L 08. MOSIMA

3094 Kata
[Author Pov] Ini baru satu minggu MOSIMA berlangsung. Tapi maba dari fakultas teknik itu sudah kelimpungan bukan main. Sebab semua hal-hal mitos yang kerap mereka dengar tentang anak teknik itu adalah benar. Mereka merasakannya dan ini baru satu minggu. "Njir, kuliah seharian padat kek taik. Sore harus kumpul pula." Itu adalah beberapa bentuk protes para maba. "Kemaren aja kita selesai kuliah jam lima masih ditahan sampai jam 7 di sana. Gimana hari ini?" "Kalau pulang cepet mana tau aja nanti selesainya juga cepet," salah satunya berkomentar. Memberi pendapat positif. "Lo yakin? Cabut ajalah kita. Nggak ada jaminan nanti bakal cepet selesainya." "Cabut? Lo berani?" "Ya makanya rame-rame." "Rame-rame ketahuan lah." "Ya gapapa. Ntar dihukumnya juga rame-rame." Para maba itu sibuk berdebat antara harus kabur atau tetap menghadiri MOSIMA. "Hsstt diam.." salah satu memberi kode teman-temannya untuk diam. Beberapa senior yang mereka sudah sangat hafal wajahnya tengah melewati koridor menuju ke bagian lain gedung. Empat orang itu terlihat serius. "Duh, horor gue baru lihat muka mereka." "Tapi Kak Kayhan masih mending ya daripada yang lain. Dia jarang ngomong. Kalaupun ngomong juga baik gitu. Nggak bikin spot jantung." "Iya. Beda kalau sama Kak Haras. Njir. Dia baru natap aja gue udah merinding." "Siapa yang lo bilang baik?" "Eh Pelangi. Itu Kak Kayhan.." Pelangi meneguk teh botolnya. "Dari mananya baik?" Ke empat anak laki-laki itu saling berpandangan. "Ya setidaknya dia nggak suka marah-marah. Ramah juga orangnya. Perawakannya juga lembut." Pelangi menyeringai. "Lembut? Ketipu casing lo.." Lagi-lagi keempatnya saling pandang. Bingung juga kaget dengan kalimat Pelangi. "Lo pada pas pertama kali liat Kak Haras pendapatnya gimana? Pasti mikirnya dia juga lembut kan?" Keempatnya terdiam. Sebenarnya mereka setuju dengan Pelangi. Saat awal, sebelum MOSIMA seminggu ini, mereka memang mengira Haras sangat baik dan lembut. Wajahnya itu terlalu polos untuk jadi orang kejam. Tapi lihatlah. Hampir semua maba dibuat shock di hari pertama MOSIMA. Dan kekejaman Haras membungkam semua pendapat positif dalam sekejap. "Kak Kayhan itu nggak akan jauh beda sama Kak Haras. Percaya sama gue." Pelangi mencibir. "Terserah kalian mau percaya atau enggak. Ada 9 orang panitia inti MOSIMA. Dan nggak satupun dari mereka itu yang punya hati lembut. Ntar juga keluar taringnya satu-satu." Salah satu anak laki-laki itu tertawa. "Becanda aja lo. Emang lo udah pernah kuliah di teknik?" Pelangi mengendikkan bahunya cuek. "Tau bukan berarti gue harus udah ngalamin. Pengetahuan itu nggak selalu dari pengalaman kita. Bisa juga dari pengalaman orang lain." "Terus maksud lo Kak Nayya juga kejam gitu? Orang semanis dan seimut Kak Nayya?" Bahkan keempat anak laki-laki itu masih belum bisa percaya pada Pelangi. "Terserah sih lo mau percaya atau enggak. Tapi siapin aja mental sih kalau kata gue. Ini baru seminggu. Masih panjang waktunya buat kalian sadar.." Pelangi berucap diplomatis. Kemudian ia bangkit setelah membuat teman-teman jurusannya bergidik ngeri. ... "LIHAT! KARENA ULAH KALIAN, TEMAN KALIAN JADI KORBAN! INI YANG NAMANYA TEMAN?! MENGORBANKAN TEMANNYA SENDIRI UNTUK KEPENTINGAN PRIBADI!!" Seluruh maba Jurusan Arsitektur itu terdiam. Mereka sedang berada di lapangan. Cuaca cukup terik. Tapi maba itu tidak kepanasan. Karena mereka duduk nyaman, berteduh di bawah pohon rindang. Tapi sayangnya bukan semua maba jurusan Ars berada di sana. Ada 9 orang yang kini tengah berada di bawah terik matahari. Tidak hanya itu, kaki mereka juga tengah direndam di got alias drainase, tanpa alas kaki. Nayya, senior tahun tiga yang tadi mengamuk itu menatap satu persatu dari 9 maba yang kini tengah mendapat hukuman. "Gimana nih, dek? Padahal kalian nggak salah tapi kalian harus dihukum karena temen-temen kalian telat datangnya." Nayya berjalan mondar-mandir. Beberapa panitia ada bersama Nayya. Berdiri di dekat para maba yang dihukum. Sedangkan Haras dan Faro tengah duduk di tribun. Kayhan dan dua panitia lain bersama maba yang tidak dihukum. "Harusnya kalian nggak dihukum karena kalian datang tepat waktu. Tapi karena teman kalian terlambat, jadi kalian harus berdiri di sini. Gimana? Airnya dingin?" Ke 9 maba itu mengangguk. Nayya tersenyum. "Oh ya?" Ia manggut-manggut. "Mau di sini sampai sore?" Tak ada jawaban. Nayya kemudian setengah berteriak pada panitia yang berada di bawah pohon. "Kak, katanya mereka mau di sini sampai sore. Teman-temannya yang lain suruh pulang aja!!" Ke 9 maba itu terkejut karena mereka merasa tidak pernah berkata demikian. "Kenapa kaget gitu? Kakak salah ngomong?" Nayya pura-pura kaget. "Kami di sini sampai sore, Kak?" Nayya mengangguk santai. "Sampai maghrib malah." Mereka melotot lalu saling pandang. "Tenang aja. Kampus kita terang kok. Lagian kakak bakal temenin di sini.." Nayya berikan senyuman terbaiknya. "ADIK-ADIK INI BERARTI BOLEH PULANG, KAK?!" Ogi berteriak dari bawah pohon. "BOLEH!!" "Kak.." panggil salah satu dari sembilan maba yang dihukum. Nayya melipat tangan di d**a. "Kenapa?" "Kami juga mau pulang kak.." "Waduh. Gimana ya? Kakak sih mau aja, tapi temen kalian nggak bolehin kalian pulang. Gimana dong?" "Maksud kakak?" "Ya teman kalian. Kalau mereka pulang ya kalian nggak boleh pulang. Kalau kalian mau pulang, temen kalian nggak boleh pulang. Gimana?" Mereka mengerutkan kening. Tidak mengerti juga bercampur takut. "Tapi berhubung kalian yang dihukum, jadi teman kalian yang akan pulang. Kalian akan tetap di sini." "Tapi Kak—" Nayya menghembuskan napas membuat maba itu terdiam seketika. Nayya memberi kode agar semua maba berkumpul di satu tempat. Ogi langsung menggiring maba itu ke pinggir lapangan ke tempat Nayya berada. "Kalian mau menyampaikan sesuatu?" Sembilan maba itu bungkam. "Nggak ada yang mau ngomong?" tanyanya lagi. "Ok. Kalian bisa bubar—" "Kak.." akhirnya salah satu dari sembilan maba yang kena hukuman itu angkat bicara. "Kenapa kami yang dihukum, Kak? Padahal kami tidak terlambat.." Nayya tidak terkejut dengan pertanyaan itu. Alih-alih marah, ia justru mendekat. Ia kemudian membaca tulisan yang tertera di ID card maba itu. "Pelangi. Wow, nama kamu bagus. Berarti kamu terdiri dari banyak warna ya." Nayya tersenyum. "Pelangi nanya nih, Kak. Kenapa mereka yang dihukum dan bukan yang datang terlambat? Masih ada yang mau bertanya lagi?" Senyap. "Kamu kenal sama dia?" tanya Nayya pada anak perempuan yang berdiri di depannya. Perempuan itu menatap Nayya takut-takut kemudian mengangguk. "Kenal di mana?" "Satu kelas, kak.." "Kamu juga? Satu kelas sama dia?" Lagi-lagi Nayya mendapat anggukan sebagai jawaban. "Coba angkat tangan ada berapa orang yang satu kelas sama Pelangi?" Kurang lebih setengah maba itu mengangkat tangan. "Kamu satu kelas sama Pelangi?" Tanya Nayya pada salah satu maba yang juga dihukum. "Tidak, kak. Kami beda kelas.." "Coba angkat tangan yang sekelas sama Ary!" Setengah maba mengangkat tangan mereka. Hening. Kemudian Nayya geleng-geleng. Ia tiba-tiba tersenyum. "Gimana nih, Kak?" tanyanya pada Kayhan yang berdiri di bagian kanan barisan. "Apa kita kasih aja mereka pulang? Kayaknya adik-adik ini capek." Nayya mendekat pada satu maba yang berada di tengah barisan. "Kamu capek?" Maba itu tak menjawab. "Jawab aja. Kakak nggak makan orang kok. Masa cantik-cantik gini makan orang.." "I-iya, Kak.." "Kamu capek juga? Mau pulang?" "I-iya, Kak.." "Ok." Nayya keluar dari barisan. "Tadi kamu nanya kan, kenapa kalian yang dihukum? Sekarang gantian kakak yang nanya. Kenapa kamu bisa datangnya nggak telat sementara teman-teman kamu telat?" Pelangi yang ditanyai langsung bungkam. "Kamu bolos kelas?" Pelangi menggeleng. "Terus kenapa kalian bisa beda datangnya? Kamu bolos kelas?" Tunjuk Nayya pada salah satu maba yang tadi mengaku sekelas dengan Pelangi. Ia menggeleng. Nayya tertawa bingung. "Terus gimana? Kalian sekelas tapi yang satu bisa datang tepat waktu yang lainnya enggak? Kalian punya jam pulang beda gitu?" "..." "Kenapa diam? Nggak ada yang mau jelasin? Tolong dong jelasin. Saya nggak ngerti nih konsepnya gimana? Apa Pelangi izin dulu sama dosennya buat keluar duluan atau kalian yang ada kelas tambahan tapi Pelangi nggak ikut?" "..." "Kak.." seseorang bersuara. "Mana yang ngomong?" Anak laki-laki itu mengangkat tangan. "19-016, Gema. Saya mau minta maaf, Kak.." "Minta maaf buat apa?" tanya Nayya bingung. "Saya datangnya telat, Kak.." "Kenapa kamu minta maaf? Kan bukan kamu sendiri." "Kami minta maaf, Kak.." "Kenapa kamu yang minta maaf? Teman-teman kamu aja belum tentu mau minta maaf." Seluruh maba itu saling pandang. "Daripada minta-minta maaf berhubung lebaran udah lewat, mending gini aja deh. Kalian pulang aja ya." "Pu-pulang, Kak?" "Iya. Kalian boleh pulang. Lagian mau ngapain di sini?" Maba itu mengerutkan kening bingung. Tentu saja itu aneh. Nayya membiarkan mereka pulang tanpa melakukan apapun? Sungguh? "Lah, kenapa malah bingung gitu? Kalian boleh pulang. Nggak mau?" "Mau Kak!" Jawab mereka serentak. "Wah kalian langsung semangat ya disuruh pulang.." Nayya manggut-manggut. Ia masih tersenyum. "Sana ambil barang-barang kalian.." Tanpa disuruh dua kali maba itu bergegas mengambil barang mereka. Dalam dua menit mereka sudah kembali ke barisan. "Nggak ada yang tinggal barangnya?" "TIDAK KAK!!" "Ok." Nayya tersenyum. Ia kemudian menghadap ke 9 maba yang dihukum. "Kalian sanggup kan di sini sampai maghrib?" Nayya melirik jamnya. "Nggak lama kok. Tinggal 3 jam 25 menit lagi.." Seluruh maba itu sontak bergumam, terkejut. "Kenapa?" Tanya Nayya tanpa merasa bersalah. "Kok kaget gitu? Kalian mau pulang kan? Kak Ogi, bubarin mereka. Pasti mereka udah nggak sabar mau ketemu kasur.." "Tapi, Kak—" "Kenapa?" "Teman kami?" "Siapa?" Nayya melirik mereka bergantian. "Oh ini. Ya mereka kan lagi dihukum. Ya nggak boleh pulang. Nggak ada hubungan sama kalian. Kalian pulang aja. Mereka nggak apa-apa di sini.." "..." "Gimana dong? Teman kalian nggak ada yang perduli sama kalian. Gimana kalau kalian pindah angkatan aja? Mau nggak?" Nayya menepuk pundak salah satu dari sembilan maba yang dihukum. "Fa...ttan. Fatan, kamu mau nggak pindah angkatan? Pindah ke 18 gimana?" "Kamu juga. Paris. Mau pindah angkatan nggak? Ntar biar kakak yang ngomong ke 18 atau 17. Kamu numpang di angkatan mereka. Gimana?" "..." "Habisnya gimana? Teman angkatan kalian nggak ada yang butuh dan perduli sama kalian. Ngapain masih di sana? Kalian mau kayak gini lagi? Kalian nggak salah malah kalian dihukum?" "Kami nggak salah terus kenapa kami yang dihukum, Kak? Harusnya mereka yang dihukum!" Itu Fattan yang bicara. Pria berkaca mata itu terlihat memasang wajah serius. "Kalian beneran mau tau kenapa kalian yang dihukum?" "Iya, Kak!" "Oke kita bakal cerita-cerita setelah teman kalian pulang. Loh kenapa masih di sini? Kenapa belum bubar?" "Te-teman kami, Kak.." Nayya menghela napas kasar. "Kalian ngaku teman tapi sikap kalian nggak mencerminkan kata itu sama sekali! Apa kalian paham apa artinya teman?!" Semuanya terdiam. Haras dan Faro perlahan turun dari tribun. "Teman kalian datang dari tadi. Nggak cuma itu, mereka bahkan harus dihukum di sini karena kalian datang terlambat. Tapi kalian dengan santainya bilang capek dan mau pulang! Apa kalian seegois itu ninggalin dan ngorbanin teman kalian untuk diri kalian sendiri?!" Nayya menatap maba itu bergantian. "Apa kalian merasa terdzolimi karena dihukum padahal nggak salah?" "..." "Kalian bisa nggak telat, tapi kenapa lebih dari setengah teman kalian bisa telat? Apa kalian jam keluarnya beda? Oh ini masalahnya bukan jam keluar. Ini masalah kalian egois. Kalian mementingkan diri kalian sendiri. Kalian tau apa yang kurang? Kurang kepedulian. Rasa peduli kalian satu sama lain tuh nggak ada. Ngapain mikirin yang lain? Yang penting kan sendirinya udah selamat." Nayya menarik napas dalam. "Apa kamu nggak ketemu teman kamu dalam perjalanan ke sini? Pelangi? Paris? Julia? Nggak ada. Apa kalian nggak menemukan satu pun teman kalian? Apa kalian nggak bisa mengajak mereka untuk pergi bersama kalian? Nggak bisa mengingatkan satu sama lain?" Suasana benar-benar sunyi di tengah cukup teriknya sinar matahari. "Coba kalian peduli sedikit aja sama teman kalian, sama lingkungan sekitar kalian, ini nggak akan terjadi. Kalau kalian mau hidup di lingkungan masa bodoh, nggak perlu kuliah di sini. Kuliah di tempat lain. Kami nggak menerima orang-orang yang hanya mementingkan diri mereka sendiri." Seluruh maba menunduk. Entah benar-benar merenungi kesalahan atau sekedar takut dan kepanasan. "Kami minta maaf, Kak.." "Kami? Tapi yang ngomong kamu sendiri," sindir Nayya. "KAMI MINTA MAAF, KAK!!" "Minta maaf sama teman kalian!" "KAMI MINTA MAAF TEMAN-TEMAN!" "Udah tau letak kesalahan kalian di mana?!" "Udah, Kak!" "Jawab yang bener? Anak teknik kok lempeng!" "UDAH, KAK!!" "Saya harap ini nggak cuma hari ini aja. Tapi seterusnya kalian harus ingat itu! MENGERTI?" "MENGERTI, KAK!" "Kalian boleh keluar. Cuci dulu kaki kalian.." kesembilan maba itu segera pergi. Tak lama mereka kembali dan bergabung dengan maba yang lain. Kayhan kemudian mengambil alih. "Ini namanya buku suci. Saya akan langsung jelaskan. Buku suci ini adalah buku keramat kalian. Kenapa keramat? Karena buku ini berguna bagian kalian untuk mengenal senior-senior kalian. Kami akan beri waktu dua bulan untuk mendapatkan tanda tangan senior-senior kalian sebanyak 1000 tanda tangan.." "Seribu??!!" "Kurang banyak. Oke. 1500 tanda tangan. Saya harap kalian akan melakukannya dengan serius." "Ok. Sudah jelas kan adik-adik? Setelah pembagian buku suci kalian boleh pulang." Setelahnya Nayya dan sembilan panitia inti meninggalkan lapangan. Sementara panitia tahun dua membagikan buku suci kepada maba angkatan 2019. ... [Haras Pov] Setelah briefing selesai, seluruh panitia membubarkan diri. Aku melambaikan tangan pada Nayya yang keluar bersama Ogi. Entah ada urusan apa mereka berdua. Mungkin Ogi masih berusaha melakukan pedekate pada perempuan berambut pendek itu. Atau sebenarnya mereka sedang dalam tahap menuju "official"? "Anak-anak masih di klinik?" "Hm. Mau ke sana?" Tawar Kayhan. "Yuk sekalian. Gue ikut deh." Kami berdua meninggalkan markas. Sesampainya di klinik fakultas, kami menemukan sembilan maba yang tadi dihukum tengah diberi vitamin. Untungnya tidak ada yang serius. Kaki mereka direndam dalam air kotor selama hampir 3 jam tadi. "Kaki kalian udah dicuci pakai antiseptik?" "Sudah, Kak.." Kayhan mengangguk. Dokter jaga tersenyum pada kami. Untungnya kami sudah saling kenal jadi dia tidak akan banyak bertanya atau protes. Kegiatan semacam ini bukan hal baru di fakultas kami. Kadang memang tidak semua orang bisa menerima tradisi itu. Untungnya kami dikelilingi orang-orang yang mau mengerti dan mau memahami apa yang kami pertahankan. "Habis ini langsung pulang. Istirahat." Aku dan Kayhan kemudian segera meninggalkan klinik. ... Aku baru sampai di kamar. Aku bahkan belum mandi dan baru meneguk segelas air saat pintu kamar diketuk. "Siapa yang datang jam segini?" Aku membuka pintu. Dan aku benar-benar tak menyangka akan melihat Cindy berdiri di depan pintu kamarku. Seperti biasa ia betah dengan ekspresi angkuhnya. "Kenapa?" Dia menatapku. Cindy mengulurkan sebuah paper bag. "Itu seragam lo yang kemaren gue pakai. Gue sibuk baru bisa balikin sekarang.." "Ohh.." aku menerima paper bag itu. Sungguh, aku tak mau beramah tamah dan menawarkannya untuk masuk ke kamarku. "Thanks." Ia kemudian bersiap melangkah pergi. Perhatianku jatuh pada jarinya yang dibalut perban. "Kenapa tangan kamu?" Aku refleks bertanya. Ia menoleh. Melihat jarinya kemudian menoleh padaku. "Ngapain nanya? Bukan urusan lo," jawabnya ketus. Ia kemudian melenggang pergi. Aku hanya bisa geleng-geleng dan masuk kembali ke dalam kamar. ... Seminggu ini aku jarang bertemu Baby. Kalaupun bertemu waktu kami sangatlah sedikit. Aku sibuk dan dia juga mulai sibuk dengan kepanitiaan dan kuliahnya. Aku dengar mereka sedang merancang pameran untuk akhir tahun. Kegiatan rutin mahasiswa tahun ke tiga. Sebenarnya ada tempat yang ingin aku kunjungi. Sudah sangat lama kami tidak ke sana. Aku bahkan sudah lupa kapan terakhir kali kami ke sana. Tapi dengan kondisi Baby, aku sadar itu tidak mungkin. Aku baru sampai di parkiran asrama Baby. Aku mengambil cokelat di kursi sampaing dan bersiap turun. Tapi pemandangan tak jauh di depan sana membuat aku langsung kesal. Kami sudah pacaran cukup lama. Memasuki tahun ke empat dalam beberapa bulan. Tapi karena suatu hal kami harus merahasiakan bahwa sebenarnya kami pacaran. Hal ini dimulai sejak semester dua kelas 3 SMA. Baby menderita anxiety disorder alias gangguan kecemasan. Dan aku adalah penyebab ia menderita hal tersebut. Itulah kenapa kami memutuskan untuk merahasiakan hubungan kami saat masuk kuliah. Selama kami pacaran hampir tak pernah ada masalah serius. Tentu saja kami pernah bertengkar sesekali. Tapi itu tidak pernah menjadi benar-benar besar sampai kami sanggup saling diam. Tidak. Kami tidak pernah seperti itu. Paling lama aku tidak bicara padanya karena marah adalah 25 menit 38 detik. Itu karena dia nekat pergi menonton pertandingan basket sekolah kami padahal dia saat itu sedang demam. Aku tidak pernah masalah karena kami terpaksa menyembunyikan hubungan kami. Tapi saat-saat seperti inilah yang kadang membuat aku kesal dan panas di ubun-ubun. Ketika banyak laki-laki mencoba mendekati Baby seolah dia adalah perempuan single. Tck. Dasar laki-laki. Tidak bisa melihat perempuan bening sedikit! "Be, sejak kapan di sana?" Baby terlihat terkejut dengan kehadiran. Laki-laki yang aku tau senior Baby tadi sudah pergi. Sepertinya ia baru saja memberikan bunga pada pacar orang. Dasar laki-laki norak! "Bunganya bagus.." Baby menoleh pada buket kecil bunga di tangannya. "Oh ini.." ia melirikku sembari menggaruk tengkuknya. Aku membuang napas pelan kemudian meraih tangannya dan menggenggamnya. Berjalan memasuki asrama sebelum lebih banyak orang melihat. "Pacarku ditelpon nggak diangkat. Tau-taunya lagi dikasih bunga sama orang lain.." aku hebat dalam menyindir. Tentu saja. Semenjak berteman dengan Kayhan kemampuan menyindirku menjadi semakin bagus. "Dia kasih selamat untuk kemenangan aku kemarin.." Kalau aku tidak mengenal laki-laki itu mungkin aku akan biasa saja. Tapi aku sangat mengenal laki-laki itu. Dia senior Baby yang sudah sejak semester 1 bahkan sejak OSPEK mengejar Baby. Dia sudah menyukai Baby lama dan sepertinya masih belum menyerah sampai sekarang. Sepertinya perlu aku beri pelajaran dengan mengirimkan foto kue aniv kami padanya. Fiuh, tapi kami bukan tipe orang yang merayakan hari jadian dengan potong kue dan semacamnya. "Be, kamu nggak dengerin aku ya?" "Hah, kenapa?" Baby geleng-geleng. Kami masuk ke dalam kamarnya. Ternyata ada Kak Dara di sana. Ada teman Kak Dara juga yang sudah aku kenal. "Har, udah lama nggak ketemu.." Kak Titan menyambutku dengan antusias. "Kakak sibuk banget kayaknya.." "Biasalah, mahasiswa tingkat akhir. Kalau nggak sibuk berarti nggak ada niat buat lulus.." Aku tertawa. "Lagi pada ngapain nih anak seni kumpul di sini?" "Ini, lagi bahas buat pameran.." Aku manggut-manggut. Baby menghidangkan makanan ringan yang sepertinya ia beli tadi. Mereka kemudian sudah tenggelam dengan kegiatan mereka. Aku berbaring di kasur sambil memainkan ponsel. Tapi ternyata hal itu hanya bertahan kurang lebih setengah jam. Setelahnya aku bosan. Baby masih serius dengan kedua seniornya dan aku tidak mau mengganggu. Aku ingin tidur tapi mata sedang tidak mengantuk. "By.." aku memanggilnya. Baby menoleh. Ia kemudian menghampiriku. "Aku keluar ya.." "Ke mana?" "Ke bawah, tempat Kay." "Hmmm, maaf ya, kamu ke sini aku malah sibuk gini nggak bisa nemenin.." katanya penuh sesal. Pacarku memang sangat cantik dan menggemaskan. Aku tersenyum dan mengusap pipinya. "Nggak apa-apa. Sebenarnya aku mau ke pasar malam. Kamu mau nitip sesuatu?" Ia mengangguk antusias kemudian menyebutkan apa yang ia inginkan. "Ok.." setelah pamit pada dua senior itu aku segera meninggalkan kamar. Sebelum pergi aku sempat berikan ciuman sekilas pada kening Baby. Kegiatan satu itu tidak boleh dilupakan. ... "Nggak mau, Har. Gue capek! Ngantuk!" Kayhan kembali tenggelam di antara bantal dan selimutnya. "Capek pala lo domba! Nggak ada kerja juga ngomongnya capek! BURUAN KAY!!" Aku tarik paksa selimutnya. Kemudian aku tarik kakinya. Kayhan menerjang dengan kesal. Tapi bukan aku jika tidak bisa membuat Kayhan menyerah. "SETAN b******k!!" Makinya sebelum hilang ke kamar mandi dengan muka dongkol. Aku membalas dengan tawa cuek kemudian mengambil majalah sembari menunggu si anak gadis Om Javier selesai bersolek. Rasanya sudah tidak sabar sampai di pasar malam. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN