L 15. Big News

3497 Kata
[Baby Pov] Kami sampai di rumah sakit dan buru-buru menuju UGD. Di sana kami langsung bertemu dengan perempuan yang sepertinya adalah orang yang tadi menelpon. "Tadi kami habis praktek. Kayaknya Cindy jalannya buru-buru banget pas di tangga. Terus dia terpeleset dan jatuh.." perempuan itu menjelaskan kronologi singkatnya. Kami harus menunggu dokter selesai memeriksa. Semoga saja kondisi Cindy tidak parah. Tentu saja kami tak lupa berterimakasih pada perempuan yang sudah membantu Cindy. Ia kemudian pamit bersama temannya yang lain. "Gimana, Dokter?" "Keluarga pasien?" "Iya.." "Untuk jelasnya tunggu hasil lab nya keluar. Hanya saja dugaan awal sepertinya ada tulang yang retak. Semoga saja tidak terlalu serius.." Kami mengangguk. "Kami boleh menemui Cindy, dok?" "Silahkan. Nanti saya akan kembali lagi.." "Baik, dokter.." Aku dan Haras menuju ke bilik Cindy. Dia dalam keadaan sadar. Aku bisa lihat dia seperti habis menangis. "Kamu jalan nggak pakai mata ya?" Cindy terlihat tidak kesal saat Haras memarahinya. Ia menghela napas. "Kaki gue udah sakit, lo jangan nambahin pake marah-marah ke gue.." Haras menghela napas. "Lo butuh sesuatu?" Aku menawarkan bantuan. Cindy melirikku beberapa waktu, kemudian mengalihkan pandangan. "Gue haus, ambilin air, tolong..." seperti biasa, ia dengan harga dirinya yang sangat tinggi itu. Aku mengangguk. "Sebentar ya. Kamu mau minum juga, Har?" Haras menahan tanganku. "Aku pergi sama kamu.." "Nggak usah. Temenin Cindy aja di sini. Bentar lagi dokter pasti balik. Aku mau beli minum ke kantin. Kamu mau?" Haras menatapku sebentar. "Air putih aja." "Hm.." aku meninggalkan mereka berdua. Letak kantin tidak terlalu jauh. Tapi aku harus menunggu karena kasirnya sedang pergi. "Baby.." ada yang memanggil namaku. Aku sontak menoleh karena sangat mengenali suara itu. "Mama.." aku terkejut mendapati Mama di rumah sakit ini. "Kenapa Mama di sini? Mama sama siapa? Mama sakit?" Mama tersenyum. "Tenang sayang. Tanyanya satu-satu. Banyak gitu gimana Mama mau jawab?" Ia mengusap rambutku dengan lembut. Aku memeluknya. "Kamu sendiri kenapa di sini?" "Oh itu, Mama ingat Cindy kan? Dia jatuh tadi di kampus, lagi di UGD.." Mama manggut-manggut. "Sama siapa di sini?" "Haras.." "Terus calon mantu mama itu mana?" Mama menolehkan kepala ke kiri kanan mencari keberadaan Haras. "Nemenin Cindy di UGD." "Udah kasih tau orang tuanya?" Aku menggeleng antara belum dan tidak tau. "Jadi Mama ngapain di sini? Siapa yang sakit?" Mama tidak langsung menjawab. Yang aku lihat ia justru seperti tengah bingung. Apa terjadi sesuatu? "Mama nggak sakit kok. Nggak ada yang sakit juga. Mama cuma ketemu teman lama aja di sini." "Ohh.." aku sudah sempat khawatir tadi. "Tapi Mama kayaknya agak pucat. Mama kerjanya jangan berat banget, ya. Kan papa udah kerja juga. Baby nggak mau mama sampai sakit.." "Jadi kalau Papa yang sakit nggak apa-apa gitu?" "Eh ya enggak gitu.." Mama langsung tertawa dan mengacak rambutku. "Mama sama papa jaga kesehatan. Baby nggak mau ada yang sakit." "Iya sayang. Nggak usah khawatir.." "Duh jadi kangen rumah. Jadi pengen pulang. Kangen masakan mama, kangen pengen makan bareng bertiga.." aku memeluk lengan mama manja. "Duh manjanya. Gimana kalau pas Papa pulang dari Kalimantan kita makan malam bertiga? Mau nggak?" "Mau dong Ma. Mau banget.." Di tengah suasana haru itu, tiba-tiba seorang pria datang dan memanggil mama. Orang yang tidak aku kenal. "Kalau gitu kamu nanti pulangnya hati-hati ya. Mama pergi dulu.." Laki-laki itu dan Mama berlalu. Siapa laki-laki itu? Aku sama sekali tidak mengenalinya. Apa teman lama mama? Tapi kenapa ia menatapku seperti itu? Aku segera membayar minuman yang aku beli. Apa aku pergi terlalu lama? "Lama banget, gue kira lo nyasar.." sindir Cindy. Aku tak begitu ambil hati. Sudah biasa dengan mulutnya. "Nih.. mau pake sedotan?" "Terus gue mau minum pake apa?" "Mulut lah.." Cindy sudah bersiap mengumpat padaku, tapi u*****n itu tertahan di bibirnya. Aku tersenyum tipis. "Kenapa lama?" Kali ini Haras yang bertanya. "Aku ketemu mama tadi.." "Mama di sini?" Aku mengangguk. Tak lama dokter kembali. Ia kemudian menjelaskan tentang hasil scan kaki Cindy. Yang aku tangkap dari penjelasan dokter adalah untungnya cidera Cindy tidak parah. Tidak ada tulang yang retak. Kakinya hanya terkilir dan ia harus memakai kruk selama kurang lebih seminggu. "Astaga, jadwal kuliah padat dan gue harus pakai kruk?" Ia mengeluh. "Bersyukur kaki lo nggak ada yang retak tulangnya," aku mengingatkan. "Lo mau ngajak gue ribut ya? Mentang-mentang gue lagi susah gerak gini.." ia berujar dengan sengit. Aku mengendikkan bahu cuek. "Apa kamu tinggal dengan keluarga?" Dokter bertanya. Cindy menggeleng. "Akan lebih baik kalau ada yang menjaga.." tambah si dokter. "Siapa yang keluarganya di sini?" Dokter memandangi aku dan Haras bergantian. "Saya, dokter.." jawab Haras. "Oh. Adik atau kakaknya?" "Kakaknya, dok.." "Sebaiknya untuk sementara pasien tidak melakukan aktivitas berat dulu. Meski kondisi kakinya tidak parah, tapi bisa berbahaya kalau dibawa melakukan aktivitas berat." "Baik, dok.." "Baiklah kalau begitu. Pasien sudah bisa pulang. Nanti tebus resep di depan ya.." Kemudian dokter itu pergi. "Ini resepnya.." perawat menyerahkan secarik kertas. "Saya kirain Mas tadi pacar Mbaknya, ternyata saudaranya.." ujar si perawat tersenyum. "Bukan, Mbak.." sahut Haras. "Habisnya Mbak sama Masnya cocok. Nggak kelihatan kayak adik kakak juga. Soalnya nggak mirip.." "Makasih, Mbak.." kata si Haras dengan wajah datar. Perawat itu kemudian berlalu. "Bisa jalan?" tanya Haras kini beralih fokus pada Cindy. Cindy belum menjawab saat ponselnya lebih dulu berdering. "Lo nelpon nyokap gue ya?" Ia menatap Haras tajam. "Aku nggak nelpon siapa-siapa." Cindy menghela napas. "Kenapa nggak diangkat?" Tanya Haras saat Cindy malah kembali menyimpan ponselnya dan mengabaikan panggilan dari ibunya. "Bukan urusan lo." Cindy hendak turun dari kasur saat Haras menahannya. "Jangan kayak anak kecil. Tante Fani bakal khawatir.." "Gue bukan kayak anak kecil, Har. Ntar gue gak bisa bohong kalau Mami nanya. Ntar Mami khawatir beneran.." aku menyadari kalau sudah banyak perubahan pada nada bicara Cindy. Haras menghela napas. "Tunggu di sini.." ia pergi kemudian kembali dengan kursi roda. Ia bantu Cindy naik ke kursi roda. "Mana resepnya, biar aku tebus ke apotik.." aku menawarkan diri. "Nggak usah. Aku aja yang nebus. Kalian tunggu di sini.." kata Haras. "Kami tunggu di mobil aja." "Kamu kuat dorong dia?" Haras menunjuk Cindy. Cindy melotot kesal. Aku tersenyum. "Kuat. Tenang aja." "Nggak usah deh. Ntar lo sengaja nyelakain gue.." ujar Cindy. "Oh itu ide bagus.." "Baby!! Anjir, woy gue nggak mau!!" Aku mendorong kursi roda Cindy menuju ke parkiran mobil dengan kondisi dia menjerit-jerit. ... "Lo nggak cemburu sama sekali ya.." Aku mengalihkan perhatian dari ponsel. "Untuk?" "Lo bodoh apa gimana sih?" Aku menaikkan alis. Cindy ini bicara apa sebenarnya? "Lo nggak tau kalau Haras itu care sama gue? Di balik sikap dinginnya itu sebenarnya dia perduli sama gue.." "Lo kan sodara dia, wajar lah dia perduli." Cindy mendengus. "Lo sama aja munanya kayak Haras. Lo kira gue bodoh? Mau sampai kapan kalian sembunyi di balik kata saudara itu? Lo tau betul gue sama dia nggak ada hubungan darah sama sekali.." Aku menatap Cindy yang duduk di kursi sebelah kemudi. "Terus?" Cindy otomatis menoleh ke belakang. "Terus?" Ia menyeringai. "Apa lo seyakin itu kalau gue nggak bisa rebut Haras dari lo?" "Hm," aku mengangguk. "Lo nggak akan bisa rebut dia dari gue." Cindy mengepal tangannya. Wajahnya mengeras dan ia terlihat kesal. "Jangan terlalu percaya diri, ntar lo nyesal." Ia kembali menghadap ke depan. "Kalau seandainya Haras memang punya perasaan sama lo, apa lo yakin bisa dapetin dia?" "Gue belum pernah gagal dapetin apa yang gue mau." "Cin.." "Kenapa?!" Aku membuang pandangan ke luar jendela. Haras terlihat berjalan ke arah mobil dengan tentengan di tangannya. "Sebaiknya lo kenali dulu perasaan lo buat Haras itu apa. Cinta atau cuma obsesi." Cindy sontak menoleh ke belakang. Haras membuka pintu. Menatap kami bergantian. "Kenapa kamu di depan?" tanya Haras pada Cindy. "Di depan lebih luas." aku menjawab pertanyaan Haras. Cindy membuang pandangan ke luar jendela. Haras kemudian melajukan mobil meninggalkan rumah sakit. ... "By.." "Hm.." "Kita beli makanan, dibungkus aja. Makannya di kamar ntar.." kata Haras. Aku mengangguk. "Kamu mau sekalian?" Tawar Haras pada Cindy. Perempuan itu hanya bergumam. Tak lama Haras menghentikan mobil di depan sebuah restoran. "Tunggu di sini, jangan ke mana-mana.." Kemudian aku dan Haras masuk ke restoran untuk memesan makanan. Selesai memesan kami menunggu sambil minum teh yang disediakan restoran itu. "Har.." "By..." Haras menatapku. "Aku nggak suka kamu panggil nama aku kayak gitu dan di depan Cindy juga. Dia bukan orang lain, kita nggak perlu sembunyiin hubungan kita di depan dia." Aku terdiam seketika. Tidak menyangka Haras akan mengatakan ini. Di lingkungan kami aku memang tidak pernah memanggil Haras dengan namanya. Tapi sepertinya aku refleks melakukan itu saat kami bersama Cindy. Aku lupa kalau Cindy bukan orang lain. "Be.." pandangan kami bertemu. Ada yang sedang aku cari dari sorot mata itu. "Kalau aku bilang Cindy masih ada perasaan sama kamu, apa kamu percaya?" Ekspresi Haras masih sama, pun dengan tatapannya. Tenang. "Kenapa kamu nanya itu? Emang apa bedanya aku percaya atau enggak?" "...." aku harus jawab apa jika dia bertanya seperti itu? Perasaan kamu ya kamu yang tau, Har. Tak lama pesanan kami selesai. Haras membayar dan kami bersiap kembali ke mobil. Baru selangkah dari pintu restoran, Haras tiba-tiba meraih tanganku. Aku langsung berhenti. Haras terlihat menarik napas dalam. "Apapun yang terjadi antara aku dan Cindy, itu adalah masa lalu. Itu nggak ada hubungannya sama kamu dan aku." Ada yang tertahan di dalam sini. Tapi sepertinya sekarang bukan waktu yang tepat untuk itu. Alhasil aku hanya mengangguk dan kami kembali ke mobil. ... Kelas baru saja selesai. Hari ini Milani tidak hadir karena masih sakit. Aku langsung ke kamarnya begitu selesai kelas. Untungnya dia sudah jauh lebih baik dari kemarin. Aku sedang menceritakan tentang apa saja yang terjadi di kelas hari ini pada Milani. Seperti biasa, Dicky tidak pernah gagal membuat seisi kelas tertawa. "Dia emang biang kerok banget. Gue aja masih inget waktu dia nembak gue pas OSPEK.." "Kenapa nggak lo terima aja dia waktu itu?" "Anjir, gila kali. Dia aja 99% hidupnya isinya becanda doang. Bisa-bisa perasaan gue dibuat jadi bahan candaan juga.." Aku terkekeh. "Mil, nih gue mau nanya, tapi jangan marah ya.." "Hmm..." "Lo masih ada rasa sama Kay?" Milani menghela napas. "Masih." Dia memang selalu jujur padaku. "Gue pengennya juga bisa move on dari dia. Nggak nyangka, susah banget hilangin perasaan sama tuh cowok ngeselin.." Kayhan memang tampan dan punya pesonanya sendiri. Aku sudah mengenalnya lama jadi aku tau itu. Dia anak baik-baik. Sama seperti Haras. Dia tidak merokok. Tidak suka balap-balapan. Tidak minum alkohol. Pintar. Terlepas ia berasal dari keluarga baik-baik, kaya dan terpandang, Kayhan memang sudah punya porsi sebagai 'cowok idaman' dengan semua karakter yang ia punya. Ia juga lucu dan mudah bergaul. Tapi cowok baik juga punya kelemahan. Milani hanya tidak tau kalau Kayhan menolaknya bukan karena Milani tidak memenuhi kriteria, tapi karena Kayhan sendiri masih belum bisa melepaskan cinta masa lalunya. Darina. Meski mereka tak sampai pada tahap pacaran seperti aku dan Haras. Tapi ya, Darina punya tempat di hati Kayhan. Kadang aku ingin mendukung Milani, tapi aku juga tidak yakin. Aku tidak tau kapan Kayhan bisa melupakan Darina. Kayhan sebenarnya memang perduli pada Milani. Tapi aku tidak yakin perduli Kayhan itu jenis apa. Suka atau hanya perduli sebagai seorang teman? "Kalau gue bener-bener gak bisa lupain dia gimana ya, By? Masa gue mau gini aja sampai tua?" Aku tergelek. "Lebay banget lo." Ia tersenyum. "Tapi udah mau dua tahun nih, belum juga gue bisa hilangin perasaan sama dia. Bisa beneran nggak lupa sampai tua." Aku membuang napas pelan. "Lo suka sama dia karena apa?" "Hmm banyak.." "Contohnya.." "Senyumnya manis.." "Terus?" "Matanya bagus.." "Lagi?" "Semuanya By. Gue suka semua yang ada di Kay." Milani mungkin benar-benar menyukai Kayhan. Selama dua tahun ini aku memang tidak melihatnya menjalin hubungan dengan siapapun. Padahal tidak sedikit laki-laki yang mendekatinya. King kampus angkatan 2015 bahkan sudah mengejarnya sejak OSPEK. Sayangnya mata Milani sudah terpatri pada satu sosok. "Lo mau ke kampus kan, By?" Aku baru ingat masih ada jadwal. Aku melirik jam dan benar, aku harus segera pergi. Pintu kamar Milani diketuk. Paris muncul dari balik pintu. "Ada Kak Baby.." "Hai.." aku tersenyum pada adik Milani sekaligus calon duta kampus itu. "Nih, obat dikirim Mama.." Milani mengangguk. "Gue cabut dulu ya, Mil.." "Kakak mau ke mana?" "Kampus." "Ke tempat latihan, kan?" Aku mengangguk. "Sama aku aja. Aku mau ke kampus juga.." Paris menawarkan tumpangan. Aku mengangguk. "Ok." "Diminum obatnya," Paris berpesan yang dibalas Milani dengan anggukan. Kami kemudian meninggalkan kamar Milani. ... "Makasih ya tumpangannya.." Laki-laki jangkung itu mengangguk. Kami jalan beriringan menuju aula tempat latihan. "Kak, boleh nanya?" "Hm. Nanya apa?" "Kakak sama Kak Haras pacaran?" Aku tersenyum. "Kenapa?" Paris terlihat berpikir. "Emang kelihatannya gimana?" "Hmmm, kata anak-anak sih enggak. Tapi.." "Tapi..?" "Kata Kak Haras iya.." Aku tergelak. "Wah ada apa nih, By? Kok lo akrab gitu? Jangan bilang lo lagi gaet si Paris. Gercep yah lo..." salah satu teman panitia langsung menyerang begitu aku datang. "Ngaco." Aku kemudian mengalihkan pandangan ke Paris. "Dah sana latihan.." "Lo nggak lagi pedekate sama Paris kan? Mentang-mentang dia adeknya Milani..." Aku menuang air jus yang disediakan ke dalam cup plastik. "Kenapa emang kalau iya?" Kataku asal. "Ih masa dia belum jadi King udah sold out aja. Bisa patah hati berjamaah lagi ini mah.." Aku geleng-geleng. "Masa si King kampus 17 udah sold out yang calon 19 sold out juga.." Aku mengerutkan kening. "Maksud lo?" "Lo nggak tau? Ih si Haras kan udah punya pacar, By.." Aku hampir tersedak. "Hah?" Apa hubunganku dan Haras sudah diketahui orang? Tapi Haras tidak memberitahuku atau menelfonku. "Duh, kampus udah heboh karena itu sejak tadi. Liat aja nih..." ia memperlihatkan ponselnya padaku. Aku memperhatikan apa yang ada di layar. Foto-foto Haras. "Katanya tuh cewek anak FK, angkatan 17 juga. Gila nggak tuh? Dua tahun ini pada nggak ada yang bisa naklukin hati Haras. Eh tau-taunya dia pacaran sama anak FK cuy. Ya walaupun belum tau mereka pacarannya udah berapa lama. Dikira masih jomblo taunya udah taken aja dia. Gimana pada gak patah hati coba. Mana saingan sempurna begitu lagi. Cantik, pinter, tajir.." "Tau dari mana?" "Lo kayak nggak tau anak-anak aja. Si biang gosip pasti gercep apalagi sama yang beginian. Duh untung aja gue dulu cepat memutuskan untuk nggak naksir Haras. Gue sadar diri sih. Pada banyak tuh yang nangis sekarang. Liat aja tuh komen-komennya.." Di foto itu Haras memang bersama Cindy, di depan Fakultas Kedokteran. Aku tau Haras hanya membantu Cindy yang memakai kruk. Meski orang lain menafsirkan berbeda. "Katanya pacarnya habis jatuh, jadi Haras nganter dia ke FK tadi. Dianter sampe kelas cuy." Temanku ini semakin semangat bercerita seolah apa yang sedang kami bahas adalah suatu hal yang fenomenal. "Terus tau nggak, katanya si Haras juga udah pernah bareng nih cewek di kantin. Dia ngelindungin nih cewek yang waktu itu ketumpahan kuah bakso. Haras muncul sambil ngasih seragamnya buat nutupin baju tuh cewek yang kotor. Anjir, kek drama-drama woy. So sweet nggak sih..." "..." "Terus kan, mereka—" "Bentar.." aku menatap ponsel yang berdering. Milani menelpon. "Hallo, Mil, kenapa?" "Lo di mana, By?" "Aula latihan.." "Lo udah liat yang postingan soal Haras?" Aku menghela napas pelan. "Udah.." "Itu apaan? Kok gitu?" Aku sedikit berbisik. "Panjang ceritanya, ntar aja gue kasih tau." "Eh masa lo gak tau sih, By? Lo kan sahabatnya Haras..." "Oh, hmm..." Aku tidak begitu perduli pada berita itu. Tidak penting menurutku. Toh aku tau kebenarannya. Tapi ternyata tidak bisa sesepele itu. ... Hanya dalam waktu kurang dari enam jam, berita itu sudah menyebar. Dalam gerak cepat juga terbentuklah dua kubu. Satu tim pendukung Haras-Cindy dan kedua tim haters Haras-Cindy. Mereka bahkan membuat page khusus untuk itu. Inilah alasan kenapa aku dan Haras merahasiakan hubungan kami. Hal sepele itu pernah membuat aku hampir kehilangan nyawa. Terdengar berlebihan, tapi begitu kenyataannya. Hingga kini aku masih trauma terhadap apapun yang berhubungan dengan karamaian. Aku lupa kapan terakhir aku ke festival, pasar malam. Aku bahkan tidak datang ke festival kampus. Sejak tadi ada banyak sekali chat yang masuk, rata-rata menanyakan tentang kebenaran Haras. Kebanyakan dari mereka adalah teman-temanku yang naksir Haras dan tau kalau kami teman dekat. Tapi ada juga beberapa dari nomor baru. Entah junior, senior atau teman seangkatan yang aku tidak tau dari mana mereka mendapatkan nomorku. Aku sampai mensilent ponselku. Benda pipih itu masih terus bergetar. Tapi aku mengabaikannya dan fokus mengerjakan tugas. ... Berita di televisi mengalihkan perhatianku. Sementara itu kasir tengah menghitung belanjaanku. Aku sedang di minimarket dekat asrama. "Berapa, Kak?" "Rp.52.500.." Aku menyerahkan uang 100 ribu. Kemudian kasir memberikan kembalian. Aku keluar dari minimarket dengan tentengan. "Anjir! Lo bisa nggak jangan tarik rambut gue?!" Tak jauh di depanku ada Nayya dan Bang Ron. Laki-laki itu tertawa sedangkan Nayya tampak tengah berusaha melepaskan tangan Bang Ron dari rambutnya. Kemudian mereka menyadari keberadaanku dan langsung menghampiriku. "Hai, Baby.." "By, ngapain di sini sendirian?" tanya Nayya. "Habis dari minimarket.." "Kirain gue lo nggak suka kopi instan begitu.." ia menunjuk minuman kopi dalam plastik yang aku bawa. "Oh, biasa lagi banyak tugas.." sebenarnya aku tidak begitu sering minum kopi meski aku menyukainya. Perutku tidak begitu bersahabat dengan kopi. "Kalian mau ke mana?" "Nggak ada. Udah mau balik sih. Gara-gara nih orang kesepian malah gue diseret dipaksa nemenin dia makan. Nggak tau apa orang capek habis OSPEK maba.." Bang Ron menjitak kepala Nayya. Dan seperti biasa protes Nayya seperti angin lalu untuk Bang Ron. "Gue balik dulu. Bang, lo anter Baby balik ke asramanya ya. Gue cabut dulu, bye.." dan Nayya langsung ngacir. Tinggallah aku dan Bang Ron di depan minimarket dalam kondisi seperti orang o'on. Aku tersenyum tipis. Tiba-tiba teringat kata-kata Haras kemarin. "Udah mo balik kan? Yuk.." Bang Ron menarikku dari lamunan. Aku mengangguk dan kami meninggalkan minimarket. Jalan menuju asrama tidak begitu sepi sebenarnya. Ada banyak mahasiswa yang lalu lalang. "Oh iya, kamu nggak apa-apa kan, By?" tanya Bang Ron tiba-tiba. Aku mengerutkan kening. "Emang kenapa, Bang?" "Itu soal si Haras. Fakultas rame banget sejak sore.." Ohh soal itu. "Nggak apa-apa kok. Lagian aku kenal juga sama yang ceweknya.." Bang Ron manggut-manggut. Sepertinya dia tidak terlalu berminat. Dan aku benar-benar tidak merasa Bang Ron ada perasaan padaku. "Gimana kabar Milani?" "Hah? Milani? Oh, dia udah baikan." Kemudian aku iseng menggoda Bang Ron. "Kenapa nanya Milani? Abang suka?" Bang Ron menggaruk tengkuknya. Ia tersenyum sampai lesung pipinya muncul. "Emang kalau nanya tanda suka?" Aku terkekeh. "Enggak juga sih." "Milani belum punya pacar, kan?" Eng ing eng... Aku menghentikan langkah, langsung menoleh pada Bang Ron. Ia terlihat salah tingkah. Persis seperti anak SMP baru jatuh cinta. "Abang suka beneran sama Milani?" Aku tak bisa menahan senyum. "Iya," jawabnya jujur. Kan, aku benar. Bang Ron tidak suka padaku. "Tapi baru memantau sih, takutnya ntar dia punya pacar, males patah hati.." ia tergelak. "Takut juga Abang patah hati? Kirain abang prinsipnya maju terus pantang mundur.." "Iya dulu waktu playboy prinsipnya emang gitu. Sekarang udah enggak.." Bang Ron benar-benar berhasil membuat aku tertawa. "Eh jangan bilang abang deketin Baby karena modus mau pedekate sama Milani?" Bang Ron langsung nyengir tanpa dosa. "Bisa iya bisa enggak. Kan kamu pacar Haras. Haras kan adiknya abang, otomatis kamu adik abang juga dong. Wajar dong kalau abang deket sama adik sendiri..." Aku geleng-geleng. "Yakin udah jadi mantan playboy?" Ia mengangguk tanpa menghilangkan senyum di wajahnya. "Yakin 99,99 persen.." "Masih ada 0,01 persen.." "Ntar kalau udah punya pacar baru 100 persen.." Aku tertawa sekali lagi. Bang Ron bisa gantikan Sule di fesbuker. "Harusnya bilang aja dari awal kalau mau pedekate sama Milani.." "Kamu nebaknya bener sih, kalau salah mah abang nggak bakal kasih tau kalau suka sama Milani.." "Kenapa gitu?" "Ya gitu aja. Gak mungkin juga kan abang umbar-umbar ke orang abang suka sama siapa.." Benar juga sih. "Emang selama ini nggak ada yang tau? Pantes aja ya abang sering banget muncul tiba-tiba di area Fakultas Seni.." Ia tersenyum lagi. "Kangen aja pengen liat muka dia. Kamu orang kedua yang nebak bener.." "Orang pertama?" "Nayya. Sebenarnya dipaksa juga sih. Tuh cewek suka banget pake kekerasan.." Tapi Nayya itu manis. "Tau nggak?" Bang Ron sedikit memelankan suaranya. "Kebanyakan dari mereka ngiranya abang suka sama kamu.." Gotcha! Untung saja aku tidak punya pikiran begitu. "Ngaco banget mereka.." "Intinya tuh abang nggak suka ngerebut cewek orang. Bukan style abang banget. Walaupun dulu playboy juga nggak pernah kayak begitu. Lagian kamu pacarnya Haras, kurang piknik banget abang suka sama pacar adik sendiri.." Aku mengangguk setuju. "Yaudah masuk sana. Udah malem juga.." "Makasih ya bang udah repot-repot nganterin. Btw mau nomer Milani nggak?" "Nggak usah," Bang Ron melambaikan tangannya. "Ntar abang minta sendiri aja.." Aku mengangkat jempol. Bagus. Aku segera kembali ke kamar. ... Ceklek. Aku membuka sendal. Ada sendal Haras. Aku masuk dan mendapati Haras tertidur di atas kasur. Apa dia sudah mandi? Tadi Nayya bilang mereka baru pulang. Tapi sepertinya Haras sudah mandi karena bajunya sudah ganti. Ada beberapa panggilan dari Haras ternyata. Sepertinya dia menelpon saat aku ke minimarket. Pelan-pelan aku menarik selimut kemudian menyelimuti Haras. Dia sepertinya kelelahan. Biarlah dia istirahat. Jika dia tidak bangun sampai jam 12, aku akan menginap di kamar Kak Dara malam ini. Ponsel Haras bergetar. Ada banyak sekali pesan masuk. Salah satu di antaranya adalah chat grup ganknya. Kayhan, Ogi dan Faro. Ogi0099 : Kay, anjir, lo jadian sama Milani? Lalu sebuah pesan lainnya masuk. Cindy.V : baju lo ketinggalan di kamar gue ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN