih menurut gue. Kayaknya dia terobsesi gitu sama Haras. Anehnya tuh anak malah pinter lagi. Anak FK cuy.." "Kalau orang terobsesi mah gak perduli mau dia pintar atau bodoh.." Yang lain mengangguk setuju. "Masalahnya udah sampai ke rektor kayaknya. Gak tau deh si Dita bakal di DO apa gimana. Soalnya tadi malam tuh ada saksi di sana.." "Oh ya? Siapa?" Tanya para anak perempuan itu penasaran. Vivi nyengir. "Haras. Katanya Haras ada di sana tadi malam. Itu untung aja Haras cepet makanya yang kena cuma tangan Cindy aja.." "Berarti beneran tuh mereka pacaran. Tuh buktinya Haras ada di sana jam segitu.." celetuk seorang perempuan. "Ya kan Haras sama Cindy satu asrama," ujar Milani seolah membantah hipotesa teman-temannya. "Eh beneran?" Mereka kaget. Sepertinya tidak ada yang tau fakta itu. "Mungkin aja cuma kebetulan Haras lagi dari luar," tambah Milani. Asumsi-asumsi masih terus berlanjut. Sementara itu Baby sudah tak mendengarkan lagi pembicaraan teman-temannya. Pikirannya melayang entah ke mana. ... "Hallo Bik," Baby menjepit ponselnya di antara telinga dan bahu. Sementara tangannya sibuk melakukan sesuatu. Ia sedang memeriksa bungkusan buah yang tadi dibelinya. Hari ini Baby berencana menjenguk Cindy ke rumah sakit. "Hah? Mama nggak di rumah? Maksud Bibik? Tadi Baby telpon Mama katanya lagi di rumah,nggak kemana-mana hari ini." "Hmm..." ada jeda panjang. "Ada apa Bik? Kenapa diam? Mama di kamarnya kali. Coba lihat dulu. Nomor Mama nggak aktif soalnya, Baby mau ngomong.." "Anu, Non.." Kening Baby mengerut. "Kenapa Bik?" "Bibik nggak tau boleh kasih tau Non atau enggak. Tapi... nyonya udah lebih seminggu nggak tinggal di sini.." Baby tertegun. "Hah? Seminggu nggak tinggal di rumah? Maksudnya gimana Bik? Mama sama papa pindah gitu?" Baby masih bingung. "Bukan, Non. Nyonya sendiri aja." Baby melotot. "Mama sendiri? Mama pindah sendiri?!" "Gimana ya Non cara bibik bilangnya?" Suara di sebrang terdengar gugup. "Ya pokoknya begitu lah Non. Bibik nggak tau juga Nyonya pindah apa gimana. Pokoknya Nyonya udah seminggu lebih nggak balik. Waktu itu nyonya bawa koper besar.." Jika saja Baby tidak bertemu mamanya kemarin, Baby pasti akan mengira Mamanya hanya pergi ke luar negri. Tapi masalahnya Baby bertemu mamanya kemarin. Itu artinya mamanya masih di Indonesia. "Non," "Udah ya Bik, nanti Baby telpon lagi." Baby memutuskan sambungan. Dadanya berdebar kencang dan ia terduduk di sofa. Tangannya bahkan ikut bergetar. Baby menekan-nekan layar, menghubungi seseorang. Tapi bahkan sampai lima kali tak ada jawaban. ... "Ngapain lo masih mau jengukin gue?" Baby meletakkan buah yang dibawanya di atas meja. Ia kemudian duduk meski tidak disuruh. "Lo sendiri ke sini?" tanya Cindy lagi. "Hmm," Baby bergumam pelan. "Cin—" "Gue nggak akan mundur," potong Cindy. "Gue nggak akan lepasin Haras." Ia tatap Baby. Pandangan keduanya bertemu. "Terserah lo mau bilang gue egois atau nggak tau diri. Tapi gue tau, Haras adalah sumber kebahagiaan gue. Jadi gue nggak akan ngelepasin dia kali ini." Baby tersenyum kecut. "Lo emang egois." "Gimana sama lo sendiri? Apa lo nggak egois?" Balas Cindy. "Gue tau apa yang terjadi antara lo sama Haras. Lo punya anxiety disorder gara-gara Haras kan? Terus apa itu yang namanya bukan egois? Lo nahan Haras buat diri lo sendiri. Bisa aja Haras bertahan sama lo hanya karena rasa bersalah.." Baby tertegun. Terkejut karena Cindy tau tentang hal itu. "Jujur aja, gue benci sama lo. Benci karena hidup lo lancar. Semua orang sayang sama lo. Sedangkan gue, nggak ada orang yang bener-bener sayang sama gue.." Baby bangkit dari duduknya. "Siapa yang bilang nggak ada orang yang sayang sama lo?" Ucap Baby sebelum meninggalkan kamar. Tak disangka di parkir Baby bertemu Haras. "By, kapan kamu sampai?" tanya Haras terkejut. "Kamu kemana aja? Aku telpon kamu berkali-kali tapi nggak kamu angkat.." "Aku di kampus. Hape di silent.." "Terus kamu nggak bisa nelpon aku balik?" Haras mengerutkan kening. Agak terkejut dengan reaksi Baby yang rasanya sedikit berlebihan dari biasanya. "By ada apa?" "Kamu nggak jawab telpon aku tapi malah ke sini.." Haras melotot. Jelas saja dia kaget dengan kata-kata Baby. "By kamu kenapa? Nggak biasanya kayak gini. Kamu sakit?" Haras hendak menyentuh kening Baby tapi ditepis perempuan itu. Hal itu membuat Haras beku. "Aku nggak sakit. Kamu yang kenapa.." suara Baby mulai tersengar sengau. "Aku? Aku kenapa?" "Kamu udah kasih tau orang tua kamu soal Cindy masuk rumah sakit?" Baby abaikan pertanyaan Haras. Haras menggeleng dengan ragu. "Kenapa kamu nggak kasih tau?" "By kamu kenapa sih sebenarnya?" "Har, please. Jawab aja.." "Kamu tuh aneh. Aku bingung.." Baby memejamkan mata sesaat. "Kamu yang aneh. Apa kamu nggak sadar betapa anehnya kamu?" Kening Haras makin berkerut. "Kamu mau pulang kan? Aku antar kamu pulang.." Haras meraih tangan Baby namun lagi-lagi ditepis Baby. "Kamu kenapa sih sebenarnya?! Ngomong. Kalau nggak ngomong gimana aku bisa tau?!" Tak sengaja Haras meninggikan suaranya. Baby menatap Haras dengan ekspresi tak terbaca. "Kamu mau sampai kapan sembunyiin perasaan kamu dari aku? Mau sampai kapan, Har?" Haras meremas rambutnya. "Ini soal Cindy lagi? Iya? Berapa kali aku bilang sih, By? Aku sama dia nggak ada apa-apa. Harusnya kamu tau kenapa aku harus merawat dia sekarang. Dia celaka karena aku. Harusnya kamu tau karena kamu pernah ngalamin kejadian itu." Baby tertegun. Kata-kata Cindy tadi terngiang di kepalanya. Apa yang Cindy katakan benar? Bahwa sebenarnya Haras hanya merasa bersalah padanya. Baby mundur selangkah. "By.." "Jadi, apa perduli kamu ke aku juga bentuk dari rasa bersalah?" tanya Baby parau. "Kamu ngomong apa? Jangan sembarangan.." "Jawab Har.." "Kamu meragukan perasaan aku?" tanya Haras dengan suara kecewa. Bulir bening mengalir dari pelupuk mata Baby. "Udah berapa lama kita bersama, By?" Bulir selanjutnya makin lancar mengalir dari mata Baby. Baby tertawa masam. "Hmm, kamu benar. Udah berapa lama kita bersama? Bahkan waktu bertahun-tahun yang kita lewati nggak membuat aku memahami semua tentang kamu." Keduanya terdiam. "Malam itu, di hari ulang tahun Cindy, aku lihat kamu sama Cindy ciuman. Aku udah coba untuk nggak salah paham. Tapi aku nggak tau gimana caranya.." ucap Baby lirih. Dan Haras membeku seketika. "Kamu, nggak tau perasaan kamu sendiri, Har," sambung Baby. Perempuan itu menarik napas dalam. Sebenarnya ia menunggu. Berharap Haras memberikan penjelasan. Tapi sampai akhir Haras sama sekali tak mengatakan apa-apa. Baby menggigit bibirnya. Menarik napas kemudian berusaha tersenyum meski gagal. "Kayaknya kita harus break dulu. Aku rasa kita butuh waktu." Baby menyeka air matanya. Kemudian balik badan, berlalu meninggalkan Haras yang membeku. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN