[Haras Pov]
"Har, ayo.." Faro memanggil. Aku menarik napas dalam, kemudian merapikan seragam khusus FTSL yang aku kenakan. Ini adalah hari pertama OSPEK Fakultas dilaksanakan. Jujur saja, sebenarnya aku sedikit gugup karena aku tidak terbiasa dengan ini semua. Aku bukannya gugup menghadapi adik-adik maba, tapi aku gugup karena takut akan memarahi mereka secara berlebihan atau justru aku kurang tegas.
Kami memasuki aula milik FTSL. Berdiri di panggung berjajar. Di depan kami ratusan maba duduk tenang tanpa suara. Arah pandangan mereka jelas tertuju pada kami. Senyap. Apa mereka tegang? Harusnya mereka tidak perlu setegang itu karena kami tidak akan memakan mereka.
"Selamat sore semuanya!!" aku membuka suara.
"Selamat sore, Kak!!" mereka menjawab secara serentak. Suara mereka menggema di aula.
"Baiklah. Sebelumnya saya mengucapkan terimakasih karena kalian semua sudah hadir di sini. Saya akan memperkenalkan diri. Saya Haras, mahasiswa tahun ke tiga. Di sini saya akan menjadi pengawas kalian untuk ke depannya."
Terdengar gumaman.
"Tidak ada yang bersuara!!" Kayhan mengingatkan dengan tegas. Kemudian kembali sunyi.
"Seperti yang sudah dijelaskan pada hari terakhir OSPEK kemarin, saat di fakultas. Masa OSPEK memang sudah berakhir, tapi selama tiga bulan ke depan, kalian akan tetap menjalani MOSIMA, yaitu Orientasi Mahasiswa FTSL."
Para maba itu kembali bergumam, mungkin mereka terkejut. mungkin juga tidak terima karena kegiatan ini memang tidak ada dalam aturan universitas.
"TENANG!!" Kayhan kembali mengingatkan membuat keadaan kembali senyap.
"Kegiatan ini akan dilakukan perjurusan dan akan diawasi oleh masing-masing panitia dari jurusan tersebut. Meskipun kegiatan ini dilaksanakan secara terpisah oleh masing-masing jurusan, tapi kegiatan ini tetap berpusat pada fakultas. Hanya pelaksanaan saja yang akan dilakukan secara terpisah." Mereka masih tenang. Entah memang mendengarkan atau mereka takut untuk bersuara. "Jadi mulai besok, setiap selesai kuliah terakhir, semuanya berkumpul di sini. Mengerti?!"
Tidak ada suara.
"MENGERTI?!"
"MENGERTI, KAK!!"
"Apa ada yang ingin ditanyakan? Jika ada silahkan angkat tangan, berdiri. Sebutkan NMP, nama dan jurusan."
Seorang maba mengangkat tangannya. Ia kemudian berdiri.
"19-39, Aldan, Teknik Sipil." Ia memandang kami dengan takut-takut. Pasti butuh keberanian untuknya berdiri di tengah ratusan mahasiswa baru itu. Apalagi di sekeliling berdiri senior yang bisa aku katakan berwajah ganas. "Kami mungkin punya jadwal yang berbeda, Kak. Bagaimana caranya kami berkumpul di sini sementara jam pulang kami tidak sama?"
Aku mengangguk. Dia kemudian kembali duduk.
"Benar. Itulah kenapa kegiatan ini akan dihandle oleh panitia MOSIMA perwakilan dari masing-masing jurusan. Kelas manapun yang selesai lebih dulu, langsung berkumpul di sini." Aku menarik napas sebentar. "Dan yang perlu saya ingatkan. Semua kegiatan ini manfaatnya bukan untuk kami, tapi untuk kalian. Jadi saya berharap tidak ada yang berniat untuk tidak hadir. Dan satu lagi, masing-masing dari kalian harus saling mengingatkan. Mengerti?!"
"MENGERTI, KAK!!"
Setelah selesai, mereka semua diizinkan bubar. Kemudian seluruh panitia berkumpul. Kami harus berdiskusi untuk pelaksaan besok. Mulai besok seluruh maba akan berada di bawah pengawasan masing-masing senior jurusannya. Setelah merasa semua beres, kami membubarkan diri. Karena Kayhan sudah kelaparan kami segera menuju kantin.
...
Kantin cukup ramai. Tidak hanya oleh mahasiswa lama. Banyak juga maba. Bagaimana aku bisa tau? Karena mereka semua memakai seragam hitam putih. Khusus satu tahun pertama memang semuanya wajib memakai seragam hitam putih.
"Eh, baju kaos buat maba udah aman kan? Udah lo cek, kan?"
Faro mengangkat jempolnya. "Udah. Aman."
Kami berbincang tentang hal random. Obrolan kami memang tidak begitu penting. Kadang aku sendiri tidak mengerti tentang apa yang sedang kami bahas. Di tengah keseruan membahas tentang mantan imajinasi Ogi, tiba-tiba sudah berdiri seorang perempuan di samping meja kami. Dia bukan maba karena dia memakai baju biasa.
"Ini buat kakak.." ia meletakkan kotak berisi kue di atas meja.
"Kakak yang mana?" tanya Ogi. Dia memang tidak pernah tidak usil. Tapi benar. Ada empat orang di sini. Kue ini untuk siapa? Hmm, tapi aku sudah bisa menebak sebenarnya untuk siapa kue itu. Karena arah matanya jelas tertuju pada Kayhan.
"Buat kakak semuanya. Kak Kayhan, dimakan ya.." setelahnya perempuan itu pergi dengan senyuman di wajahnya.
"Ah elah. Buat kakak semuanya tapi yang disuruh makan si Kay doang.."
Faro menggeplak kepala Ogi. Lalu keduanya berdebat seperti biasa.
"Nggak capek apa ya nih orang?" Aku melirik Kayhan yang menatap kue tadi dengan pandangan lelah.
"Kenapa?" Tanyaku.
"Ngasih ginian mulu. Nggak capek apa mereka? Buang-buang duit lagi. Mending beli, makan sendiri. Heran gue cewek jaman sekarang pada agresif semua.."
Aku menepuk bahu Kayhan. "Mungkin mereka emang bener-bener suka sama lo. tapi kayaknya tuh cewek lumayan sering gue lihat ngasih ke lo. Apa hampir tiap minggu?" aku memang tidak begitu perduli pada lingkungan. Tapi perempuan yang tadi memang lumayan aku ingat karena ini bukan kali pertama ia memberi Kayhan kue. Aku lupa berapa kali tapi cukup sering.
Kayhan mengacuhkan kue itu dan kembali menyantap makanannya yang memang sudah hampir habis.
...
[Cindy Pov]
Sebenarnya aku sedang tidak ingin makan. Tapi karena aku masih ada pekerjaan, mau tidak mau aku harus menyumbat dulu perutku. Sejujurnya aku cukup menyukai suasana kampus ini. Awalnya aku memang punya pikiran negatif tentang belajar di sini. Aku yakin suasananya tidak akan sesuai dengan diriku. Tapi ternyata setelah beberapa hari di sini, tidak terlalu buruk.
"Pesan apa Mbak?"
"Jus Melon sama burger nya satu.."
"Tunggu sebentar ya.."
Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling kantin. Masih sangat ramai padahal sudah hampir jam 5 sore. Mungkin karena ini tanah air tempat aku dilahirkan. Meski tidak ada yang berbeda dengan lingkungan di kampus yang lama, tetap saja suasananya terasa tidak sama. di sini jauh lebih menenangkan meski aku tidak yakin apa yang membuat aku merasa begitu. Apakah karena orang-orang di sini sama denganku? Atau karena di sini aku bisa bebas menjadi apa yang aku inginkan?
Pandanganku berhenti pada satu meja. Empat orang di meja itu berhasil mencuri perhatianku. Bukan keempatnya, tapi satu orang yang tengah tertawa. Tanganku mengepal secara otomatis. Haras. Aku benar-benar membencinya. Seorang perempuan mendekati meja mereka. Ia seperti menyerahkan sebuah kotak. Mereka bicara sebentar, kemudian perempuan itu pergi.
Apa perempuan itu penggemar mereka? Sungguh? Bolehkah aku tertawa? Kenapa aku harus perduli? Aku segera memutar pandangan. Awalnya aku berniat untuk langsung pergi setelah menerima pesanan, tapi sepertinya aku sedang sial hari ini.
Suara kaca pecah sepertinya berhasil menarik perhatian orang-orang di kantin karena kini mereka memandang ke arahku.
"Sial.." aku mengumpat pelan. Pakaianku kotor oleh kuah bakso.
"Maaf, Kak. Maaf, saya nggak sengaja.." sepertinya mahasiswa baru. Ia berkali-kali meminta maaf.
Aku menatapnya tajam. Apa dia tidak melihat apa yang dia perbuat? Pakaianku kotor dan ini sangat memalukan menjadi pusat perhatian di tengah kantin.
"Udah, nggak apa-apa. Lain kali hati-hati.." itu memang aku yang mengatakan. Tidak ada gunanya juga aku marah padanya. Wajahnya sudah pucat karena takut. Mungkin dia tau kalau aku senior. Aku menghela napas. Astaga. Aku baru sadar kalau bajuku tembus pandang karena kuah bakso tadi.
"Tapi baju kakak.."
Aku menggeleng. "Nggak apa-" belum sempat aku menyelesaikan kalimatku, tiba-tiba sebuah seragam disilangkan di depanku. Aku terpaku saat Haras menyampirkan seragam itu ke badanku. Aku refleks memegangi seragam itu.
"Ada yang luka?" tanya Haras pada si anak perempuan. Kemudian ia menoleh padaku. Kami menggeleng bersamaan.
"Lain kali hati-hati. Kamu udah minta maaf?"
"Sudah, Kak.."
"Kamu boleh pergi.."
Anak perempuan itu sekali lagi menunduk sambil meminta maaf kemudian berterimakasih dan pergi.
"Udah bubar!" laki-laki yang tak lain adalah Kayhan membubarkan kerumunan. Semua kembali ke tempat mereka. Aku jadi merasa aneh saat empat orang laki-laki itu mengarahkan perhatian mereka padaku.
"Kamu nggak apa-apa?" Haras bertanya lagi. Dia benar-benar khawatir atau hanya pura-pura?
"Hm," aku menjawab dengan gumaman. Aku tidak berhasrat untuk bersuara.
"Kemana suara lo?"
Aku langsung mendelik pada si sialan Kayhan. Dia menatapku dengan pandangan yang sangat menyebalkan. Rasanya aku mau mencongkel bola matanya.
"Kamu masih ada kuliah?"
Aku mengarahkan pandangan pada Haras. Sudah tidak ada orang. Kenapa dia harus pura-pura baik begini? Aku tidak menjawabnya alih-alih membuka seragam yang tadi dia berikan. Tapi Haras lebih dulu menahan tanganku.
"Pake aja. Baju kamu terawang. Mau jadi tontonan?"
Aku memutar bola mata.
"Kalian kenal?" tiba-tiba laki-laki lain yang aku tidak tau namanya dan tidak ingin tau siapa namanya bersuara. Ia memandangi kami bergantian seolah ia sangat penasaran. "Kok lo kenal cewek cantik begini nggak ngasih tau gue, Har?"
Laki-laki itu mengaduh saat sebuah jitakan mendarat di kepalanya. Yang memukul adalah laki-laki jangkung yang berdiri di sebelahnya. Aku juga tidak tau namanya dan aku juga tidak perduli.
"Dah balik sana.." Haras mendorongku pelan. Aku secara refleks menurut dan meninggalkan mereka. Kenapa aku jadi penurut begini?
...
Akhirnya sampai juga di kamar. Astaga, hari ini benar-benar melelahkan. Setelah melepas sepatu dan meletakkan asal tas, aku merebahkan diri di kasurku tercinta. Rasanya aku tidak mau melakukan apapun lagi. Aku ingin langsung tidur saja. Tapi, aku terpaksa mengurungkan niat itu saat ingat kalau aku masih memakai seragam milik Haras. Karena tadi masih ada pekerjaan dan tidak bisa ditinggalkan, aku terpaksa memakai seragam milik Haras yang ukurannya jelas kebesaran untukku. Aku segera beranjak menuju kamar mandi.
Sepertinya ini seragam fakultas.
Harasatya. K terukir di bagian kanan atas. Tepat di bawah nama Haras terukir tulisan ATTAIR 17. Sementara di bagian belakang tulisan Fakultas Teknik Sipil Dan Lingkungan tercetak dengan rapi.
Aku menyentuh nama Haras yang terukir di sana. Sampai kapan aku bisa membenci dia? Apa bahkan aku bisa membenci dia? Semakin aku membencinya, justru aku merasa bahwa semakin besar aku membohongi diri sendiri.
Haras. Haras. Haras. Kenapa harus Haras? Kenapa harus dia yang menjadi anak Papi? Di antara semua orang di dunia ini kenapa harus Haras? Bukankah dunia tidak adil?
...
Kalau saja Mami tidak lupa mengisi rekeningku, maka hal ini tidak perlu terjadi. Aku terpaksa pergi keluar untuk membeli makanan karena yang aku punya hanya uang cash. Sebenarnya aku punya tabungan lain. Aku punya rekening yang selalu diisi oleh Papi Jo. Tapi aku hampir tidak pernah menggunakan uang itu. kenapa? Karena rasanya seperti aku dan Haras benar-benar saudara. Aku tidak menyukainya.
Sepertinya Haras ada di asrama karena aku melihat mobilnya terparkir di sini. Lupakan tentang Haras. Aku harus segera kembali ke kamar jika tidak ingin makanan ini dingin. Aku baru menutup pintu kamar saat aku mendengar suara yang cukup familiar tepat di depan pintu kamarku. Aku membuka pintu sedikit untuk mengintip.
"Seragamnya kotor. Lagian besok kegiatan jurusan. Hmm, nggak usah, aku ke sana. Ok.." aku melihatnya memasukkan ponsel ke dalam kantong celana kemudian dengan langkah besarnya ia menghilang di ujung menuju tangga. Dia terlihat sangat ceria.
Haras mau ke mana jam segini? Apa menemui pacarnya? Siapa? Dugaanku tidak mungkin benar, kan? Haras tidak mungkin pacaran dengan Baby, kan?
...
[Baby Pov]
"Seragamnya kenapa bisa kotor? Tumben banget. Ini baru hari pertama perasaan.." aku memasukkan seragam jurusan milik Haras ke dalam paper bag. Dia mengalihkan perhatiannya dari ponsel. Sejak tadi aku lihat dia serius dengan ponselnya.
"Sebenarnya seragamnya nggak kotor."
Aku menaikkan alis. Lalu?
Haras memandangiku dalam diam selama beberapa saat. "Seragamnya sama Cindy."
"..."
"Ada kejadian tadi di kantin pas kami lagi makan. Intinya Cindy ketumpahan kuah bakso dan bajunya kotor. Jadi aku pinjamin.."
Aku tersenyum. "Ohh.."
Aku melanjutkan pekerjaanku. Aku sedang menggambar tadi saat Haras menelpon akan ke kamarku untuk mengambil seragam jurusannya. Sejujurnya aku tidak butuh Haras menceritakan semua secara detail padaku. Aku bukan perempuan yang menuntut harus tau semua tentang dirinya. Aku tidak seegois itu. Dia punya privasi dan dunianya sendiri. Tidak semua yang ia lakukan aku harus tau. Tidak semua tentang dirinya juga harus ada aku. Aku memang pacarnya. Tapi bukan berarti dunianya 100% adalah diriku.
"Aku ketemu Cindy kemaren, di Klinik.."
"Klinik?"
"Hmm.." aku tersenyum pada Haras. Mengingat lagi bagaimana pertemuan dengan Cindy kemarin. "Dia kayaknya benci banget sama aku.." aku terkekeh sendiri.
"Dia ngajak berantem?"
Aku tergelak. "Ya enggaklah. Cuma ngomong aja sih dikit. Dia bener-benar ketus sampai Milani merinding.."
Haras masih menatapku menunggu aku melanjutkan.
"Tapi dia cantik ya. Udah lama banget aku nggak ketemu dia. Jauh lebih cantik dari waktu dia kecil.." Cindy memang cantik. Sangat cantik malah. Bukan saja wajahnya. Tapi juga kepercayaan dirinya. Aku bisa merasakan hal itu.
"Kamu nggak benci sama dia?" tanya Haras tiba-tiba.
Aku tertawa lagi. Kembali melanjutkan pekerjaan mencampurkan cat air.
"Aku emang nggak suka sih sama dia. Tapi nggak benci juga. Ngapain juga aku benci sama dia?"
"Tapi dia nggak pernah baik sama kamu.."
Aku mengangguk membenarkan ucapan Haras. Dia benar. Selama masa aku mengenal Cindy, dia memang tidak pernah bersikap baik padaku. Tapi bukan berarti dia jahat dan aku harus membencinya. Semua orang tau kalau Cindy memang sombong dan angkuh. Tidak hanya saat dia kecil dulu, bahkan sekarang sepertinya masih begitu. Tapi aku merasa tidak punya hak untuk menghakimi dia. Apapun sikapnya itu terserah dia. Tapi aku tidak akan ikut-ikutan membencinya seperti dia membenciku. Aku merasa Cindy membenciku karena keadaan. Untuk alasan itu aku bisa menerimanya.
"Kamu terlalu baik sama dia," Haras berkomentar lagi. Ia kembali memainkan ponselnya.
"Aku nggak baik sama dia. Kadang aku juga jahat kok sama dia. Cuma cara aku jahat sama dia nggak sama kayak dia jahat ke aku. Lagipula Cindy itu masih anak Om Jo. Masih saudara kamu.."
Haras menghela napas. "Kami bukan saudara. Setidaknya kami bukan saudara kandung."
Aku pandangi Haras. "Be kok gitu ngomongnya?"
Haras kembali menghela napas. Ia letakkan ponselnya di atas kasur kemudian ia menghampiriku dan duduk di kursi di depanku. "Kamu lagi ngapain sih? Aku bantu warnain ya. Bukan tugas kan?"
"Hm."
Haras mulai ikut mewarnai gambarku.
"Kamu beneran nggak benci sama Cindy?"
"Nggak."
"Marah?"
"Nggak juga. Kenapa harus marah?"
Haras mengangkat wajahnya. Menatapku. Kami terdiam beberapa detik.
"Aku nggak benar-benar tau apa yang Cindy rasain. Aku nggak ngerti juga karena itu dia dan bukan aku. Tapi aku bisa bilang kalau Cindy itu kesepain, Be. Kalau aku nggak kenal dia mungkin aku akan bilang kalau dia itu anak manja yang arrogantnya naujubilah. Tapi kita kenal Cindy dari kecil. Ya walaupun kita nggak tumbuh bersama. Tapi orang nggak mudah berubah. Dan menurut aku, sikap yang Cindy tunjukin ke kita itu cuma bentuk pertahanan diri dia aja.."
Selama beberapa detik kami masih saling memandang. "Uhh, pacar aku nih jurusan seni apa jurusan psikologi sih?" godanya dengan senyuman jahil.
Aku mencibir. "Jangan remehin anak seni ya. Anak seni peka tau.."
"Ohhh gituu.." ia masih saja menggodaku.
"Tapi aku nggak mau pura-pura baik ke dia cuma karena dia anak Papi juga.." suara Haras berubah dalam.
Aku tersenyum. "Tapi kamu emang baik sama dia, tulus.."
Alis Haras terangkat. Aku mengangguk membenarkan kalimatku. "Kamu nggak sadar aja. Kamu sebenarnya nggak benci sama Cindy. Kalian tuh sama-sama ego aja berdua."
"Adduhh.." tiba-tiba Haras mencubit pipiku. "Kok dicubit? Sakit tau.."
"Tuh ada cat di muka kamu.."
"Mana?"
"Sini.." ia mengelap dengan tisu.
"Udah?"
Haras mengangguk. Kemudian obrolan seputar Cindy terhenti. Kami sudah tenggelam dengan kuas dan cat air. Tapi dalam diam aku melirik Haras. Aku tau kalau Haras sedang berusaha untuk tetap mengubur sesuatu. Aku tidak tau Haras benar-benar tidak nyaman atau dia hanya berusaha menjaga perasaanku. Tapi sebenarnya aku tidak pernah masalah dengan hal itu. Memang akan sedikit tidak nyaman. Tapi tidak selamanya hal itu bisa dikubur. Cepat atau lambat pasti akan terkuak juga. Terlebih lagi Cindy sudah kembali. Entah kenapa aku merasa kalau sebenarnya masalah ini belum selesai. Masalah antara aku, Haras dan Cindy.
...
"Tapi kamu itu saudara aku!"
"Aku bukan saudara kamu. Kita bukan saudara, Har. Itu kenyataannya. Kenapa kamu bohongin diri kamu sendiri?!"
"..."
"Apa sedikit aja kamu nggak pernah ngertiin aku, Har? Apa kamu benar-benar nggak bisa lihat perasaan aku?!"
"Cin.."
"Udah, stop!" Cindy menyeka air matanya, kemudian pergi meninggalkan Haras yang terdiam.
***