[Baby Pov]
Aku memeriksa sekali lagi. Kompor sudah dimatikan. Perkakas sudah dicuci semua. Bubur sudah aku masukkan ke dalam kulkas. Jika ingin makan, Haras hanya perlu memanaskannya di microwave. Kamarnya juga sudah rapi. Aku sudah mencoba membereskan buku-buku dan dokumen yang berserakan di dekat meja belajarnya. Tapi aku tidak bisa membereskan semuanya karena aku takut dokumen-dokumen pentingnya saling tercampur satu sama lain.
Haras sudah tidur. Dari pinggir kasur aku hanya bisa menatapnya. Aku tidak berniat membangunkannya meski tadi dia sudah wanti-wanti agar dibangunkan jika aku akan kembali ke asrama. Tapi tidak. Aku rasa lebih baik aku tidak membangunkannya. Dia terlihat tenang. Meski ada sedikit kerutan di keningnya.
Pembicaraan kami sama sekali belum selesai. Aku sendiri bingung. Bagaimana harus menyikapinya. Bagaimana aku harus menyebutnya. Masalah? Apa aku terlalu membesar-besarkan sesuatu? Tapi hal itu sama sekali tidak bisa aku kategorikan sebagai masalah karena nyatanya aku dan Haras tak pernah benar-benar menyebutnya sebagai masalah. Kami bahkan tidak pernah membahas hal itu. Tapi tidak sesederhana itu.
Bagaimana bisa aku mengabaikan hal itu jika Haras selalu menolak membahasnya? Bagaimana bisa aku menganggap hal itu bukan apa-apa jika aku tau jelas bagaimana kondisinya? Aku sama sekali tidak meragukan perasaan Haras. Tapi, kadang ada hal yang kamu sendiri tak akan bisa menolaknya. Seperti Haras dan Cindy. Mereka terlalu nyata untuk bisa aku abaikan.
...
Aku sampai di lobi. Sudah sepi. Hanya ada dua orang di kursi yang berbeda. Sepertinya tengah bermain game online. Aku keluar dari gedung. Meninggalkan lobi menuju parkir. Dan ternyata seseorang sudah menungguku di sana.
"Cindy.."
Cindy menatapku dengan kedua tangan berlipat di d**a. Ia pandangi aku seksama dalam beberapa detik. Ekspresinya sulit untuk dijelaskan. Tapi yang pasti dia tak berniat untuk ramah padaku.
"Gue nggak tau apa yang lo pikirin dan gue juga nggak perduli sama isi pikiran lo. Tapi sekarang gue akan bicara terus terang sama lo." Ia menarik napas sebentar. "Gue nggak akan ngalah lagi sama lo. Gue rasa udah cukup gue mengalah. Gue akan bilang dengan jelas di sini. Gue nggak akan mengalah lagi soal Haras."
Tatapan Cindy menunjukkan kalau dia sangat serius dengan ucapannya. Dan aku tau kalau dia memang serius. Seumur aku mengenalnya, ini adalah kalimat terpanjang yang pernah ia ucapkan padaku.
"Gue nggak akan ragu lagi untuk melangkah maju. Lo mungkin udah tau karena Haras mungkin udah cerita sama lo. Tapi gue akan perjelas. Gue-suka-sama-Haras." Dengan tenang dan penuh penekanan, tanpa ragu Cindy mengucapkan kalimat itu. "Gue suka sama dia udah sejak lama. Gue bahkan udah suka sama dia sebelum lo suka sama dia."
"Perasaan Haras gimana sama kamu?"
Cindy bungkam seketika. Rahangnya mengeras dan dia terlihat marah.
"Apa Haras juga suka sama kamu?"
"Sekarang belum, tapi siapa yang tau hati manusia. Emang lo sendiri yakin kalau dia beneran cinta sama lo?"
Aku diam, menatap Cindy tepat di manik mata.
Aku menarik napas dalam. Melangkah menuju mobil. Sebelum masuk ke mobil aku menoleh sebentar pada Cindy.
"Kamu bahkan nggak tau apa-apa. Gimana kamu bisa mengambil langkah untuk maju?" Kemudian aku masuk dan meninggalkan area parkir asrama Haras.
...
Aku tau semuanya. Cindy menyukai Haras. Cindy pernah menyatakan perasaan pada Haras. Tapi Cindy benar-benar tidak tau apa-apa. Bagaimana bisa dia yakin kalau dia lebih dulu menyukai Haras daripada aku? Apa dia akan melangkah dengan gegabah seperti itu? Bahkan jika Haras menyukainya, apa menurut Cindy dia akan mendapatkan Haras?
Aku mengetuk pintu kamar. Tak lama wajah Kak Dara muncul dari balik pintu.
"Maaf ya kak, ganggu.."
"Santai aja. Mau masuk dulu. Kakak ada cemilan nih.."
Menimbang sebentar, akhirnya aku memutuskan untuk masuk. Kak Dara sepertinya sedang mengerjakan skripsinya.
"Ganggu nggak nih?"
"Nggak kok. Cuman lagi browsing aja, cari literatur. Kamu mau minum apa?"
"Terserah aja.."
Tak lama Kak Dara mengulurkan segelas jus markisa padaku.
"Skripsi?"
Kak Dara menggeleng. "Pra proposal.."
Jelas saja aku mengerutkan kening karena bingung. Setahuku dia sudah melewati tahap proposal. Dia bahkan sudah selesai Bab 1. Kenapa membuat pra proposal lagi?
"Sebenarnya," Kak Dara agaknya mengerti dengan apa yang aku pikirkan. "Ini buat persiapan S2.."
"S2?" Aku terkejut.
"Hm.." dia tersenyum. Tapi ada yang aneh. Senyumnya seperti tidak sepenuhnya bahagia.
"Kenapa?" Aku dan Kak Dara memang cukup dekat. Kadang kami memang suka berbagi cerita dan beban.
Ia menghela napas. "Rumit.."
"Jangan bilang kakak sama Bang Aji—"
Kak Dara menggeleng. "Nggak, kami nggak putus. Kami baik-baik aja, mungkin.."
"Kok mungkin?"
Kak Dara merubah posisi duduknya menghadap padaku sepenuhnya. "Kamu ingat kakak pernah cerita mau nikah habis wisuda kan?"
Aku mengangguk.
"Mungkin bakal batal.."
"Kenapa?"
Kak Dara menarik napas dalam, terlihat benar-benar sedang tertekan. Aku baru pertama kali melihatnya dalam kondisi separah ini. Kak Dara adalah salah satu wanita paling tangguh yang pernah aku kenal. Dia sangat jarang menunjukkan wajah sedih apalagi menangis.
"Mobil baru itu, sebenarnya itu bentuk suap dari Ayah kakak." Kak Dara kemudian menumpahkan semua isi pikirannya. Ayahnya memang tidak ada masalah dengan rencana pernikahan Kak Dara dan pacarnya, Bang Aji. Beliau sangat merestui. Tapi masalahnya adalah, ia ingin Aji bekerja di Jakarta dan bukan tempat lain. Sementara seperti yang diketahui, Aji punya jalan yang cukup cemerlang dan karir di luar negri yang menjanjikan.
"Aji baru mau mulai karirnya dan pastinya dia mau menjelajah dulu dan bukannya stuck di satu tempat. Kakak nggak mau karir Aji terhalang karena Kakak. Dan otomatis Ayah juga nggak ngijinin kakak lanjut S2 ke luar negri."
Rumit memang kalau sudah begini. Masalahnya adalah orang tua. Ayah kak Dara memang sangat protektif pada Kak Dara karena ia adalah satu-satunya anak perempuan di keluarganya. Kedua abangnya sudah menikah.
"Bang Aji nya gimana? Pendapat dia gimana?"
Kak Dara mengendikkan bahu. "Kakak tau dia keberatan dan nggak rela, tapi dia nurut aja sama keinginan Ayah. Tapi kakak nggak bisa gitu. Kakak nggak mau ngalangin karir dia. Pekerjaan itu udah lama dia impikan."
Aku tidak bisa memberikan saran apapun. Jadi aku hanya bisa mendengarkan curahan hati kak Dara. Bang Aji memang laki-laki yang sangat baik. Tapi apa menjadi selalu baik itu adalah tindakan yang benar? Contohnya dalam situasi ini. Apa jadi penurut adalah langkah yang tepat?
"Udah lupain masalah kakak. Kamu sendiri kenapa?"
"Hah? Aku? Emang aku kenapa?" tanyaku balik.
"Itu muka kamu jelas banget kayak lagi ada yang dipikirin."
Dia memang bisa membaca keadaanku.
"Berantem sama Haras?"
Aku menggeleng. Kami tidak bertengkar meski memang ini ada hubungannya dengan Haras.
"Kakak pernah nggak meragukan perasaannya Bang Aji?"
Kak Dara melotot, terlihat terkejut dengan pertanyaanku. Tapi kemudian dia mengangguk. "Pernah lah. Aneh aja kalau nggak pernah. Dia manusia kali, mana bisa dipercaya 100 persen."
Kak Dara benar. Mana bisa manusia dipercaya 100 persen. Tapi masalahnya nggak sesepele itu.
"By.." panggil Kak Dara membuat aku otomatis melihat padanya. "Kakak nggak tau kamu lagi ada masalah apa sama Haras. Tapi ada satu hal yang mau kakak bilang sama kamu sejak lama." Ia menjeda. "Perasaan nggak akan bisa diketahui kalau nggak diungkapkan. Orang nggak akan tau apa yang kita rasakan kalau kita nggak kasih tau mereka. Hubungan itu sensitif dan aneh. Kadang masalah besar bisa jadi bukan apa-apa dan justru masalah kecil bisa aja jadi badai. Tapi hubungan emang begitu. Berombak itu biasa. Justru aneh kalau hubungan nggak berombak."
Aku mendengarkan dengan serius.
"Hanya ada dua alasan kenapa orang menghindari masalah dalam hubungan mereka. Pertama, karena dia terlalu cinta. Atau kedua, karena dia nggak cinta sama sekali."
Sampai di kamar aku masih terus memikirkan kata-kata Kak Dara. Getar ponsel di atas meja nakas mengalihkan perhatianku. Panggilan dari Vivi. Aku berbincang sebentar dengannya membahas permasalahan FoA. Ternyata ada beberapa pesan lain dan ada panggilan tak terjawab dari Milani. Aku memang meninggalkan ponsel tadi. Sudah jam 11. Sepertinya Milani sudah tidur. Jadi aku putuskan untuk mengiriminya chat saja. Kemudian aku mencuci muka dan bersiap untuk tidur. Jika saja tidak ada pesan yang masuk dari nomor yang tidak aku kenal.
+62821704*****
Ini Baby kan?
...
Aku ke kampus pagi sekali tadi. Selain ada urusan dengan dosen juga karena aku harus membereskan beberapa hal terkait FoA. Aku ada kelas sampai sore dari jam 11. Jadi aku harus membereskan urusan sebelum jam tersebut.
Karena terlalu sibuk dan banyak pekerjaan, aku nyaris tidak punya waktu untuk memeriksa ponsel. Aku hanya menjawab telepon jika panggilan tersebut kebetulan masuk saat aku berada di jam pergantian kelas. Hari ini benar-benar sibuk.
"Gue masih ada kelas nih."
"Iya. Gue juga mau ketemu sama Prof. Ntar habis lo kelas langsung aja ke Hima.."
"Ok.."
Kemudian aku dan Milani berpisah. Ia lanjut ke kelas sementara aku sudah ditunggu beberapa senior termasuk Kak Dara untuk menemui dosen pembina pameran akhir semester kami. Hari sudah hampir jam 4 sore.
...
"Langsung revisi ya. Kita fokus dulu semua ke bagian ini. Biar mudah kita bagi kelompok aja. Karena Prof maunya ada masing-masing 2 lukisan senior dengan style berbeda dari 3 tahun berbeda. Jadi totalnya ada 6 lukisan." Kak Rian, senior tahun ke empat, KP pameran tahun ini memberi intruksi.
Kami mengangguk setuju. Untungnya aku satu kelompok dengan Milani. Kalian tau, aku punya sedikit masalah dengan kecemasan. Kadang aku bisa tiba-tiba tidak nyaman pada orang yang tidak benar-benar dekat denganku.
Kami mengenal cukup banyak senior dan aku berharap bisa menghubungi mereka. Meskipun aku tau kebanyakan dari senior dengan style lukisan yang menarik dan berbeda itu tidak tinggal di dalam negri. Setidaknya kami harus mendapatkan minimal 2 lukisan.
Jam sudah menunjuk di angka 5 lewat saat aku dan Milani sedang menuju ke aula tempat para duta melakukan latihan. Sebenarnya aku sudah melarang Milani ikut karena aku tau dia sedang tidak enak badan. Tapi dia memaksa ikut karena sedang malas sendirian di asrama.
Hari ini ternyata cukup banyak orang yang berada di sekitar aula. Mungkin sedang melihat adik-adik latihan atau hanya ingin cuci mata. Beberapa di antara mereka aku tau adalah duta-duta tahun lalu dan tahun sebelumnya. Ada juga yang bukan duta. Bang Ron contohnya. Akhir-akhir ini aku merasa sering bertemu Bang Ron. Hm?
"Karena ini latihan pertama, jadi kakak maafkan untuk yang terlambat. Tapi ke depannya jangan diulangi lagi ya.."
Untungnya aku tidak perlu melakukan apa-apa. Hanya mengawasi. Mereka sedang dilatih oleh tim pelatih dance. Akhirnya aku bisa istirahat.
"Mil, lo beneran gapapa?" Aku bertanya pada Milani yang menyenderkan kepalanya ke bahuku. Sepertinya dia benar-benar tidak sehat. Milani hanya bergumam pelan. Aku memegangi keningnya dan ternyata cukup panas.
"Mil, badan lo panas banget nih. Ke rumah sakit yuk.." Milani kembali hanya bergumam. Dia sepertinya menolak tapi aku tetap memaksa. Tapi tunggu, bagaimana caranya kami ke rumah sakit? Baik Milani atau aku tidak ada yang punya mobil. Ada Paris di sana tapi sedang fokus latihan, tidak mungkin mengganggunya.
Pilihan satu-satunya.
"Bang.." semua laki-laki di sana menoleh. Sumpah, aku jadi merasa seperti diperhatikan oleh ratusan pasang mata. Tapi sudahlah, abaikan semua itu.
"Kenapa?" Bang Ron langsung menghampiriku.
"Bisa minta tolong nggak?" Astaga. Aku tidak benar-benar dekat dengannya. Beraninya aku menyusahkan senior teknik ini.
Syukurlah. Awalnya aku hanya ingin pinjam mobil Bang Ron. Tapi dia menawarkan diri dan juga tidak mengizinkan aku mengemudi. Ia takut terjadi sesuatu karena membawa Milani yang dalam keadaan sakit sendirian.
"Makasih ya Bang. Ya ampun, maaf banget ya aku ngerepotin.." Milani sudah ditangani dokter di UGD. Aku dan Bang Ron menunggu di luar. Laki-laki yang sering disebut vampir itu tersenyum.
"Santai aja. Saling bantu senior-junior kan nggak ada salahnya.."
Aku tersenyum lega.
"Padahal abang baik banget gini, kenapa betah banget dimusuhin junior?" Aku iseng bertanya. Di kalangan anak teknik Bang Ron memang terkenal jadi musuh junior terutama junior tahun pertama dan tahun dua yang tidak begitu dekat dan mengenalnya.
Dia tertawa. Sekilas dilihat Bang Ron memang tampan. Dia punya senyum manis dan lesung pipi. Kulitnya memang putih pucat seperti seorang vampir. Mungkin jika tidak terkenal dengan image sangar, dia bisa saja jadi most wanted FTSL.
Aku tidak main-main saat mengatakan dia tampan.
"By.."
"Hm?"
"Ini nomer kamu kan?" Dia memperlihatkan layar ponselnya padaku dan aku otomatis mengangguk setelah mengenali dengan cepat rentetan angka di layar. "Kirain bukan.." ia kemudian mengetik di layar ponselnya.
"Kenapa emang, bang?" Tanyaku langsung.
"Semalam abang kirim pesan nggak kamu balas.."
Sesaat aku membeku. Kemudian segera tersadar. "Hah? Tunggu, yang itu nomor abang?"
"Ho-oh.."
Aku langsung terkekeh. "Astaga, maaf. Nggak tau. Kirain siapa.." aku segera menyimpan nomor Bang Ron.
"Kenapa? Banyak yang kirim pesan ya?"
Aku tak menjawab hanya tersenyum tipis.
"Cantik sih, wajar.."
"Nggak juga, Bang.." tapi kenapa dia tiba-tiba mengirim pesan padaku? Kami sudah mengenal cukup lama. Kenapa dia baru mengirim pesan sekarang? Bukan apa-apa tapi sepertinya ada yang mencurigakan.
"Tapi kenapa abang kirim pesan tadi malam?" Belum sempat Bang Ron menjawab, perawat sudah memanggil kami. Ternyata Milani tidak perlu dirawat di rumah sakit. Tapi jika ingin juga tidak masalah jika dia mau menginap satu malam. Tapi Milani ini keras kepala. Dia ngotot mau pulang dan ingin istirahat di asrama saja.
...
Bang Ron mengantar kami kembali ke asrama. Sebenarnya aku tidak perlu kembali ke aula latihan karena tadi sudah izin, tapi ada barang yang tertinggal di sana. Alhasil aku terpaksa harus kembali ke sana nanti. Panitia yang aku hubungi tidak ada yang menjawab telponku.
Aku harus membantu Milani berjalan karena kepalanya masih sangat pusing. Bang Ron mengiringi untuk berjaga-jaga. Tapi aku benar-benar dikejutkan dengan kehadiran tiga orang tak diundang yang langsung menyambut kami begitu memasuki lobi.
Haras, Kayhan dan Paris. Apa yang mereka bertiga lakukan di lobi asrama Milani? Apa mereka memang menunggu kami? Tapi mereka tau dari mana kalau kami akan datang? Aku melirik Bang Ren dan dia sepertinya juga terkejut.
"Dia demam, tapi udah dibawa ke dokter. Cuman ngotot nggak mau dirawat," aku jelaskan secara cepat pada Paris yang kemungkinan rasa ingin tahunya paling besar. Kayhan dan Haras masih diam. Apa isi kepala mereka kira-kira?
"Ayo bantuin dulu bawa ke kamar.." aku meminta pada Paris. Ia langsung membantu. Secara otomatis tiga laki-laki lainnya mengekor di belakang.
"Mil, makan buburnya dulu terus minum obat.." tadi aku sempat minta Bang Ron berhenti untuk membeli bubur yang untungnya ada. Setelah selesai makan dan minum obat, Milani sudah kembali tertidur.
Aku sempat tak sengaja melirik Kayhan dan bagaimana cara aku menjelaskan ekspresinya?
Akhirnya aku tau dari mana mereka dapat info. Ternyata dari panitia dan juga Paris. Kayhan dan Haras ternyata datang ke tempat latihan.
Kini mereka mengintrogasi Bang Ron.
"Gue yang minta tolong Bang Ren tadi. Untungnya dia ada di sana, jadi bisa cepet bawa Milani ke rumah sakit.." aku menjelaskan. Tidak tau menjelaskan untuk siapa. Haras? Kayhan? Atau Paris?
"Kalau gitu gue balik dulu ya.."
"Makasih ya Bang, sekali lagi. Maaf ngerepotin.."
Bang Ron mengangkat tangan kemudian pergi. Kami bertiga juga sudah bersiap pergi karena Milani harus istirahat. Tapi langkahku terhenti saat Paris memanggil.
"Ini, kakak panitia nitip tadi.." ia mengulurkan totebag padaku. Syukurlah aku tidak perlu ke kampus lagi.
"Ya ampun, makasih banyak ya, Paris. Duh untung kamu bawain, nggak musti balik ke kampus.." aku sudah sangat lelah jadi rasanya wajar aku sebahagia ini menerima pemberian Paris. Penyelamat.
Kemudian kami benar-benar meninggalkan kamar Milani. Dan aku merasakan sedikit ketegangan begitu tinggal kami bertiga saja. Dalam menit-menit awal kami jalan tak ada yang bersuara. Baik Haras maupun Kayhan. Mereka jadi pendiam.
"Kalian udah lama di sini?" Aku mencoba memecah kesunyian. Aneh saja rasanya duo tukang ribut ini jadi senyap.
"Lumayan.." bukan Haras yang jawab, tapi Kayhan. Kenapa ada semacam nada kesal dari suaranya? Apa aku sudah melakukan kesalahan?
Kayhan kembali ke asrama sementara aku dan Haras pergi keluar untuk mencari makan. Aku masih belum tau apa yang salah.
"Kamu jadi deket sama Bang Ron.." itu kalimat pertama yang Haras katakan setelah hampir dua puluh menit bungkam.
"Hmm, ya gitu, kayak biasa aja.."
"By, aku nggak suka kamu deket sama Bang Ron.." Haras menghentikan mobil di lampu merah. Ia memandangiku.
"Hah? Kenapa gitu?" Jelas aku kaget. Setahuku Haras dan Bang Ron tak ada masalah.
"Aku nggak suka aja."
"Ya alasannya apa? Aku ngerasa kamu aneh. Aku sama Bang Ron udah kenal lama kayaknya kamu nggak ada masalah. Kenapa tiba-tiba? Karena yang tadi?"
Haras tak menjawab.
"Ya ampun kan udah diceritain tadi kronologinya.."
"Bukan karena itu.."
Aku mengerutkan kening. Haras memang suka cemburu dan protektif, tapi bukan jenis cemburu buta tanpa sebab dan alasan. Apalagi ini Bang Ron. Orang yang sangat dikenalnya.
"Terus kenapa? Emang Bang Ron kenapa? Nggak mungkin kan kamu marah karena masalah hukuman kemaren?"
Ia menghela napas. "Aku nggak sekanak-kanakan itu.."
"Ya terus kenapa?"
"Bang Ron tuh suka sama kamu.."
Aku terdiam dan melotot. Apa?
"Ngaco kamu."
"Aku nggak ngaco.."
Gantian aku menghela napas. "Bang Ron nggak naksir aku, Be. Tau dari mana?"
"Menurut kamu kenapa dia selalu ada di lingkungan sekitar kamu? Perpus? Terus yang tadi juga.."
Aku diam.
"Itu karena dia suka sama kamu."
Mustahil. Nggak mungkin.
"Bukan berarti dia suka sama aku. Ada ribuan cewek di fakultas seni.."
Haras mengacak rambutnya frustasi. "Nayya yang bilang. Apa itu masih belum cukup jadi bukti?"
Dan aku benar-benar bungkam kali ini.
"Dari semua orang di fakultas, Nayya itu termasuk yang paling deket sama Bang Ron. Apa masih nggak bisa dipercaya?"
Lampu berganti hijau dan Haras melajukan mobilnya.
Dan semua ini masih belum masuk akal bagiku. Aku tidak merasakan sedikitpun kalau Bang Ron menyukaiku.
"Dia kan tau kita pacaran," kataku otomatis.
"Dia tau bukan jaminan dia nggak suka," sahut Haras agak ketus.
Dan tepat ponsel Haras berdering. Kami serempat melirik ponsel itu.
Cindy is calling...
Benar. Tau bukan jaminan untuk tidak suka. Dan aku menyadari satu hal. Perasaan adalah sesuatu yang sama sekali tidak bisa kamu kendalikan.
Haras langsung mereject panggilan itu.
Selang beberapa detik layar kembali menyala menampilkan hal yang sama.
Haras kembali mereject.
"Kenapa di reject?"
Haras tidak menjawab.
Layar kembali menyala. Sebelum Haras mereject lagi aku lebih dulu mengambil ponsel itu dan menjawab panggilan.
"Hal—"
"Hallo, maaf. Apa ini keluarganya Cindy?" Suara perempuan.
Aku melirik Haras. "Iya. Maaf ini siapa?" Itu bukan Cindy.
"Maaf Kak, saya teman Cindy. Cindy baru saja jatuh dan kami sedang dalam perjalanan ke rumah sakit.." ia memberitahu kalau mereka membawa Cindy ke rumah sakit terdekat.
"Har ayo ke rumah sakit.."
"Ngapain?"
"Cindy jatuh.."
Haras terkejut. Aku memberitahu rumah sakitnya dan Haras langsung melaju mobilnya menuju tempat itu.
***