[Author Pov]
"Lo suka sama Baby?" Kemudian Cindy melotot kaget. "Lo beneran suka sama pacar sahabat lo? What? Seriously?!"
Kayhan membuang napas dengan tenang. "Apapun isi kepala lo itu terserah lo. Gue sama sekali nggak perduli. Tapi gue ingetin sekali lagi. Jangan ambil langkah yang salah atau lo bakalan nyesel sendiri nanti."
Cindy mendengus. "Lo nggak usah ngingetin gue. Apapun yang gue lakuin gue sendiri yang bakal tanggung jawab. Tapi gue bener-bener nggak ngerencanain ini buat narik perhatian Haras. Terserah lo mau percaya atau enggak. Lagian gila aja gue celakain diri sendiri buat dapat simpati dia.."
"Siapa yang tau orang kayak lo bisa punya pikiran apa. Bisa aja lo halalin segala cara buat dapetin apa yang lo mau. Bukannya lo emang gitu?"
"KAYHAN!" Dan Cindy terlihat benar-benar marah. "Lo nggak kenal siapa gue? Lo nggak berhak ngehakimin gue!"
Kayhan menaikkan sebelah alis dengan santai. "Gue nggak perlu kenal sama lo. Udah keliatan jelas. Lo udah kasih lihat gimana kualitas lo sebenarnya.."
Tangan Cindy mengepal.
"Gue nggak tau apa pendapat Haras tentang lo. Tapi gue rasa Haras nggak buta buat lepasin Baby dan ngejar lo.."
Cindy melotot. Wajahnya memerah karena marah.
"Luarnya kelihatan mahal, nggak nyangka dalamnya murah-han.." ujar Kayhan santai.
"KELUAR DARI KAMAR GUE!!"
...
Berita itu masih hangat. Masih banyak yang membicarakan meski sudah dua hari berlalu. Tidak hanya di FTSL, di FK sendiri gosip itu masih jadi pilihan utama.
Beberapa kalimat yang sering Cindy dengar adalah..
"Wajar sih si Haras mau, ceweknya secantik ini.."
"Iya. Udah cantik pintar lagi."
"Tajir juga woy. Anak orang kaya. Muka blasterannya bikin iri. Pantes Haras klepek-klepek."
"Sejak kapan ya mereka pacaran? Cindy kan baru di sini.."
"Apa mereka udah pacaran sejak Cindy di Amerika?"
"Kalau pacarnya Haras begini siapa yang berani nikung coba?"
Itu beberapa kalimat yang masuk kategori manis. Tidak sedikit juga kata-kata pedas yang bisa membuat telinga terbakar dalam sekali dengar.
"So cantik banget. Ngapain sih dia pake pindah ke sini? Diusir kali dari Amerika sana?"
"Ngeselin banget sih tuh tante-tante. Muka begitu mau jadi pacar Haras gue."
"Ya ampun, dari semua perempuan di ATTAIR, harus ya Haras sama dia? Tuh cewek sombong banget. Apa nggak bisa Haras dapat yang baik dikit gitu? Minimal yang manis dan lembut. Kayak Baby misalnya. Kan mereka udah deket tuh.."
"Iya. Baby kan udah lama deket sama Haras. Gue kira Baby sama Haras ada hubungan atau bakal jadian. Taunya Haras malah sama tuh cewek paling arogan sedunia."
"Tau nih. Kalau sama Baby sih gue bisa ikhlas. Setidaknya dia emang udah dekat sama Haras dari dulu. Jadi nggak kaget-kaget banget gitu."
"Tuh si nenek gak ada apa-apanya dibandingin Baby. Baby lebih baik ke mana-mana.."
"Ighh gue bete!!"
Cindy seperti biasa selalu pilih tebalkan telinga. Pura-pura tidak dengar atau pura-pura tidak mengerti bahasa mereka. Meski kadang ia rasanya ingin melabrak orang-orang yang dengan terang-terangan menyindirnya itu.
Tapi.... Cindy pilih menahan diri akhir-akhir ini. Alasannya hanya satu, Haras. Sejak ia putuskan untuk mendapatkan hati Haras, Cindy putuskan untuk berubah. Ia tak bisa mengelak kalau Haras sangat tidak menyukai sikap sombongnya. Meski benci, Cindy harus akui kalau Haras sangat menyukai perempuan dengan sikap baik seperti Baby.
Perbincangannya dengan Kayhan kembali terngiang di kepalanya. Tapi Cindy tidak perduli. Meski harus melewati jalan berdarah sekalipun, ia tetap akan mendapatkan Haras. Karena Cindy yakin satu hal. Sebenarnya Haras juga menyukainya. Meskipun Haras selalu menolak mengakui hal itu sejak dulu.
"Kenapa lo nggak bisa lihat gue sekali aja, Har?"
"Lo ngomong apa?"
Cindy tersadar kalau dia tidak sedang sendiri. Ia sedang di labor. "Nggak, bukan apa-apa." Ia kembali fokus pada bahan praktek di depannya.
Cindy tidak pernah punya banyak teman. Orang yang dekat dengannya bisa dihitung dengan jari. Bahkan saat di Jepang. Ia nyaris tak punya teman selama 3 tahun ia SMA. Meski banyak yang ingin mendekat tapi semuanya langsung menjauh karena sikapnya. Bahkan di sini, saat ini. Padahal ia masih baru, tapi Cindy sudah berhasil membuat banyak musuh. Hampir seluruh anak di kelasnya tidak menyukainya. Orang memang selalu benci pada orang sempurna. Cantik, pintar, kaya dan sombong. Paket sempurna untuk dijadikan musuh.
Tapi di antaranya semuanya, ada satu orang yang masih baik meski Cindy terkenal dengan sikap arogannya. Haras. Meski tidak terang-terangan menunjukkan, tapi Cindy bisa merasakan bahwa Haras selalu ada saat ia membutuhkan. Lebih dari itu, Haras adalah satu-satunya orang yang bisa membuatnya tenang dan merasa aman. Cindy belum menemukan lagi orang seperti itu.
Lalu, apa salah jika ia ingin Haras?
"Kaki kamu udah baikan?"
"Huh? Oh, lumayan.."
Perempuan yang duduk di sebelah Cindy adalah perempuan yang malam itu membawa Cindy ke rumah sakit. Dia termasuk yang terpintar di kelas meski penampilannya sederhana dan sepertinya ia bukan dari keluarga kaya. Di antara seluruh penghuni kelas, dia satu-satunya yang masih mau bicara dengan baik pada Cindy. Meski sudah berkali-kali dibuat sakit hati karena sikap jutek Cindy.
"Nggak usah dipikirin omongan orang. Ntar juga mereka capek.." perempuan bernama Aina itu tersenyum.
"Lo kenapa sih masih mau aja ngomong sama gue? Nggak alergi kayak yang lain?" Seperti biasa, Cindy selalu ceplas-ceplos utarakan isi hatinya.
"Emang kamu virus yang harus dihindari?" Ia tertawa kecil.
Cindy menatapnya.
Aina tersenyum lagi, dengan sangat lembut. "Gimana seseorang mau bersikap kepada orang lain, itu keputusan orang tersebut. Gimana kamu mau bersikap sama aku itu terserah kamu. Sama kayak aku mau bersikap bagaimana ke kamu itu terserah aku. Jadi aku pilih untuk kayak gini sama kamu terlepas dari bagaimana kamu ke aku.."
Cindy menaikkan alisnya. Satu lagi orang dengan katakter baik, yang langsung mengingatkannya pada Baby. Sejujurnya Cindy benci orang seperti itu. Menurutnya orang seperti itu palsu. Bersembunyi di balik kebaikan. Cindy tidak bisa percaya.
"Ini bagian aku udah selesai, tulis bagian kamu di situ. Aku mau ketoilet sebentar." Aina serahkan kertas laporannya pada Cindy. Ia kemudian bangkit dan berlalu.
Cindy menatap kertas yang sudah berisi goresan pena Aina. Dia yang salah menilai orang atau orang-orang itu yang pandai bersandiwara??
...
"Lo kenapa sih, By?"
"Hah kenapa? Lo ngomong apa tadi?"
Milani menghembuskan napas. Ia letakkan pensilnya di atas kanvas. "Gue manggil lo dua kali, lo nggak nyahut. Gue udah ngomong panjang lebar lo malah bengong. Lo kenapa? Ada masalah?"
Baby menatap kanvas putih miliknya. Sudah 20 menit dan belum ada yang ia goreskan di sana. Pikirannya jelas sedang tidak ada di sini.
"Lo lagi mikirin gosip si Haras sama Cindy ya?"
Baby menoleh. "Mil," Baby menarik napas. Ia terlihat ragu untuk bicara. "Sebenarnya ada yang nggak gue ceritain sama lo.."
Milani menaikkan alis.
Baby tampak menimbang. Tapi kemudian ia menggeleng. "Udah lah, lupain aja..." Baby menarik kanvasnya, mulai menggoreskan sesuatu di sana.
"Ih nanggung By. Jangan bikin gue penasaran.."
Baby masih belum bergeming. Ia memang tidak berniat cerita sebenarnya.
"Soal apa sih? Haras?"
"..."
"By, gue kepo nih. Soal apa sih? Lo cemburu Haras digosipin sama Cindy?"
"..."
"Tapi kan mereka saudara, ya walaupun nggak ada hubungan darah sih.."
Baby menarik napas pelan. "Gue nggak mau cerita soal ini sebenarnya, tapi..." Baby menjeda cukup lama. Baby membuang napas, mengalah. "Sebenarnya Cindy pernah nembak Haras waktu SMA, kelas 1. Waktu gue belum jadian sama Haras.."
Milani melotot. "APA?!"
"Stt, pelanin suara lo.." Baby membekap mulut Milani. Untung saja seluruh penghuni studio sedang fokus.
"Lo serius? Gila, dia beneran nembak Haras?"
Baby mengangguk.
"Kok bisa? Maksud gue, ya walaupun mereka nggak sedarah kan tetap aja gitu..." Milani kemudian menggaruk kepalanya. Tampak bingung. "Eh tapi kalau dipikir-pikir sih sah-sah aja ya. Maksud gue, toh mereka gak ada hubungan darah sama sekali. Mereka juga tau kalau mereka gak ada hubungan darah.."
Milani mendekatkan posisinya pada Baby. Takut ada yang mendengar.
"Tapi si Harasnya gimana? Maksud gue gimana reaksi dia pas Cindy nembak? Tapi kok bisa sih Cindy nembak? Bukannya lo bilang dia tuh pas SD pindah ke Jepang dan gak pernah balik.."
Baby menghentikan aktivitasnya. "Dia pernah balik. Haras juga pernah ke Jepang dulu waktu SMP. Pas kelas 1 SMA Cindy ke Indo, terus ya gitu.."
"Dia kapan naksirnya sama Haras? Aneh aja gitu. Ketemu aja jarang gimana bisa naksir?"
Baby mengendikkan bahu. Kembali menerawang ke masa lalu. Mungkin... mungkin Cindy sudah suka Haras dari saat SD. Mungkin... memang sudah sejak dulu Cindy punya perasaan pada Haras. Jika iya, berarti Cindy memang sudah lebih dulu suka pada Haras.
"Terus Harasnya sendiri gimana?"
"Huh?"
"Harasnya gimana reaksi dia waktu itu? Nggak mungkin Haras suka sama dia juga kan? Kalau iya nggak mungkin lah lo jadian sama Haras..."
Deg... Baby termagu.
"Lagian dia bukan tipe Haras kayaknya. Jauh banget antara lo sama si Cindy. Nggak ada mirip-miripnya kalian."
Bagaimana perasaan Haras pada Cindy waktu itu?
"Jadi masalahnya apa, By? Jangan bilang masalahnya si Cindy yang pernah naksir Haras?"
Bagaimana perasaan Haras pada Cindy, sekarang?
"Atau.. jangan bilang Cindy masih suka sama Haras? Nggak mungkin kan?!" Milani kaget sendiri.
Dan itu yang juga jadi tanya dalam kepala Baby. Ia sendiri bahkan tidak tau bagaimana perasaan Haras pada Cindy. Nyatanya Haras tidak pernah benar-benar membahas hal itu dengannya. Tidak dulu setelah ia menolak Cindy. Tidak dulu sebelum mereka pacaran. Tidak juga saat ini setelah Cindy datang lagi.
Baby tidak pernah benar-benar tau bagaimana perasaan Haras pada saudaranya itu.
"By..."
"Lanjut lukisnya. Udah jam berapa nih?" Kata Baby mengalihkan topik pembicaraan. Milani tau Baby tak ingin membahas, jadi ia tak ingin memaksa. Nanti mungkin Baby akan bercerita jika sudah siap.
...
"Woy ngelamun..." sebuah air botol dingin mendarat di kening Baby.
"Bang.."
"Nih.." Ron menyerahkan botol itu pada Baby.
"Apa nih? Nyogok ya?"
Ron tertawa. "Nggak lah. Ngapain nyogok?" Ia melipat tangan di d**a.
"Tuh.." Baby tunjuk sosok cantik yang tengah berbincang dengan adik-adik Duta Fakultas.
Ron tertawa lagi. "Malu tau udah segede gini masih pake cara begituan. Abang nggak butuh nyogok-nyogok mah. Abang bisa deketin sendiri.."
Baby mencibir sambil manggut-manggut. "Ok, yang gentleman.." godanya.
"Kamu ngapain bengong sendirian di sini?"
"Siapa yang bengong?"
"Tuh, anak cicak di dinding.."
"Mana?"
Ron menyentil kening Baby. "Bercanda malah diladenin.."
Baby terkekeh. "Abang sendiri ngapain di sini? Kalau mau ketemu mah samperin aja kali bang.."
Ron mengarahkan sebentar pandangannya pada Milani yang tengah tertawa. Ia tersenyum. "Abang nggak mau nyamperin dia, abang ke sini mau ketemu kamu.."
"Aku? Ngapain?"
Ron kemudian menyampaikan maksud dan tujuan sebenarnya ia menemui Baby. Perempuan itu mendengarkan dengan seksama.
"Kenapa nggak Milani aja, Bang? Kan bisa sekalian..."
"Mama abang sukanya lukisan kamu, By. Waktu itu Mama abang pernah liat lukisan kamu yang menang lomba. Katanya karakternya sama kayak beliau. Ya begitulah intinya. Abang juga nggak ngerti-ngerti banget soal estetika lukisan."
Baby tampak berpikir. "Itu buat kapan?"
"Tiga minggu lagi sih. Tapi abang takutnya kamu sibuk, makanya abang kasih tau sekarang. Gimana? Bisa?"
Baby mengangguk. "Bisa, tenang aja. Mama abang penikmat lukisan ya?"
Ron diam sebentar, ia kemudian tersenyum tipis dan mengangguk. "Ya begitulah.."
Dari arah depan tampak Milani mendekat ke arah mereka. Ia sedang bicara dengan seseorang di telfon. Ia terlihat kesal meski nada suara ia bicara masih terdengar normal. Hanya saja wajahnya terlihat tengah menahan emosi.
"Ih ya ampun, ngeselin banget nih orang.." kesal Milani.
Ron dan Baby sama-sama tengah memandanginya.
"Kenapa?"
"Ini nih orang udah ditolak berkali-kali masih aja maksa. Udah dibilang nggak tertarik juga.."
Ron perhatikan saja perempuan cantik itu menggerutu. Terlihat lucu. Milani sepertinya tidak sadar kalau ada orang lain di sana.
"Siapa? Orang yang nawarin modeling kemaren?"
Milani mengangguk. "Maksa banget.."
"Sabar.. sabar.."
Milani menghela napas. "Uih, sejak kapan abang di sini?" Ia terkejut begitu menyadari ada Ron.
"Sejak tadi.." jawab Ron santai nyaris tanpa ekspresi.
Milani mengerjap beberapa kali. Masih shock.
"Queen kampus bisa marah juga ternyata.." ujar Ron tiba-tiba.
Milani mengerutkan kening.
"Kirain cuma bisa senyum aja.." tambah Ron. "Taunya bisa juga ngomel-ngomel.."
Milani melotot. "Itu maksudnya apa? Ya bisa lah, kan manusia normal.."
Ron manggut-manggut. "Kan Abang nggak bilang kalau kamu nggak normal.."
Milani menatap Ron dengan ekspresi tak bersahabat.
"Yaudah, abang cabut dulu ya, By. Ntar abang kabarin lagi infonya.." Ron melangkah menjauh.
Milani mendekat ke samping Baby tanpa melepaskan pandangan dari Ron yang semakin menjauh. "Tuh orang ngapain sih di sini? Sering banget ke sini perasaan.."
"Kenapa? Emang nggak boleh?"
"Ih dia tuh ngeselin ya ternyata. Orang lagi bete makin bete.."
Baby tersenyum. "Hati-hati, nanti jadi suka.."
"Percuma juga ganteng kalo ngeselin..." Milani mencibir.
Baby geleng-geleng. Bang Ron sepertinya memang tidak butuh bantuan. Ia tau apa yang harus dilakukan untuk membuat Milani terus mengingatnya. Kadang sikap menyebalkan lebih mudah menarik perhatian daripada sikap baik.
"Eh tuh Haras.."
Tampak Haras sedang melangkah ke arah mereka.
"Sana ngedate dulu.." goda Milani.
...
"Nyari apa?" tanya Haras.
"Kemaren aku ninggalin power bank kayaknya di sini. Soalnya di kamar nggak ada.."
"Oh. Ada tuh.." Haras tunjuk laci mobilnya. Baby membuka laci dan menemukan power bank nya di sana.
"Ini baju kenapa di sini?" Ada sebuah baju kaos warna hitam di dalam laci.
"Oh, tadi mau pergi rencananya, tapi nggak jadi.."
"Ke mana?"
"Sama Kayhan, ketemu senior.."
Baby manggut-manggut. Mereka sampai di restoran Korea langgangan mereka.
"Gimana OSPEKnya?"
"Lancar. Tapi kadang ada lah masalah-masalah kecil, cuman nggak terlalu serius.."
"Kapan acara kemahnya?"
"Belum tau. Kemungkinan dua sampai tiga minggu habis closing ceremony FoA.."
Pesanan mereka datang. Baby dan Haras sudah sama-sama lapar. Jadi tidak menunggu lama, mereka langsung menyantap makanan itu. Makan malam mereka berjalan normal. Semua berjalan baik seperti biasanya.
Baby menatap Haras seksama. Semua sepertinya baik-baik saja. Mungkin hanya dia yang melebih-lebihkan. Mungkin dia hanya cemburu. Buktinya Haras masih sama. Semua masih sama. Tidak ada yang berubah sama sekali. Sepertinya hanya ia yang terlalu over reacting. Haras benar, apa yang terjadi di masa lalu sudah berlalu. Tidak ada gunanya lagi dipikirkan. Yang penting adalah saat ini. Haras bersamanya, maka sudah cukup.
Baby menarik napas dalam. Ia sudah putuskan untuk melepaskan semuanya. Melupakan sesuatu yang nyatanya bukan masalah sama sekali. Semua baik-baik saja. Ia dan Haras baik-baik saja. Baby akan lupakan semua pertanyaan tentang Cindy. Kini hanya ia dan Haras. Hanya itu yang Baby perlu ingat.
Semua akan baik-baik saja...
***